Sabtu, 12 September 2009

KOLONIALISME DI IRIAN BARAT

KOLONIALISME DI IRIAN BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Perjalanan babak awal mulai ditancapkannya peradaban kapitalisme (eksploitasi kekayaan) yang kemudian merupakan salah satu sumber konflik di tanah Papua atau irian di kemudian hari, babak ini sebenarnya telah dimulai sejak Belanda mulai berpikir untuk meninggalkan usaha yang semata-mata untuk penancapan secara simbolis kekuasaan atas pulau ini. Kekayaan alam yang dimiliki Irian terlalu luar biasa untuk dibiarkan begitu saja. Maskapai NNGPM (kongsi modal Belanda, Amerika dan Inggris) mulai melakukan eksplorasi emas, emas cair dan minyak tanah di Klamono.

Untuk mendukung usaha tersebut, maka dibangunlah lapangan udara di Pulau Jefman dekat Sorong, di Babo, Serui dan Mimika. Eksplorasi emas telah dimulai sejak tahun 1936 oleh MMNNG di daerah Sungai Lorentz, Sungai Pulau Pulau, Sungai Digul dan Pegunungan Maoke. Sementara itu, di baghian utara telah dilakukan eksplorasi mulai dari Hollandia (sekarang Jayapura) dan di bagian selatan dimulai dari Tanah Merah Digoel.

Pada tahun 1920 pemerintah kolonial Hindia Belanda sebenarnya sudah mulai berhasil mempersatukan teritorium di pulau ini. Maka untuk pertama kalinya dikirimlah seorang residen, Lulofs, dengan kekuasaan yang sangat luas. Usaha membuka daerah yang begitu luas rupanya tidak berhasil, bahkan berakhir dengan meninggalnya Lulofs dengan cara bunuh diri di Manokwari karena merasa kecewa. Tidak lama sesudah itu, Papu, Ambonia, dan Ternate disatukan menjadi Propinsi Maluku. Perhatian untuk Irian mulai merosot, lagi-lagi dengan dalih penghematan, seperti di masa-masa sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang khususnya di pulau-pulau seberang mengangap kecut segala usaha Belanda untuk mengekploitasi Pulau irian. Kritik-kritik pedas seperti apakah sudah saatnya memulai usaha eksploitasi, sementara bisikan perang sudah mengancam, itu merupakan langkah yang tidak bertanggung jawab, itu mengalir dari berbagai pihak.

Selama periode penjajahan Belanda di Indonesia, Irian Jaya atau Papua Barat (saat itu bernama Netherlands/Dutch Nieuw Guinea) terus menerus merupakan anak tiri pemerintahan Hindia Belanda (Netherlands Indies). Rezim pemerintah Belanda menunjukkan minatnya yang kurang di Irian Barat, meskipun mereka mengakui bahwa teori tersebut memiliki posisi strategis untuk mencegah anasir asing ke Kepulauan Nusantara yang kaya tersebut. Pada awal abad ke 20, Irian Barat digunakan sebagai tempat hukuman bagi pegawai negeri Belanda yang nakal dan tempat pembuangan bagi para pemimpin nasionalis Indonesia, termasuk mereka yang aktif dalam revolusi komunis 1926-1927.

Seperti diungkapkan mantan Residen Belanda di irian Barat, Jan van Eechoud, irian Barat yang dahulunya merupakan tanah yang dilupakan (vergeten Aarde) dan diabaikan pembangunannya, baru diperhatikan ketika orang luar melirik ke wilayah tersebut. Pecahnya Perang Dunia II menyebabkan Belanda, atas desakan Amerika Serikat (AS), mulai memperhatikan Irian Barat karena wilayah itu merupakan bagian dari kepentingan strategis Sekutu di Pasifik Selatan. Melalui wilayah ini, tentara Sekutu melakukan strategi Lompatan Katak ke Filipina Selatan. Pada Oktober 1944, Jan van Eechoud yang saat itu menjadi komandan polisi di Hollandia (Jayapura sekarang), mendirikan batalyon penduduk asli Irian pertama, diberi nama Batalyon Papua.

Menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda mempersiapkan untuk mempertahankan kepentingan dan kontrolnya atas Irian Barat. Paling sedikit, ada tiga kepentingan Belanda di Irian Barat. Pertama, menjadikan irian Barat sebagai pusat penampungan atau Tropical Holland bagi keturunan Eurosia yang tidak dapat kembali ke Holland, kedua, tempat penampungan para wiraswastawan Belanda yang meninggalkan Indonesia, dan ketiga, sebagai basis untuk kemungkinan intervensi militer ke Indonesia apabila Republik Indonesia yang baru berdiri tersebut ambruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar