AKHIR CERITA DIGOEL
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Setelah ribuan orang dibuang ke Digoel ada anggota Volksraad orang pribumi dari Batavia Mohammad Husni Thamrin. Dia sering menanyakan masalah Digoel di Volksraad. Tapi informasinya masih kurang. Pemerintah responnya begitu-begitu saja, tidak begitu peduli. Mereka lebih peduli dengan laporan dari wartawan Belanda yang tulisannya diterbitkan di salah satu koran di Amsterdam atau Rotterdam, karena itu langsung dibaca oleh orang Belanda di negeri Belanda. Lalu Hillen dikirim ke Digoel untuk mengadakan penyelidikan, bagaimana keadaan di sana. Dan juga menyelidiki kemungkinan kalau cukup banyak orang yang tidak begitu salah tapi dibuang ke Digoel.
Hillen adalah Gubernur Jawa Barat dan anggota Raad van Indie, atau Dewan Hindia. Pada bulan April 1930 waktu Hillen mengunjungi Digoel jumlah penghuni paling banyak mencapai 2000 orang. Kalau tahanan politiknya saja sekitar 1300, yang lain tadi keluarga mereka. Di Digoel Hillen mengadakan wawancara 49 hari. Setiap hari dia bisa wawancara 20-25 orang. Total ada 600 orang lebih yang diwawancara oleh Hillen. Dari 600 orang itu, 400 kemudian dilepaskan.
Rupanya wartawan Belanda menanyakan apakah semua orang yang dibuang ke Digoel memang orang yang begitu serius dosanya. Dia menanyakan bukankah kebanyakan Cuma petani, yang sebenarnya tidak begitu mengerti ideologi komunis. Dan Gubernur Jenderal de Graeff adalah orang liberal. Dia cukup terkesan oleh berita itu dan lalu jadi prihatin. Dia mengerti, siapa yang dibuang tergantung pada residennya. Dan pasti ada residen yang lebih kejam dibandingkan residen-residen yang lain.
Keprihatinan itu satu alasan yang penting. Alasan lainnya adalah bahwa Hillen itu orangnya lebih konservatif dibandingkan de Graeff. Hillen tidak sependapat dengan de Graeff, terutama mengenai kebijaksanaan pemerintah terhadap pribumi. Hillen orangnya lebih tough dibandingkan de Graeff. Dan de Graeff mengerti kalau Hillen bilang ternyata memang ada kesalahan, nanti de Graeff merasa aman untuk membenarkan policynya, umpamanya memperbolehkan orang-orang di Digoel untuk pulang ke kampung.
Bisa dibayangkan kalau orang yang ditunjuk untuk penyelidikan adalah orang liberal, bisa-bisa de Graeff akan dikritik lagi oleh masyarakat Belanda. Tapi semua orang tahu Hillen lebih konservatif dan lebih keras. Jadi de Graeff merasa aman menjalankan kebijaksanaannya.
de Graeff turun sebagai gubernur jenderal bulan Mei 1931, lalu diganti dngan de Jonge. De Jonge jauh lebih reaksioner daripada de Graeff. Kelak waktu Perang Dunia II, waktu Belanda diduduki Nazi Jerman, dia menjadi kolaborator Nazi. Dari semua gubernur jenderal di Hindia Belanda pada abad XX dia ini yang paling reaksioner. Setelah de Jonge naik menjadi gubernur jenderal, dampaknya sangat besar. Dia sama sekali tidak setuju dengan kebijaksanaan de Graeff terhadap orang pribumi. Banyak hal yang dilakukan oleh de Jonge pada tahun 1931-1932. harus dimengerti dari sudut ini.
Umpamanya de Graeff sebelum diganti sudah mulai memikirkan bahwa keputusannya untuk mendirikan Digoel adalah keliru. Karena itu lebih baik menutup kamp dan memindahkan orang tawanan ke tempat lain. Tapi persis karena de Graeff sudah mulai memikirkan begitu, de Jonge justru mau mempertahankan Digoel, dan dia tidak mau peduli dengan orang-orang yang ada di sana. De Graeff juga memikirkan supaya Cuma orang komunis yang aktivis, atau pemimpin dari PKI, yang dibuang ke Digoel. Orang nasionalis yang bukan komunis tidak boleh dibuang ke Digoel. Tapi persis karena de Graeff memikirkan itu, de Jonge justru melakukan sebaliknya. Lalu orang nasionalis juga harus dibuang ke sana. Jadi dampaknya sangat besar.
Pada tahun 1930 pemimpin SKBI (Serkat Kaum Buruh Indonesia) dibuang. Lalu tahun 1931-1934 pemimpin-pemimpin PARI (Partai Republik Indonesia) dibuang. Tahun 1933-1934 menyusul kelompok nonkoperasi dari Permi (Perhimpunan Muslimin Indonesia), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) Sumatra Barat juga dibuang ke Digoel. Begitu juga PNI-Pendidikan, termasuk Hatta dan Syahrir. Pemimpin Partindo di Sumatra Utara juga dibuang ke Digoel. Tahun 1936 anggota Pari yang baru, PNI-Baru dan juga beberapa anggota PKI-Muso juga dibuang.
Semua pembuangan ini adalah akibat kebijaksanaan gubernur jenderal yang baru. Sebuah sumber menyebutkan btentang jumlah tahanan di Digoel ini, bulan Mei 1930 total di Digoel ada 1.308 tahanan politik, di Tanah Tinggi 70, ini orang-orang yang tidak mau kompromi. Kemudian tahun 1931 total ada 1.178 tahanan politik, di Tanah Tinggi bertambah jadi 82 orang. Tahun 1932 menurun tinggal 793, di Tanah Tinggi ada 69 orang. Dan sejak itu jumlah tahanan politik menurun terus sampai 1937 total tinggal 446, tapi di Tanah Tinggi jumlahnya tetap 64 orang. Jadi kelompok yang tidak mau kompromi jumlahnya 70, kemudian pernah menjadi 82 dan selanjutnya tetap saja lebih dari 60 orang.
Kalau jumlahnya berkurang berarti ada orang yang mati. Umpamanya Mas Marco Kartodikromo, dia juga salah satu orang yang dibuang ke Tanah Tinggi. Dia mati di Tanah Tinggi pada tahun 1933, berarti berkurang satu. Aliarcham juga mati di tanah Tinggi. Waktu Aliarcham meninggal semua orang merasa diguyur air dingin karena sikap pribadinya yang kuat dan pantang menyerah. Baik PKI maupun Murba menghormatinya sampai beberapa waktu belakangan.
Bersama dengan perjalanan waktu, dengan usaha lari yang mengalami kegagalan, rivalitas antar berbagai kelompok di tengah komunitas tahanan politik sendiri, merosotnya semangat di kalangan anggota gerakan nasional di luar Digoel dan rusaknya koperasi, maka sementara tahanan politik menjadi lebih bersedia menyokong harapan-harapan penguasa kolonial di Digoel. Bahkan sementara dari mereka yang kepala batu pun mulai berkomentar, barangkali bisa dipenuhi harapan Assisten Residen yang menginginkan agar tahanan politik menjadi bersahabat dan terbuka, sehingga mereka akan bisa berbicara dengan suara Dinasti Oranye.
Bagaimanapun juga memang benar, setiap tahun diadakan perayaan untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina, dengan pesta yang sangat meriah khususnya ketika Sri Ratu memperingati hari lahirnya yang ke 50 pada tanggal 31 Agustus 1930.
Sebagai kelanjutan dari perayaan yang terakhir itulah, maka diberikan pengampunan umum yang pertama untuk para tahanan politik yang dipandang telah mengabdikan diri mereka kepada pemerintah kolonial selama di Digoel. Tercatat sebanyak 456 orang tahanan politik dipulangkan pada tahun 1931 dan 1932, masing-masing dikembalikan ke tempat asalnya sendiri-sendiri. Termasuk mereka ini ialah para tahanan politik yang menjadi pemimpin dalam pemberontakan 1926-1927, karena mereka itu tahanan politik dengan nomor sangat kecil, pertanda bahwa mereka termasuk rombongan paling awal yang di-Digoel-kan atas perintah Gubernur Jenderal.
Orang pertama yang diperintahkan untuk di-Digoel-kan ialah Budisucitro, yang mendapat nomor tahanan politik 1. Untuk dibandingkan dengan nomor Mohammad Bondan yang 1383. Dan pada saat kekuasaan Jepang mengakhiri kegiatan Belanda di tanah jajahan ini, nomor register telah mencapai angka sekitar 1450. Tentu saja angka-angka itu hanya menunjuk pada para tahanan politik yang telah benar-benar diasingkan, dan tidak termasuk anggota keluarga mereka yang ikut ke tempat pengasingan, dengan demikian jumlah orang Indonesia seluruhnya yang pada suatu saat tinggal di Digoel jauh lebih tinggi dari angka 1500.
Di antara sejumlah pengampunan pertama yang dikeluarkan termasuk yang diberikan kepada Gondoyuwono, yang bernomor tahanan politik 6, Hamid Sutan dengan nomor 4 dan Suprojo dari koperasi dengan nomor 9. Mareka yang dipulangkan dengan cara seperti ini pertama-tama harus menandatangani pernyataan, yang ditulis dalam Belanda dan Indonesia, dengan menyatakan bahwa setelah meninggalkan Tanah Merah mereka tidak akan lagi melakukan sesuatu apa pun yang melawan pemerintah kolonia, juga mereka tidak akan mengambil sikap ekstremis dalam bentuk apa pun. Persetujuan ini diserahkan kepada Asisten Residen dan dengan demikian tentunya masuk pula di dalam arsip Belanda di Jakarta.
Dari tahun 1932 dan selanjutnya kebijakan memulangkan tahanan politik yang disukai diteruskan. Tentu saja lambat laun beberapa orang tahanan politik menjadi tergoda oleh kesempatan pulang kembali ke rumah, maka mereka lalu menyerah kepada Belanda. Tentu saja tidak semua tahanan politik menyerah pada godaan tersebut. Sementara tahanan politik bahkan ada yang menjadi lebih radikal daripada sebelumnya, dan sebagai akibatnya mereka dibuang ke Tanah Tinggi di hulu sungai.
Namun kebijakan memulangkan tahanan politik yang bertobat ini terus berlanjut sampai Oktober 1940, ketika rombongan terakhir yang terdiri dari 15 orang dipulangkan sesudah perintah pengasingan terhadap tahanan politik dicabut. Tentu saja mereka semua sebelumnya ikut bergabung dalam kelompok yang mau bekerja, ada yang menjadi pekerja harian dan ada yang bekerja dengan gaji bulanan.
Setidaknya terhadap kelompok terakhir yang dipulangkan ini, penguasa kolonial di Tanah Merah rupanya hendak memikat perasaan hati mereka, yaitu dengan memberikan kepada para mantan tahahan politik ini masing-masing apa yang dinamakan persen. Setiap anggota kelompok yang bekas pekerja harian diberi persen sebesar 5 rupiah, sedangkan untuk yang pekerja bulanan masing-masing diberi persen sebesar 7,50 rupiah. Dengan demikian pemerintah kolonial di Tanah Merah mengeluarkan uang sebesar 87,50 rupiah untuk uang saku kelompok ini.
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar