MINGGAT DARI DIGOEL
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Adanya organisasi-organisasi yang saling berselisih di tengah-tengah tahanan politik tentu saja berarti berakhirnya semangat setia kawan. Memang para tahanan politik itu berasal dari sejumlah organisasi politik yang berbagai-bagai, terutama di Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Dan tentu saja organisasi ini sedikit banyak saling bersaing. Namun begitu, semua organisasi ini merasa menjadi bagian dari Gerakan Nasional yang satu, dan di saat menderita sebagai akibat kekuasaan kolonial mereka satu sama lain saling membantu.
Semangat seperti ini pada mulanya memang hidup di kalangan tahanan politik Digoel, dan dalam berbagai hal juga masih tetap demikian. Tapi komunitas Digoel tidak bisa memelihara semangat setia kawan itu. Konflik antara sesama organisasi di Digoel merupakan pantulan dari konflik antar kelompok, dan semua konflik ini menimbulkan tekanan batin dan selanjutnya terjadilah kemunduran. Karena konflik-konflik ini, beberapa orang lalu dilempar ke Gudang Arang, dan kemudian bahkan dipindah ke Tanah Tinggi. Semangat setia kawan dan pengabdian para perjuangan kemerdekaan menjadi merosot.
Tentu saja ada ketidakpuasan lain di kalangan tahanan politik. Beberapa di antara mereka segera hilang setelah beberapa bulan di Tanah Merah. Mereka mulai berusaha melarikan diri. Banyak yang gagal. Beberapa datang kembali, tapi banyak pula yang tak tentu di mana rimba mereka. Ada tiga kelompok yang berhasil mencapai Thursday Island, jauh di timur Digoel di wilayah Australia antara Semenanjung Cape York dengan Papua Niuguini.
Kelompok pertama yang berhasil dipimpin oleh Nayoan, tokoh yang pernah dipecat dari kedudukannya sebagai Kepala Kampung. Ia meninggalkan Tanah Merah bersama empat orang tahanan politik lainnya Rompis, Katamhadi, Bagindo Kasim dan Usman Keadilan. Moto Nayoan adalah: tidak ada perjuangan kemerdekaan hanya dengan berpangku tangan di Tanah Merah, usaha lari ialah perjuangan.
Setelah tiga bulan Nayoan dan rekan-rekannya menyeberangi laut menuju Thursday Island akhirnya mereka tiba di pulau itu. Namun hampir sesegera itu pula mereka tertangkap dan dipenjarakan sebagai imigran gelap. Lalu dengan tangan dan kaki dirantai mereka digiring kembali ke Tanah Merah dalam bulan September 1927. Di sana mereka dimasukkan penjara selama tiga bulan, dan kemudian dikembalikan ke tengah komunitas Tanah Merah lagi.
Usaha Nayoan melarikan diri untuk kedua kali pada tahun 1938. Kali ini Nayoan tidak berhasil terlalu jauh. Ia ditangkap oleh penduduk liar Papua di tengah hutan. Lalu sekali lagi Nayoan dibawa kembali ke Tanah Merah, dan sekali lagi dimasukkan penjara. Usaha Nayoan lari yang ketiga kali tahun 1941. Pada waktu Perang Pasifik sudah di ambang pintu. Kelompok lain yang juga berusaha melarikan diri, di antaranya Dulrachman, Sanjoyo, Diposukarto, Kusmeni. Juga kelompok lain lagi seperti Gusti Sulung Lelanang, Djeranding Abdurrahman, Gusti Johan Idrus.
Tidak ada kekecualian terhadap peraturan keimigrasian. Diberitahukan pada mereka bahwa, menurut peraturan yang berlaku ketika itu, semua imigran gelap yang memasuki Australia akan dibawa ke bagian utara negeri ini dan ditahan di sana sementara menunggu saat diekstradisikan. Tidak terkecuali peraturan ini terhadap rombongan pelarian Dulrachman dan Gusti Johan Idrus. Mereka dibawa ke Thursday Island dan dimasukkan penjara di sana selama beberapa hari, sambil menunggu pemukiman secara resmi. Tentu saja semua tawanan pada masa itu sangat tidak menentu dengan nasib mereka, apa gerangan yang akan terjadi pada mereka.
Tapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Pada suatu hari mereka dikeluarkan dari penjara oleh seorang petugas, lalu dinaikkan di sebuah kapal putih, yang ternyata itulah Albatros. Pada waktu itu tak kurang dari tokoh Belanda, Gubernur Maluku Teydema Tydeman, yang biasa dibawa dengan kapal putih itu. Dengan naik kapal ini maka mereka mendapat penghormatan dari para pejabat kolonial yang telah menangkap dan mengasingkan mereka. Tentu saja mereka dibawa ke Digoel kembali, dan dimasukkan di penjara Tanah Merah, yang sudah mereka tinggalkan sekitar tiga bulan lalu.
Selain minggat dari Digoel yang disebutkan tadi, sesungguhnya masih banyak lagi, tapi tidak terdengar ada yang pernah berhasil. Dari beberapa orang penghuni pertama, tentang mereka yang berusaha melarikan diri sampai pada tahun 1930, di antara mereka ialah Sukrawinata, Dachlan, Baharuddin Saleh dan Bakar Gelar Saidi. Beberapa di antara mereka itu ada yang melakukan sendiri-sendiri, dan ada juga yang dengan beberapa kawannya. Seorang pun tidak pernah mendengar apa yang terjadi dengan mereka, sehingga mereka dianggap telah mati.
Mas Marco Kartodikromo dalam bukunya Pergaulan Orang-orang Buangan di Boven Digoel (terbit 1931) mengisahkan:
“…Mereka yang mati dalam pelarian itu ada beberapa orang, seperti Suhodo, Ahmad bin Husin dari Palembang, Sedaya dari Banten, Martowiryo bersaudara, Abas dari mandailing. Inilah yang kami ingat namanya. Boleh jadi ada yang lain yang tidak kami ingat.
Yang dirampok orang Papua hingga tidak bisa meneruskan perjalanan ada beberapa orang. Mereka terpaksa kembali ke Digoel. Ada yang patah tangannya, ada yang rusak kakinya. Ada juga beberapa orang yang badan dan kaki tangannya kena panah orang papua, hingga harus dirawat di hospital beberapa bulan.
Kalau kita mendengar cerita mereka yang lari itu, amat sedih rasa hati kita. Walau begitu, ada juga yang sampai dua kali lari, seperti kawan Nayoan dari menado, dan Gusti Johan Idrus dari Borneo (dari Landak Ngabang Kalimantan barat, Pen). Apa sebabnya? Tidak lain dari … (tidak terbaca, pen) bagitulah kawan-kawan yang … (tidak terbaca, Pen).
Bulan April, tempat pembuangan yang kedua (Gudang Arang) dihapuskan, karena pada suatu hari Kali Digoel itu banjir. Rumah orang-orang buangan sama terendam. Terpaksa orang-orang itu dibawa ke kazerne (tangsi), sementara menunggu air Kali Digoel surut. Sesudah air surut, orang-orang tadi dikembalikan lagi ke sana. Tapi sejak itu Kali Digoel selalu banjir, sehingga wakil pemerintah terpaksa mencarikan tempat lain. Akhirnya ditemukan tempat pembuangan yang lain yang tinggi tanahnya di hulu. Itulah sebabnya tempat itu dinamakan Tanah Tinggi. Menurut orang-orang yang pernah pergi ke sana, jarak perjalanan ke sana tiga jam dengan motorbot.
Orang-orang yang dipindahkan dari Gudang Arang ke Tanah Tinggi adalah J Sunarjo, Said Ali, Amin Kosasi, Sulasikan, Prawirasarjono, Sujarmatoyo dan lain-lain ..”
Mengutip catatan kecil dari eks Digoelis HR Machmoed Soesilo Siwignjo (1971) tentang Melarikan Diri dari Tanah Merah (halaman 207-208):
“…Suasana hidup dalam neraka hijau di Tanah Merah mendorong orang bagaimanapun juga sulitnya rintangan alam yang dihadapinya untuk berusaha melarikan diri. Gusti Sulung Lelanang tidak luput dari tekanan batin seperti itu dan tidak dapat membiarkan dirinya hancur dimakan nyamuk rawa Tanah Merah. Usaha melarikan diri ini dimulai setelah Gusti Sulung Lelanang meringkuk selama tiga tahun.
Pada tahun 1930 bersama Diko (Ponorogo), Suwito Hitam (Wonosari Purwodadi), Karel Kuntadi alias Suharjo (Purwokerto), Sontani (Yogyakarta), Trunojoyo Marjun (Surabaya), Mohamad Afif (Cilegon Banten) dan Gusti Johan Idrus (Landak Ngabang Kalimantan Barat).
Dengan ketujuh kawan tersebut di Gusti Sulung Lelanang mencoba melarikan diri dari Tanah Merah Digoel ke Irian Timur jajahan Inggris. Tetapi setelah tiba di Irian Timur ditangkap oleh polisi Inggris yang kemudian menyerahkan kedelapan pelarian Tanah Merah ini ke pemerintah kolonial Belanda lagio. Sebelum penyerahan ini berlangsung, kedelapan pelarian Tanah Merah ditahan selama tiga bulan dalam penjara Thursday island, sebuah penara yang didirikan pada sebuah pulau kecil di sebelah barat Tanjung Cook (Cook Town) di ujung utara Australia.
Setelah adanya penyerahan kedelapan pelarian Tanah Merah tersebut, mereka dibawa ke Ambon yang kemudian untuk diteruskan ke tempat asal yakni Tanah Merah. Di sini selama satu tahun harus meringkuk dalam penjara Tanah Merah, karena dipersalahkan telah berani melarikan diri dan memasuki wilayah negara lain.
Setahun kemudian (1931) Gusti Sulung Lelanang keluar dari penjara Tanah Merah kembali ke rumah semula yakni di kampung B serumah dengan Raden Machmud Susilo Suwignyo (Mahmud Surabaya) , Gusti Situt Mahmud, dan Mohamad Sood”.
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar