Minggu, 13 September 2009

TRAGEDI DAN MISTERI MANDOR BERDARAH 1944

PERISTIWA MANDOR BERDARAH--EKSEKUSI MASSAL 28 JUNI 1944
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

RIWAYAT SINGKAT TENTANG KORBAN MASAL PASUKAN JEPANG DI KALIMANTAN BARAT (1942-1945) *)
Seperti halnya dengan di daerah-daerah Indonesia lainnya, selama masa pendudukan pasukan Jepang antara tahun-tahun 1942-1945, di daerah Kalimantan Barat telah jatuh tidak sedikit korban di kalangan penduduk. Berapa jumlah seluruh korban yang terbunuh selama masa itu, belum terdapat angka yang pasti, tetapi menurut catatan sementara adalah sekitar 21.037 jiwa.

Dan yang lebih tragis adalah, bahwa di dalam jumlah tersebut terdapat hampir semua tokoh-tokoh kaum intelektuil dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada, sebagian dengan istrinya, termasuk 5 orang dokter, 11 panembahan/sultan (Kepala Swapraja) dari seluruh daerah Kalimantan Barat serta Sultan Pontianak dengan 60 orang keluarganya.

Surat Kabar Borneo Sinbun Pontianak terbitan tanggal 1 Juli 1944 memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebutnya sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan di bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Mereka, beserta yang lain-lainnya, ditembak mati pada tanggal 28 Juni 1944, dengan tidak disebutkan di mana hukuman mati itu dilaksanakan dan di mana jenazah para korban dimakamkan.

Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Pontianak **) yang terletak 88 Kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat, di mana sebagian dari para korban dikubur secara massal. Oleh sebab itu, bagaimana pun, Makam Mandor adalah suatu monumen sejarah, yang menandai adanya perlawanan terhadap pasukan pendudukan Jepang, dan tentang jatuhnya korban yang tidak sedikit di antara penduduk Kalimantan Barat, selama masa pendudukan pasukan Jepang di daerah ini, antara tahun-tahun 1942-1945.

Sewajarnyalah apabila monumen sejarah ini dipelihara untuk mengingatkan kita yang masih hidup ini, akan peristiwa sejarah yang perlu dicatat, dan akan pengorbanan yang telah diberikan oleh mereka yang telah gugur dan terkubur di sini, ataupun di mana saja di daerah Kalimantan Barat dan di seluruh Indonesia.

Sejak tanggal 1 Januari 1973, empat tahun yang lalu, dalam rangka memperingati Hari Pemerintahan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat yang ke-XVI, kita telah berusaha secara teratur mengadakan ziarah ke Makam Mandor ini. Kegiatan ziarah tersebut kita laksanakan tepat pada tanggal 28 Juni setiap tahunnya adalah untuk memperingati serta mengenang kembali peristiwa bersejarah yang terlah terjadi di tempat ini, yaitu pembunuhan masal terhadap pejuang-pejuang bangsa kita oleh balatentara pendudukan Jepang pada tanggal 28 Juni 1944, yang sebagian korbannya dimakamkan di Mandor.

Selanjutnya 28 Juni 1977 tiga puluh tiga tahun sesudahnya, kita resmikan sebagai monumen perjuangan tegasnya Monumen Perjuangan. Hal ini kita laksanakan bersama-sama sekali tidak dengan maksud untuk menyembah sesuatu makam atau menanamkan dan mengabadikan rasa benci atau rasa dendam kepada bangsa Jepang sebagai bekas penjajah, tetapi semata-mata berdasarkan keinginan mengabadikannya sebagai Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia di daerah ini yang mengandung nilai-nilai patriotisme dan semangat kepahlawanan serta abadinya pengorbanan yang pernah diberikan oleh pejuang-pejuang bangsa tersebut.

Untuk itu semua, marilah bersama kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa disamping doa, agar usaha kita ini mendapatkan ridho Nya, sehingga hikmah monumen yang bersejarah ini dapat meresap ke dalam lubuk hati bangsa Indonesia, generasi per generasi, di mana hikmah kepahlawanan dan patriotisme itu akan merupakan benteng mental yang tangguh, yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia di masa sekarang dan di masa mendatang.

Bung Hatta pernah mengatakan bahwa fakta adalah fakta, apalagi bila fakta itu fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Memungkiri fakta sejarah adalah penipuan. Fakta sejarah sering kali dipungkiri oknum yang masih hidup karena sesuatu kepentingan tertentu. Dus, memungkiri fakta sejarah merupakan penipuan ganda, pertama, menipu diri kita sendiri dan kedua, menipu orang lain dan menjadi lebih buruk lagi karena hal itu merupakan penipuan terhadap generasi muda bangsa sendiri. Fakta pertama, di samping fakta-fakta lain yang telah ada dan yang akan diusahakan adanya, merupakan sebab-sebab lain daripada perlunya Makam Mandor ini kita jadikan Monumen Sejarah yang Abadi.

Pada tanggal 28 Juni 1944, tiga puluh tiga tahun yang lalu, di daerah Kalimantan Barat ini terjadi suatu peristiwa pembunuhan masal yang dilakukan oleh balatentara pendudukan Jepang terhadap saudara-saudara kita. Mungkin orang tua, abang, kakak, adik atau suami dari sebagian para hadirin yang ikut berziarah pada hari ini. Pembunuhan massal itu telah diberitakan oleh Surat Kabar Borneo Shinbun yang terbit pada tanggal 1 Juli 1944 di Pontianak, sebagai suatu tindakan penghukuman oleh balatentara pendudukan Jepang terhadap apa yang mereka namakan dengan Kepala-kepala Komplotan yang sedang mempersiapkan rencana perlawanan bawah tanah, tanpa menyebutkan di mana hukuman mati itu dilaksanakan dan di mana jenazah para korban dimakamkan.

Belakangan barulah diketahui bahwa di Makam Mandor ini sebagian dari para korban tersebut telah dimakamkan secara massal. Sebagaimana halnya yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia selama masa pendudukan balatentara Jepang, di daerah Kalimantan Barat pun tidak sedikit korban yang telah jatuh, bahkan mungkin dapat dikatakan yang paling besar prosentasenya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada pada masa itu. Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir balatentara Jepang di daerah ini, jumlah korban tersebut meliputi angka 21.037 orang.

Sedangkan menurut kesaksian lain, pada waktu menjalani hukuman mati, Yamamoto Kepala Kempeitai di daerah ini mengatakan bahwa jumlah korban meliputi angka sekitar 50.000 orang. Di antara para korban tersebut sebagian besar merupakan tokoh-tokoh intelektuil dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk 11 panembahan dan sultan serta 5 orang dokter. Kalau pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kapten Westerling di daerah Sulawesi Selatan sempat menggugah hati nurani bangsa Indonesia, maka korban pembunuhan massal oleh balatentara pendudukan Jepang di daerah ini, setidak-tidaknya harus dapat menggugah hati nurani sebagian bangsa Indonesia yang ada di daerah ini, untuk dapat menerima arti dan makna pengorbanan yang telah mereka berikan dan dapat menerima hadirnya monumen sejarah perjuangan Mandor ini, sebagai milik mereka sendiri. Monumen sejarah ini bukan milik pemerintah, bukan milik para ahli waris korban. Pun bukan miliknya Gubernur Kepala Daerah, tetapi milik seluruh warga daerah Kalimantan Barat pada khususnya dan milik seluruh bangsa Indonesia pada umumnya.

Meninjau suatu sejarah, kita harus meletakkannya di dalam tiga dimensi. Dimensi masa lalu, dimensi masa kini dan dimensi masa mendatang. Untuk dimensi masa lalu, sejarah pembunuhan missal ini merupakan sejarah perjuangan dari orang-orang tua dan saudara-saudara kita yang berusaha menghapuskan penjajahan demi kesejahteraan anak cucunya. Untuk dimensi masa kini, sejarah pembunuhan masal ini harus dapat menjiwa perjoangan kita semua di dalam usaha pembangunan bangsa dewasa ini.

Kalau orang tua atau saudara-saudara kita mengorbankan jiwa raganya dengan semangat patriotisme dan semangat kepahlawanan untuk mencapai kemerdekaan, kiranya kita yang berkesempatan menikmati hasil-hasil perjoangan mereka, sudah sewajarnyalah harus menghargai pengorbanan para pejoang ini dengan sikap dan perbuatan yang sesuai dengan garis-garis yang selalu dipegang teguh oleh para pejoang, yaitu semangat patriotisme yang mendahulukan kepentingan tanah air dan bangsa daripada kepentingan pribadi.

Untuk dimensi masa mendatang, sejarah pembunuhan massal ini harus dapat merupakan peringatan yang abadi bagi generasi muda bangsa. Generasi mendatang harus dapat memetik pelajaran-pelajaran daripadanya sebagai salah satu landasan mental yang kokoh kuat di dalam menghadapi naik turunnya perjoangan dan menghadapi masalah-masalah yang membahayakan existensi bangsa Indonesia yang telah diperjoangkan oleh nenek moyangnya dengan pengorbanan jiwa raga yang cukup besar

Marilah monumen ini kita jadikan milik kita semua dan kita pelihara sebaik-baiknya. Bukan karena orang tua atau saudara kita dimakamkan di sini, tetapi karena kita mau dan mampu menghormati mereka sebagai pejoang-pejoang bangsa. Kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang memiliki falsafah dasar kehidupan yang disebut Pancasila, pasti mampu menghargai para pahlawannya. Sekian dan terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian.

*) Disunting oleh Syafaruddin Usman MHD dari sambutan yang disampaikan Gubernur Kalbar Kadarusno pada saat peresmian Monumen Juang Mandor tanggal 28 Juni 1977. Kadarusno menjabat Gubernur Kdh Tingkat I Kalbar tahun 1972-77
**) Sekarang dalam wilayah administratif Kabupaten Landak

BAGIAN PERTAMA
DI BAWAH CENGKERAMAN SAUDARA TUA

I. RUNTUHNYA HINDIA BELANDA

1. KONFLIK KOLONIAL
Pada 10 Mei 1940, Hitler mengirim pasukannya untuk menyerang Negeri Belanda yang netral guna mengepung Prancis. Pada 14 Mei, di bawah ancaman serangan pasukan payung dan panzer Jerman yang didukung oleh Luftwaffe (angkatan udara Jerman), Ratu Belanda dan kabinet Perdana Menteri Dirk Jan de Geer mengungsi ke London. Keesokan harinya, Belanda menyerah dan diduduki Jerman Nazi setelah terjadinya pemboman dahsyat yang menghancurkan Kota Rotterdam. Jatuhnya Negeri Belanda ini menimbulkan goncangan dan tanda tanya besar mengenai nasib wilayah jajahannya, terutama Hindia Timur Belanda yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar.

DI Hindia Belanda, berita mengenai penyerbuan dan pendudukan Negeri Belanda mengundang berbagai macam reaksi di kalangan penduduk negeri itu. Pada hari penyerbuan, Gubernur Jenderal Jhr Mr AWL Tjarda van Starkenborgh Statchouwer mengumumkan keadaan darurat bagi Hindia Belanda.

Jatuhnya Belanda ke tangan Nazi Jerman pada Mei 1940 membuka kembali harapan di kalangan para pemimpin pergerakan di Volksraad bahwa pemerintah Belanda akan memberikan beberapa konsesi. Akan tetapi, lagi-lagi mereka dikecewakan. Mereka hanya mendapat jawaban samar-samar dari van Starkenborg bahwa mungkin akan dilakukan beberapa perubahan setelah perang berakhir. Pada 14 September 1940, atas persetujuan pemerintah Belanda, dibentuklah Commissie tot Bestudeering van Staatsrechtelijke Hervormingeng (panitia untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi ini diketuai Dr FH Visman sehingga kemudian dikenal dengan nama Komisi Visman.

Harapan akan terjadinya perubahan ketatanegaraan itu semakin sirna dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina di London dan Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Indonesia yang akan dibicarakan setelah perang selesai. Akibatnya, timbul kekecewaan di kalangan tokoh pergerakan yang berorientasi internasional sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap berbagai tuntutan mereka maupun Piagam Atlantik. Kekecewaan tersebut mempercepat menurunnya solidaritas Indonesia—Belanda dalam menghadapi ancaman fasisme. Pada gilirannya, hal itu membuat orang Indonesia termakan propaganda Pan-Asia Jepang yang menjanjikan pembebasan bangsa mereka dari cengkeraman orang kulit putih.

2. JEPANG DAN HINDIA BELANDA
Keberhasilan modernisasi Jepang selama Restorasi Meiji bukan hanya menyebabkan negara tersebut berhasrat untuk menyaingi negara-negara Barat dalam hal teknologi. Namun juga dalam hal memperluas daerah kekuasaannya. Adapun ideologi dari nafsu ekspansi ini sendiri sebenarnya berasal dari ajaran kuno Jepang yang disebut sebagai Hakko Ichi-u (delapan benang di bawah satu atap). Intisari dari Hakko Ichi-u adalah pembentukan suatu kawasan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar dunia.

Kebijakan ekspansi Jepang untuk memenuhi ajaran Hakko Ichi-u, yang kemudian menimbulkan perang di Asia Pasifik, sebenarnya telah dimulai sejak zaman pemerintahan Kaisar Meiji. Pada 1894, Jepang menyerang Cina dan merampas Formosa (sekarang Taiwan). Kemudian, dalam Perang Rusia—Jepang 1904-1905, Jepang merebut Sakhalin dan Port Arthur. Lima tahun kemudian, negara matahari terbit itu menganeksasi Korea. Daerah kekuasaannya semakin meluas ketika setelah Perang Dunia I, Jepang yang berperang di pihak Sekutu, memperoleh sejumlah bekas wilayah jajahan Jerman di Cina maupun Samudra Pasifik..

Akan tetapi ambisi ekspansi Jepang tetap tidak terbendung. Pada 1929, pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Baron Tanaka mengeluarkan sebuah memorandum rahasia, yang kemudian dikenal dengan nama Memorandum Tanaka. Memorandum tersebut menyerukan pembentukan suatu daerah jajahan besar yang akan menyediakan bahan mentah dan pangan bagi negeri Jepang yang berbentuk kepulauan dan berpenduduk padat dan akan merupakan tempat penyaluran penduduk yang berdesakan itu.

Dalam rencana ambisius tersebut, Cina merupakan kunci bagi ambisi Jepang untuk menguasai dunia. Adapun langkah-langkah ekspansi Jepang adalah: “…menaklukkan Cina, pertama-tama harus menguasai Manchuria dan Mongolia. Apabila berhasil menguasai Cina, negara-negara Asia lainnya akan segan kepada Jepang dan menyerah. Dunia kemudian akan mengerti bahwa Asia adalah milik Jepang dan tidak akan berani menentangnya. Dengan seluruh sumber-sumber Cina di tangan jepang, Jepang dapat bergerak untuk menguasai India, kepulauan Asia Pasifik, Asia Kecil, Asia Tengah, dan bahkan Eropa”.

Sesuai dengan isi Memorandum Tanaka, pada 1931 Jepang mencaplok Manchuria, sebuah daerah yang kaya batubara dan besi yang amat diperlukan oleh industrinya. Pada 1937 Jepang berhasil menguasai daerah-daerah pantai dan beberapa kota penting di Cina. Segera incaran mata Jepang terarah ke selatan, yaitu Indocina jajahan Prancis dan Hindia Timur jajahan Belanda.

Usaha Jepang untuk memastikan Hindia Belanda berada di bawah pengaruhnya sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak 1930-an, beberapa perusahaan semi pemerintah di Jepang, seperti Nanjo Kohatsu, dengan dorongan dari pihak Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang, mendorong penanaman modal di Hindia Belanda secara lebih agresif dan intensif. Orang Jepang mulai membeli berbagai macam konsesi, dari penebangan kayu dan pertambangan hingga hak menangkap ikan. Para pengusaha Jepang juga membanjiri Hindia Belanda dengan barang-barang murah.

Setelah jatuhnya Negeri Belanda ke tangan Jerman Nazi, Jepang melakukan berbagai manuver diplomatik untuk memastikan pasokan barang-barang strategis tertentu ke Jepang tetap aman. Pada Januari 1941, Jepang kembali mengirim delegasinya di bawah pimpinan Yoshizaman Kenkichi. Delegasi ini menyampaikan tuntutan yang semakin agresif, seperti hak bagi Jepang untuk bergerak dengan bebas di wilayah Hindia Belanda, hak untuk mencari bahan tambang di seluruh wilayah Hindia Belanda, hak bagi kapal-kapal Jepang untuk bergerak bebas di perairan Hindia Belanda, impor barang dari Jepang ditingkatkan hingga 75 persen, dan ekspor minyak mentah dinaikkan dari 3,75 juta ton menjadi 3,9 juta ton. Ketika menyadari bahwa Hindia Belanda sebenarnya sedang diintimidasi agar tunduk di bawah dominasi Jepang, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menolak permintaan Jepang tersebut.

Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh pemerintah kolonial Belanda itu menyebabkan Jepang memutuskan menguasai Hindia Belanda dengan kekerasan.

3. INVASI MILITER JEPANG
Dalam upayanya untuk merebut Hindia Belanda, Jepang telah membuat sebuah strategi penyerangan bercabang tiga. Di sebelah timur, mereka berencana bergerak memasuki kepulauan Maluku dan Timor, dengan begitu dapat memutuskan jalur komunikasi dan bala bantuan dari Australia. Di tengah, Kalimantan dan Sulawesi akan direbut, sementara di ujung barat kepulauan Hindia, Sumatra akan diserang jika kejatuhan Singapura telah dipastikan. Akhirnya, apabila seluruh sasaran ini telah diraih, seluruh pasukan akan dikerahkan untuk merebut Jawa, pusat pemerintahan Belanda sekaligus markas besar komando militer Sekutu di Asia Tenggara.

Pasukan penyerbu Jepangterdiri atas dua gugus penyerang yang sangat kuat, di sebelah timur dipimpin oleh Laksamana Muda Takahashi sementara di sebelah barat di bawah Laksamana Madya Ozawa, terdiri dari kapal-kapal penjelajah berat dan perusak yang mengawal iring-iringan kapal pengangkut pasukan yang dibayangi oleh kapal-kapal induk pimpinan Laksamana Nagumo. Ini merupakan payung udaranya. Kekuatan penyerbu itu menerpa wilayah Hindia Belanda seperti belalai dua ekor cumi-cumi raksasa. Cumi yang dibarat menuju Kalimantan Utara dan Sumatra melalui Laut Cina Selatan, sementara yang di timur bergerak menuju Kalimantan Timur, Sulawesi, Ambon, Timor dan Bali.

Serangan awal Jepang ditujukan ke Pulau Kalimantan yang kaya minyak. Pada 16 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Miri di Kalimantan Utara, menusuk ke Serawak pada 24 Desember dan kemudian menerobos masuk ke Pontianak yang jatuh ke tangan mereka pada 28 Desember 1941. Pontianak sejak 19 Desember telah dihujani bom dari udara oleh Jepang dikenal luas dengan julukan Peristiwa Kapal Terbang atau Bom Sembilan. Sebuah pasukan Jepang lainnya mendarat di Tarakan dan berhasil merebutnya pada 11 januari 1942. Pada 25 Januari giliran kota Balikpapan yang jatuh ke tangan Jepang.

Setelah berhasil menancapkan kekuasaan di bagian utara, timur dan barat Kalimantan, pasukan Jepang bergerak ke selatan untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Sekutu di pulau tersebut. Samarinda direbut 3 Februari, diikuti oleh jatuhnya Banjarmasin ke tangan Jepang lima hari kemudian. Operasi militer Jepang di Kalimantan baru berakhir setelah jatuhnya Kotawaringin di pantai selatan pada 7 Maret 1942. Bersamaan dengan serangan terhadap Kalimantan, Borneo ketika itu, pasukan Jepang lainnya menyerbu bagian timur kepulauan Hindia.

4. RUNTUHNYA HINDIA BELANDA
Pada pertengahan Februari 1942, pusat pertahanan dan pemerintahan Belanda di Pulau Jawa praktis telah dikepung oleh Jepang, yang berhasil menduduki bagian selatan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali. Satu-satunya garis perbekalan Jawa yang belum diduduki oleh Jepang adalah Australia. Namun pesawat-pesawat terbang Jepang kemudian melancarkan serangan terhadap pelabuhan Australia yang terdekat dengan Jawa, yaitu Darwin. Akibatnya, kapal-kapal Sekutu kemudian ditarik ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih aman sehingga akhirnya Jawa benar-benar terisolasi.

Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Ter Poorten, selaku panglima tentara Sekutu di Hindia Belanda, akhirnya menandatangani dokumen penyerahan kepada Letnan Jenderal Imamura di lapangan terbang Kalijati Jawa Barat ketika itu. Seluruh Hindia Belanda telah ditaklukkan oleh Jepang, dan hampir 100.000 orang Eropa dimasukkan ke kamp-kamp tawanan. Dalam waktu tiga bulan, Belanda kehilangan suatu wilayah jajahan yang telah dikuasainya selama ratusan tahun. Indonesia pun memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya.

Panglima pasukan Jepang di Jawa, Jenderal Imamura, pada 20 Maret mengeluarkan maklumat yang melarang kegiatan berserikat dan berpolitik. Lagu Indonesia Raya pun kemudian dilarang dinyanyikan dalam setiap pertemuan atau upacara apa pun. Sebagai gantinya, mulailah didengungkan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Lagu ini wajib dinyanyikan di sekolah-sekolah dan dalam setiap kesempatan upacara. Bendera merah putih yang semula mulai dikibarkan juga segera lenyap dari peredaran dan digantikan oleh bendera Jepang, Hi-no Maru.

5. KAPAL TERBANG SEMBILAN
Balatentara Jepang mulai menduduki Kalimantan Barat melalui Kota Pontianak sejak Jumat tanggal 19 Desember 1941 pukul 11.00 tengah hari. Hari itu sebagian kaum muslimin tengah sholat Jumat. Jepang membom secara brutal, banyak warga sipil dan anak sekolah yang jadi korban. Pemboman daerah Kampung Bali itu oleh banyak saksi mata dikatakan salah sasaran. Yang dituju pesawat pembom Jepang itu Tangsi Militer Belanda yang ada di hadapannya.

Selanjutnya berturut-turut 19, 22 dan 27 Desember 1941 Kota Pontianak terus menerus dihujani bom sehingga menghanguskan Kampung Bali dan Parit Besar serta bagian wilayah kota lainnya. Kapal Lien dan Irma milik Pontianak River Transport Dient yang merupakan angkutan andalan sungai pada masa itu dibom tenggelam di Sukalanting sekitar 30 Km dari Kota Pontianak. Kapal Sri Kapoeas dan West Borneo tidak diketahui nasibnya. Demikian pula kapal swasta Kong Neng, Kong Fa dan lainnya yang berlayar hingga Putussibau.

Sejumlah sembilan unit pesawat tempur menderu-deru. Kesembilan pesawat itu masing-masing jenis A6M2 Zero yang bertolak dari pangkalan Davao di Mindanao Selatan yang baru ditinggalkan pasukan Amerika. Peristiwa ini dikenal luas kemudian dengan Peristiwa Bom Sembilan atau Peristiwa Kapal Terbang Sembilan. Serangan atas Pontianak dan sekitarnya itu didahului pesawat pengintai C5M2, juga buatan Mitsubishi, satuan pesawat Zero terbang dari Sarawak ke arah Kota Pontianak.

Armada Angkatan Laut Dai Nippon (Kaigun) mendarat di perairan utara Kalimantan Barat di Pemangkat lewat Tanjung Kodok pada 22 Januari 1942. Sedikitnya berjumlah 3.000 orang, mereka berasal dari Sarawak yang merupakan kesatuan tempur dari Pasukan ke-29. Pendaratan itu tidak mendapat hadangan dari tentara Belanda yang sudah kocar-kacir. Meski sempat bertahan di kawasan Gunung Pendering 45 Kilometer arah timur Singkawang. Hampir waktu bersamaan di tempat terpisah, pendaratan itu terjadi pula di Ketapang.

Belanda punya perhitungan lain, membumihanguskan beberapa kota sebelum ditinggalkan, seperti Sambas, Mempawah dan Landak Ngabang.
Dalam perkembangan begitu cepat, Setelah Pemangkat dan Singkawang direbut dan dukuasai, dari sini balatentara Jepang membagi dua kekuatan pasukan militernya. Sebagian bergerak ke arah selatan bergabung dengan pasukan yang telah mendarat lebih dahulu di muara Sungai Kapuas, bagian ini kemudian merebut dan menguasai Kota Pontianak sepenuhnya sejak 2 Februari 1942. Dan bagian keduanya, bergerak ke arah timur tujuan merebut pangkalan udara Sanggau Ledo Singkawang II. Setelah pangkalan udara ini direbut, lumpuhlah kekuatan udara Belanda. Bahkan seluruh kekuatan militer dan kekuasaannya di Kalimantan Barat berakhir.

Awal Februari 1942 Pontianak sepenuhnya diduduki Jepang tanpa perlawanan. Tentara KNIL pimpinan Overste Mars sebelumnya mengundurkan pasukannya ke Nanga Sokan Afdeling Sintang untuk bergabung dengan KNIL di Banjarmasin. Di sana merencanakan bertahan di Gunung Kerihun hulu Kapuas di bawah pimpinan Gubernur Borneo Dr BJ Haga yang telah menyingkir ke pedalaman. Pada 15 Februari Jepang menguasai Banjarmasin, sehingga rencana pemusatan kekuatan di Gunung Kerihun yang strategis di jantung Pulau Borneo tak direalisasikan. Bahkan seluruh KNIL ditawan serdadu Jepang dan dikirim ke rumah penjara Kuching Kamp di Sarawak.

Militer Belanda diperkuat sedikit pasukan KNIL di Pontianak, sebagian melarikan diri ke Ngabang arah timur kota ini. Waktu itu Ngabang telah diduduki Jepang, meski pasukan Jepang yang ada belum dalam jumlah memadai. Menghindari pertempuran dengan Jepang, pasukan Belanda meneruskan pelarian ke Sanggau Kapuas, seterusnya ke Melawi dan Kotabaru Sintang. Akan tetapi sebelum melarikan diri, mereka lebih dahulu menghancurkan jembatan Ngabang yang terkenal besar dan megah di atas Sungai Landak dengan dinamit. Jembatan ini saat diledakkan belum setahun peresmiannya oleh Gezagghebber van Landak AB Fabber dalam Juli 1941.

Gerak cepat menuju Pontianak, Pasukan ke-29 balatentara Jepang Dai Nippon dari Sarawak menangkap lima orang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda di Mempawah. Seorang di antaranya, Controleur Mempawah Jan van Appel langsung dipenggal kepalanya. Sedang empat orang lainnya ditawan ke Pontianak. Di Pontianak, dua orang tawanan merupakan pegawai bank pemerintah Hindia Belanda mengalami nasib yang sama serupa Appel. Disaksikan massa rakyat di pelabuhan Theng Seng Hie tepi Sungai Kapuas Pontianak yang tidak jauh dari Gedung Jacobson van den Berg, keduanya tewas. Sedangkan Dr AJ. Knibbe Controleur Pontianak ditawan, di kamp militer bekas KMK Belanda mendapat penyiksaan berat.

Saat Kalimantan Barat mulai diduduki Jepang, kekuatan militer Belanda sudah tidak seberapa besar untuk ukuran pertahanan daerah. Seluruh kekuatan militer Belanda saat itu 700 personil. Awal Desember 1941, memperkuat posisi ini sekaligus untuk mempertahankan Kalimantan Barat, dari Jawa dikirim delapan brigade di bawah komando Overste Gortmans menggantikan Overste Marks yang sebelumnya selaku Komandan Teritorial. Gortmans mengarahkan pertahanan pasukan ke daerah Sanggau Ledo dan Seluas.

Hingga akhir kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda dalam 1941, kekuatan militer Belanda di sekitar satu batalyon di bawah pimpinan Overste Marks. Masing-masing dengan kekuatan Kompi 1 dipimpin Kapten Martin di Pontianak, Kompi 2 dipimpin Kapten van Sprio di Sintang, Kompi 3 dipimpin Kapten de Houde di Singkawang dan Kompi 4 dipimpin Kapten Touwen di Ketapang. Menjelang pecah Perang Dunia II, kekuatan tersebut ditambah pasukan artileri, kaveleri dan korp kesehatan yang khusus didatangkan dari Jawa.

Adapun yang didatangkan dari Sumatera terdiri dari pasukan Grilya Istimewa satu peleton serta tambahan tenaga lainnya dipimpin Overste Kortman. Dislokasi pasukan diperluas meliputi Ketapang, Sukadana, Ngabang, Nanga Tayap, Sintang, Bengkayang, Pemangkat, Sambas, Sanggau Ledo dan Pontianak. Kekuatan senjata militer Belanda masing-masing 1 Peleton Penangkis Serangan Udara terdiri 3 unit 12,7 dan 2 unit meriam kecil lapangan, 1 Kompi Bantuan Anti Tank dan senapan mesin berat serta 1 Kelompok Kendaraan Lapis Baja.

II. PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG

1. PEMERINTAHAN PENDUDUKAN
Setelah berhasil menaklukkan dan mengamankan wilayah Indonesia, Jepang melakukan reorganisasi di bawah pemerintahan pendudukannya di Asia Tenggara. Indonesia ditempatkan di bawah komando Tentara Wilayah Selatan pimpinan Marsekal Terauchi Hisaichi yang bermarkas di Dalat, Vietnam. Indonesia sendiri kemudian dibagi ke dalam tiga wilayah pendudukan, di mana dua di antaranya dikuasai oleh Rikugun (Angkatan Darat Jepang) yang berada di bawah komando Tentara Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura, sedangkan satu lainnya di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut: Pulau Jawa dan Madura di bawah Osamu Shudan (Tentara ke-16), yang bermarkas di Jakarta. Pulau Sumatra di bawah Tomi Shudan (Tentara ke-25). Pada mulanya, pusat administrasinya berada di Singapura dan pemerintahannya juga meliputi Singapura dan Semenanjung Malaya. Namun pada 1943 Jepang menjadikan Sumatra sebagai zona pemerintahan sendiri di bawah Tentara ke-25, yang kemudian memindahkan pusat administrasinya ke Bukittinggi di Sumatra Barat. Sedangkan Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Dai Ni Nankenkantai (Armada Selatan ke-2) yang bermarkas besa di Makassar.

Pada mulanya, tidak ada kebijakan yang seragam di kalangan pemimpin militer Jepang megenai masa depan Indonesia. Angkatan Laut Jepang bermaksud untuk memasukkan wilayah yang dikuasainya sebagai bagian tetap dari kekaisaran Jepang. Di wilayah di luar Jawa, tak terkecuali di seluruh Kalimantan Barat sekarang, pemerintahan militer Jepang cenderung bersifat sangat menindas.

Sementara itu, Jepang mengaktifkan kembali pemerintahan sipil dengan panglima militer Jepang sebagai pucuk pimpinannya. Pucuk pimpinan pemerintahan militer itu disebut sebagai Gunsereikan atau Saiko Sikikan dan berkedudukan di Saigon. Kekuasaan tertinggi di setiap wilayah pendudukan dipegang oleh masing-masing panglima tentara atau armada, sementara pemerintahan daerah militer dipimpin oleh kepala staf tentara sebagai seorang gubernur militer (gunseikan) kantornya disebut Gunseikanbu.

Wilayah Indonesia Timur yang dikuasai oleh Angkatan Laut diperintah oleh Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil) yang berpusat di Makassar. Kepala pemerintahannya disebut sebagai sokan (inspektur jenderal). Di bawah minseifu terdapat tiga minseibu, yaitu Kalimantan (pusat pemerintahan di Banjarmasin), Sulawesi (pusat pemerintahan di Makassar) dan Sunda Kecil (pusat pemerintahan di Singaraja). Daerah-daerah minseibu ini kemudian dibagi lagi menjadi shu, ken, bunken, gun, dan son.

Di bawah pemerintahan Belanda, keamanan dan ketertiban berarti bahwa bangsa Indonesia harus bersikap pasif, namun Jepang mengartikannya sebagai usaha untuk memobilisasi seluruh bangsa Indonesia bagi tujuan-tujuan perangnya.

2. KEBIJAKAN INDONESIANISASI
Selama masa pendudukannya, Jepang memberikan peluang luas bagi orang-orang Indionesia untuk duduk dalam struktur pemerintahan. Hal ini terutama dikarenakan banyaknya jabatan yang lowong akibat ditinggalkan oleh para pejabat Belanda serta demi kepentingan propagandanya sendiri sebagai pembebas bangsa Indonesia.

Pada awalnya, Jepang berusaha untuk menyingkirkan kaum feodal lokal dari struktur pemerintahannya. Bahkan pada hari-hari pertama penyerbuan mereka, orang Jepang mendorong kelompok-kelompok radikal untuk menyerang para bangsawan yang didentikannya dengan kaki tangan Belanda. Namun akhirnya Jepang harus realistis dalam mengendalikan pemerintahannya. Sekalipun para atau para mantan guru loyalitasnya dinilai cukup tinggi daripada para bangsawan, namun umumnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam birokrasi pemerintahan. Akibatnya, Jepang terpaksa merekrut kembali para ambtenaar dari masa kolonial Belanda untuk menduduki jabatan lamanya.

Dalam upayanya untuk membangkitkan dan mengobarkan perasaan anti-Barat di kalangan bangsa Indonesia, Jepang memopulerkan lagu-lagu yang syairnya membakar semangat anti-Sekutu. Ungkapan “Inggris kita linggis, Amerika kita seterika” menjadi ungkapan pembangkit semangat. Sementara itu simbol-simbol kekuasaan penjajah Belanda yang dibenci disingkirkan.

Sekalipun pemerintah pendudukan mempropagandakan pesan mengenai kepemimpinan Jepang di Asia, mereka tidak berusaha mengembangkan secara paksa kebudayaan Jepang dalam skala besar. Usaha untuk menjepangkan kehidupan sehari-hari penduduk Indonesia sendiri terbatas pada pengubahan waktu Jawa menjadi waktu Tokyo, yang berbeda satu setengah jam, pengubahan tahun kalender Masehi menjadi tahun kalender Showa, 1942 menjadi 2602, menetapkan hari raya Jepang untuk diperingati, seperti Tencho setsu—hari lahir Tenno Haika pada 29 April, upacara bendera wajib, yang terdiri atas penghormatan terhadap bendera Hinomaru dan saikerei, dan menetapkan bahasa Jepang sebagai bahasa utama.

Kelihatannya, Jepang memercayai bahwa orang Indonesia, sebagai sesama orang Asia, pada dasarnya sama dengan diri mereka sendiri namun telah tercemar akibat penjajahan Barat selama tiga abad lebih. Bagi Jepang, apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah suntikan seishin (semangat) gaya Jepang.

III. MILITERISASI BANGSA INDONESIA

1. KEBIJAKAN PERLAWANAN SEMESTA
Sejak awal masa pendudukannya di Asia Tenggara, Jepang telah merencanakan pembentukan satuan tentara cadangan dari penduduk pribumi yang berada di bawah kekuasaannya. Kebijakan tersebut tercantum dalam rencana induk yang dikeluarkan oleh Markas Besar Tertinggi Angkatan Darat di Tokyo. Instruksi tersebut kemudian dipertegas oleh Kementerian Angkatan Darat Jepang sekitar April 1942. Pada 29 Juni 1942, Markas Besar Tertinggi Angkatan Darat Jepang menyampaikan sebuah instruksi kepada Markas Besar Umum Tentara Wilayah Selatan Jepang yang berada di Saigon untuk mengatur sebuah organisasi militer cadangan yang beranggotakan penduduk pribumi untuk membantu pasukan Jepang di wilayah tersebut. Akan tetapi, pada mulanya perintah tersebut tidak segera dilaksanakan karena angkatan perang Jepang masih terus menerus meraih kemenangan sehingga mereka menganggap belum perlu mendapatkan dukungan militer dari penduduk lokal.

Keadaan berubah secara drastis ketika perang Jepang melawan Sekutu mengalami kemunduran sejak awal 1943. ketika Sekutu mulai melancarkan serangan balasan dan Jepang terpaksa mengerahkan semakin banyak pasukannya ke garis depan sehingga mengancam posisinya sendiri di daerah-daerah pendudukan, perekrutan penduduk pribumi menjadi kekuatan cadangan tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Staf Tentara Jepang di Wilayah Selatan Letnan Jenderal Inada Masazumi, setelah dia memeriksa kekuatan militer Jepang yang semakin melemah di Asia Tenggara, tak terkecuali Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Saran Inada tersebut disetujui oleh Jenderal Tojo dan Kepala Urusan Militer Kementerian Angkatan Darat Jepang, jenderal Kenryo Soto.

Pada 29 April 1943, bertepatan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang, penguasa Jepang di Jakarta mengumumkan pembentukan sistem perlawanan semesta dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil dengan memasukkan disiplin militer ke dalamnya. Bagian terdepan dari sistem pertahanan semesta Jepang ini adalah Tonarigumi. Kelompok yang terdiri atau 10 sampai 15 keluarga ini merupakan cikal bakal dari rukun tetangga yang dikenal sekarang. Lima atau enam tonarigumi kemudian digabungkan ke dalam Chokai (rukun kampung). Dengan sistem ini, Jepang dapat mengontrol keadaan setiap kampung serta memobilisasi sumber daya alam dan manusianya untuk kepentingan perang mereka, termasuk memobilisasi para pemuda dan pemudi Indonesia ke dalam berbagai formasi semimiliter dan militer bentukannya.

Pada 29 April tersebut, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Keibodan (Korps Kewaspadaan), yang bertugas sebagai barisan pembantu polisi. Barisan ini ditugaskan untuk pengamanan desa, pengaturan lalu lintas, dan berbagai pekerjaan polisi lainnya. Pada mulanya, anggota Keibodan diharuskan berusia antara 20 hingga 35 tahun. Akan tetapi, ketika orang-orang yang lebih muda dan fit semakin dibutuhkan untuk tugas-tugas di garis depan, usia minimal anggota Keibodan dinaikkan menjadi 26 tahun.

2. BARISAN SEMI-MILITER
Selain di Jawa, keibodan dibentuk pula di Kalimantan disebut sebagai Borneo Konan Hokokudan. Tidak seperti di Jawa, zona pendudukan Jepang ini tidak terdapat suatu markas besar terpusat bagi barisan ini. Sebaliknya, setiap syu memimpin langsung organisasi lokalnya. Bersamaan dengan pembentukan Keibodan, Jepang mengumpulkan para pemuda yang berusia 14 hingga 29 tahun ke dalam Seinendan (Barisan Pemuda). Barisan ini secara langsung berada di bawah pimpinan Gunseikan sebagai dancho (komandan). Di bawahnya, struktur kepemimpinan barisan ini adalah fuku dancho (wakil komandan), komon (penasehat), sanyo (anggota dewan pertimbangan), dan kanji (administrator).

Sekalipun mendapatkan pelatihan dasar-dasar kemiliteran, namun anggota Seinendan tidak menggunakan senjata yang sebenarnya. Tugasnya adalah sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Seindendan memiliki canag di setiap tingkatan wilayah administratif, yaitu dari tingkat Si hingga Shu. Selain itu, di pabrik-pabrik dibentuk pula Seinendan Kojo, sementara di daerah perkebunan dibentuk Seindendan Jigyogo. Seinendan juga memiliki cabang yang beranggotakan kaum wanita yang disebut Josyi Seindendan (Seindendan Putri).

Untuk melatih para kader pemimpin Seinendan, dibentuklah sebuah Seinen Kunresho (Pusat Pelatihan Korps Pemuda Pusat) di jakarta. Pusat ini berada di bawah pengawasan langsung Gunseikanbu. Kebijakan militerisasi Jepang juga mencakup para pelajar, di mana setiap sekolah lanjutan dibentuk Gakkutotai (Barisan Pelajar). Berkaitan dengan hal ini, setiap sekolah lanjutan dijadikan sebagai markas chutai (kompi) sementara tiap kelas merupakan shotai (seksi). Setiap shotai kemudian dibagi lagi menjadi butai (regu).

Para pelajar putra mendapatkan pelatihan dasar militer agar dapat menjadi bibit-bibit bagi berbagai barisan militer buatan Jepang. Setiap murid pria dilengkapi dengan bedil kayu yang dinamakan mokuju, sedangkan wakil kelas atau pimpinan regu membawa pedang dari kayu jati yang disebut katana. Guna menanamkan dan mempertebal semangat keprajuritan, latihan sering kali diadakan secara mendadak. Biasanya pada saat-saat para siswa bersiap-siap untuk pulang. Sedang lapar-laparnya di terik panas matahari para siswa dilatih berbaris, berlari-lari dan berguling-guling di lapangan rumput di halaman sekolah atau di antara semak-semak belukar yang berduri di luar sekolah.

Mereka diajari cara merayap (hofuku) sambil menenteng senapan kayu menembus belukar, melompat dan berlari maju sambil menusuk-nusukkan bedil kayu seolah-olah ada bayonetnya, maju mundur ke depan seolah-olah membunuh musuh sambil berteriak. Dengan sendirinya tidak jarang hatuh korban yang pingsan karena keletihan akibata latihan yang dinamakan kyoren tersebut.

3. BARISAN MILITER
Ketika Jepang semakin terdesak, mereka juga mendorong para pemuda Indonesia untuk mengikuti teladan mengorbankan nyawanya untuk Kaisar seperti yang dilakukan para saudara tuanya dari Negeri Matahari terbit itu. Hal ini menyebabkan pendirian Jibakutai (Barisan Berani Mati), yang dibentuk 8 Desember 1944. barisan ini didirikan dengan mengikuti contoh para penerbang kamikaze Jepang. Sekalipun terdapat permusuhan di antara bangsa Jepang dengan bangsa Cina, beberapa petinggi Jepang mendukung pembentukan kelompok-kelompok semi-militer di kalangan orang Cina. Sebuah barisan semacam keibodan juga dibentuk di kalangan masyarakat Cina dengan nama Kakyo Keibotai.

Ketika perang Jepang melawan Sekutu mulai terdesak, Jepang mulai memobilisasi para pemuda Indonesia untuk membantuknya secara militer. Pada 22 April 1943, Komando tertinggi Wilayah Militer di Saigon mengumumkan dibukanya kesempatan bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi heiho (pembantu tentara). Sendenbu mempropagandakan kedudukan heiho sebagai suatu kesempatan untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa.

Banyak pemuda Indonesia yang mendaftarkan diri untuk menjadi heiho. Setelah mendapat latihan militer beberapa bulan secara efektif, ribuan heiho diberangkatkan ke berbagai medan perang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Tempat-tempat yang menjadi medan pertempuran antara lain adalah front Burma, Rabaul, Morotai, Balikpapan, dan sebagainya. Menurut kepala seksi operasi Tentara ke-16, secara militer heiho lebih baik dan lebih terlatih daripada Peta dan mempunyai kemampuan bertempur menggantikan prajurit Jepang. Anggota heiho terutama bertugas di unit-unit penangkis serangan udara, artileri lapangan, tank, mortir dan transportasi.

Ketika Jepang semakin terdesak oleh Sekutu dan kehilangan banyak prajurit, mereka semakin giat merekrut heiho. Sendenbu tidak henti-hentinya mempropagandakan kepahlawanan para heiho untuk menarik para pemuda agar mau bergabung dengan barisan itu. Di antara propaganda itu terdapat kisah rekaan tentang “Heiho Amat” yang berjibaku (melancarkan serangan bunuh diri) ke kubu musuh dengan menjinjing bom. Bom itu meledak di kubu musuh dan tubuh Amat pun hancur.

Perekrutan heiho untuk unit-unit Angkatan Darat jepang kemudian diikuti oleh perekrutan kempeiho bagi Kempeitai maupun Kaigun heiho bagi Angkatan Laut Jepang. Pasukan heiho tidak memiliki komandan bangsa Indonesia sendiri, namun berada di bawah komando tentara Jepang. Jepang tidak memberikan latihan teori maupun organisasi kepada para sukarelawan. Latihan utama ditekankan pada stamini fisik dan seishin (semangat), sama seperti yang telah ditekankan oleh Jepang dalam pelatihan yang mereka berikan di berbagai pusat pelatihan, sekolah, dan barisan pembantu yang didirikannya. Dalam hal ini, para sukarelawan dilatih untuk memiliki keberanian besar sehingga tidak mempedulikan rasa sakit ataupun kematian sekalipun.

Namun usaha Jepang untuk melatih unit-unit semimiliter dan militer pribumi sebagai usaha terakhir untuk menunjang kemampuan pertahanan Indonesia dari ancaman serangan Sekutu menunjukkan kerapuhan ketika mereka semakin terdesak di berbagai front. Seperti juga di kalangan penduduk Indonesia biasa, di sejumlah unit militer Indonesia yang dilatih jepang muncul kegelisahan yang semakin meningkat akibat tiga setengah tahun pendudukan Jepang yang sewenang-wenang. Pada akhirnya, kegelisahan ini melahirkan reaksi perlawanan terhadap Saudara Tua mereka.

IV. KEBIJAKAN EKSPLOITASI DAN PEREKONOMIAN

1. KEBIJAKAN EKSPLOITASI
Selama pendudukannya di Indonesia, pemerintah militer Jepang berusaha memobilisasi seluruh sumber daya Indonesia demi kepentingan perangnya. Dalam hal ini, Sendenbu (dinas propaganda Jepang) menganjurkan agar rakyat Indonesia memberikan dukungan sepenuhnya kepada Saudara Tua mereka yang sedang melaksanakan perang suci untuk membangun kemakmuran bersama bagi bangsa-bangsa di kawasan Dai Toa (Asia Pasifik). Agar kemenangan akhir dari perang suci itu cepat terwujud, seluruh bangsa Indonesia harus ikut serta mengerahkan tenaga dan hartanya.
Balatentara Jepang yang bertempur di garis depan membutuhkan bantuan tenaga kerja untuk membangun berbagai sarana dan prasarana militer. Dari kebutuhan ini muncullah apa yang disebut sebagai romusha. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti serdadu pekerja. Perekrutan para serdadu pekerja ini di Indonesia hanyalah kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jepang di berbagai wilayah yang telah dikuasainya, di mana mereka secara teratur membentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi untuk menjadi buruh kasar di bawah pengawasan Jepang.

Pada mulanya, tenaga romusha bersifat sukrela dan terdiri atas para pengangguran yang mencari kerja. Gelombang pertama rombongan romusha dilepas dengan upacara kebesaran, namun rombongan berikutnya tanpa upacara lagi. Ketika kebutuhan akan tenaga romusha semakin meningkat, Jepang tidak lagi mengandalkan tenaga sukarelawan namun memerintahkan para kepala desa untuk menyediakan warganya guna menjalankan tugas itu. Bahkan pasukan Jepang melakukan razia dan mengambil siapa pun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha.

Di tempat kerjanya, orang-orang yang disanjung-sanjung sebagai pahlawan oleh propaganda Jepang itu ternyata diperlakukan lebih buruk daripada pekerja rodi pada zaman Daendels. Mereka harus bekerja berat tanpa mengenal batas waktu dengan ransum yang sangat minim. Adapun pekerjaan yang harus mereka lakukan adalah membuat kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah di daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer di garis depan. Jumlah mereka cepat sekali menyusut, di mana sebagian besar mati karena kelaparan dan penyakit, sementara sisanya dibunuh.

Sekalipun sudah merekrut begitu besar jumlah romusha, penguasa Jepang masih merasa harus memproleh tambahan tenaga kerja lebih besar lagi untuk kepentingan perang mereka. Untuk itu penguasa militer mewajibkan setiap warga yang tidak menjadi romusha untuk melakukan kinrohoshi, atau kerja bakti. Tugas bekerja tanpa upah untuk kepentingan umum ini meliputi pekerjaan dari membersihkan got, memperbaiki jembatan dan jalan hingga membantu pembangunan lapangan terbang.

Pemerintah militer Jepang juga meminta kerelaan penduduk untuk menyumbangkan perhiasannya agar dapat digunakan sebagai dana guna mempercepat tercapainya kemenangan akhir dari Perang Asia Timur Raya. Anehnya, banyak penduduk di desa dan kota, termasuk orang-orang berpendidikan, yang termakan oleh propaganda tersebut dan beramai-ramai menyumbangkan logam mulia milik mereka.

2. KONDISI PEREKONOMIAN RAKYAT
Pada masa pendudukan Jepang tidak ada perbaikan atau pembangunan sarana ekonomi yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Bahkan orang Jepang malah mengacaukannya. Setelah menyerahnya Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan Barat yang penting diambil oleh zaibatsu (konglomerat Jepang) sementara sisanya dikuasai para pengusaha kecil yang membentuk sindikat. Prioritas diberikan kepada berbagai kebutuhan masa perang, memperbaiki kilang-kilang minyak, mengubah pabrik-pabrik yang ada untuk memproduksi keperluan perang.

Kebijakan tersebut segera menghancurkan perekonomian Indonesia. Produksi perkebunan segera merosot tajam, terutama karena menurunnya permintaan ekspor maupun kebutuhan untuk memperluas areal pertanian untuk keperluan pangan. Produksi karet merosot tajam hingga 80 persen. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama bagi prajurit Jepang yang bertempur di garis depan, para petani diwajibkan menyerahkan sebagian besar hasil panen padi dan jagungnya.

Para petani, yang sebelumnya bebas menanam apa saja di tanah garapannya, diharuskan menanam tanaman yang sesuai dengan ketetapan pemerintah Jepang. Mereka juga diwajibkan secara paksa untuk menanam tanaman jarak yang buahnya dapat menghasilkan minyak pelumas bagi pesawat terbang maupun pojon kapas untuk bahan akaian serdadu Jepang. Selain itu, setiap halaman rumah penduduk harus dimanfaatkan untuk menambah kebutuhan pangan seperti singkong, ubi, jagung dan sebagainya.

Kebijakan yang tidak memedulikan kebutuhan hidup penduduk Indonesia ini segera mengundang bencana ketika arah peperangan semakin merugikan Jepang pada akhir 1944. kondisi ini semakin diperburuk oleh blokade ekonomi secara total oleh pihak Sekutu terhadap semua kepentingan Jepang. Akibatnya, banyak komoditas yang menjadi primadona wilayah ini tidak dapat dijual ke pasar. Bahkan yang diperlukan Jepang pun tidak dapat dikapalkan secara memadai. Sebagai contoh, pada 1943, produksi karet Indonesia merosot tinggal seperlima produksi 1941.

Kondisi ekonomi ini semakin diperparah oleh kebijakan Jepang yang melikwidasi semua bank asing dan menggantikannya dengan Nanpo Keihatsu Kenso (Bank pembangunan Wilayah Selatan), yang mengeluarkan mata uang pendudukan yang tidak bernilai. Akibatnya, inflasi pun merangkak naik, terutama sejak 1943. pada pertengahan 1945, mata uang Jepang begitu merosot nilainya hingga hanya sekitar 2,5 persen dari nilai nominalnya. Tingkat inflasi yang tinggi serta langkanya kebutuhan menimbulkan kesengsaraan di kalangan rakyat biasa. Penyakit kulit mewabah akibat kondisi pakaian yang tidak menunjang dikarenakan banyak orang terpaksa memakai kain goni.

Melihat kenyataan yang bertolak belakang dengan janji dan isi propaganda Jepang tersebut, maka tidaklah mengherankan apabila masyarakat menyebut masa pendudukan Jepang sebagai zaman merosot, berlawanan dengan masa kolonial Belanda yang disebutnya sebagai zaman normal. Tindakan sewenang-wenang yang diperlihatkan tentara Jepang secara perlahan-lahan mengikis kekaguman serta rasa hormat rakyat Indonesia kepada mereka dan mengubahnya menjadi dendam kesumat. Akan tetapi, pada mulanya perasaan tersebut kebanyakan dipendam karena ketakutan terhadap polisi militer Jepang.

V. PENINDASAN DAN PERLAWANAN

1. PENINDASAN
Alat utama Jepang untuk menjaga keamanan dan ketertiban di daerah yang dikuasainya adalah polisi militer yang disebut Kempeitai di wilayah kekuasaan Angkatan darat dan Tokkeitai di daerah yang berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut. Sebenarnya, tanggung jawab terbesar dari polisi militer ini berkaitan pada pemeliharaan disiplin tentara, di mana mereka mendapatkan kewenangan dan kekuasaan yang amat besar.
Di daerah pendudukan, badan-badan polisi militer ini mendapatkan kewenangan untuk mengusut dan melacak serta menghancurkan semua kelompok maupun perorangan yang menentang atau menolak kekuasaan Jepang. Oleh karena itu mereka memiliki kekuasaan dan kewenangan yang hampir tidak terbatas untuk mengambil tindakan. Mereka pun menjadi alat penindas dari tentara pendudukan Jepang terhadap penduduk setempat. Polisi militer Jepang amat ditakuti karena terkenal sangat kejam dan sadis dalam memperlakukan tahanannya. Siapa saja yang menjadi tahanan Kempetai atau Tokkeitai, kecil kemungkinan bisa keluar selamat dalam keadaan utuh.

Terungkap dalam sebuah pengadilan militer Belanda di Pontianak yang diadakan dalam 1946 terhadap para pejabat Kempeitai Pontianak berbagai cara penyiksaan biadab yang dilakukan mereka terhadap para tawanan. Para algojo tersebut melakukan penyiksaan dengan berbagai perangkat, seperti tinju, pentungan karet, besi batangan, tongkat kayu, pedang bersarung, kabel listrik yang dipilinkan, dan cambuk. Teknik penyiksaan yang digunakan pun beraneka ragam. Beberapa tawanan dibanting dengan teknik judo, sementara yang lainnya disudut dengan rokok yang menyala. Salah satu cara penyiksaan favorit mereka adalah mencabut kuku korbannya.

Bentuk interogasi lainnya yang disukai adalah dengan apa yang disebut Kempeitai sebagai terapi air. Dalam hal ini, tawanan dipaksa membuka mulutnya lebar-lebar sehingga penyiksanya dapat mencurahkan air ke dalam mulutnya dengan menggunakan selang yang dihubungkan pada kran air leding atau memakai corong air ember. Petugas yang melakukan interogasi kemudian menginjak-injak perut tawanan malang itu. Setelah itu, mereka menyeterum bagian tubuh yang peka setelah menyiram si tawanan dengan air. Nasib tawanan wanita lebih buruk lagi. Banyak di antaranya yang diperkosa. Seringkali perkosaan dilakukan berulang kali oleh banyak petugas sehingga beberapa di antara tawanan tersebut tertular penyakit kelamin.

Tertulis pula sebuah peristiwa yang diceritakan oleh seorang prajurit Jepang, sebagai berikut.

“Pada suatu hari Letnan Dua Ono berkata kepada kami. Kamu sekalian belum pernah membunuh seseorang, karena itu pada hari ini kita melakukan latihan membunuh. Hangan menganggap orang Cina ini sebagai manusia. Anggaplah mereka lebih kurang dari anjing atau kucing. Jadilah berani! Siapa yang secara sukarela akan melakukan latihan membunuh, majulah ke muka. Karena tidak ada yang maju, sang letnan itu hilang kesabarannya. Kamu sekalian pengecut. Tidak ada seorangpun dari kalian pantas untuk menamakan dirinya serdadu Jepang! Karena tidak ada yang sukarela, maka saya perintahkan kalian. Kemudian ia mulai memanggil nama-nama kami: Otani, Furukawa, Ueno, Tajima (Oh, Tuhan, saya juga).
Saya angkat bedil serta bayonet dengan tangan yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah-serapah sang letnan yang hampir histeris. Saya berjalan pelan-pelan ke pria Cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat, liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya, dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya, saya menancapkan bayonet itu ke tubuh Cina yang menjadi tegang itu. Waktu saya membuka mata saya, saya melihat orang Cina itu jatuh perlahan ke dalam liang kuburannya. Pembunuh kriminal, begitu saya memanggil diri saya”.

Kekejaman Kempeitai sendiri tidak terlepas dari latar belakang kebanyakan anggotanya. Sebagian besar anggotanya berasal dari keluarga petani dengan ciri “berpikir secara tidak rasional, memiliki kecintaan yang berlebihan terhadap tanah air, dan cenderung berpikiran sempit”. Dengan kata lain, petugas patuh yang bodoh dan fanatik. Kenyataan ini menjadi lebih berbahaya karena mereka diberikan kewenangan untuk bertindak sendiri secara bebas. Dari Tokyo sendiri tidak ada tuntunan atau pengarahan tugas, sementara para pemimpin Kempeitai cendrung suka menutup-nutupi kesalahan anak buahnya. Apalagi harus diingat bahwa para pemimpin Kempeitai juga merangkap tugas sebagai ketua majelis mahkamah militer.

Fakta bahwa pollisi militer dan mahkamah militer itu menyatu membuat kekuasaan Kempeitai menjadi semakin besar, di mana mereka dapat saja memilih untuk menyelesaikan suatu perkara tanpa melalui proses pengadilan. Selama periode ini, pejabat Kempeitai dapat menjatuhkan vonis, termasuk vonis hukuman mati, hanya melalui persetujuan seorang perwira staf Tentara ke-16. pada periode seperti ini, berlaku peraturan bahwa vonis-vonis hukuman mati dilaksanakan secara diam-diam dan rahasia.

Untuk memperkuat cengkeramannya, Kempeitai diperkuat dengan tenaga-tenaga Indonesia, Cina, Arab dan beberapa orang Belanda. Selain bekerja sebagai penerjemah, banyak di antaranya yang bertindak sebagai sel mata-mata. Di samping pegawai tetap, ada pula orang-orang yang bekerja secara insidentil, yaitu untuk mendapatkan imbalan atas setiap jasa yang diberikannya. Keberadaan mereka menimbulkan kengerian yang sangat besar di kalangan penduduk. Pembantu utama Kempeitai di kalangan penduduk Indonesia adalah PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Badan ini sebenarnya pernah menjadi bagian dari kepolisian Hindia Belanda pada zaman kolonial dan tersebar di seluruh Indonesia. Tugas utama PID adalah memonitor siaran radio gelap, meniupkan kabar angin, melacak mata-mata musuh dan kepemilikan benda-benda yang terlarang, seperti senjata api ilegal, sera mengukur semangat dan pikiran rakyat, terutama apabila Jepang mengeluarkan suatu kebijakan baru. Akan tetapi, banyak pula di antara mereka yang menjadi algojo Jepang, di mana mereka minimal sama kejamnya dengan atasan Kempeitai-nya.

2. BERGERAK SELAGI BERNAPAS
Sekalipun namanya tidak setenar rekan kempeitai mereka di Indonesia, sikap Tokkeitai tidak kalah kejamnya. Bahkan mereka terlibat dalam pembunuhan besar-besaran paling mengerikan dalam sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, Jepang melancarkan pembunuhan besar-besaran secara sistematis di Kalimantan (Barat). Tokkeitai menuduh bahwa telah terjadi suatu persekongkolan anti-Jepang di wilayah tersebut dan berusaha membenarkan tuduhan yang dibuat-buat itu melalui sejumlah besar pengakuan yang diambil di bawah siksaan. Dengan cara ini mereka mendapatkan pembenaran untuk mengeksekusi sedikitnya 63 orang sipil yang tidak bersalah setelah mendakwanya dalam sejumlah pengadilan mata-mata. Akan tetapi, orang Jepang kemudian meniadakan praktik pengadilan sandiwara itu dan semakin sering melakukan eksekusi tanpa pengadilan.

Penangkapan-penangkapan dilakukan secara mengerikan. Para korban diselubungi dengan karung pucuk, taplak meja, sarung bantal, dan sebagainya. Mereka kemudian digiring ke mobil-mobil yang terkenal sebagai auto sungkup. Penduduk lokal Kalimantan Barat menyebut masa itu sebagai masa sungkup merajalela. Dengan penjagaan ketat yang dilakukan di jalan-jalan, maka auto sungkup itu mondar-mandir mengambil dan mengantar mangsanya.

Secara keseluruhan sedikitnya terdapat 1.000 orang yang dibunuh di Mandor, 240 orang dibunuh di Sungai Durian, 100 orang di Ketapang dan banyak lagi korban yang tidak diketahui jumlahnya di Pontianak. Di antara para korban terdapat beberapa penguasa otonom lokal di Kalimantan Barat, termasuk sultan Pontianak dan sejumlah kerabatnya, beberapa orang Indonesia mantan pejabat di masa sebelum pendudukan Jepang, dan banyak pengusaha serta tokoh masyarakat Tionghoa serta Indonesia lainnya.

Aksi pembunuhan itu sendiri dilakukan atas perintah Markas Besar Angkatan Laut Jepang di Surabaya. Menurut kesaksian Letnan Yamamoto dari Tokkeitai setelah perang di depan sebuah pengadilan militer Sekutu, hanya 63 orang korban yang pernah diadili. Itu pun hanya pengadilan sandiwara. Sedang sedikitnya 1.000 orang korban lainnya, Yamamoto menyebut angka 1.340 korban, tidak pernah diadili karena dianggap hanya membuang-buang tenaga dan waktu saja.

Pada Agustus 1944, Tokkeitai melanjutkan kampanye penindasannya dengan menghukum mati 120 orang sipil Tionghoa di Singkawang, di mana hanya 17 orang yang melewati proses pengadilan setelah memberikan pengakuan akibat disiksa. Menurut penerjemah Jepang Hayashi yang terlibat dalam penyelidikan terhadap apa yang disebut sebagai Komplotan Kedua ini, komplotan yang dituduhkan itu sebenarnya tidak pernah ada. Satu-satunya motif dari pembunuhan tersebut adalah keserakahan dari pihak Tokkeitai. Pengakuan para korban bahkan sudah dibuat sebelumnya dan tinggal ditandatangani sesudah penyiksaan. Mereka semuanya dihukum mati. Para korban merupakan orang-orang kaya dan penting di daerah itu sehingga lebih baik dibunuh. Dengan demikian uang dan harta mereka dapat disita oleh Tokkeitai.

Setelah perang, seorang letnan Jepang, Hayashi, memberikan kesaksian mengenai pembunuhan terhadap penduduk setempat sebagai berikut. “Penduduk pribumi dibunuh dengan cara ditusuk dengan bayonet, tiga-tiga orang dalam setiap kesempatan, oleh 21 orang prajurit Jepang. Setelah eksekusi ini, saya mendirikan sebuah rumah bordil di mana saya memaksa para gadis setempat menjadi pelacur sebagai hukuman atas tindakan ayah mereka”. Bagian terakhir dari kesaksian sang letnan membongkar praktik kejam lainnya dari balatentara Jepang di Indonesia, yaitu kasus jugun ianfu.

Dalam arti lurusnya, jugun ianfu berarti wanita penghibur yang mengikuti tentara. Dalam dokumen-dokumen resmi tentara Jepang, nama resmi para wanita penghibur ini adalah teishintai, atau barisan sukarela penyumbang tubuh. Pada kenyataannya, banyak di antara para jugun ianfu bukanlah wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara sukarela dengan tubuh mereka. Praktik jugun ianfu pertama kali diadakan balatentara Jepang di Korea, wilayah yang dikuasainya sejak akhir abad ke-19. Korea juga menyumbangkan kontingen jugun ianfu terbesar, di mana sekitar 200.000 orang wanita dari negeri itu pernah dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.
Menurut laporan, banyak terjadi tindak kekejaman terhadap wanita-wanita yang malang itu. Sebagai contoh, apabila ada di antara mereka yang menolak memenuhi nafsu tentara Jepang dia akan dihukum dengan cara mengerikan. Bahkan wanita penghibur yang diketahui mengidap penyakit kelamin dibakar hidup-hidup. Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka uga mengambil wanita-wanita lokal Kalimantan Barat untuk menjadi jugun ianfu. Tidak semua perekrutan jugun ianfu dilakukan secara halus. Sebuah dokumen 13 Maret 1946 yang ditulis oleh para penuntut Belanda menyatakan kesaksian seorang pegawai sipil dalam tentara Jepang yang menceritakan bagaimana seorang perwira memaksa sejumlah wanita pribumi di Kalimantan (Barat) melakukan tindak asusila.

3. RAKYAT BERONTAK
Zaman pendudukan Jepang merupakan salah satu periode terkelam dalam sejarah Indonesia. Romusha, kinrohoshi, penyungkupan dan jugun ianfu merupakan sebagian dari istilah Negeri Matahari Terbit itu yang melambangkan penderitaan bangsa Indonesia selama masa pendudukan Jepang. Namun periode ini juga ditandai dengan dorongan terhadap nasionalisme Indonesia yang dilakukan oleh balatentara Dai Nippon, yang pada akhirnya membuka jalan kolektif bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di Kalimantan Barat, gerakan perlawanan terhadap Jepang, seperti juga kerja sama dengan mereka yang ditempuh para kolaboratornya, muncul karena berbagai macam harapan yang berbeda. Pada mulanya, gerakan perlawanan di Kalimantan Barat terutama dilakukan karena keterikatan dengan Belanda dan Sekutu ataupun karena ideologi anti-fasis. Kelompok pertama terutama dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang kebanyakan di antara mereka di masa sebelum pendudukan Jepang aktif bergerak di tengah-tengah masyarakat, maupun bekas anggota KNIL.

Sementara itu, dendam kesumat rakyat Kalimantan Barat terhadap kebijakan sewenang-wenang Jepang semakin bertambah oleh disiplin keras yang diterapkan pemerintahan militer negara matahari terbit tersebut. Orang Kalimantan Barat yang hidup pada masa ini masih mengenang bagaimana mereka dipaksa membungkuk untuk menghormati tentara Jepang dan betapa seringnya kekerasan fisik dilakukan terhadap mereka secara teratur. Oleh karena orang Kalimantan Barat menganggap kepala sebagai bagian tubuh yang sangat sakral, tamparan di muka seperti yang sering dilakukan oleh tentara Jepang dianggap sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap kehormatan diri. Dendam kesumat ini akhirnya pecah menjadi perlawanan rakyat.

Tidak semua perlawanan rakyat tersebut dapat ditindas oleh Jepang. Pada awal 1945, orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di pedalaman Kalimantan (Barat) bangkit melawan Jepang. Pasukan Jepang, yang sibuk menghadapi pendaratan pasukan Sekutu di Kalimantan Utara dan Timur, menjadi kelabakan menghadapi serangan di garis belakangnya ini. Kegarangan orang Dayak dalam bertempur membuat banyak prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Bahkan para pemberontak berani mendemonstrasikan keberaniannya memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk senapan lantak, tombak, parang, mandau dan sumpit.

Perlawanan terhadap Jepang bahkan menyebar ke sejumlah unit militer bentukan mereka sendiri. Kesengsaraan yang diderita oleh rakyat di sekelilingnya dan perlakuan buruk perwira Jepang, merupakan pendorong utama dari pemberontakan-pemberontakan ini. Berita kekejaman Jepang menyulut amarah rakyat di Kalimantan Barat. Muncul perlawanan masyarakat Dayak. Pertengahan Februari 1945 di Nitinan, Pangsuma bersama suku Dayak lainnya melakukan semacam aksi balas dendam. Pangsuma memenggal Kusaki pempinan perusahaan perkayuan tempatnya bekerja. Mereka kemudian membakar satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komantan Kempeitai Kaisu Nagatani di Meliau. Seorang pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi juga dipenggal.

Peristiwa itu membuat semangat di kalangan suku Dayak berkobar. Gerakan perlawanan berkembang luas ke segenap rumpun Dayak di hulu, pesisir dan pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito dan Mahakam. Jepang yang makin panik mengerahkan pasukannya. Terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pangsuma dan militer Jepang di Meliau. Pangsuma dan sejumlah patriot Dayak seperti Panglehan tewas. Perlawanan laskar Pangsuma dilumpuhkan. Tapi cita-cita patriot itu terkabul. Berselang tiga bulan setelah Pangsuma gugur, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diproklamirkan.

BAGIAN KE DUA: JEPANG MEMBANTAI

1. KALIMANTAN BARAT BERKABUNG
Mandor Kabupaten Landak, kota kecamatan 88 km timur Pontianak. Sebuah tragedi sejarah terjadi 65 tahun silam. Tentara pendudukan Jepang melakukan pembantaian masal di Kalbar terhadap kalangan feodal lokal, cerdik pandai, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama.

Borneo Sinbun suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang, Sabtu 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 halaman pertama menurunkan berita utama (head line) bertajuk Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akarakarnya. Judul kecil (kicker) di bawahnya berbunyi Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna.

Di bawah judul itu—dalam tanda kurung—tertulis Pengumuman Pasukan di Daerah Ini pada Tanggal 1 Juli 1944.
Koran Borneo Sinbun cukup dikenal di Kalbar masa itu, penerbitannya menginjak tahun kedua. Ukuran halamannya sebesar kertas folio, 5 kolom, terdiri dari 4 halaman, terbit tiga kali dalam seminggu. Pada 1 Juli 1944, tiga halaman pertama koran ini habis dimakan berita tersebut. Dalam tubuh berita (body text) antara lain tertulis .. Oleh sebab itu baru-baru ini dalam Sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan Laut, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya telah dijatuhkan hukum mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni 1944 –pen) mereka pun telah ditembak mati.

Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (Kaum-kerabat, anak-cucu korban, kini pasti ada bertebaran di Nusantara ini—pen).

Tuduhan terhadap para korban itu diungkapkan pula oleh Borneo Sinbun: Apa yang diidamkan oleh mereka ialah sambil mempergunakan kekalutan keamanan sewaktu Bala Tentara Dai Nippon memasuki daerah ini, melaksanakan kemerdekaan Borneo Barat dengan sekaligus. Diungkapkan pula, penangkapan secara besar-besaran pertama kali dilakukan tentara Jepang subuh 23 Zyugatu (23 Oktober 1943— pen), disusul penangkapan gelombang kedua subuh 24 Itigatu (24 Januari 1944 –pen). Sekitar tiga tahun mendaulat Kalimantan Barat, tentara pendudukan Jepang telah membantai 21.037 warga versi Pemprop Kalbar 1977. Dari lingkungan Istana Kadriyah Pontianak, Jepang bukan cuma menangkap dan membunuh Sultan Syarif Muhammad Alkadri, tetapi juga 59 korban lainnya. Sungguh sedikit nama-nama korban yang tertulis di Borneo Sinbun itu.

Adapun data 21.037 korban ini terungkap dari mulut Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 21— 22 Maret 1977 kepada Mawardi Rivai (alm) seorang wartawan di Pontianak. “Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ucap Kiyotada Takahashi. Takahashi datang ke Pontianak bersama 21 orang turis Jepang lainnya, dan mereka sempat berziarah ke Mandor dan meneteskan air mata di sana.

2. KUTIPAN LENGKAP SURAT KABAR BORNEO SINBUN *)
Komplotan besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon soedah dibongkar sampai keakar-akarnja. Salah satoe pasoekan Angkatan Laoet di Pontianak jang sedjak dahoeloe mengetahoei tentang tersemboenjinja rantjangan komplotan melawan Dai Nippon jang sangat besar oekoerannja di daerah Kalimantan Barat, Pontianak, Singkawang dan sekitarnja sebagai poesatnja, senantiasa meneroeskan pengintipan dengan seksama, hingga pada soeboeh tanggal 23 Zyugatu (23 Oktober, pen) tahoen jang lampau melangsoengkan penangkapan besar jang pertama, dan pada soeboeh tanggal 24 Itigatu (24 Januari, pen) tahoen ini dioelangi penangkapan besar sekali lagi.

Sedjak itoe pemeriksaan teliti telah diteroeskan terhadap Dokoh Pontianak serta beberapa ratoes orang jang bersangkoetan jang soedah ditahan, maka achirdja terbongkar dengan sendjata-sendjatanja komplotan besar oentoek melawan Dai Nippon jang sangat mengedjoetkan orang. Oleh karena itoe baroe2 ini dalam sidang Madjelis Pengadilan Hoekoem Ketentaraan Angkatan Laoet, kepala2 komplotan serta lain-lainnja telah didjatoehkan hoekoeman mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni 1944, pen) merekapoen telah ditembak mati.

Asal moelanja perkara ini memoelai dari Itigatu tahoen 17 Syowa (Januari 1942, pen) sewaktoe balatentara Dai Nippon mendoedoeki Pontianak.

Ketika itoe terdapatlah diantara pendoedoek daerah ini, Pontianak sebagai poesatnya, 13 badan perkoempoelan jang berpengaroeh. Pemimpin2 badan masing2 semoeanja dipengaroehi oleh ahli2 partai kiri diantara anggota2 Parindra serta pikiran komoenisme.
Apa jang diidam2kan oleh mereka ialah sambil mempergoenakan kekaloetan keamanan sewaktoe balatentara Dai Nippon memasoeki daerah ini, melaksanakan kemerdekaan Borneo Barat dengan sekaligoes.

Oleh sebab itoe sesoedah mengoelangi permoesjawaratan dengan semboenji, mereka jang sangat mendoerhaka itoe telah mendapat persetoedjoean soepaja mendjaga dengan seksama pemerintahan balatentara Dai Nippon, serta merantjangkan tindakan2 berkenaan dengan pergerakan kemerdekaan Borneo Barat.

Oleh karena mereka mengandoeng pikiran jang terlampau keras jang semata2 bermaksoed melawan Dai Nippon dan lagi ada jang berpendirian amat hebat soepaja menghapoeskan doea belas Dokoh jang berada sekarang djika “Negeri Rakjat Borneo Barat” soedah dibentoek, maka Al Qadri Dokoh Pontianak sangat terkedjoet hingga pada penghabisan boelan tiga tahoen itoe iapoen berdjandji akan toeroet mengambil dalam rantjangan melawan Dai Nippon bersama2 dengan 13 badan terseboet.

Selan dari itoe sesoedah permoesjawaratan Dokoh2 jang telah diadakan pada pertengahan boelan empat, Dokoh Pontianak telah mengoendang Dokoh lain oentoek memboedjoek mereka agar toeroet tjampoer tangan dalam rantjangan, hingga telah dapat memperoleh persetoedjoean mereka.

Pada masa itoe kedoea orang jaitoe Pattiasina bekas Hoofdcommies Pemerintah Belanda Almal’oen serta Richard bekas Hoofd Inspekteur van politie Pemerintah Belanda Almal’oen jang sedang ditawan oleh balatentara Dai Nippon dengan beralasan bahwa mereka berpendirian anti Dai Nippon, telah dibebaskan dari tawanan pada hari raja Kigensitsu tanggal 11 Nigatu, oleh karena mereka telah bersoempah setia kepada Kepala Pasoekan sambil berlagak dengan akal tjerdik poera2 mendjadi pro Dai Nippon.

Akan tetapi setelah dilepaskan dari tawanan, mereka dengan segera memimpin dari loear rapat ketiga belas badan terseboet, serta menghasoet dengan giat oentoek melawan Dai Nippon, hingga merekapoen mendjadi orang berpengaroeh dalam perkara ini.

Karena pada tanggal satoe boelan itoe pembesar Dai Nippon telah menjoeroeh dengan perintah balatentara oentoek memboebarkan serta melarang segala komplotan seperti Parindra serta lain2 badan politiek, maka anggota2 anti Dai Nippon sangat gempar.

Pada pertengahan boelan Gogatu (Mei, pen) selain dari wakil2 dari ketiga belas badan terseboet, orang2 jang boekan anggota badan terseboet seperti Pattiasina, soomukakarityo ketika itoe, Roebini, tabib partikoelir di Pontianak Si bekas dokter Luitenant klas I balatentara Belanda Almal’oen, Pangeran Agoeng, Sekretaris Dokoh Pontianak, Ng Ngiap Soen, Tyuka Sokeityo dll. kawan sepermoefakatan, djoemlah 22 orang telah berkoempoel dan mendapat kepoetoesan oentoek menghilangkan segala perselisihan diantara orang2, badan2, bangsa2, dan mendatangkan persatoean oemoem, soepaja dapat mentjapai maksoed bersama2 jaitoe melawan Dai Nippon dan lagi membentoek badan “Nissinkai” jang poera2 bersifat pro Dai Nippon dibawah pimpinan Noto Soedjono, Ketoea Oemoem Daerah Commissaris Parindra Kalimantan Barat agar garis perlawanan kepada Dai Nippon dapat disiapkan selekas moengkin.

Demikianlah mereka telah moelai mengoesahakan dengan giat pergerakan rakjat djelata, serta kian hari kian bertambah loeas pengaroehnja.

Dalam boelan toedjoeh tahun itoe Noto Soedjono Ketoea Oemoem “Nissinkai” terseboet telah menjampaikan permohonan kepada pemerintah balatentara soepaja badan terseboet diakoei sah, agar sifat pergerakan “Nissinkai” jang poera2 pro Dai Nippon dapat koeatkan lagi, akan tetapi dalam boelan sepoeloeh badan terseboet telah diperintah oleh Minseibu Pontianak Sibutyo oentoek diboebarkan.

Maka semendjak itoe mereka telah mempergoenakan “Pemoeda Moehammadijah” sehingga mendjadikan badan itoe sebagai sarang oentoek merantjangkan komplotan sambil mentjari perlindungan dibalik topeng poera2 perkoempoelan agama.

Pattiasina, Soomukakarityo Minseibu Pontianak Sibu, jang ketika itoe memegang rol jang oetama dalam oesaha merantjangkan komplotan penghianatan, melakukan kekoeasaan jang sangat berpengaroeh dengan mempergoenakan pangkat sendiri, hingga keangkatan ataoe keberhentian pegawai Indonesia semoeanja dikoeasainja.

Ia telah bersekongkol poela dengan Pangeran Adipati, waris Dokoh Pontianak serta Ng Ngiap Son, Kakyo Toseikaityo dll. dan semata2 menoenggoe akan datangnja kesempatan oentoek mengadakan pemberontakan melawan Dai Nippon.

Pada masa itoe pemimpin2 komplotan penghianatan telah mendapat kesimpoelan berdasarkan berbagai2 kabar jang telah didengar dari penjiaran kabar bohong dari pihak moesoeh bahwa balatentara pergaboengan Amerika dan Australia akan datang menjerang Hindia Timoer dalam boelan doea belas, jang mana tidak beralasan sama sekali sampai kita tak dapat menahan tertawa gelak2.

Tambahan poela karena mereka soedah dapat mengetahoei bahwa di Bandjarmasin djoega kawan2 penghianat di bawah pimpinan bekas Goebernoer Haga akan berontak, maka orang2 jang berpendirian soeka berani berontak dengan selekas moengkin seperti Pattiasina, Panangian, Adipati dll. hendak melangsoengkan pemberontakan melawan Dai Nippon menoeroet rantjangan.

Karena propaganda kabar bohong Amerika dan Inggeris moelai penghabisan tahoen 17 Syowa (1942, pen) sampai kira2 pertengahan tahoen 18 Syowa (1943, pen) terlampau hebat dan penoeh tipoe moeslihat berhoeboeng dengan moendoernja balatentara Djerman dari Stalinggrad, perpindahan haloean Dai Nippon dari Pulau Caudalcanal oentoek memadjoekan balatentaranja selain tempat serta berkenaan dengan balatentara AS meninggalkan Afrika Oetara, maka kaoem Tionghqa di Borneo Barat sedjak dahoeloe bertabiat oentoek berdiri di samping pihak jang beroentoeng sekonjong2 telah menjatakan sikapnja hingga toeroet mengambil bagian dalam oesaha merantjangkan komplotan dengan segenap hati.

Sementara itoe Makaliwij dan dr Soesilo masing2 Noomu Kakarityo dan Eisei Kansetukan Minseibu, sewaktoe itoe, telah datang di Pontianak dari Bandjarmasin dan telah beroesaha dengan giat sekali oentoek memperhoeboengkan dengan kawan2 sekomplotan ditiap2 daerah, hingga dapat menghasoet serta menghiboerkan hati mereka.

Akan tetapi Pattiasina dll sangat gempar, karena menerima kabar yang dikirim tergesa2 bahwa banjak kawan sekomplotan dari “Perkara Haga” telah ditangkap oleh pihak jang berwadjib di Bandjarmasin pada pertengahan boelan lima tahoen 18 Syowa.

Maka mereka poen telah beremboek dengan segera, tindakan2 jang perloe dan dapat persetoedjoean dengan soeara boelat oentoek melangsoengkan dengan pasti dan berani hati rantjangan jang soedah ditetapkan terlebih dahoeloe dengan bermaksoed mengadakan pemberontakan ra’jat djelata di Borneo Barat.
Maka sebagai badan poesat oentoek mengadakan pemberontakan rakjat djelata dalam boelan enam telah dibentoek perkomplotan rahasia “Soeka Rela” (Pasoekan Penjerboean Bersendjata).

Semendjak itoe mereka telah beberapa kali mengadakan rapat oentoek memperbintjangkan persediaan pemberontakan dan soedah mendapat kepoetoesan oentoek mengadakan pemberontakan pada permoelaan Zyunigatu tahoen 18 Syowa Desember 1943, pen), serta telah moefakat seloekbeloeknja. Pembentoekan pasoekan pemberontakan, pengoempoelan dan pengangkoetan alat sendjata mesioe, ongkos makanan dll.

Maka pada malam tanggal 16 Zyugatu (16 Oktober, pen) tahoen itoe pemimpin2 jang terkemoeka ada 69 orang banjaknja telah berkoempoel dengan semboenji didalam Gedoeng Medan Sepakat di Pontianak.

Setelah permoesjawaratan oemoem selesai jaitoe permoefakatan penghabisan tentang pemberontakan mendapat kepoetoesan2 tentang seloekbeloeknja pemberontakan seperti: pada poekoel 2.30 pagi tanggal 8 Zyunigatu (8 Desember, pen) memoelai penjerangan2, mendoedoeki Keibitai, memboenoeh pahlawan2 balatentara Dai Nippon, mendoedoeki tempat2 jang penting dalam kota, sementara itoe pasoekan lain menjerang roemah2 syutizi serta pegawai2 minseibu dan anggaoeta2 maskapai Nippon oentoek diboenoeh.

Selain itoe telah dirantjangkan djoega garis2 besar tentang pembentoekan Negeri seperti tertera dibawah ini:

Nama Negeri ditetapkan sebagai “Negeri Rakjat Borneo Barat” dimoefakatkan tentang tata negara, perbatasan negeri pemerintahan, modelnja bendera negeri, dipilih orang2 jang akan mendjabat pangkat seperti Minister Presiden Pangeran Adipati, Presiden Moeda Pattiasina, serta 18 menteri2, kepala sekretaris, Sityoo Pontianak, dimoefakatkan poela tindakan2 terhadap agama, pengadilan, toentoetan hakim, oeang siaran serta oetoesan istimewa jang akan dikirim ke Amerika dan Inggeris sesoedah negeri baroe dibentoek, begitoe djoega dari hal pertemoean oentoek merajakan kemenangan perang.

Maka semoeanja itoe chajal belaka jang dimimpikan oleh mereka tjita2 jang sama sekali tak dapat dioedjoedkan, jalah sebagai kata peribahasa “mengharap emboen di siang hari, hingga kita hanja sajang tentang kebodohan mereka”.

Demikianlah pada soeboeh tanggal 23 boelan 10 tahoen jang lampaoe, salah satoe pasoekan Angkatan Laoet di Pontianak jang mentjoerahkan seloeroeh tenaganja oentoek mengintip2 dengan amat teliti, serta mengintai dengan hati sabar satoe kesempatan oentoek mengadakan penangkapan dengan sekaligoes, telah melangsoengkan dengan tjepat penangkapan besar jang pertamakalinja hingga Pattiasina serta beberapa orang jang lain telah ditangkap.

Pemimpin2 lain jang terloepoet dari penangkapan ini merasa sangat gempar, dengan segera berkoempoel diistana Dokoh Pontianak dan di roemah Roebini oentoek meremboekkan tindakan2 jang haroes diambil, akan tetapi mereka tidak berdaja oentoek bertindak selekas moengkin jang selaras dengan keadaan, hingga mereka hanja bermoefakat oentoek menetapkan sikapnja setelah dapat menjelidiki bagaimana pemeriksaan dari pihak jang berwadjib.
Akan tetapi karena telah mengetahoei bahwa pemeriksaan sedang diadjoekan dengan tjekatan loear biasa, mereka telah membentoek rantjangan oentoek memboenoeh dengan memakai ratjoen pada anggaoeta Keibitai, soepaja dapat mentjapai maksoednja dengan sekaligoes sebeloem kawan sekomplotan dalam pendjara mengakoe segala rahasianja.

Permoefakatan tentang itoe telah dilakoekan beberapakali dan telah dibentoek rantjangan jang djahanam itoe sebagai perboeatan …

*) Koran ini tidak ditemukan sambungan halaman berbahasa Indonesia selanjutnya (halaman III dan IV) Edisi Nomor 135 Tahun II Tanggal 1 Juli 1944 (Sabtu, 1 Sitigatu 2604 atau Tahun 19 Syowa) Halaman I dan II.

3. DOKUMEN BERDUKACITA UNTUK MENENANGKAN ARWAH KEBENARAN PERKARA PONTIANAK *)

TUJUAN UNTUK MENGUMUMKAN PERKARA PONTIANAK
Perkara Pontianak ini adalah perkara yang terjadi di daerah Pontianak Kalimantan Barat, sedang daerah tersebut dikuasai oleh tentara Jepang, semasa peperangan dunia yang ke II. Polisi Istimewa Angkatan Laut Jepang, telah melakukan penangkapan sebanyaknya kira2 1500 orang, terhadap orang2 Indonesia dan Conghwa serta ada juga terlibat orang Arab dan India. Mereka semuanya orang2 yang berpengaruh pada daerah tersebut, dengan alasan mereka berkomplot sebagai anti Jepang, dan akhirnya mereka dihukum mati dengan potong kepala semuanya.

Di muka monumen tersebut, berhiasi dengan relief (ukiran timbul) yang menggambarkan macam2 kebengisan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Pontianak. Barang siapa yang melihat relief tersebut, mereka merasa ngeri seperti seram bulu badannya, serta kelakuan kebengisan tersebut, akan mempertuturkan oleh penduduk sekitarnya selama-lama sampai turun temurun.

Sebaliknya sepihak Jepang, orang2 sedikit saja yang mengetahui perkara tersebut, dan pemerintah Jepang juga seolah-olah tutup mulut terhadap perkara ini. Maka itu perkara ini sedang terhanyut didalam aliran sejarah sampai ke jauh. Apakah sebenarnya keadaan perkara pembantaian besar ini, pihak Jepang pernah diumumkan sebagai perkara komplotan anti Jepang, suatu apa pun tiada bukti yang menyaksikan perkara ini.

Selanjutnya sesudah perang, ketika Belanda memeriksakan perkara ini, mereka dapat kesimpulan, bahwa perkara Pontianak ini adalah perkara kejadian yang dibuat-buat oleh tentara Jepang di setempat. Saya adalah seorang yang langsung bersangkut paut dengan perkara ini, dari awal sampai ke akhiran. Maka itu sayalah baru bisa menerangkan perkara ini, dengan menurut pengalaman saya yang dirasai berbagai-bagai kejadian, saya berkehendak akan pembaca bisa dapat tahui keadaan kebenaran perkara ini.

Dengan ini kami orang Jepang harus mempertunjuk insyafan serta minta ampunan terhadap sekalian pengorbanan yang terlibat perkara ini, serta saya mengharapkan supaya pembaca dapat menyadari untuk berbagai pengajaran yang terkandung didalam perkara ini. Pada akhir ini, kami terdengar suara yang buat meluaskan pelengkapan militer atau memperbincangkan mengenai soal2 buku teks sekolah. Maka dengan kesempatan waktunya mengumumkan perkara ini, kami perlu menginsyafkan sekali lagi untuk menetapkan sikap masing-masing, serta haluan negara kami untuk depan hari.

RINGKASAN PERKARA
Pada waktunya sebelum perang yang ke II, daerah Kalimantan Barat adalah firdaus dan bagi saya adalah tanah air yang ke dua, yang mempunyai berbagai2 kenang-kenangan. Seluruh antara generasi muda saya, yaitu dari umur 17 sampai 32 tahun, jangka waktu yang paling penting untuk membentuk karakter sebagai insani, saya hidup di rantau Kalimantan Barat, yang mana kata orang daerah yang panas terik dan banyak penyakit.

Tetapi ketika saya mendiami di desa yang terkurung dengan alam hutan rimba, kehidupan saya disitu, adalah sangat bergembira dan berbahagia, sampai sekarang masih berbagai2 kenang-kenangan yang diukir didalam hati saya. Kehidupan saya di kebun karet yang suasana tenteram, saya dapat bergaul dengan orang2 setempat dengan hati ke hati, serta saya mendapat pengajaran macam2 dari alam yang berhadapan dengan tanpa berkata.

Mengenai hal keajaiban jiwa makhluk tahu kemuliaan jiwa manusia, serta saya dapat insyafi bahwa alangkah memerlukannya berkasih-kasihan atas kehidupan masyarakat sehari-hari, dan apakah bermaksud hidup kami di dunia ini, semuanya saya dapat belajar dari alam.

Pada tahun 1943 semasa peperangan yang ke II, terjadilah perkara Pontianak, ketika itu saya berada di Pontianak sebagai staf dari PT Sumitomo Shokusan di setempat. Kota Pontianak adalah kota yang terletak tepat dibawah katulistiwa, menuju kota ini datang seorang letenan yang masih muda berumur 25 tahun, sebagai komandan baru untuk tentara pendudukan daerah, dan pemegang segala hak dan kekuasaannya didalam tangan diri sendiri.

Akibat kesalahan pertimbangannya oleh seorang mempunya kekuasaan mutlak, dengan tiba-tibalah memunculkan zaman kelam kabut di Kalimantan Barat, seluruh penduduk menakut pada bayangan maut, serta mereka merasa penuh kecemasan dengan menggigil badan sehari-hari karena ketakutan. Maka daerah yang surga ini menjadi tanah neraka, dan akhirnya menjadi komplotan yang membuatkan oleh tentara Jepang dengan tipu muslihat, dan memberi nama Perkara Pontianak, akibatnya kira2 1500 orang menjadi korban jiwa dengan tanpa kesalahan.

Mendahului 5 bulan daripada Perkara Pontianak ini, di Banjarmasin telah bongkar perkara komplotan yang diorganisasikan oleh Gubernur Belanda Haga, berhubung dengan perkara ini telah 800 orang kena hukum mati. Komandan baru yang bersemangat kecintaan negeri dengan bernyala-nyala, dia disangkai bahwa di daerah Kalimantan Barat juga tentu ada perkara komplotan yang punya perhubungan antara Kalimantan Selatan. Maka menurut taksiran sedemikian, dia melaksanakan penangkapan pertama, dan melaku pemeriksaan yang sengit sekali dengan menyiksa badan, akhirnya menjadikan perkara komplotan yang dibuat-buat sendiri.

Pada umumnya masyarakat berfikir bahwa Jangkar (Kaigun) lebih tahu etiket daripada Bintang (Rikugun), akan tetapi jangkarlah yang dibuatkan perkara yang paling malu di Asia Tenggara, menjadikan perkara komplotan yang aneh, seperti tiada bercampur seorang Belanda yang berperang, hanya berkomplot oleh penduduk setempat saja. Sesudah perang, ketika Belanda buka pengadilan untuk adili atas kriminil didalam peperangan, sidang Pontianak telah jatuh hukum tembak mati terhadap 20 orang, seperti untuk panglima pangkalan yang ke 22, Tadashige Daigo serta Michiaki Kamada masing2 berpangkat admiral, berikutnya Taicho (komandan Angkatan Laut setempat), anggota Polisi Istimewa, juga termasuk mata-mata tentara setempat, semua dihukum baru menutup tabir untuk mengakhiri perkara Pontianak.

Sesudah perang ketika mengadakan pengadilan kriminil perang pihak Belanda, saya telah hadiri sebagai juru Bahasa Indonesia, maka itu sayalah yang paling tahu perkaranya dari awal sampai keakhirannya. Biarpun demikian saya sendiri juga kena ditunjuk nama saya sebagai kriminil perang dari pihak Belanda, saya telah kena tangkap di tempat tawanan di Sarawak, lantas dikirim ke Pontianak dan terkurung di penjara sampai 4 bulan lamanya didalam sel, akhirnya saya dapat kebebasan.

Didalam perkara Pontianak ini, saya telah menemui macam2 adegan yang seperti deramatis, umpama ketika didalam sel, saya berhadapan dengan maut, hati saya selalu tergoyang seantara hidup dan mati, atau saya terlihat juga rupa terakhir, orang yang melangkah kaki menuju ke tempat hukuman mati, akibat melaku mata-mata tentara Jepang, atau sikap isteri yang dapat ijin untuk menemui suaminya yang akan hukum mati pagi itu, ketika datang saat yang bercerai, isterinya mengantarkan suaminya dengan meratap, atau mendatang nasib maut atas prajurit yang telah melaksanakan hukum mati menurut perintah dari atas, atau seperti sikap Admiral Daigo yang hendak menanggung kesalahan yang kebawahannya dengan seorang diri sendiri, dan ada juga orang yang gugur jiwa dengan 12 bunyi senapan seraya tiga kali menyebut “hidup kaise”, pemandangan satu persatu masih tertinggal didalam hati sebagaimana melihat pilem.

Saya telah dapat pengalaman macam2 adegan yang deramatis yang tidak dapat mengalami pada masa aman, dan saya sampai cukuplah alami pada ketakutannya kepada pemegang kekuasaannya kepunyaan senjata, serta insyafkanlah pada hal kebodohan dan ketidakbenaran yangterkandung didalam perang. Saya tidak dapat pelajaran militaris tatkala zaman militalisme di Jepang, karena zaman akil balik saya hidup di kebun di Borneo, maka itu boleh dikatakan saya tidak dicelupkan sebagai warga militalisme, akan tetapi padahal kesetiaan serta bercintaan negara terhadap Jepang, tidak kuranglah dari pada orang2 lain.

Saya merasakan bahwa pikiran perajurit2 yang telah dapat pengajaran militalisme didalam masa perang yang suasananya tidak normal, pikran mereka berlainan sekali. Tentara Jepang telah menangkap terhadap orang2 yang memakai orang Jepang atau orang2 yang suka berbicara mengenai hal merdekaan, mereka dipandang sebagai orang anti Jepang, lantas ditahan dan melakukan pemeriksaan dengan menyiksa badan, sambil memberi sagasti, supaya dapat pengakuan yang seperti menurut program tentara.

Orang yang melaku pemeriksaannya mereka tidak bercakapan atas hal Bahasa Indonesia, tentang pengertian atau memfahamkan atas pengakuannya masing2, mereka hanya periksa dengan pikiran militalisme serta semangat kecintaan negeri yang gila2, maka akhirnya menjadikan perkara sedikit sangsi, sebagaimana menurut gambaran komplotan yang melukis diri sendiri.

Saya telah melaku pemeriksaan terhadap 20 orang menurut permintaan dari tentara dengan bersyarat tanpa hadiri anggauta Polisi Istimewa, maka saya periksa dengan teliti persatu satu orang dengan menurut pengalaman 15 tahun kehidupan disetempat, akibat pemeriksaan saya dapat kesimpulan bahwa perkara komplotan tidak ada, saya membuatkan surat laporan sebagaimana menurut pendapatan saya, laporan tersebut saya anjurkan kepada komandan Polisi Istimewa, lantas saya mundur dari hal pemeriksaan.

Setelah 2 bulan kemudian dari pada Oktober 1943, saya dapat kabar dari seorang anggauta yang telah melaksanakan hukuman mati, dia kasi tau bahwa kini sedang mulai pembantaian terhadap orang yang ditangkap dengan bersembunyi-sembunyi di Mandor, bekas lapangan terbang, saya merasa sangat menyedihkan hati, karena saya beryakinan bahwa perkara komplotan tidak ada, tetapi sedang orangnya menjadi korban, saya meleleh air mata terhadap orang yang tiada dosa.

Setelah itu, pada akhir Juni 1944, mengadakan sidang pengadilan militer Jepang di Pontianak, sidang tersebut telah memberi putusan hukuman mati terhadap 47 orang bangsa Indonesia, dan hari itu juga segera selesai hukuman mati, dengan beralasan mereka berkomplot anti Jepang, berniat akan membunuh orang Jepang dengan memakai obat racun, agar mendirikan Negara Merdeka di West Borneo.

Sesudah 3 bulan kemudian sidang ini, saya dapat perintah untuk melisi masuk ke Angkatan Darat di North Borneo sebagai perajurit bintang satu, akan tetapi terhadap putusan hukuman mati pihak Jepang, saya tidak dapat setujui putusan tersebut. Jepang adalah salah, mereka dihukum kepada orang2 yang tidak bersalah, tidak adil sekali, hal yang tidak boleh mengijinkan dilakukan secara terang-terangan, apa patutkah keadaan yang seperti begini, maka hati saya menimbul amarah terhadap putusan Jepang, serta saya merasa duka cita atas orang2 yang hilang jiwanya, untuk perasaan sedih dan amarah, saya tiada jalan untuk adukan kemana-mana, demikian saya bingung sekali pada waktu itu.

Dan sayapun boleh dikatakan seperti kena hukum mati juga, karena saya dapat perintah untuk terjun didalam perjalanan maut di Norts Borneo. Perjalanan maut di North Borneo, boleh dikatakan sengit sekali, harus bertempur dengan kelaparan serta hantu penyakit, sama juga perjalanan yang memikul maut dibelakang, barang siapa hilang tenaganya, paksalah ambil jalan maut, ketika berangkat pasukan saya adalah 120 orang, tetapi orang yang dapat hidup hanya 10 orang saja.

Perajurit baru yang masukan pasukan dengan bersama-sama saya adalah 10 orang, tetapi mereka mati semuanya didalam 2 bulan sesudah mulai perjalanan baris, karena habis tenaganya. Didalam sistim pasukan yang keras turun pangkatnya, perajurit baru sama saja seperti menghambakan, mereka habis pakai tenaganya untuk digunakan keatasan. Ketika mulai perjalanan baris, tiap2 hari mereka mengusahakan untuk menyiapkan tempat bermalam dan 3 kali sehari harus memasak nasi untuk regu, itupun masaknya dikerjakan tengah malam karena hindarkan serangan udara, maka jam tidurnya hanya 2 jam saja, terlalu berat pekerjaannya, maka perajurit baru semuanya tidak tahan dan mati semuanya.

Untunglah saya karena saya bisa cakap Bahasa Indonesia, maka saya jadi kepala regu untuk pengangkutan barang2, karena itu saya bisa dapat hidup, akhirnya tiada barang yang untuk angkut, dan lagi sayapun bercerai dari regu, sebab saya dapat sakit malaria dan penyakit berak darah, tetapi saya masih ada nasip baik, karena tatkala berhenti perang saya masih hidup. Perjalanan pasukan kami berjalan dengan tanpa persediaan makanan dan pengobatan, dalam perjalanan tersebut saya merasai egoisme yang sengit sekali, didalam sistim pangkat tentara tidak pandang martabat manusia atau hak orang hanya orang keatasan memperhambakan orang kebawahan, saya menaruh syak wasangka terhadap keadaan tentara Jepang yang berbanggakan.

Untung saya masih hidup, tidaklah mati didalam perjalanan maut, akan tetapi pada hari tahun baru 1946, saya ditangkap oleh MP Australia sebagai kriminil perang, dan kirim ke Pontianak lagi. Sudah 4 bulan didalam sel penjara, saya dapat kebebasan, dan saya menjadi juru bahasa untuk pengadilan Belanda, ketika itu saya dapat tahui bahwa pihak Belanda telah memeriksakan kepada keluarga yang kena hukum mati, tetapi seorangpun tiada seorangpun yang menyaksikan adanya perkara komplot.

Maka pihak Belanda berpendapatan bahwa perkara komplotan ini, perkara yang dibuatkan oleh tentara Jepang dengan muslihat, demikian beranggapan pihak Belanda. Dari awal saya sudah menganggap tiada perkara komplotan, jika perkaranya ada betul, saya adalah salah besar karena saya sudah bikin laporan yang tiada perkaranya. Saya punya pengalaman dan kehidupan di Kalimantan semuanya sia-sia belaka, misalnya Bahasa Indonesia, saya belajar dengan rajin tetapi tiada gunanya, atau pergaulan dengan orang2 setempat, saya dapat belajar perbedaan perkataan masing2 seperti menurut budi pekerti masing2, hal2 demikian saya kira sudah mengerti semuanya, akan tetapi anggapan ini semua jadi terbalik, harus saya mengakui kekalahan saya sendiri, serta harus nyangkal pada pengalaman saya 15 tahun di Borneo.

Akan tetapi pihak Belanda beranggapan tiada perkara komplotan yang seperti mengumumkan oleh tentara Jepang, tetapi perkaranya ada, perkara yang membuatkan oleh tentara Jepang. Jika sedemikian, apakah maksudnya pihak tentara Jepang yang membuat perkaranya dengan muslihat, apakah tujuannya, mengapa mengorbankan sebegitu banyak jiwa orang, inilah menjadi pertanyaan yang menyangkut didalam hati saya.

Tidak mungkin dilakukan kelakuan yang begitu bengis, hanya keinginan akan dapat jasa. Jika sedemikian kelakuan tersebut adalah kelakuan sifat kebengisan asli mempunya perang, demikian paham saya, jika melaku pembunuhan musuhnya didalam tempuran dimedan perang, kami terima sebagai kelakuan yang patut, akan tetapi perkara ini sangat berlainan, karena peristiwa yang terjadi didaerah pendudukan seantara masa perang suasananya aman dan tertib dan tentram. Maka itu tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Orang yang pengorbanan langsung adalah kira 21.500 orang, dan jika hitung keluarga yang bersangkutan, tentu lebih dari pada 5000 orang, maka peristiwa ini, perkara pembunuhan 1500 orang serta hilang jalan nafkah 5000 orang keluarga, mesti ada sebab-musababnya, apakah itu? Letenan Uesugi masih muda umurnya 25 tahun, dia seorang yang gemar olah raga base-bool bersama2 dengan orang sipil, tabiatnya suka gembira tidaklah suram, dan anggauta Polisi Istimewa Nakatani yang memusatkan pemeriksaan, diapun boleh katakan ofsir yang teladan dan rajin pada dinasnya.

Daerah ini adalah tanah firdaus di tropika, serta tanah air yang kedua bagi saya, tetapi oleh karena timbul perkara ini, segala-galanya merusakan habis, seolah-olah meninjak dengan kaki sampai hancur semua, apakah sebabnya, dimana adanya intisari perkara ini, saya selalu terkandung pertanyaannya. Untuk cari keterang perkara ini, saya telah 3 kali mengunjungi ke Pontianak sesudah perang, telah dapat bahan2 setempat, juga berkunjungi Mr. Shunichi Tabata yang paling mengetahui isi perkaranya yang didalam anggota Polisi Istimewa, saya dapat dialok mengenai yang kebenaran perkara ini, dan saya dapat isikan didalam tape rekor.

Permulaan saya berpikir bahwa perkara ini adalah persoalannya diatas perkataan, sebab Nakatani melaku pemeriksaannya, dia bisa cakap hanya sedikit sekali, dan adapun juru bahasa seperti Hayasi dan Hirayama mereka masih kurang pengalaman serta belum mahir pada hal memperkatakan. Misalnya perkataan merdeka, perkataan ini berarti bebas dari penjajahan atau berdiri sendiri, perkataan ini selalu menyebut dari mulut para penangkapan, mereka berkandung keinginan yang bebas dari jajahan Belanda atau berdiri sendiri lepas dari jajahan, mereka suka menyebut perkataan “merdeka”ini.

Jika perkataan merdeka ini dipahamkan dengan secara pisik pikiran, pihak tentara belum tahulah mereka memahami bahwa di West Borneo juga ada komplotan yang berkaitan dengan “perkara Haga”, dan perasangka inilah langsung terikat pada merdekaan daerah, lantas memberi penyaksian badan dengan memaksa suruh mengakuan sebagaimana menurut program pihak tentara, demikian saya taksiran.

Komando Uesugi berusia 25, Nakatani berusia 23, saya tidak berani juga sebut, mereka mencari jasa tetapi soal yang bongkar perkara anti Jepang dan seterusnya menghancurkan komplotan tersebut, mereka dipandang sama artinya dengan memusnahkan musuh dimedan perang. Apa lagi pemuda tersebut adalah gerup yang mengajar sebagai militalisme, maka itu mereka itu beryakinan, bahwa tidak sekawan, dipandang sebagai musuh, barang siapa yang memakai orang Jepang atau berhendak akan merdekaan, orang yang seperti itu adalah berbahaya untuk masa perang, harus membasmi, saya kira mereka beranggapan seperti begitu.

Selanjutnya saya kira, bahwa orang yang melaku pemeriksaannya, mereka kurang pandai atas Bahasa Indonesia, serta belum pengalaman di masyarakat, sebab itu mereka selalu turut pikiran sendiri yang sempit sekali, terus meluaskan perkaranya semakin besar ke besar, sebagaimana menurut gambaran yang dibuat sendiri, akhrinya hukum mati 1500 orang, serta akibatnya datanglah nasib maut atas diri sendiri. Sesudah perang mengadakan pengadilan kriminil perang, yaitu negara yang pemenang Belanda, menghakimi kepada negara kalah perang Jepang.

Pengadilan tersebut tidak salah seperti pengadilan yang membalas dendam, bukannya pengadilan yang mengadili dengan menurut hukum, mengadil akan dengan semaunya pihak Belanda, boleh dikatakan pengadilan yang membalas dendam bangsa Belanda terhadap bangsa Jepang, dan pihak Belanda mempergunakan kesempatan ini untuk propaganda serta melaku demonstrasi, supaya menunjuk kekuasaan dan kedaulatan Negara Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Pengadilan kriminal perang Pontianak telah dibuka antara tahun 1946–1947, justru bangsa Indonesia sedang bertempur dengan Belanda supaya mendapat kemerdekaan serta kebebasan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Untuk Negara Belanda adalah saat yang keritis, keritis akan hilang tanah firdaus yang bersejarah 350 tahun sebagai penjajahan. Asal usulnya yang terjadi keadaan kerisis ini, pokoknya Jepang yang mulai perang dan menyerang agresi pada East Indian, karena itu orang Belanda terkandung dendam hati terhadap orang Jepang sampai kedalam-dalam, maka itu banyak orang Jepang yang mengorbankan dengan kena huklum berat yang tidak pantas. Pengadilan Pontianak ini adalah suatu sandiwara yang memainkan.

Saya telah dapat berbagai-bagai ajaran dari pada perkara Pontianak, dan dapat insyapkan bahwa pikiran orang tentang Jepang sangat berlainan, sebab mereka belajar atas dasar militalisme, mereka menginsyapi dirinya sebagai bangsa yang terutama, tidak pandang hak manusia dan martabat bangsa lain, mereka telah melaksanakan tangkap orang hanya kabar angin, diperiksa dengan semangat cinta dan negara yang kegila-gilaan dengan terorisme secara diktatataris, mereka hukum mati terhadap orang yang dipandang berbahaya, umpamanya siapa yang memaki orang Jepang atau siapa yang berkehendak kemerdekaan, tentara jepang melaku pembunuhannya seperti mematikan serangga.

Saya merasa ketakutan betul terhadap politik yang terikat dengan kekuasaan angkat perang, ketakutannya luar dugaan, saya menyadari betul bahwa bagaimana pentingnya atas hal pendidikan, karena pendidikanlah sumber keburukan atau kebaikan. Perkara Pontianak ini adalah peristiwa yang dikendalikan dengan semau-maunya oleh kekuasaan diktektoris, dan segala-galanya semua dihancurkan dengan atas nama perang. Maka saya paling benci pada perang, saya bertekat adakan mengadu pada masyarakat supaya jangan ada perang lagi.

Persumpahan untuk anti perang, serta bertekat ada untuk mencegah perang, inilah saya menyumbangkan jiwa saya untuk jalanan ini, dari perang kami beroleh hanya hancurkan dan binasa serta gara-garanya kebengisan sekali, kami tiadak boleh merasakan kebodohan perang dua kali lagi. Akan tetapi didalam masa yang huru-hara sedemikian, saya masih teringat rupa orang2 yang mengenangi seperti kawan2 saya di Kalimantan yang terikat dengan hati ke hati, atau orang2 Australia yang baik hati dan kasih sayang sesama manusia, atau ada juga orang Chonghwa yang murah hati serta turut perikemanusiaan, saya dapat belajar banyak dari orang2 tersebut diatas, ketika berbanding dengan tabiat Jepang yang begitu sempit pikirannnya, saya merasa berbeda besar.

Perkara Pontianak ini sedang menjadi kabur sebagai sejarah yang melampaui, akan tetapi kami harus menganalisakan perkara ini akan mendapat banyak ajaran beserta sadaran dan insyapan yang lebih dalam. Sudah melampaui 38 tahun sesudah perang, negara Indonesia tercapai kemerdekaannya, dan Jepang memakmur sebagai negara perekonomian besar, orang2 Indonesia yang mengorbankan didalam perkara Pontianak, mereka adalah orang2 yang menjadi batu alasan untuk mendirikan kemerdekaan, dan pihak orang Jepang yang menyumbangkan jiwa sebagai kriminil perang, adalah sebagai tiang manusia untuk kemakmuran Jepang sekarang.
Tentang perkara Pontianak ini, kami orang Jepang hanya sedikit saja yang mengetahui perkara ini, sebaliknya di Kalimantan Barat, perkara ini adalah perkara yang istimewa tertulis didalam sejarah, dan relief yang didirikan di Mandor, dilukiskan rupa-rupa orang yang diikat tangan dibelakang, berbaris dengan campuran wanita yang melangkah menuju ketempat hukuman, dengan tutup mata, ada juga orang yang berlutut menganjurkan lehernya berhadapan lobang, atau perajurit Jepang yang bersiap-siap mengangkat pedang samurai, dan sekelilingnya berbaring mayat bersusun.

Didalam dada keluarga yang ketinggalan yang beribu-ribu orang, telah memahat didalam hati sampai tidak bisa melupakan, mereka tidak bisa mengalirkan didalam arus sejarah, tentu bercakap-cakap selama-lamanya sebagai kelakuan yang dilakukan oleh tentara Jepang, dan selalamanya tidak bisa menghapuskan dendamnya terhadap orang Jepang.

Selanjutnya surat kabar yang berpengaruh di Indonesia Sinar Harapan telah muat perkara ini, diumumkan jumlah orang korban lebih dari pada 21.000 orang, serta ada berita telah mendirikan monumen, saya telah baca tulisan yang muat pada tertanggal 28 Maret 1982. Saya telah menyurat surat kepada Sinar Harapan, agar minta membetulkan banyaknya angka orang yang korban, serta atas nama orang Jepang minta maaf dengan sesungguh-sungguh serta saya mengucapkan terima kasih atas pendirian tugu yang sebagai menyenangkan arwah.

Pada akhir tahun 1982, “Sinar Harapan” muat lagi tentang perkara ini dengan secara besaran, tetapi saya merasa bahwa pihak Indonesia belum tahu betul kebenaran perkara ini, hanya menerima dengan dugaan. Maka saya bertekat ada akan mengumumkan kebenaran perkara pontianak, supaya mengetahui hal yang kebenaran, dan sebagai orang Jepang kami terus terang mengakui kesalahan dan minta ampun kepada orang2 jadi korban, serta kami perlu menyadari kesalahan kami sendiri.

Terhadap orang yang jadi korban didalam perkara ini, baikpun orang Indonesia, maupun orang Jepang, kami berdoa arwahnya ditempat yang lapang dibawah kuburnya, serta kami harus mencari jalan untuk menebus dosa perkara ini.
(Osaka Japan, 15 Mei 1983, Tsuneo Iseki)

Dalam suratnya “Kebenaran Perkara Pontianak” (Sinar Harapan, Jumat, 23 April 1982), Tsuneo Iseki (Izeki) menuliskan: … Selanjutnya saya perlu beritahukan bahwa tuan2 yang telah jadi korban dengan perkara Pontianak banyaknya 4486 orang (Pen)

4. EREVELD MANDOR
Pada 1976/1977 ketika itu Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar membangun sebuah monumen di Mandor. Kompleks monumen dilengkapi pula dengan plaza yang luas, di kiri-kanan menumen dibuat dinding beton, masing-masing berukuran 15 x 2,5 m berhiaskan relief. Monumen ini diarsiteki Ir M Said Djafar (terakhir Kepala Dinas PU Kalbar, salah satu putra salah seorang korban Mandor), pelaksana pembangunan H Fachrozi BE (CV Nokan Nayan, Pontianak). Desain relief oleh seniman lukis Kalbar Syekh Abdul Aziz Yusnian, pembuatan relief oleh Hermani Cs seniman Jogjakarta. Tiga nama yang disebut terakhir ini sudah almarhum.

Monumen ini berjarak sekitar 500 meter dari gerbang Ereveld Mandor, berjarak sekitar 1 km dari makam masal pertama yang terdekat. Monumen tersebut diresmikan bersempena dengan ziarah masal 28 Juni 1977, dan diberi nama Monumen Makam Juang Mandor. Pintu gerbang Ereveld Mandor diganti dengan pintu gerbang yang lebih kokoh dan anggun.

Kopyang Mandor bukan satu-satunya tempat pembantaian masal di Kalimantan Barat. Ladang pembantaian serupa juga terjadi di beberapa tempat lain di Kalbar. Di antaranya Sungai Durian Kecamatan Sungai Raya 18 Kilometer dari pusat Kota Pontianak, di kawasan Lapangan Terbang Supadio sekarang. Selebihnya terkubur tanpa diketahui pasti di seluruh pelosok daerah ini di darat maupun sungai. Di bangunan Jacobson van den Berg (kantor GIA Jalan Rahadi Osman Pontianak sekarang) ditemukan tak sedikit mayat orang mati dalam keadaan mengenaskan. Begitu juga di lokasi perkuburan Belanda (kerkhoff) kawasan Kebon Sayok Pontianak (Lapangan PSP Khatulistiwa Pontianak). Setelah 1946 sampai awal 1949, waktu berkuasa pemerintah Sekutu semua tulang belulang korban, terutama di Mandor, dikumpulkan.

Tempat pembantaian masal itu sesungguhnya tak hanya di Mandor dan Sungai Durian (sekarang: Bandara Supadio Kabupaten Kubu Raya), tetapi juga di rimba pedalaman Kalbar. Sebab bersama tentara Jepang masuk ke Kalbar, ikut serta pula dua perusahaan yaitu Nomura yang bergerak di bidang pertambangan, dan Sumitomo di perkayuan (perkapalan). Kedua perusahaan ini, di-backing militer, menggunakan berpuluh ribu tenaga romusa. Contohnya, di pertambangan batu tungau (bahan mesiu) di Petikah Kapuas Hulu, sekitar 70.000 remaja tanggung dan lelaki dipekerjakan secara paksa.

Setelah pemakaman seluruh kerangka korban selesai dilakukan, di pintu masuk ke areal tersebut dibangun sebuah pintu gerbang beton yang sederhana, diberi bertulisan: Ereveld Mandor. Letaknya di tepi jalan Pontianak—Sanggau. Tahun demi tahun setelah itu berlalu dalam kelengangan alam. Hutan kayu jenger, beragam anggrek dan berbagai jenis kantung semar tumbuh subur di areal tanah berpasir tersebut. Bertahun kemudian, kawasan itu bagaikan tersembunyi oleh alam. Bagaikan terkucil. Citra paling ngeri seperti menggelantung di sana.

Baru pada 1973 timbul prakarsa untuk melakukan ziarah masal setiap tahun. Hal ini dilakukan pertama kali pada 28 Juni 1973, dipimpin langsung Gubenur Kalbar pada masa itu Kadarusno. Keadaan dan suasana di kompleks pemakaman Mandor itu masih berhutan, jalan masuk baru dibersihkan sekadarnya.

Orang yang dapat untuk dikatakan berjasa memprakarsai pembangunan makam masal dan pengumpulan tulang belulang korban keganasan Jepang pertama kalinya adalah Sultan Hamid II. Sebetulnya untuk mengenang malapetaka bagi bangsa Indonesia di Kalimantan Barat, pihak keluarga korban pembantaian Jepang, ada inisiatif membangun tugu di tengah Kota Pontianak. Letaknya semula di pertigaan ruas jalan depan Pelabuhan Laut Dwikora Pontianak, atau depan Kantor Pos Besar (lama) Jalan Rahadi Osman.

Pembangunan tugu ini dipelopori kepenitiaan bernama Panitija Penolong Keloearga Malang (PPKM) diketuai Mohamad Sjarief Demang Pontianak dengan beberapa anggota di antaranya MK Indra Mahjoeddin, Djahra Aliuddin, Ng Ngiap Liang. Para pelaksananya para pemuda seperti Achmad Noor, A Hamid Lahir, A Sjukrie Nour, Ibrahim Saleh, Abubakar Mansjur, M Jusuf Alie, M Saleh HA Thalib, Hamdy Moursal dan sejumlah lainnya. Sekretariat pembangunan tugu di Gedung Medan Sepakat, gedung diselenggarakannya Konperensi Nissinkai.

Waktu yang sama di Pontianak dalam masa pemerintahan administrasi dan pendudukan NICA-Belanda dibentuk komisi bernama Commissie Oorlogsongevallen Regeling atau Commissie COR, sebagai badan yang menetapkan pemberian tunjangan berupa uang tunai atau onderstand kepada para janda malang dan anak-anak yatim korban agressi Jepang khusus dari golongan bukan pegawai negeri. Di antara anggota komisi ini adalah Muzani A Ranie. Tugu yang dibangun di tengah kota Pontianak kemudian diresmikan Letnan Gubernur Jendral Dr HJ van Mook yang berkunjung ke Pontianak awal 1949. Belakangan tugu yang dibangun secara gotong royong tanpa ada uang bantuan pihak Belanda maupun Jepang di masa penghujung Orde Lama diratakan dengan tanah.

Monumen atau tugu hampir menyerupai Tugu Proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta itu bagian atasnya runcing atau miring sebagai tanda korban yang ditangkap kemudian dipancung oleh Balatentara Jepang kejadiannya antara 1942-1945. Sebagaimana usaha PPKM Pontianak, tahun yang sama antara 1947-1949, juga dibangun di Pemangkat dan di Ketapang. Kini kondisi tugu di Pemangkat dan Ketapang masih bertahan dengan kondisi sangat menua, memprihatinkan keadaannya.

Di Pemangkat monumen kecil ini di kaki bukit Tanjung Batu. Pada badan monumen tertulis nama para korban keganasan militer Jepang. Para korban khususnya berasal dari Pemangkat dan Singkawang seluruhnya tercatat 58 nama korban. Tugu ini dinamakan Tugu Peringatan Korban Perang Djepang-Indonesia-Tionghoa. Demikian pula tugu dengan nama sama di Sukaharja Tanjungpura Ketapang.

Dengan Perda No. 5 Tahun 2007, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menetapkan 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) Kalbar. Pengibaran bendera setengah tiang 28 Juni di Kalbar, dimulai pada 2007. Kalbar berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan tentara pendudukan Jepang 1942 –1945.

Mandor menyimpan duka rakyat Kalbar dari berbagai etnik, warna kulit, suku dan agama. Mandor pernah tergenang darah, namun hanya ada satu warna darah: merah.
Gubernur Kalbar ketika itu Kadarusno dalam kata sambutannya pada peresmian Monumen Makam Juang Mandor 28 Juni 1977 antara lain berkata, Pembangunan monumen di Mandor ini dimaksudkan sebagai monumen sejarah perjuangan bangsa. Bukan dengan maksud untuk menyembah sesuatu makam. Dan bukan pula untuk menanamkan dan mengabadikan rasa benci atau rasa dendam kepada bangsa Jepang sebagai bangsa penjajah.

BAGIAN KE TIGA: DARI ZAMAN CAP KAPAK HINGGA MALAPETAKA PENYUNGKUPAN

1. ZAMAN CAP KAPAK
Jumlah 21.037 korban kekejian Jepang adalah angka resmi dari pemerintah Propinsi Kalimantan Barat (1977) yang konon telah dicocokkan dengan angka yang tercatat pada dokumen perang Jepang di Tokyo. Para korban diduga dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepalanya ditutupi dengan sungkup. Setidaknya, ini terbukti dengan ditemukan banyaknya samurai patah dan batu asahan berserakan di sekitar tempat pembantaian masal itu.

Peristiwa pembantaian itu tidak banyak diketahui penduduk. Warga mengira pimpinan feodal lokal itu diasingkan ke luar daerahnya seperti kebiasaan yang dilakukan Belanda. Tapi ketika rakyat ada yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana serdadu Jepang memenggal korbannya, barulah mereka paham bahwa Dai Nippon jauh lebih kejam.

Zaman pendudukan Jepang merupakan suatu masa yang diselimuti oleh kelaparan, derita, kemiskinan, ketakutan, air mata dan darah. Masa suram semacam itu ternyata tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi melanda hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagai bukti pembantaian besar-besaran di Kalimantan Barat pada 1942 sampai 1944. berdasarkan. Memang sangat tragis, dan tentu saja mengharukan. Dalam keadaan perang tempo doeloe, Perang Dunia II, bangsa Indonesia telah dihela dalam garis penderitaan yang tak terperikan. Menarik pelajaran itu, maka sebab dari semua sebab penderitaan bangsa Indonesia adalah peperangan.

Jepang masuk Pontianak pada 19 Desember 1941. pesawat tempurnya menderu-deru mengegetkan masyarakat yang shalat Jumat. Mereka berlari menyambut kedatangan Saudara Tua dengan lambaian tangan. Ternyata kesembilan pesawat itu menjatuhkan bom. Bumi Pontianak merekah, nyawa mereka meregang. Korban bergelimpangan. Kampung Bali, Parit Besar dan jajaran Kampung Melayu porak-poranda. Hanya butuh waktu delapan hari, bala tentara udara Jepang menguasai Pangkalan Udara Singkawang II yang dibangun Belanda. Sementara itu armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di Pemangkat, Singkawang dan Ketapang. Pendaratan besar ini terjadi pada 22 Januari 1942. Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Tapi sebelum itu berjalan, Sambas, Mempawah dan Ngabang dibumihanguskan Belanda. Belanda tak rela hartanya dirampas Jepang.

Ternyata pendaratan Jepang sama saja dengan penindasan. Banyak wanita atau gadis, terutama masyarakat Tionghoa, memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu. Bahkan perampokan dan penganiayaan nyaris menjadi pemandangan sehari-hari. Sararan utama pemburu harta adalah toko dan gudang milik penduduk Tionghoa. Apabila kendaraan pengangkut karung-karung beras pergi dari toko jarahannya, masyarakat ikut menjarah. Kelaparan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Zaman ini terkenal dengan sebutan Zaman Cap Kapak. Serdadu Jepang mendobrak pintu-pintu dengan senjata kapak. Makin hari penghidupan rakyat kian tertekan. Maka timbul reaksi dari kalangan istana dan kaum pergerakan untuk bangkit mengadakan perlawanan. Pada waktu itu, di Kalimantan Barat terdapat 13 perkumpulan yang berpengaruh. Di antaranya yang menonjol adalah Pemuda Muhammadiyah, Surya Wirawan dan Persatuan Anak Borneo. Tapi ke-13 badan tadi segera dibubarkan Jepang, dan melarang segala kegiatan perkumpulan dalam bentuk apa pun.

2. PERISTIWA PENYUNGKUPAN
Para pemuka pergerakan tak kehilangan akal. Dipelopori Noto Soedjono (Raden Padnji Mohammad Dzubier Noto Soedjono) dan dr Roebini, mereka membentuk organisasi yang pura-pura memihak Jepang. Wadah bernama Nissinkai ini direstui Syuutizityo Minseibu Izumi dan disetujui pula oleh Komandan Teritorial Angkatan Laut Letnan Kolonel Yamakawa dan para perwira senior Kempeitai, serupa Kapten Yamamoto, Letnan Nakatani dan Letnan Hayashi.

Agaknya melalui Nissinkai Jepang mengharapkan bisa memengaruhi pemuka masyarakat dan para pengusaha untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan dan dipersenjatai. Namun kemudian pemerintah pendudukan itu mensinyalemen kalau Nissinkai telah ditunggani gerakan bawah tanah yang bertujuan akan mendirikan negara Rakyat Borneo Barat. Gerakan itu sebenarnya memang ada, dan semboyan pergerakannya memakai sandi bernama Dum Spiro-spiro, yang artinya bergerak selagi bernapas.

Beberapa tokoh pergerakan dan bekas pimpinan perkumpulan yang dibubarkan Jepang diam-diam mengadakan perundingan rahasia. Mereka berupaya memanfaatkan Nissinkai. Gerakan bawah tanah ini, selain membonceng fasilitas Nissinkai, juga bermaksud mempengaruhi para pejabat, pengusaha dan tokoh masyarakat. Gerakan ini juga didanai oleh sejumlah pengusaha dan hartawan Tionghoa, di antaranya Ng Nyiap Sun yang belakangan ditunjuk sebagai bendahara pergerakan. Pelopor gerakan bawah tanah ini berjumlah 69 orang.

Ketika Nissinkai telah terbentuk, dari Banjarmasin datang Noomu Kakarityo Makaliwey bersama Kan Satukan dr Soesilo, yang memberitahukan bahwa pemberontakan rakyat Banjarmasin yang dipimpin bekas Gubernur Borneo Haga tengah berkobar. Haga, cerita mereka, tertangkap dan dipenggal lehernya di tiang gantungan. Peristiwa ini kemudian membakar semangat pemuda dan pemuka masyarakat di Kalimantan Barat untuk segera melakukan pemberontakan. Sejak itu mulailah terjadi huru-hara di berbagai tempat. Para pemuda yang tadinya dilatih dalam Seinendan, Keibodan dan heiho, berbalik melawan pendudukan Dai Nippon. Buntutnya, pada 14 April 1943, Syuutizityo mengadakan rapat kerja pertama Nissinkai. Rapat dihadiri 12 penguasa otonom feodal lokal (dua sultan dan 10 panembahan) serta segenap pejabat tinggi dan pengusaha setempat. Rapat dimaksudkan untuk membahas masalah keamaan sehubungan timbulnya huru-hara di berbagai tempat.

Pertemuan itu taktik Jepang belaka. Pada 23 Oktober 1943, raja-raja itu ditangkap dan ditahan di Markas Kempeitai. Beberapa tokoh lainnya ikut diamankan. Berita penangkapan ini meluas di kalangan penduduk dan keraton. Tapi tak seorang pun berani menanyakan kepada penguasa, yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap mereka.

Penangkapan besar-besaran terjadi lagi pada 24 Mei 1944, saat berlangsung konferensi Nissinkai di Pontianak. Seluruh peserta sidang ditangkap. Tentara Jepang juga menciduk tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya, dengan mendatangi kediaman mereka pada dini hari. Begitulah, sampai kemudian surat kabar Borneo Sinbun terbitan 1 Juli 1944 memuat berita eksekusi mati para tawanan tersebut. Tak seorang pun yang dapat bercerita, bagaimana jalannya pembunuhan masal itu. Sebab tidak seorang saksi pun diabiarkan hidup.

3. ISEKI DAN TAKAHASHI BERSAKSI
Satu buku berjudul Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (Juli 1987) ditulis Tsuneo Iseki. Ia pernah menetap di Kalimantan Barat pada 1928—1946 dan bisa berbahasa Indonesia. Pada 29 Januari 1942 pasukan Jepang mendarat di Kota Pontianak. Waktu itu, tulis Tsuneo Iseki dalam bukunya, kontrol administrasi Borneo (Kalimantan) di bawah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Kemudian dialihkan ke tangan Angkatan Laut (Kaigun). Pontianak berada di bawah pemerintahan militer Pasukan ke-22 Kaigun, bermarkas besar di Balikpapan. Adalah Letnan satu Yoshiaki Uesugi yang menjadi komandan pasukan di Pontianak.

Uesugi, 25 tahun, sangat patriotik dan punya disiplin tinggi. Maka setibanya di Pontianak, ia melakukan reformasi. Dibentuklah pasukan khusus istimewa, Tokkei Kaigun dipimpin Letnan Dua Yamamoto. Anggotanya 10 orang, ditambah empat (dua pribumi dan dua Tionghoa) informan yang diambil dari warga sipil setempat. Selain membentuk Tokkei, Uesugi mengeluarkan aturan baru: warga Jepang di Pontianak dilarang beristri dua. Jika mereka sudah telanjur punya gundik, misalnya, harap menyerahkannya kepada pasukan Jepang agar dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).

Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin. Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga. Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli—Agustus 1943.

Atas informasi tersebut, beberapa hari kemudian Maidin ditangkap polisi khusus Kaigun. Setelah itu, Iseki yang bekerja pada Sumitomo Shokusan, didatangi Tokkei. Ia diminta mengikuti operasi militer menangkap orang-orang anti jepang. Terjaringlah sekitar 60 orang yang dituduh sebagai orang anti Dai Nippon.

Beberapa hari kemudian Iseki diminta menjadi penerjemah dalam pemeriksaan. Di situlah ia bertemu Maidin. Maidin menduga dirinya dituduh punya kontak dengan komplotan Banjarmasin, padahal mendengar komplotan itu saja Maidin baru ketika itu. Tapi polisi khusus memaksanya harus mengaku. Lim seorang Tionghoa yang dikenal Iseki, juga diperlakukan sama. Untuk itu, Iseki berjanji memperjuangkan Lim semaksimal mungkin. Ternyata itulah pertemuan terakhir kalinya dengan Lim dan Maidin.
Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak. Waktu itu, demikian Iseki dalam bukunya, dilakukan pengadilan kilat terhadap 48 tokoh. Hari itu pula, para perintis kemerdekaan itu divonis hukuman mati dan langsung ditembak saat itu. Tawanan yang lain, yang berjumlah sedikitnya 1.000 orang papar Iseki, dipancung dengan samurai tanpa diadili.

Siapakah Takahashi? Ia bukan lain, mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak. Selain Takahashi, dalam rombongan itu terdapat beberapa orang lagi bekas Kaigun Minseibu yang pada hari tuanya telah menjadi pengusaha. Takahashi sendiri, pada tahun 1977 itu adalah Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.

Data akurat tentang jumlah korban ini memang belum ada, namun untuk sementara data inilah yang dijadikan pegangan Pemprop Kalbar. Sedangkan satu-satunya dokumen tertulis yang ada di Kantor Arsip Pemprop Kalbar hanya selembar suratkabar Borneo Sinbun tersebut. Itu pun hanya halaman 1 dan 2 saja. Namun dari beberapa sumber yang pernah membaca berita tersebut selengkapnya, di halaman 3 suratkabar itu disebutkan bahwa jumlah korban seluruhnya sekitar 20.000 orang!

Akhirnya Jepang jatuh dihajar Sekutu. Bergantian pula pihak Sekutu (dan Belanda) yang mengadili tentara Jepang. Kekalahan ini juga membuat Iseki yang pernah bergabung pada Rikugun Jepang di Kuching malaysia ditahan di sebuah kamp milik Australia. Pada 30 Januari 1946, tulisnya, ia dikirim ke Pontianak dengan naik pesawat amfibi Belanda. Dirinya dituduh sebagai kriminal Jepang. Ketika pesawat itu mampir di Kuching, ada sekitar 30-an bekas prajurit Kaigun yang senasib dengan Iseki untuk dikirim ke Pontianak. Di antara tawanan itu, ia bertemu dengan Seiichi Hirayama. Lalu Iseki bertanya apakah Hirayama juga membantai penduduk Pontianak. Ia menjawab ia ikut melakukannya. Soalnya, kata Hirayama kutip Iseki itu perintah militer Jepang. Mendengar itu Iseki menyarankan agar Hirayama mencabut ucapannya itu. Tapi ia tak mau. Alasannya pembunuhan itu atas perintah atasan.

Tanpa terasa pesawat pun mendarat di Pontianak. Para tawanan perang disambut massa rakyat Pontianak dengan teriakan kebencian. Di hadapan pemeriksa pihak Belanda, Iseki mengatakan bahwa ia tidak pernah membunuh penduduk asli. Tak pernah pula menyiksa warga Pontianak. Ketika itu ia disuruh memeriksa mereka oleh atasan sebagai penerjemah. Menurutnya, peristiwa Pontianak itu tidak lain adalah sebuah kesalahan, memanfaatkan kekuasaan atas dasar kekuatan militer.

4. PENGADILAN MILITER SEKUTU
Perang Asia Timur Raya bukan perang membela diri Jepang. Tapi perang yang diciptakan oleh Jepang dengan tujuan menguasai sumber-sumber kekayaan alam di selatan. Borneo dikuasai lantaran lumbung minyak. Dan semua itu, menurut Iseki, tidak lebih dari ambisi prajurit profesional. Perang adalah dosa secara sempurna. Perang telah merebut kebebasan, hak hidup dan segalanya dari manusia.

Awal Februari 1947, suara sirene meraung-raung di Kota Pontianak. Iseki dipanggil ke sebuah ruang kantor penjara Pontianak. Di situ terlihat seseorang berdiri memakai pakaian antipanas suhu udara. Dia adalah Letnan Jenderal Tadashige Daigo. Ia bernasib buruk. Ia tiba di Balikpapan Nopember 1943, sementara itu pembantaian Pontianak tahap I Oktober 1943.

Tapi di persidangan, Daigo menolak membela diri. Sebagai pimpinan, ia bertanggung jawab terhadap ulah bawahannya. Sikap dan tindakannya ini membuat semua orang dalam penjara terharu, termasuk kepala penjara. Akhirnya, Daigo ditembak mati pada 6 Desember 1947. sementara itu Letnan Jenderal kamada dituduh bertanggung jawab atas peristiwa Pontianak tahap II, dan membunuh 110 orang Tionghoa. Selain itu ia juga dituduh bertanggung jawab atas gerakan anti Jepang oleh suku Dayak pada April 1945. waktu itu sejumlah pimpinan gerakan dibunuh tentara Jepang di pinggir Sungai kapuas. Sersan mayor Sano yang dituduh ikut terlibat menumpas gerakan anti Jepang itu juga divonis tembak mati. Dihadapan eksekutor Sano berteriak, Tenno Heika! Banzai! Banzai! Banzai! Kemudian ia berteriak lagi, tembaklah! Dan ia pun tewas.

Dua belas tentara Belanda mengarahkan moncong senapannya ke dada Sano dari jarak lima meter. Ia ambruk di halaman penjara Pontianak. Empat hari sebelumnya, 10 Maret 1947, letnan Satu Soichi Yamamoto ditembak di situ. Bekas kepala polisi istimewa itu dituduh bertanggung jawab atas pembantaian penduduk Pontianak pada tahap I dan tahap II. Tercatat tentara Jepang yang ditembak mati mencapai 16 orang, sedangkan yang dihukum dua tahun penjara hingga seumur hidup mencapai 18 orang prajurit. Termasuk Iseki dan Hayashi.

Oktober—Nopember 1947, masa persidangan Mahkamah Militer Sekutu di Pontianak. Ada 16 tentara Jepang yang dituduh sebagai penjahat perang karena membantai ribuan orang di Kalimantan Barat. Semangat balas dendam atas kekejaman mereka memang menggelora. Tapi menyerahkan persoalan kepada mahkamah militer yang berkuasa adalah lebih arif dan proporsional. Sidang mahkamah militer itu dipimpin Mr Kan Presiden Landraad Militer Borneo Barat sebagai ketua, van Kessel Hoofd Landraad Pontianak sebagai anggota, Mr Jonge Nielen dan Mr Alling masing-masing sebagai oditur.

Ke-16 tahanan itu di antaranya adalah Coju (Letnan jenderal) Daigo Panglima Tentara Kaigun wilayah Kalimantan yang bermarkas di Balikpapan dan Cujo kamada Komandan Tempur di Balikpapan. Selain itu ada 11 perwira yaitu S Yamamoto, S Sano, S Hirayama, Y Ishiyama, Y Yamamoyo, Y Yoshio, T Tsurumi, K Kuse, B Unno dan G Kojima. Dalam persidangan mereka terbukti bersalah dan dihukum mati dengan cara ditembak. Yamamoto misalnya, mengaku bahwa pembunuhan masal terhadap ribuan rakyat itu dilakukan heitasan (tentara pendudukan Jepang) di beberapa tempat, antara lain Mandor, Sungai Durian, Jalan Kapitan, Markas Kempeitai, Kebon Sayok dan penjara Sungai Jawi. Target pembunuhan adalah 50.000 rakyat. Tapi sebelum itu terlaksana, Jepang keburu kalah.

Sebelum ditembak mati, Yamamoto kepada Ketua Landraad mengajukan tiga permohonan. Dan kemlaknya ketiga permohonan itu dikabulkan, masing-masing ia menyanyikan lagu kebangsaan Dai Nippon Kimigayo, menyerukan banzai sebanyak tiga kali untuk keselamatan Tenno Heika dan Dai Nippon serta dalam menjalani hukuman tembak mati ia menolak ditutup matanya. Hukuman atas Yamamoto dan empat tentara Jepang dilakukan di Sekip Militer Pontianak. Waktu itu Yamamoto berpakaian dinas tentara Jepang tanpa tanda pangkat, ia bersepatu bot. belakangan sepatu laras tinggi itu ditemukan saat penggalian pembangunan kompleks Pemprop—waktu itu Pemda—Kalbar pada 1961.

Setelah lebih dari 40 tahun jenazah penjahat perang itu terkubur, Nopember 1987 ke-16 kerangkanya kemudian diperabukan. Dan abu mereka dimasukkan ke dalam dua guci kecil yang dibungkus dengan kain kuning, lalu diikatkan pada dada Masco. Dua guci itu tetap menempel terus sejak dari Pontianak sampai ke lapangan terbang Narita Tokyo Jepang. Kedatangan abu jenazah itu disambut dengan upacara militer. Kini abu jenazah para pembantai rakyat Kalbar itu disimpan di satu kuil terbesar di Jepang, menjadi saksi sejarah. Hitam atau putih, salah atau benar, tergantung kacamata tiap-tiap orang yang memandangnya.

Lantas, betulkah orang Kalimantan Barat yang dibantai Jepang lebih dari 21.000 orang seperti diungkapkan Kiyotada Takahashi seorang mantan opsir Syuutizityo Minseibu kepada wartawan di Pontianak 1977? Seakan membantahnya, Iseki mengatakan bahwa angka itu tidak benar. Dia sendiri menurut pengakuannya pernah mendengar langsung dari Letnan Dua Kaigun Soichi Yamamoto bahwa jumlah korban pembunuhan masal di Pontianak adalah 1.486 orang. Terlepas dari pendapat itu semua rekayasa atau tidak, yang pasti di masa Perang Dunia II, terlebih di Mandor, sedikitnya 1.000 rakyat Kalimantan Barat telah dikorbankan balatentara Dai Nippon yang mengaku dirinya sebagai Saudara Tua, dan mereka telah telanjur tewas hanya untuk memenuhi ambisi 14 perwira muda yang ingin mencari nama. Mereka tega mencari kesempatan dengan memakan orang dan bangsa lain.

BAGIAN KE EMPAT: NERAKA PETIKAH DAN PEMBERONTAKAN RAKYAT KALIMANTAN BARAT

1. PETIKAH SEBUAH LADANG PEMBANTAIAN
Jelas bukan hanya Mandor dan Sungai Durian (kini Bandara Supadio) tempat pembunuhan dan penguburan korban keganasan tentara pendudukan Jepang di Kalimantan Barat. Bukan pula hanya di belakang Markas Korem dan bangunan yang kini sudah berganti menjadi Kantor GIA Pontianak, yang menjadi tempat penyiksaan dan pembantaian manusia. Di rimba belantara Kalimantan Barat juga terkubur ribuan korban yang umumnya para pemuda tunas bangsa yang ketangguhan fisiknya diandalkan Jepang untuk bekerja di pertambangan dan penebangan kayu. Sangat memilukan dan mengiris perasaan.

Di hulu Sungai Bunut Kapuas Hulu, masuk Sungai Mentebah, mereka dipekerjakan sebagai kuli di Petikah, di pertambangan batu tungau, menggali, mencari dan mengumpulkan batu tungau yang berwarna merah. Untuk membongkar batu tungau dari dalam tanah dan bebatuan, Jepang menggunakan dinamit, di mana ledakannya menimbulkan lubang-lubang yang besar. Hal ini dilakukan Jepang di tujuh lokasi pertambangan, yaitu Petikah I, Petikah II, Petikah III, Petikah IV, Petikah V (Saksara, ada sumber air panas), Petikah VI (masuk Sungai Kenarin) dan Petikah VII (Pasinduk cabang Sungai Kenarin).

Semua pekerja di pertambangan batu tungau itu, tidak pernah diberi upah, melainkan sebagai kuli cuma-cuma, mungkin sejenis romusha. Hanya diberi makan nasi bercampur antah yang sangat banyak. Biasa pula nasi yang demikian itu dicampur dengan buah keladi. Sebagai lauknya diberi seekor ikan seukuran dua jari dan daun pakis 3 batang. Dan makanan yang diberikan itu pun sangat tidak memadai, bagi seorang pekerja berat. Sehingga banyak yang jatuh sakit, berak darah dan terkenan demam malaria.

Kalau ada yang sakit dan tak bisa bekerja, tentara Jepang memberi obat berupa minyak tanah bercampur sabun. Jumlah pekerja di setiap lokasi pertambangan sekitar 10.000 orang. Sehingga jumlah pekerja di pertambangan batu tungau itu seluruhnya berjumlah sekitar 70.000 orang. Para pekerja itu bukan berasal dari daerah Kapuas Hulu, melainkan dari daerah pantai dan hilir, seperti dari daerah Sambas, Singkawang, Toho, Sanggau, Sekayam, Jangkang, Sekadau, Sintang ataupun daerah Melawi.

Kuli-kuli romusha kerja paksa itu selain orang Melayu juga Tionghoa, Dayak dan terbanyak orang Dayak. Kalau ada kuli yang malas bekerja, dipukuli oleh tentara Jepang. Dan kalau tidak bisa bekerja karena sakit, demikian juga, dipukuli sampai mati. Tak aneh bila setiap hari banyak orang yang mati. Mati karena sakit, kekurangan makanan, mati karena dianiaya dan dibunuh. Pertambangan Petikah bagaikan neraka. Para remaja dan orang muda yang semula datang dengan badan sehat dan tubuh tegap, berangsur-angsur menjadi kurus kering, bermata cekung, wajah pucat. Karena ketiadaan pakaian, hampir seluruhnya bercawat kulit kayu kepuak. Yang mati dan dibunuh, mayat-mayatnya langsung dikuburkan di bekas-bekas lubang galian yang tidak dipergunakan lagi.

Semua pekerja tidak diperbolehkan memiliki pisau ataupun parang. Semua senjata disita tentara Jepang. Pernah sejumlah orang Dayak, Iban dan Kantu, sekitar 500 orang, didatangkan ke Petikah, untuk menjadi kuli. Namun karena mereka tak mau meninggalkan atau melepaskan parangnya, mereka disuruh pulang. Rupanya orang Jepang tak mau bersikap keras terhadap orang Iban dan Dayak di Kapuas Hulu. Mereka menyadari bahwa mereka bekerja di lingkungan Dayak dan orang-orang Kapuas Hulu. Sehingga bila terjadi sesuatu, bisa-bisa mereka akan diserang, beramai-ramai.

Oleh sebab itu, orang di Kapuas Hulu boleh dikatakan tidak ada yang dijadikan kuli, tetapi diharuskan menyumbang beras ataupun padi. Semua kuli didatangkan dari hilir. Betapa Jepang memukul dan membunuh banyak orang sampai mati. Ada yang diikatkan ke tiang. Bersamaan dengan masuknya tentara Jepang ke Kalimantan Barat, masuk pula dua perusahaan Jepang yang bergerak di bidang pertambangan dan perkayuan. Yaitu perusahaan Nomura di bidang pertambangan, dan perusahaan Sumitomo di bidang perkayuan. Seperti halnya di pertambangan batu tungau di Petikah, demikian juga di perusahaan kayu. Jepang mempekerjakan rakyat secara paksa untuk menjadi kuli menebang dan merakit kayu untuk dihilirkan entah ke mana. Di bidang perkayuan ini pun banyak kuli yang mati dan dibunuh. Di Petikah ada lebih kurang 20-an orang Jepang dan sejumlah personil tentara juga. Di antara mereka adalah Akimoto, Kawasima, Tekaki, Kanigawa dan Hirata.

Di daerah pehuluan, Jepang juga menjatuhkan bom. Antara lain dijatuhkan di Gunung Ulak daerah Sungai Embau, tapi tidak meledak. Terbilang banyak juga bom Jepang yang tidak meledak, antara lain di Ngabang. Dari sekitar 70.000 kuli yang bekerja di pertambangan batu tungau Petikah, berapa jumlah korban yang terkubur dan dipendam di lubang-lubang bekas galian, tidak bisa dihitung dengan pasti. Sudah tentu sangat banyak, bisa berpuluh ribu orang. Bayangkan masa kerja paksa dari awal 1942 sampai Agustus 1945. Tidak dibunuh pun pasti banyak orang yang mati di tengah rimba ini karena kekurangan makanan, kerja berat, karena sakit, karena berak darah dan malaria. Apalagi memang banyak pembunuhan yang dilakukan Jepang.

Perlawanan terhadap tentara Jepang oleh orang-orang Dayak yang tergabung dalam Laskar Majang Desa sejak awal 1945, ada kaitannya dengan rasa dendam terhadap Jepang. Karena banyak orang Dayak yang dibawa dan menjadi korban di Petikah. Tatkala Jepang kalah perang, orang-orang Jepang di Petikah lari ke Pontianak. Dan kuli-kuli yang masih hidup, bubar, meninggalkan pertambangan Petikah yang penuh kesengsaraan dan tempat kematian itu, membawa nasib masing-masing.

2. RAKYAT PEDALAMAN BERONTAK
Penderitaan akibat penindasan semakin dirasakan berat dan parah. Kerja paksa terjadi di mana-mana, pemerkosaan, kekejaman dan perampokan terdengar di setiap saat. Pendudukan militer Jepang adalah merupakan puncak dari penderitaan dan kekejaman yang tiada taranya. Sebagai jawaban dari sikap pemerintah Jepang, rakyat Meliau, khususnya orang Dayak Desa, meletuslah peristiwa Suak Garong yang bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu Jepang KKK dengan cabangnya di Sungai Posong anak Sungai Embuan yang bernama Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha atau SSKK.

Buruh atau pekerja dari perusahaan tersebut tidak khayal lagi adalah penduduk setempat. Mereka dipaksa bekerja dengan tidak mendapat imbalan upah yang layak. Di balik penderitaan dari sebagian besar rakyat ini ada pula beberapa orang yang bernasib mujur. Karena kepandaian mereka berhasil mengambil hati Jepang, diberi pekerjaan sebagai pengawas atau mandor. Lebih dari itu mereka telah berhasil diperalat dan dijadikan mata-mata terhadap buruh-buruh kasar. Hal ini sangat menekan perasaan dan menyayat hati mereka yang bekerja sebagai buruh kasar. Takut disiksa dan dibunuh oleh Jepang, mereka terpaksa bekerja terus dengan meninggalkan anak istri. Kesempatan untuk pulang ke kampung halaman tidak selamanya mendapat izin, seperti yang terjadi terhadap beberapa orang penduduk Suak Garong. Karena tidak mendapat izin, secara diam-diam pulang ke kampung dengan maksud akan mencari makanan, sebab makanan telah tiada dan tidak mampu bekerja dengan perut kosong.

Pimpinan perusahaan Jepang di Posong maupun Kunyil mengetahuinya. Yamamoto yang digelari masyarakat di Meliau, Tayan dan sekitarnya Tuan Pentong berkedudukan di Kunyil Embuan sebagai pimpinan KKK, membawa seorang pegawai atau kerani bernama Atet menuju Kampung Suak Garong di Melawi Meliau. Pimpinan rombongan pekerja romusha yang nekat kembali itu Lisi. Oleh sebab itu Tuan Pentong menjadi semakin marah. Siapa saja yang dijumpai di kampung itu ia pukul. Kebetulan yang ada hanyalah Pang Rontoi suami istri yang sudah lanjut usia. Maka serta merta Tuan Pentong masuk ke rumah dan meraih martil yang kebetulan dijumpai di atas tempat duduk Pang Rontoi. Nasib mujur Pang Rontoi terhindar dari serangan martil maut tersebut. Peristiwa ini membuat Tuan Pentong semakin marah. Dan dengan beringas ia menyerang Pang Rontong atau Caya dengan pukulan tinju dan sepak terjang.

Di balik rasa takut telah timbul keberanian. Dan dengan gaya ketuaannya tanpa ada komando ia mencoba membendung serta membalas setiap serangan Tuan Pentong. Kejadian tersebut segera dilaporkan kepada Temenggung Mandi atau Pang Dandan di Kunyil. Pang Dandan segera membagi rakyatnya menjadi tiga kelompok dipimpin masing-masing panglima adat. Kelompok pertama dipimpin Pang Suma atau Menera, kelompok kedua Pang Linggan atau Ajun dan kelompok ketiga Agustinus Timbang. Sambil menunggu komando selanjutnya rakyat di seluruh ketemenggungan Embuan diperintahkan berjaga-jaga dari kemungkinan serangan dan penyiksaan penguasa Jepang.

Pada 13 Mei 1945 di kompleks Nitinan, perusahaan kayu milik Jepang, terjadi peristiwa berdarah menggemparkan masyarakat ketemenggungan Embuan di tanah Desa dan sekitarnya. Kampung Sekucing Labai waktu itu di bawah pimpinan Kepala Kampung Maran atau Kepala Burung dalam wilayah Mangku Bunga atau Pang Umbuh. Kejadian itu diawali di mana sekelompok masyarakat Dayak yang bekerja pada perusahaan tersebut penduduk dari Kampung Nek Raong dan Nek Bindang. Mereka tinggal di pondok ladang di Kampung Sungai Nanga yang cukup jauh dari Sekucing Labai.

Suatu hari turun membawa ubi kayu seorang gadis putri Ajun Cucu Dolong bernama Linggan. Gadis ini cantik sehingga menjadi perhatian setiap pemuda, khususnya Jepang yang bernama Osaki pimpinan perusahaan. Karena itu ia bermaksud mempersunting Linggan. Maksud Osaki itu disampaikannya kepada Ajun ayah Linggan. Osaki memaksa ingin mengawini Linggan. Keluarga Dolong menolaknya. Karena Linggan menolak permintaannya, Osaki marah disertai maksud buruknya. Ia mengancam memancung Pang Linggan atau Ajun. Rencana buruk Osaki diketahui Pang Linggan. Ia segera pulang ke Sungai Nanga. Dikumpulkannya semua keluarganya menanggapi Osaki. Hasil mufakat diputuskan menghadapi Osaki.

Esoknya berangkat Dolong bersama Pang Linggan atau Ajun, Pang Suma atau Menera, Pang Sonja, Pang Iyo, Etang, Pang Dosi, Aji dan Pinjun. Tiba di tujuan, Pang Linggan dan Pang Suma menyapa Osaki dengan baik. Namun serta merta Osaki menyerang dengan popor senapannya. Oleh sebab itu segera Osaki itu ditantang keduanya, suasana pagi itu menjadi arena pertarungan dan perkelahian sengit. Osaki tanpa sempat memberikan perlawanan ditewaskan Pang Suma dan Pang Linggan. Sementara itu di Sekucing Labai para pekerja dan penduduk sekitarnya terkejut. Sebagai pernyataan masyarakat Sekucing Labai, Nek Raong, Nek Bindang dan sekitarnya, diadakan upacara adat pesta notong.

Setelah itu mufakat merencanakan dan menentukan penyerangan berikutnya terhadap Jepang. Untuk mendapatkan bantuan serta sebagai pemberitahuan dikirimlah Damak atau Petuong atau Mangkuk Merah atau yang dikenal dengan Bunga Jarao ke seluruh pelosok Kalimantan (Barat khususnya), khususnya ke pehuluan dan pedalaman mulai dari Tayan, Balai Berkuak, Kualan, Sekadau, Durian Sebatang dan terus ke wilayah Raja Ulu Ae di Laman Sengkuan Ketapang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Jepang Nitinan diperintahkan berhenti dan segera meninggalkan tempat.

Setelah beredarnya petuong atau mangkuk merah sebagai pernyataan perang terhadap Jepang, mulai sore itu selama seminggu datang ribuan rakyat dari berbagai tempat di pedalaman siap berperang. Rapat diadakan selama tiga hari dengan kebulatan semua Dayak di manapun berada disiap-siagakan mengadakan perang melawan Jepang. Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak Tiga Belas Sungai Belansai pusat pertemuan seluruh rakyat dari berbagai pelosok dan daerah Kalimantan Barat.

Peperangan di Niciran meletus. Bersenjatakan mandau dan parang. Soetsoegi pimpinan perusahaan didapati tidak bernyawa lagi tubuhnya tergeletak tidak berkepala. Dari hutan perladangan Durian Pampang Sansat, pekerja di antaranya Rejap, Libau, Cabu, Sulang Langgar menewaskan Soetsoegi, bertambah jelas oleh masyarakat bahwa Jepang adalah musuh yang harus ditumpas. Tewasnya Osaki di Sekucing Labai dan Soetsoegi di Gempar Pulau Jambu., pimpinan Jepang di Pontianak mengirimkan pasukan Kaigun, Keibeitai serta melibatkan heiho dipimpinan perwira senior Takeo Nakatani.

Di Tayan, Nakatani yang berpangkat Thaisa (tiga besar) menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan menuju Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan memudiki Sungai Embuan melakukan penumpasan gerakan rakyat. Sementara rakyat sudah mengatur strategi pertahanan memusatkan kekuatan di Suak Tiga Belas. Dalam suatu kesempatan, Pang Suma menewaskan Takeo Nakatani. Sebelum itu anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma. Dalam kesempatan terjepit pula, Pang Suma dan Djampi menghabisi rombongan Nagatani yang tersisa. Tewasnya Yamamoto atau Tuan Pentong pada 13 Juni 1945, tewas pula empat pembesar militer Jepang lainnya di Suak Tiga Belas. Selanjutnya 24 Juni 1945, kelompok yang dipimpin Panglima Menera atau Pang Suma memasuki Meliau. Meliau direbut dan diduduki hingga 30 Juni 1945.

Waktu waktu bersamaan bersama Panglima Agustinus Timbang dan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau. Pada 17 Juli 1945 Pang Suma atau Panglima Menera memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, Pang Suma didampingi sejumlah pemimpin perlawanan lainnya seperti Libau, Jap, Tapang, Sulang dan Burung. Beberapa anggota lainnya di pimpinan Pang Suma seperti Panglima Agustinus Timbang, Pang Linggan, Pang Rati, Pang Mela, Pang sayu atau Cari, Pariman, Nuli dan Pang Tangap atau Ujud. Di Pemura atau Temura pecah pertempuran. Dalam baku tembak itulah Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya. Dan Apae Panglima Beli tewas seketika. Tidak lama kemudian di sekitar halaman Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun atau Pang Linggan tertembak dan luka yang parah. Sedangkan Pang Suma sendiri akhirnya gugur.

Sementara itu Panglima Kilat dalam tugasnya berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman perang Majang Desa terhadap Jepang. Setelah tiga orang pimpinan pemberontakan di Meliau Pang Suma, Pang Linggan dan Ape gugur, selanjutnya Panglima Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil lolos dan menyelamatkan diri. Sejak 17 Juli sampai 31 Agustus 1945, Jepang kembali menguasai Meliau, meski sebetulnya 17 Agustus 1945 Indonesia telah merdeka, namun berita kemerdekaan itu sendiri belum sampai ke pelosok pedalaman dan pehuluan serta pesisir Kalimantan Barat.

Dalam usaha dan taktik pengusiran terhadap balatentara pendudukan Jepang, bersama-sama dengan M Th Djaman, salah seorang guru di Nyandang ketika itu, sejumlah pemuka masyarakat lainnya dari Balai Karangan, Kembayan, Bonti dan Balai Sebut antaranya YAM Linggi, Solang, di Doku suatu perkampungan kecil dekat Sanggau Kapuas, melangsungkan suatu pertemuan. Setelah perundingan Doku Sanggau, Panglima Agustinus Timbang beserta pengikutnya menuju Lape. Dari sinilah gerakan bersenjata dilanjutkan. Angkatan Perang Majang Desa terbentuk 13 Mei 1944 di Embuan Kunyil Meliau diaktifkan. Mulanya dipimpin Temenggung Mandi atau Pang Dandan seorang pemuka adat Embuan Kunyil. Dalam kepengurusan awalnya, terdiri dari sejumlah pemuka adat, seperti Temenggung Bagok, Pang Perada atau Sayang, Mohamad Natsir, Naga, Tan Sin An, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Menera bin Dulang atau Pang Suma, Pang Linggan atau Ajun, Agustinus Timbang, Naga, Gompang, Pang Lapen.

Angkatan Perang Majang Desa (APMD) melancarkan serangannya. Sanggau Kapuas dikuasai. Namun dalam kondisi demikian pimpinan APMD kecewa, karena salah seorang pewaris kuasa Kerajaan Sanggau Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya kepada Bunken Kanrikan di sana. Salah seorang kerabat Sanggau Kapuas, Gusti Ismail merasa terjadi persimpangan jalan dalam upaya menghadapi Jepang. Di satu sisi Gusti Ali Akbar ingin kooperatif, di sisi lain Gusti Ismail bersifat non-kooperatif. Bahkan sangat revolusioner. Oleh sebab itu Gusti Ismail dan Gusti Sohor seterusnya bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan suatu perlawanan terbuka. Dalam berbagai pertempuran di kedua belah pihak saling jatuh korban. Meski Jepang telah menyerah kalah terhadap Sekutu, namun perlawanan rakyat khususnya dari APMD terus berlanjut. Bahkan APMD memasuki Kota Pontianak. Di Tayan, Bunken Kanrikan Miagi ditwaskan.



Juni 1980 sekitar tiga puluh enam tahun setelah kejadian Meliau, waktu itu Laksus Pangkopkamtibda Kalbar Brigjen Untung Sridadi bersama Gubernur Kalbar Soedjiman, menerima penyerahan berupa lima tengkorak dari pasukan balatentara Jepang yang tewas dalam pertempuran Meliau dan sebilah samurai milik Takeo Nakatani. Selanjutnya benda tersebut oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Barat diserahkan kepada Pemerintah Jepang diwakili Mr K Tasima wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo Jepang. Penyerahan kepada Pemerintah Kalbar disampaikan tokoh masyarakat terkait langsung dan waris APMD, antaranya Agustinus Timbang, Naga, Burung, Drs ML Goye, YAM Linggi, M Th Djaman dan Herman Gani. (Diringkas dari tulisan S. Jacobus E. Frans Layang, BA. SH. MH. (1981)

BAGIAN KE LIMA: KELUARGA KORBAN BERKISAH

1. MENDUNG DI ISTANA KADRIYAH
Ratu Perbu Wijaya dan Ratu Anom Bendahara (kedua ibu ratu itu kini sudah almarhumah) masing-masing berusia sekitar 33 dan 30 tahun ketika balatentara Dai Nippon menginjakkan kakinya di Kalimantan Barat 1942. keduanya adalah putri Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadri. Putra-putri Sultan Muhammad seluruhnya 10 orang.

Pada penangkapan 24 Januari 1944, Sultan Muhammad telah diambil bersama seluruh anak laki-lakinya, kecuali Syarif Hamid (kelaknya sebagai Sultan Hamid II). Termasuk semua menantunya, kecuali Syarif Ibrahim Alkadri suami Syarifah Safiah. Ditambah lagi dengan sejumlah keluarga dekat, baik yang bertempat tinggal di dalam lingkungan tembok Istana Kadriyah maupun yang tinggal di luar tembok istana.

Subuh 24 Januari 1944 sekitar pukul 03.00 tiba-tiba saja suasana yang mencekam dan mencemaskan terjadi dalam lingkungan tembok Istana Kadriyah Kampung Dalam Pontianak. Diperkirakan tidak kurang dari 15 lusin tentara Jepang telah mengadakan stelling. Mereka berpencar di seluruh rumah yang didiami keluarga Alkadri, dengan senapan bayonet terhunus. Dari celah-celah lantai rumah yang bertiang tinggi, kelihatan bayonet diacung-acungkan.

Kemudian setelah itu, pintu-pintu rumah digedor. Beberapa orang kempeitai masuk, membawa lampu senter. Di tangannya tergenggam sebuah daftar les hitam berikut foto dari calon-calon korban. Seluruh penghuni rumah dikumpulkan, dipilih mana yang termasuk ke dalam daftar tersebut. Mula para calon korban dikkat dengan sembarang apa saja yang bisa, apakah itu taplak meja atau karung, atau gorden. Tangan diikat ke belakang. Di antara penghuni Istana Kadriyah ada yang bermaksud untuk meloloskan diri lewat pintu belakang. Tapi ternyata di sana pun telah berjaga-jaga tentara Jepang.
Sultan Muhammad yang pada ketika itu baru saja selesai makan sehabis shalat tahajud, diberitahu tentang apa yang sedang terjadi. Namun sultan tampak tenang-tenang saja, bahkan berkata tidak apa-apa Jepang sedang mencari orang-orangnya. Mungkin sesungguhnya kalimat itu masih akan berlanjut, tetapi keburu muncul tentara Jepang yang langsung menangkapnya. Semula sultan akan diperlakukan juga seperti korban-korban lainnya. Tapi sultan menolak dan dengan berwibawa berkata tidak akan lari.

Di rumah lain, di samping istana, Ratu Anom Bendahara sempat menerima pukulan-pukulan senter di kepalanya karena menentang perlakuan Jepang terhadap suami dan keluarganya yang lain. Di rumah-rumah keluarga Alkadri itu, Jepang bukan hanya telah mengambil manusia, tapi juga barang-barang perhiasan berharga. Untuk maksud itu mereka telah mengobrak-abrik seluruh isi rumah. Dari tingkat dua Istana Kadriyah barang-barang perhiasan seperti emas, intan dan berlian diturunkan dengan menggunakan tali. Termasuk di situ alat-alat senjata yang bertatahkan berlian, bahkan dua mahkota emas tulen.

Orang-orang yang diambil dari rumahnya masing-masing dikumpulkan dekat tiang bendera di halaman istana. Pada dada mereka disematkan secarik kertas atau kain, sebagai tanda. Kemudian orang-orang itu diseberangkan dengan motor air yang dikenal dengan sebutan Motor Sungkup. Hingga sore hari esoknya, Istana Kadriyah masih diblokir oleh tentara Jepang. Selain mencari orang-orang yang belum ditemukan, juga mencari barang-barang berharga. Untuk mencari yang disebut terakhir ini kiranya cukup memakan waktu.

Salah seorang putra Sultan Muhammad yang berhasil meloloskan diri adalah Syarif Abdulmuthalib Pangeran Muda. Ketika penangkapan berlangsung ia berhasil mengelabui tentara Jepang. Karena tak berhasil menemukannya, Jepang membuat janji bohong. Jika Pangeran Muda menyerahkan diri, maka sultan akan dipulangkan. Atas desakan saudara-saudara perempuannya yang menginginkan sultan segera dikembalikan, pun atas kehendak sendiri, akhirnya Pangeran Muda menyerahkan diri. Sungguh memilukan.

Selesai penangkapan itu, 7 Maret 1944 kembali Jepang menangkap lagi seorang keluarga Kadriyah. Sekali ini Syarifah Maimunah Ratu Kesuma Yudha putri sultan yang dalam keadaan hamil tua. Berikutnya Syarif Ibrahim menantu sultan. Namun yang terakhir ini dipulangkan setelah ditahan selama sebulan. Belum puas dengan apa yang telah diperolehnya, selama lebih kurang enam bulan setelah penangkapan, tentara Jepang selalu saja datang ke istana. Dan kedatangan tentara-tentara Jepang itu seakan mau berbaik-baik. Oleh kalangan istana, hal itu diduga sebagai ingin mengetahui rahasia dari mulut anak-anak yang polos. Pada waktu itu Jepang juga mengeluarkan pengumuman, agar semua barang berharga seperti emas, intan dan berlian diserahkan kepada pemerintah Jepang.

Berita yang dilansir Borneo Sinbun 1 Juli 1944 membuat kalangan istana menjadi gempar. Betapa kedukaan telah menyelubungi seluruh keluarga Alkadri. Sampai-sampai tak dimiliki lagi air mata untuk ditetskan. Kering dalam kehampaan rasa. Setelah kekuasaan Jepang runtuh, Ratu Perbu Wijaya, Ratu Anom Bendahara bersama dengan keluarga korban lainnya telah datang ke Mandor untuk menyaksikan tempat di mana Jepang telah melakukan pembantaian. Yang datang ke sana bukan hanya keluarga Istana Kadriyah, tapi juga masyarakat lainnya.

Kepergian ke Mandor diantar oleh anggota tentara Sekutu, bersama beberapa orang Jepang yang diborgol sebagai pennunjuk jalan. Apa yang ditemui, tak lain tulang belulang yang sudah terpisah-pisah, berserakan di sana-sini. Tak dapat lagi dikenal identitasnya. Betapa luluh hati menyaksikan pemandangan serupa itu. Tak kuasa kata-kata mengungkapkannya.

Sedangkan mayat Sultan Muhammad ditemukan pada 1945 itu juga, atas petunjuk seorang hukuman yang ikut menyiapkan tempat penguburannya. Lokasinya berada di belakang kompleks susteran Pontianak. Waktu digali masih dalam keadaan utuh. Kemudian dibawa ke RSO Soengai Djawi Pontianak diperiksa dr Soedarso. Selanjutnya setelah itu dibawa pulang ke Istana Kadriyah. Dengan upacara kebesaran, dimakamkan di pemakaman raja-raja di Batulayang Pontianak. Mengenai mayat korban lain yang berasal dari Istana Kadriyah tetap tidak ditemukan. Apakah berada di Mandor ataupun tempat lain, tidak diketahui dengan jelas.

2. TAK MENGERTI MENGAPA DIJEMPUT
Pengalaman mencekam juga dialami H Jimmi Mohamad Ibrahim (Alm). Bedanya, Jimmi tak sempat merasakan kerja paksa mencangkul kebun sebagaimana dialami Ratu Perbu Wijaya dan Ratu Anom Bendahara. Sebab ketika terjadi penculikan oleh serdadu jepang itu, Jimmi masih kanak-kanak, duduk di kelas IV Jokio-ko Gakko atau Sekolah Dasar. Terakhir Jimmi adalah Ketua DPR Propinsi Kalbar dan sebelumnya sebagai wakil Gubernur dan pernah pula sebagai Sekda Kalbar. Ia adalah putra Raja Mempawah Mohammad Taoefik Aqamaddin yang juga korban penyungkupan.

Sejak bersekolah di zaman pemerintahan Belanda, Jimmi sudah indekos di rumah orang Belanda kenalan ayahnya. Waktu zaman Jepang ia kos di rumah kenalan ayahnya bernama panangian harahap seorang penilik sekolah. Ketika itulah ia menyaksikan penangkapan oleh serdadu Jepang terhadap penghuni rumah tempat dia indekos, semalam menjelang berlangsungnya konferensi kerja Nissinkai di Pontianak yang diselenggarakan pemerintah Jepang.

Waktu itu, ungkap Jimmi, sekitar pukul 2 dinihari, dia kaget dibangunkan serdadu Jepang yang memegang senapan, lengkap dengan sangkur terhunus. Rupanya serdadu Jepang tengah mengadakan penggeledahan. Semua penghuni dikumpulkan di ruang tengah. Seorang serdadu membuka daftar, lalu memanggil nama Panangian Harahap dan Goesti Djafar Panembahan tayan seorang peserta konferensi yang menumpang menginap di situ. Kepala para tawanan itu ditutup dengan kain hitam, tangan diikat ke belakang. Pada tangan yang terikat itu dicantelkan kertas bertuliskan huruf kanji. Keduanya digiring naik ke truk yang berttutup terpal.

Pagi-pagi sekali Jimmi disuruh istri Panangian, Nurlela Panangian yang kemudian diciduk juga, ke rumah di Jalan Sikishima-dori yang di zaman Belanda sebagai Palmenlaan atau jalan Merdeka sekarang, di rumah yang tidak jauh dari kediaman keluarga Panangian. Jimmi disuruh memberitahu kepada ayahnya perihal kejadian itu. Seperti juga para raja lainnya, Mohammad Taoefik telah datang ke Pontianak dari Mempawah. Jimmi melihat ayahnya saat itu tengah sarapan bersama Sultan Sambas Mohammad Ibrahim Tsafioeddin. Kedua orang tua ini segera berkemas menuju kantor syuutizityo setelah mendengar penuturan Jimmi.

Menjelang mahgrib, kenang Jimmi, ayahnya pulang sendiri berjalan kaki. Ayahnya tampak letih sekali, kata Thaoefik sultan Sambas dan raja lain sudah ditangkap Jepang ketika konferensi berlangsung. Jimmi tidak bertanya mengapa ayahnya tidak ikut ditangkap. Waktu itu kabarnya Sultan Pontianak pun dibolehkan pulang.

Dua bulan kemudian, dua serdadu Jepang datang ke istana Mempawah, sekitar 67 kilometer utara Pontianak, untuk menjemput Panembahan Mempawah ini. Mereka datang mengendarai mobil sedan. Ketika itu Thaoefik sedang makan. Sikap serdadu itu cukup menghormati panembahan, terbukti dengan membolehkannya menyelesaikan santap siangnya. Menurut para penjemput itu, Dokoh sebutan raja tersebut, akan dibawa oleh mereka ke Pontianak untuk menghadap syutizi.

Mata ayahnya tidak ditutup, kata Jimmi. Bahkan ayahnya boleh membawa koper. Serdadu itu membantu mengangkat koper ke mobil. Dan sejak itu sang ayahpun tidak pernah pulang, kisah Jimmi. Setelah panembahan diciduk, di istana Amantubillah Mempawah dipasang plakat berbunyi Warui Hitto, artinya Orang jahat. Istana dinyatakan tertutup dan tidak boleh menerima tamu. Dan di hari tuanya Jimmi menuturkan, dirinya baru tahu perihal penangkapan itu setelah ia duduk di kelas VI. Menjelang Jepang jatuh dihajar Sekutu, sekitar Juli 1945 Jimmi yang telah bergelar Pangeran Mohammad dibawa oleh serdadu Jepang ke Mempawah untuk dilantik sebagai panembahan menggantikan ayahnya. Kepadanya juga diberikan sertifikat. Waktu penobatan, panembahan muda itu tinggal membacakan pidato yang dibuatkan Jepang. Belakangan Jimmi baru tahu bahwa tindakan itu dilakukan Jepang karena sudah tahu bakal jatuh. Mengenai sang ayah, sampai belakangan tidak diketahui di mana kuburnya. Jimmi yang kini sudah almarhum kurang yakin kalau ayahnya ada di pemakaman masal Mandor.

3. LOLOS DARI MAUT
Adalah RNT Simorangkir yang luput dari sungkupan Jepang. Apa yang dialaminya boleh dikatakan sebagai suatu keajaiban. Padahal ia dan seorang temannya telah berada di dalam truk sungkup bersama dengan korban lainnya dari Mempawah. Dia yang kini sudah almarhum, semasa hidupnya menurutkan, dirinya datang ke Kalimantan Barat dari Sumatera Utara ketika berusia 15 tahun. Ketika Jepang masuk usianya sekitar 27 tahun.

Malam-malam menjelang penangkapan besar-besaran di Mempawah, suasana terasa sangat tegang. Kelihatan beberapa truk melaju ke utara ke arah Singkawang. Di bak belakang tampak duduk dua orang tentara Jepang di atas kursi rotan. Keesokan harinya di tempat mereka bekerja telah datang seorang polisi yang bernama Yusuf Amin. Waktu itu hari baru sekitar jam 9 atau 10 pagi. Dirinya bersama Jafar dan Yunan Mantri Pagung disuruh menghadap Tokkeitai di Mempawah.

Ketika ketiganya menghadap kepala polisi Jepang itu, Simorangkir duduk di tengah. Satu persatu ketiganya ditanyai umur, nama dan daerah asalnya. Setelah itu, kenang Simorangkir, Yunan disuruh masuk ke dalam, sedangkan dirinya dan Jafar disuruh menunggu di luar kantor. Ketika berada di luar kantor itu mereka berdua didatangi Bunken Kanrikan Nakanichi. Ia menanyakan apakah keduanya sudah mendapat panggilan.

Bunken kemudian masuk ke kantor. Kira-kira jam 11 ia tampak keluar. Kepada keduanya Bunken itu menyuruh pulang. Setelah keduanya bersaikere yaitu cara penghormatan yang berlaku pada masa itu, maka keduanya pulang ke rumah masing-masing. Dari kantor polisi itu Simorangkir tidak kembali ke Kantor Kadaster tempat ia bekerja, melainkan terus ke rumah. Karena pulang agak terlambat istrinya Boru Tobing menyusul ke kantor. Oleh pegawai lain dikatakan Simorangkir sedang membagi gula.

Kecurigaan sang istri memang beralasan. Sebab tidak biasa dia pulang terlambat dari jam semestinya, karena sore hari mesti masuk kerja lagi. Beberapa hari setelah itu, dia mendapat panggilan lagi ke kantor polisi Jepang. Ketika akan meninggalkan rumah, Simorangkir dan istri bersimpuh di pintu ruang tengah berdoa. Apa yang suami—istri itu lakukan disaksikan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil.

Saat tiba di kantor polisi, tampak dua truk datang dari arah Pontianak dikawal tentara Jepang. Satu truk menuju ke penjara, satunya lagi masuk ke halaman kantor polisi. Bersama dengan Jafar, ia pergi melaporkan diri. Ketika itu sekitar jam 13 siang. Suasana terasa sepio dan lengang. Dari kejauhan terlihat, jalan masuk menuju ke penjara ataupun kantor polisi dijaga ketat. Orang-orang tidak diperbolehkan lewat.
Kelihatan truk yang diparkir di depan penjara mulai diisi dengan orang-orang yang sebelumnya memang sudah ditahan di sana. Setelah truk itu dipenuhi dengan tawanan atau calon korban, lalu disungkupi dengan kain mota atau terpal. Simorangkir dan Jafar lalu diperintahkan naik truk itu. Tapi sebelum ditutupi terpal, Bunken Kanrikan Nakanichi sempat melihat. Buru-buru ia masuk ke kantor dan memerintahkan agar truk jangan ditutupi dulu. Ia kemudian pergi menemui Keisatsutyo. Jelas kelihatan kedua pembesar Jepang itu berbicara serius. Dan ketika Bunken kembali ke dekat truk, ia langsung memerintahkan Simorangkir dan Jafar untuk turun.

Setelah keduanya turun, bak belakang truk itu siap ditutup. Seorang orang Tionghoa bernama Kho Kim Siu kelihatan masih berdiri di atas bak truk itu. Seorang tentara Jepang memukul kepalanya dengan popor senapan hingga ia terduduk. Truk ditutup lalu berangkat ke arah Pontianak meninggalkan Mempawah.

Setelah kedua truk meninggalkan Mempawah, Keisatsutyo minta Bunken mengumpulkan penduduk termasuk pegawai yang ada di mempawah. Hadir sekitar 50 orang. Kesemuanya berkumpul di kantor Bunken Kanrikan. Keisatsutyo berkata bahwa Tuan Besar sudah mengangkut orang-orang jahat itu ke Pontianak. Disebutnya orang-orang yang diangkut itu akan dipotong semua. Selesai itu orang-orang disuruh bubar.

Simorangkir mengirakan sedikitnya ada 45 orang yang diangkut dengan dua truk itu. Itu dianggap sudah memenuhi target. Untuk memenuhi target, bukan mustahil jika ada yang bercerita dalam perjalanan menuju tempat pembantaian serdadu pengawal truk mencomot siapa saja penduduk yang ditemukan di pinggir jalan. Mereka ikut dinaikkan ke truk sungkup, sekedar untuk mencukupi jumlah yang ditargetkan. Termasuk terhadap dua orang polisi yang tengah bertugas menjaga di mulut jalan, keduanya dinaikkan dan disungkup pula untuk menggantikan kekurangan dua orang calon korban yang lolos, Simorangkir dan Jafar tadi. Bahkan ada yang bercerita bila dalam perjalanan seseorang calon korban berhasil meloloskan diri dari truk sungkup, serdadu Jepang itu tidak berusaha untuk menangkapnya kembali. Tapi akan memungut korban lain yang mudah dijumpai di sepanjang jalan.

Lain Simorangkir, lain pula Ade Mohammad Djohan. Ade Djohan yang kini sudah almarhum semasa hidupnya menuturkan bahwa Tuhan masih berpihak kepada dirinya, sehingga meskipun dia menyerah pada maut, namun dia masih diberikan keselamatan dari kekejaman Jepang sekitar 1944. Ade Djohan ketika itu bekerja di kantor koperasi selaku pimpinan di daerah Nanga Pinoh Melawi.

Umurnya saat itu sekitar 32 tahun. Di tanah Nanga Pinoh sendiri saat itu mulai diadakan gerakan penyungkupan atas beberapa tokoh secara bertahap. Mereka yang diambil dibawa dengan kapal sungkup melalui perairan Sungai Kapuas. Entah ke mana. Perkiraan mereka yang tinggal adalah ke Pontianak. Lolosnya Ade Djohan merupakan peristiwa yang kebetulan. Dalam arti bukan merupakan upaya untuk meloloskan diri.

Mereka sebanyak 17 orang dan merupakan gelombang keempat dari peristiwa pengambilan itu, digiring ke kapal. Ketika akan berangkat, dan dihitung, ternyata ada satu orang yang masih tertinggal di daratan. Oleh Jepang, Ade Djohan ditugaskan mencari orang itu. Cukup lama juga ia turun ke darat, namun yang dicari tak ketemu. Lalu Ade Djohan pun kembali ke kapal. Ternyata kapalnya sudah lama berangkat dengan mengikutsertakan orang yang dicarinya tadi. Dengan begitu selamatlah jiwa Ade Mohammad Djohan. Tuha menggariskan nasib yang lebih baik kepadanya. Ade Djohan meninggal di usia senjanya.

4. MENGENAL CELANA UNIK
Ketika Jepang kalah—menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu—mereka meninggalkan ladang pembantaian Mandor dalam keadaan sangat memilukan. Di sana ditemukan sejumlah lapangan yang diberi tanda dengan tonggak kayu belian (ulin). Diperkirakan, itu merupakan makam masal yang sempat dikerjakan. Selain itu sekitar 3000-an kerangka manusia ditemukan berserakan di sana, telah bercerai-berai karena di makan babi hutan.

Nyonya Saddiah Mahidin Batubara (almh) asal Sipirok (Sumut) pada tahun 1977 bercerita, suaminya Mahidin Batubara yang bekerja di Kantor Distribusi Pemerintah Jepang (SADIP) di kawasan Pelabuhan Seng Hie Pontianak, diambil Jepang dari kantornya pada bulan Maret 1944 sekitar pukul 10.00 pagi. Mereka tak pernah bertemu lagi setelah itu. Setelah Jepang kalah, mereka keluarga korban berkesempatan untuk datang ke Mandor. Sekitar 11—13 mobil yang dipergunakan. Bertindak selaku penunjuk jalan, beberapa orang Jepang yang tangannya diborgol dan dikawal oleh tentara Australia (Sekutu).

Apa yang mereka saksikan di Mandor, sangat memilukan. Banyak yang pingsan menyaksikannya. Di sana-sini tulang belulang berserakan. Kerangka-kerangka itu sudah bercerai-berai karena dimakan babi hutan. Di sana-sini terlihat pula bekas-bekas pakaian, baik pakaian pria maupun pakaian wanita. Bekas kain panjang wanita, menurutnya ada 5 helai. Juga rambut wanita, setagen dan sandal. Dari sekian banyak barang yang terlihat, ada satu yang dia kenal betul, yaitu sebuah sisa celana. Ciri celana itu tidak umum, karena bawaan dari Medan. Ketika almarhum suaminya ditangkap, celana itulah yang dipakainya. Tapi yang mana kerangka sang suami, tak dapat ditemukan.

Sebelum pulang ke Pontianak, mereka sempat singgah di pasar Mandor. Di sana diperoleh cerita beberapa waktu sebelumnya truk-truk Jepang memang sering datang pada malam hari. Ketika pulang selalu dalam keadaan kosong. Dan bukan jarang penduduk pasar Mandor mendengar jeritan-jeritan yang memelas dari tempat pembantaian itu. Dan menurut cerita, Jepang membunuh korbannya dengan cara memancung menggunakan samurai. Tampaknya tengkorak-tengkorak di sana ketika itu dalam keadaan utuh, bulat. Dan mengenai ini, tidaklah sempat diteliti dengan seksama, karena mereka tak tahan …

Dia menuturkan, suatu pagi Maret 1944 sekitar pukul 10 Mahidin Batubara diambil Jepang dari kantornya. Teman-teman sekantornya yang sama-sama diambil pada waktu itu adalah Ambo Pasir dan H Badaruddin atau Haji Badrun. Tapi haji Badrun kemudian dipulangkan kembali. Setelah Mahidin ditangkap, pada hari itu telah datang ke rumah mereka beberapa orang suruhan Jepang. Mereka mengatakan agar barang-barang milik Mahidin diambil dari kantor Kempeitai. Barang-barang tersebut kenang Saddiah berubah sepeda, cincin, topi dan uang 11 Rupiah atau uang Jepang.

Pada hari-hari berikutnya datang lagi orang suruhan Jepang, sampai tiga kali, menyuruh saddiah datang ke kantor kempeitai. Apa boleh buat, ungkapnya, ia terpaksa datang. Ketika itu, kepadanya ditanyakan apa-apa saja harta yang mereka miliki. Lebih kurang seminggu kemudian di rumah mereka di pasar dipasang plakat. Saddiah bertanya kepada orang Tionghoa, apakah maksud tulisan berhuruf kanji pada plakat itu. Mereka mengatakan bahwa ke rumah tersebut, orang tidak diperbolehkan keluar masuk kecuali keluarga dekat.

Dia sudah berfirasat bahwa suaminya tidak bakal kembali lagi. Kepastian bahwa mereka tak akan lagi berjumpa dengan suaminya, menurut ibu yang saat ditinggal selamanya oleh sang suami mengasuh enam orang anak yang masih kanak-kanak itu, diperkuat dengan ditukarnya kartu distribusi dan lain-lain. Sebelumnya, semua kartu itu adalah atas nama Mahidin.

5. MEREKA PASTI DIPANCUNG
Pekerjaan mengumpulkan tulang belulang itu memakan waktu lebih kurang 3 bulan lamanya. Ada yang bertumpuk di dalam parit-parit dangkal. Dan tak sedikit yang bertebaran ke mana-mana. Sebisa-bisanya tulang belulang itu dipungut, dibersihkan, lalu dikumpulkan. Seperti apa yang diperintahkan oleh seorang Belanda bernama van Doren, maka sewaktu akan dikuburkan tengkorak yang sudah terpisah dari kerangkanya itu harus dihadapkan ke kiblat.

Saini Saad kini sudah almarhum. Berusia sekitar 22 tahun ketika Jepang masuk ke Pontianak. Ia berasal dari Singkawang, mulai bermukim di Mandor pada 1946. ia ambil bagian dalam pekerjaan mengumpulkan tulang belulang korban, di bawah pengawasan Tentara Australia dan NICA. Selain itu ia pulalah yang menjadi tukang semen pertama yang mengerjakan penyemenan makam masal itu.

Dia menuturkan, menurut pengamatannya tengkorak-tengkorak itu dalam keadaan utuh. Meskipun sudah terpisah dari rahang bawahnya. Namun bagian-bagian yang lain tidak tampak cacat. Tidak terdapat lubang-lubang, ataupun tanda-tanda batok kepala yang pecah. Dan setiap kali ditemukan selalu kepala-kepala itu terpisah dari kerangka tubuh. Malah dalam letak yang agak berjauhan. Oleh sebab itu, ungkapnya, ia yakin para korban dibunuh dengan cara dipancung dengan samurai.

Dugaan ini diperkuat dengan melihat adanya bekas bangku-bangku yang berdekatan dengan parit-parit. Dia mengirakan, sebelum dibunuh korban disuruh duduk di atas bangku itu menghadap ke parit. Lalu disuruh sedikit membungkuk. Dan pada ketika itulah samurai Jepang diayunkan. Tubuh korban tentu akan jatuh sendiri ke parit, kalaupun tidak hanya dengan dorongan sedikit saja tubuh korban pasti masuk ke parit.

Di suatu dataran yang agak luas ditemukan juga tonggak-tonggak kayu yang seperti sengaja dipancangkan di tempat itu. Menurut dugaan Belanda, pada setiap tonggak ada mayat. Namun tidak digali. Di pekuburan masal yang terdiri dari 10 makam itu, ada sebuah yang dikhususkan bagi tulang belulang korban yang diangkut dari Sungai Durian Pontianak.

Ketika tentara Australia dan NICA mengumpulkan mayat korban di Mandor, pada waktu itu tulang belulang korban masih tersebar dalam areal yang cukup luas. Yang sudah dimasukkan Jepang ke dalam lubang juga ada. Tapi lubang itu tidak ditimbuni kembali. Baik tulang belulang yang tersebar ataupun yang terdapat di dalam lubang semuanya dikumpulkan. Upah membongkar satu lubang waktu itu 40 rupiah. Seorang pekerja kadang-kadang bisa membongkar dua lubang dalam satu hari.

Dengan melihat keadaan kerangka yang selalu terpisah dari kepalanya itu, diyakini kalau Jepang membunuh dengan cara memancung. Dan ada ditemukan sebuah kerangka yang tergeletak dalam posisi jongkok. Tentu saja tanpa kepala. Mungkin waktu dipancung ia diperintahkan berjongkok dulu. Dan pada 1946 ada mayat yang masih utuh. Terbaring dengan tangan kiri mendekap dada, mengenakan kain sarung corak insang. Bajunya model telok belanga, mengenakan songkok rotan beranyam. Warna tubuhnya kekuning-kuningan. Jari jemarinya tak berkuku. Mungkin Jepang telah mencabut semua kukunya.

Dari sekian banyak korban memang di antaranya ada yang perempuan. Tapi lewat kerangkanya sulit membedakan yang mana perempuan dan yang mana laki-laki. Cuma ditemukan ada kira-kira 7 sepatu dan sandal wanita. Modelnya berlainan. Juga ditemukan selendang cindai.

6. IBU SELAMAT BERKAT ADIK BUNGSU
Ibu selamat dari penyungkupan dan rencana biadab kempeitai Jepang setelah sang ayah disungkup berkat sang adik bungsu yang saat itu berusia tak lebih dari sebulan. Itulah pengalaman yang dirasakan Gusti Mulia seperti dituturkannya di hari tuanya. Ia adalah salah seorang putra Panembahan Simpang Gusti Mesir yang juga korban penyungkupan Jepang bersama sejumlah kerabat lainnya. Menurut Mulia, akibat itu Kerajaan Simpang mengalami kehilangan satu generasinya.

Kerajaan Simpang terletak di wilayah Simpang Hilir sekarang. Pada masa pemerintahan Panembahan Gusti Mesir yang menggantikan panembahan sebelumnya, Gusti Rum, perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan, kebun, dan karet. Kemakmuran rakyat Simpang pun berakhir dengan datangnya fasisme Jepang pada 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, mengalami kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat memakan ubi dan sagu, berkain dan bercelanakan goni, serta berbaju kapuak (kulit kayu). Rakyat juga mengalami ketakutan dengan adanya teror yang dilakukan Jepang dan para kaki tangannya. Pelecehan terhadap ucapan koni ciwak diartikan, konicewak—celana goni baju kapuak, ada kopi gula tidak, menggambarkan keadaan pada masa itu.

Perekonomian lumpuh total, pasar sepi karena tidak adanya barang yang akan diperjual-belikan, tidak adanya beras, gula, tembakau, garam, minyak, dan bahan kebutuhan lainnya. Penduduk membuat garam dari batang nipah, gula dari kelapa dan enau, dan menggunakan minyak kelapa untuk penerangan. Pada waktu raja-raja dipanggil ke Pontianak untuk pertemuan yang diadakan oleh Jepang, Panembahan Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin yang selalu diikutsertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama bepergian. Dari Sukadana berangkat pula Tengku Betung atau Panembahan Tengku Idris. Setibanya di Pontianak semua raja-raja tersebut ditangkap Jepang, termasuk Gusti Mesir dan Mas Raijin.

Seminggu kemudian, Gusti Mesir dibebaskan atas perintah Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. Kemudian Gusti Mesir meminta Mas Raijin iparnya dibebaskan. Sulit sekali mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja.

Untunglah ia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan-tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, tampak seorang di antaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin. Karena kakinya pincang, selamatlah ia dari samurai Kempetai. Beberapa hari sekembalinya ke Telok Melano, berkumpullah semua penggawa, kiyai-kiyai, para patih dan demong, serta para kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Gusti Hamzah.

Pertemuan itu dimaksudkan mencari jalan menyelamatkan panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Ada juga yang mengusulkan supaya dilaporkan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas dan beberapa penduduk sudah menjadi korbannya. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua usul dan saran itu dengan halus ditolak oleh panembahan, karena menurut pertimbangannya usulan-usulan tersebut tidak akan membuahkan hasil yang baik, bahkan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Panembahan Mesir berkata, biarlah dia yang menjadi korban, asal jangan rakyat.

Pertemuan tersebut melahirkan kekecewaan karena tidak dapat berbuat apa-apa. Panembahan sudah mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi dan tabah menghadapinya demi keselamatan rakyat dan keluarga. Setelah panembahan kembali dari Pontianak waktu penangkapan pertama itu, ia berkata bahwa Jepang pasti akan datang lagi untuk menangkapnya. Itulah sebabnya ia pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaian baik siang maupun malam, bahkan tidurpun ayah masih mengenakan sepatu

Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak. Kepala Staatwech (mata-mata) Belanda ke Melano. Maka datanglah Jepang dari Sukadana dan Ketapang untuk mencarinya. Panembahan diminta mengerahkan rakyat membantu menangkapnya. Diadakanlah penyisiran di sekitar Melano dan Rantau Panjang selama beberapa hari siang dan malam. Akhirnya Kepala Staatwach tersebut dapat ditangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya Staatwach itu, datanglah motor cabang atau motor sungkup dengan dua orang Kempeitai dari Pontianak ke istana panembahan.

Kempeitai meminta Panembahan Mesir dibawa atau ditangkap. Di sekitar keraton banyak burung layang-layang, Kempeitai itu pun memainkan samurainya memancung burung-burung tersebut, akan tetapi tidak ada satu ekor pun yang kena, mungkin hanya untuk menakut-nakuti saja. Keadaan Keraton pada saat itu sangat sepi karena hanya ada istri Panembahan Mesir dan istri Panembahan Tua. Isak tangis tersendat-sendat, karena apa yang dikatakan panembahan memang itulah yang terjadi, bahwa Jepang pasti akan datang menangkapnya.

Turut dibawa juga Gusti Tawi Manteri Tani adik dari Panembahan Mesir yang rumahnya bersebelahan dengan Keraton. Mereka pun berjalan seiring menuju motor sungkup. Seperti suasana keraton yang sepi, daerah pasar pun juga sepi sehingga tidak banyak yang tahu akan peristiwa penangkapan itu. Kemudian dari Telok Melano, motor cabang itu terus melaju ke hulu Sungai Mata-Mata mengambil Panembahan Tua Gusti Rum di peladangannya, dan mudik lagi ke peladangan Sungai Pinang mengambil Gusti Umar abang Panembahan Mesir yang menjabat sebagai Menteri Polisi. Tengku Ajong suami dari Utin Temah adik Panembahan Mesir juga ditangkap. Begitu pula dengan sopir panembahan yang bernama Dolah, dan satu orang lagi bernama Bujang Kerepek. Jadi, semua yang ditangkap di Telok Melano adalah Gusti Rum, Gusti Mesir, Gusti Umar, Gusti Tawi, Tengku Ajung, Dolah dan Bujang Kerepek. Sedangkan keluarga kerajaan yang berasal dari Sukadana ialah Panembahan Tengku Idris (Tengku Betung), suami Utin Otek (kakak dari Panembahan Gusti Mesir). Adapun Gusti Jafar anak dari Gusti Rum yang telah berumur 18 tahun disembunyikan, karena Jepang mencari keturunan Gusti Rum ini dan kerabatnya yang berumur di atas 17 tahun dalam melaksanakan programnya Jepangisasi atau menjepangkan bangsa Indonesia.

Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu, Kempeitai-kempeitai Jepang datang lagi ke keraton dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan mereka pun tidak menyatakan sesuatu apa pun. Sejak itu hampir setiap minggu kempeitai-kempeitai Jepang datang untuk mencari istri Panembahan Mesir yaitu Utin Taharah atau ibu dari Gusti Mulia.

Adik bungsu Gusti Mulia yang baru saja berumur sebulan dan belum diberi nama saat ayahnya disungkup, menjadi pelindung, perisai, dan penyelamat sang ibu dari kebiadaban dan kebejadan Kempeitai Jepang. Setiap Kempeitai datang, ibu segera mengendong bayinya. Begitulah setiap kali yang dilakukan sang ibu ketika datangnya kempeitai-kempeitai Jepang. Semakin seringnya kempeitai datang, semakin besar pula kekhawatiran dan ketakutan ditangkap Jepang. Tetapi Allah menyelamatkan ibu melalui adik bungsu sebagai pelindung.

7. MENDUNG SELIMUTI MASA KECIL
Waktu itu Abdul Kadir Zein baru berusia 4,5 tahun saat Jepang menduduki Kota Pontianak. Tetapi dia seperti diungkapkan di hari senjanya, masih ingat dengan jelas semua kejadian tersebut. Suatu siang sepulang dari pekerjaan, ayahnya dijemput Jepang di rumah mereka. Ayahnya dinaikkan ke mobil VW, disuruh duduk di samping sopir dan kepalanya disungkup dengan kain hitam. Mereka tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Ibu mereka saat itu sedang mengandung, mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kepergian sang ayah. Tiga hari setelah penangkapan, Jepang menyerahkan dompet, cincin, arloji tangan dan pakaian ayahnya. Mereka tahu artinya dan juga mereka belum mengetahui bagaimana nasib sang ayah.

Kisah tragis yang menimpa sang ayah. Syarif Zein Almutahar, ketika ditangkap Jepang baru memasuki usia 39 tahun. Menurut Kadir Zein putra keenam dari tujuh bersaudara, sebelum ayahnya ditangkap, mereka mendengar berita bahwa Sultan Pontianak telah ditangkap pada malam hari menjelang subuh bersama keluarga Istana Kadriyah. Ketika Syarif Zein Almutahar menceritakan peristiwa penangkapan kepada istrinya sambil menangis.

Yang lebih memperkuat keyakinan mereka bahwa sang ayah telah terbunuh oleh Jepang adalah laporan seseorang yang bekerja sebagai sopir pada tentara Jepang. Orang inilah yang datang kepada keluarga Zein beberapa bulan setelah penangkapan itu. Dia melihat dengan jelas ketika pukul 4 subuh mobil Jepang membawa semua tahanan dari penjara Pontianak. Di antara sekian banyak tahanan terdapat Zein dengan kaki dan tangan diikat.

Sebetulnya setelah beberapa bulan Zein ditahan, sang ibu yang tengah hamil bersama orang-orang lain diundang Jepang untuk menghadiri jamuan makan. Jamuan ini diselenggarakan di gedung Frobel School. Rupanya undangan jamuan makan itu hanya sebagai kedok. Yang sebenarnya tentara pendudukan Jepang itu ingin membunuh semua orang yang diundang. Tetapi, bertepatan dengan acara jamuan makan itu penduduk pehuluan orang-orang Dayak mengamuk. Dengan menggunakan panah, tombak, dan mandau mereka menyerang gedung pertemuan dan masuk melalui jendela. Acara jamuan makan menjadi bubar, karena tentara Jepang harus menghadapi kelompok orang-orang Dayak yang sedang mengamuk. Keadaan menjadi kacau balau.

Tak jauh berbeda dengan nasib yang dirasakan Abdul Kadir Zein di masa kanak-kanak, masa kecil yang diselimuti kabut gelap akibat penyungkupan terhadap orang tua laki-laki mereka, begitu pula yang dirasakan Halim Mahyuddin. Halim yang berusia sekitar delapan tahun ketika peristiwa itu terjadi, kini sudah almarhum. Semasa hidupnya dia menuturkan kisah kelam masa silamnya.

Saat itu sore hari dan Halim bersekolah siang. Ketika pulang sekolah ibu dan nenek memeluki dirinya sembari menangis sejadi-jadinya dan berujar kalau bapak telah diambil oleh Jepang. Saat itu kata diambil identik dengan datangnya malaikat maut. Dan telah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah Jepang tengah melancarkan aksi sungkup terhadap tokoh masyarakat, baik itu orang pergerakan menentang Jepang, para guru, orang kaya dan pengusaha kalangan Tionghoa, dan belakangan terdengar kabar bahwa Jepang akan membunuh semua lelaki yang berusia di atas sepuluh tahun.

Mahyuddin, nama orang tua Halim, bekerja di kantor Nomura, salah satu kantor Jepang yang bergerak di bidang perdagangan. Sebelumnya hingga penyerangan Jepang pertamakali di Kalimantan Barat, 19 Desember 1941, ia bekerja sebagai tenaga sukarelawan selaku palang merah. Mahyuddin berjiwa keras dan tak kenal kompromi. Telah sering kawan-kawannya mengajak untuk lari menghindari bahaya diambil Jepang, namun selalu ditepisnya. Bahkan mahyuddin pernah berkelahi habis-habisan dengan tentara Jepang di Hanazono, semacam bar restoran yang waktu itu merupakan tempat berkumpulnya anggota Persatuan Anak Borneo, lantaran orang Jepang ini memaksa agar orkes menyanyikan lagu-lagu Jepang. Padahal oleh anak-anak PAB telah digariskan lagu yang patut didendangkan di Hanazono hanyalah lagu-lagu keroncong dan Melayu.

Menurut Halim, peristiwa nahas menimpa ayahnya pada April 1943. usia sang ayah waktu itu sekitar 37 tahun. Sebagai anak yang berusia delapan tahun, yang dia ketahui sejak saat itu ayahnya tak pernah lagi pulang ke rumah. Ia tak membayangkan kalau ayahnya telah dibunuh dengan cara keji. Sepeninggal ayahnya, ibu merekalah yang kemudian mencari makan. Ibunya ikut grup sandiwara yang belakangan diketahui Halim melalui jalan seperti itu ibu mereka bisa memperoleh uang. Membeli makanan untuk anak-anaknya.

Selang beberapa waktu setelah sang ayah diambil Jepang, suatu hari truk sungkup Jepang berhenti di depan rumah mereka. Orang-orang yang berada di dalam rumah tahu siapa yang datang, dan tentu saja diliputi rasa takut luar biasa. Truk itu adalah mobil penyungkup. Mereka datang kepada sang ibu sambil mengatakan kalau ayah ingin ketemu. Mereka serumah terutama nenek sudah tak bisa lagi dibuat tenang. Pergi bersama truk berarti mati. Dan Tuhan mendengar jerit hati mereka agar ibu jangan direnggut dari mereka yang tengah membutuhkan kehadirannya. Akhirnya sang ibu selamat karena jerit tangis adik Halim yang kecil. Agaknya Jepang itu merasa risih mendengar suara tangis bocah. Akhirnya mereka pergi begitu saja.

Lain pula kisah duka yang dialami Ilham Sanusi. Ia ingat betul. Waktu itu, ayahnya sedang bekerja di kantor. Ditunggu seharian, sampai sore, sang ayah tak juga kunjung pulang ke rumah. Ibunya pun menjadi gelisah. Firasat mereka sudah berkata lain. Namun, mereka hanya bisa berharap jangan sampai ayahnya ditangkap pula sebagaimana yang disaksikan ataupun didengar tentang penangkapan-penangkapan ketika itu.

Benar saja. Keesokan harinya, ada orang suruhan yang datang ke rumah mereka. Orang ini mengembalikan pakaian dinas dan jam tangan milik ayahnya. Termasuk lencana yang disematkan di dada ayahnya pun ikut dikembalikan. Kepada orang suruhan itu, sang ibu dengan isak tangis dan diliputi ketakutan sempat bertanya tentang ke mana gerangan suaminya dibawa. Namun, yang ditanya tak sepatah katapun menjawab. Dia hanya berlalu begitu saja.

Ilham kecil kala itu hanya termangu memandangi pakaian ayahnya yang teronggok bersama arloji yang jarumnya masih terus berputar.

8. MERASA DIPERALAT JEPANG
Tadinya dia tertarik pada Jepang karena keberanian Jepang yang secara terang-terangan melawan bangsa kulit putih yang telah menjajah dalam waktu lama. Kemudian setelah di Tokyo, bersama orang-orang Filipina, Malaka, Birma dan lainnya, mereka sepakat merasa diperalat Jepang. Apalagi bom Amerika mulai berjatuhan di negeri Jepang.

Itu diungkapkan Tadjuddin Fatah di usia senjanya mengenang saat dirinya pernah mengenyam pendidikan di negeri Jepang selama hampir lima tahun, 1942—1947, dari menjadi kaigun heiho hingga ke sekolah pertanian. Karena tidak berada di tanah air, pada sekitar 1943 Tadjuddin tidak mengetahui kalau di daerahnya berlangsung pembantaian besar-besaran. Setelah pulang baru dirinya mendengar cerita orang-orang. Sementara orang tuanya yang terhindar dari musibah itu lebih banyak diam lantaran shock.

Saat itu, 1943, orang tuanya yang wiraswastawan diambil dan ditahan oleh tentara Jepang. Haji Badruddin alias Haji Badrun, demikian nama orang tua itu yang saat tersebut baru memasuki usia 40 tahun. Ia sangat panik ketika tahu dirinya bakal dibunuh. Bersama-sama rombongan yang dibawa ke tahanan terdapat pula adiknya, Haji Abdullah yang saat itu berusia 35 tahun. Abdullah juga pengusaha. Dalam keadaan panik Haji Badrun mendatangi perwira Jepang seraya mengatakan bahwa anaknya ada di Tokyo. Dengan menyebut nama Tadjuddin yang berada di Tokyo, akhirnya Jepang melepaskan Haji Badrun.

Setelah merasa bebas, Badrun lantas ingat kepada nasib adiknya. Ia pun kembali menghadap Jepang dengan mengatakan bahwa Haji Abdullah adalah adik kandungnya. Namun tentara jepang itu membentak Badrun seraya mengatakan apakah dirinya mau dipotong juga. Tentu saja Badrun tak bisa berbuat lebih jauh lagi. Dengan hati sedih ia pun pulang ke rumah. Di benaknya membayangkan nasib buruk yang menimpa adik serta teman-temannya yang kemudian belakangan diketahui dibawa ke Mandor.

Ketika itu usia Tadjuddin sekitar 17 tahun. Menurutnya setelah dibebaskan Haji Badrun menjadi shock. Dia selalu memilih diam dalam menghadapi Jepang. Adapun haji Abdullah, dibunuh dalam usia 35 tahun dengan meninggalkan tujuh orang anak yang masih kecil-kecil. Pada hari nahas itu akan tiba, Abdullah berulang-ulang mengatakan kepada keluarganya bahwa bila ia tidak pulang janganlah terlalu risau atau panik. Ia seakan sudah mendapat firasat untuk itu. Dan Abdullah pun disungkup Jepang saat berada di kantornya. Di kantor yang sama juga diambil sekitar 25 orang. Semuanya tak kembali dan semuanya dituduh tidak mau bekerja sama dengan Jepang.

9. MAWAR TERKULAI KE BUMI
Lebih dari 20 tahun jenazah penjahat perang terkubur, pada akhir 1977, Ya’ Syarif Umar saat itu anggota DPRD Kalbar yang juga Veteran Pejuang kemerdekaan RI dan mantan anggota MPRS RI, mendapat surat dari Tsucimochi di Tokyo Jepang. Tsuchimochi adalah bekas letnan satu sukarelawan dari Mancukho Jepang. Ia pernah menetap di Pontianak bersama pamannya Dr Motoshima seorang pengusaha perkebunan karet di Sebebat Ngabang. Hubungan orang tua Syarif dengan Tsuchimochi dan Motoshima sangat baik.

Setelah jepang mendarat di Kalimantan Barat, kenang Syarif yang kini sudah almarhum, barulah ia tahu bahwa Tsuchimochi dan Motoshima sebagaimana juga Honda, mereka adalah agen rahasia Jepang. Sebelum pecah perang Dunia II, tidak ada yang tahu bahwa mereka itu spion. Dalam surat itu Tsuchimochi menanyakan tentang kemungkinan rekan-rekannya bekas veteran Jepang yang orang sipil mengunjungi dan berziarah ke Mandor, apakah tidak ada masalah.

Surat itu disampaikan Syarif kepada Gubernur Kalbar Kadarusno waktu itu. Ternyata ada respon. Silakan, kami bangsa pemaaf, kata Kadarusno sebagaimana dikutip Syarif. Setelah itu Syarif mengirim telegram ke jepang mengabarkan keterbukaan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat. Tak lama setelah itu Kurose Sekretaris Utama Kedutaan Jepang di Jakarta menemui Syarif di Pontianak. Kunjungan ini boleh dibilang semacam penjajakan awal. Siapa tahu rakyat Kalimantan Barat masih menyimpan dendam terhadap orang Jepang. Ternyata warga Kalbar sudah melupakan kisah duka tersebut meski tak pernah menghapuskannya. Lalu Kurose mengunjungi Singkawang.

Setelah kunjungan awal pada Maret 1977 itu, rombongan Tsuchimochi dan kawan-kawannya yang dipimpin Otohisha Asuka, semuanya 21 orang, datang ke Pontianak. Mereka adalah orang sipil bekas tawanan perang Sekutu yang pernah ditahan di penjara Sungai Jawi. Kunjunganitu selain untuk berziarah, juga melakukan dengar pendapat dengan Gubernur Kalbar.

Sejak itu hampir tiap tahun turis Jepang mengunjungi kuburan Mandor untuk berziarah. Dan pada 1985 Asuka datang lagi. Tapi dalam rombongan kali ini ada Tadahisa Daigo, putra Cujo Daigo dan Hideo kamada putra Cujo Kamada. Sehingga pertemuan dengan Syarif terasa lebih penting. Mereka berniat mengambil 16 abu jenazah keluarga mereka yang terkubur di Pontianak. Ya’ Syarif Umar terkejut mendengar niat itu. Sebab ia merasa tidak tahu tempat kubur tentara Jepang itu.

Masco membeberkan tentang dirinya yang kala itu dipenjarakan bersama 16 tawanan perang tersebut. Malah, kata Masco, sewaktu 16 tawanan itu dikubur, ia ikut memikul peti matinya satu persatu. Itu sebabnya ia tahu persis. Bahkan saat penembakan sampai penguburannya ia ingat betul. Syarif tidak bisa memutuskan segera. Sebab kasus ini sudah menjadi masalah nasional. Untuk itu ia menyarankan pihak keluarga atau pemerintah jepang menghubungi gubernur. Atas saran tersebut maka Daigo yang mengatasnamakan 16 keluarga penjahat perang tersebut, pada September 1987 mengirim surat kepada Gubernur Kalbar yang waktu itu sudah dijabat Soedjiman.

Dalam surat itu antara lain disebutkan bahwa segala biaya pengiriman abu jenazah ditanggung oleh mereka. Yang penting juga, pihak Tadahisa Daigo melampirkan surat kuasa khusus kepada Ya’ Syarif Umar untuk proses pencarian dan penggalian jenazah. Permohonan itu disetujui pada Nopember 1987. sebulan setelah itu, Daigo, Masco dan Asuka datang ke Pontianak.

Operasi pencarian kubur itu berada di lokasi sekitar 20 meter sebelah luar kompleks penjara Sungai Jawi, atau Rumah Sakit Santo Antonius sekarang. Dibantu oleh beberapa sipir penjara, penggalian dari pagi hingga sore selama dua hari berhasil menemukan 16 kerangka jenazah. Satu tengkorak masih utuh, dengan gigi terbalut emas. Gigi emas itulah penunjuk bagi Daigo bahwa itu tengkorak ayahnya sang admiral. Ke-16 kerangka itu kemudian diperabukan. Dan abu mereka dimasukkan ke dalam dua guci kecil yang dibungkus dengan kain kuning, lalu diikatkan pada dada Masco. Dua guci itu tetap menempel terus sejak dari Pontianak sampai ke lapangan terbang Narita Tokyo jepang. Kedatangan abu jenazah itu disambut dengan upacara militer. Abu jenazah itu kemudian disimpan di satu kuil terbesar di Jepang, menjadi saksi sejarah.

Bagaimana perasaan Ya’ Syarif Umar sendiri? Kita bangsa pemaaf, kata dia yang kini sudah almarhum. Syarif sendiri punya abang kandung, namanya Ya’ Arifin Umar, juga korban pembantaian Jepang di Pontianak. Arifin saat dibantai karena aktifitasnya sebagai kepala Pasukan Surya Wirawan. Dan Arifin masih pengantin baru saat diambil Jepang dan tak pernah kembali. Kejadian itu hanya diketahui Syarif lewat surat dari salah seorang keluarganya. Saat itu ia sudah di Makassar sebagai siswa Kai-inyo Seijo sekolah pelayaran di sana. Dan dia menyandang pangkat Kaigun Tokubetsu Heiho dengan posisi sebagai Dancho Jibakutai atau komandan regu Pasukan Berani Mati. Suratnya pun, menurut Syarif, memakai bahasa bunga, tidak berani terus terang, antara lain disebutkan kakakmu Arifin seperti mawar gugur dari tangkainya, kenang Ya’ Syarif Umar di hari tuanya saat itu.

10. SEMANGAT PERJUANGAN TANPA PERBEDAAN
Pendudukan tentara Jepang di Kalbar dimulai dengan dilancarkannya serangan melalui udara yang ketika itu dikenal masyarakat Pontianak dengan nama Pesawat Sembilan atau kapal Terbang Sembilan pada 7 Desember 1941. Itu tiga minggu setelah Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor yang kemudian mengobarlan Perang Dunia II.

Ungkapan dan kesaksian ini dikatakan H Ibrahim Saleh (Alm). Man four season atau tokoh empat musim yang aktif sejak pergerakan kemerdekaan, di mana ia ikut berjuang demi daerah dan tanah airnya. Kalau sudah menyangkut daerahnya, terlebih-lebih soal sejarah perjuangan di sini, Alm Ibrahim Saleh berteriak nyaring. Mantan tokoh pers daerah Kalbar yang hingga akhir hayatnya sukses menggeluti dunia bisnis itu nyaris hafal betul bagaimana kisah perjuangan di sini dalam menghadapi penjajah asing. Terutama menyangkut Kalbar di masa Perang Dunia II.

Dituturkannya, sebenarnya selesai Perang Dunia II, sudah menjadi berita dunia bahwa hanya di Kalbar ada pembunuhan massal, ada pemancungan massal oleh balatentara Jepang. Itu di luar dari pembantaian yang dilakukan Jepang di Indonesia. Yang pasti jumlah yang dibunuh Jepang di sini itu banyak jumlahnya. Ribuan pasti. Ibrahim termasuk salah seorang orang pertama yang datang ke Mandor setelah Jepang menyerah, bersama para janda korban menggunakan truk diangkut tentara Australia daru Pontianak.

Banyak sekali tengkorak dan tulang belulang bergelimpangan, kenang Ibrahim semasa hidupnya. Ada yang mengongoi menangis sejadi-jadinya karena dia kenal betul itu adalah tengkorak suaminya. Mereka berguling-guling di tanah di sana. Waktu itu masih semak belukar. Jadi, Ibrahim menegaskan waktu itu, dia tidak berani menyanggah dan tidak juga membenarkan soal angka pasti jumlah korban. Tapi banyak, ribuan pasti, ujarnya. Keluarganya sendiri dari pihak ayah dan ibunya, di Sambas dan di Ngabang, tak sedikit yang dibantai Jepang. Malah abang sepupunya juga menjadi korban. Pulang liburan sekolah karena namanya sama dengan nama yang dicari, Gusti Ismail Isya Pangeran Mangkubumi, maka Gusti Ismail Sotol keluarga Ibrahim Saleh menjadi korban ketika turun dari mobil, kemudian ditangkap langsung disungkup dan raib begitu saja.

Ada yang mengatakan bahwa cara kerja Jepang untuk mengambil atau menjemput korbannya dengan dalih mengadakan sebuah pertemuan. Itu betul. Bibi Ibrahim sendiri yang ketika itu dalam keadaan hamil tua pun ikut diambil. Ia bersama suaminya ikut disungkup. Begitu juga orang tua asuh tempat Ibrahim dan saudaranya yang lain indekos di Pontianak, yakni dr Rubini dan Amalia Rubini istrinya, merupakan tokoh utama yang disungkup. Yang pasti, sasaran Jepang adalah orang-orang berpengaruh, intelektuai, pengusaha khususnya kalangan Tionghoa. Orang-orang yang diciduk tidak dipilih-pilih latar belakang suku bangsanya. Semua yang disungkup adalah mereka yang dilaporkan mata-mata atau informan yang disebarkan Jepang.

Waktu itu Kalbar akan dijadikan semacam Korea. Bukankah anak-anak Korea waktu Perang Korea semua berbahasa, berbudaya Jepang. Sama juga dengan Formosa atau Taiwan. Semua di sana juga dibantai habis sejumlah satu generasi. Di Kalbar pembantaian itu berlangsung singkat, Oktober 1943 sampai awal 1945. Meski waktunya pendek, tapi korban yang ditimbulkan tak terbilang angka jumlahnya. Yang pasti adalah ribuan. Belum ada angka pasti tentang jumlah korban penyungkupan itu.

Jadi, peristiwa Mandor atau pembantaian Jepang di Kalbar, itu adalah kekejaman yang dilakukan oleh bangsa asing, bangsa pendatang sebagai penjajah, Jepang dalam hal ini. Hendaknya menjadi pelajaran bagi semua orang. Saat sekarang, terutama perselisihan antaretnis hendaklah dibuang jauh-jauh. Bukankah bagi Kalbar di abad lalu sudah kehilangan satu generasi terbaiknya, di mana dalam generasi itu merupakan lintas etnis, lintas agama dan kemajemukan di dalamnya. Menarik pelajaran dari peristiwa pembantaian oleh Jepang itu, seakan mengingatkan, bahwa kemajemukan merupakan lem perekat atau tali pengikat pemersatu keutuhan bagi daerah ini. Sekadar menyebutkan sedikit, yang dibantai di Mandor bukan hanya sekelompok atau segolongan tertentu saja, namun beragam. Ada Melayu, Jawa, Batak, Dayak, Manado, Sunda, Tionghoa, Ambon dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, konflik antaretnis buanglah jauh-jauh. Bukankah Kalbar pernah kehilangan satu generasi terbaiknya dulu. Dan tragedi Mandor berdarah, jadikan sebagai semangat perjuangan tanpa perbedaan.

11. TERAKHIR BERSAMA SAAT SARAPAN PAGI
Syarif Muhammad bin Syarif Achmad Al Qadrie saat itu belum selesai sarapan pagi. Bahkan kue khas Melayu Pontianak yang dikenal dengan Kue Putu Sokok yang dihidangkan sang istri, Maimunah binti Mohammad Tahir, belum habis dilahapnya, ketika di halaman rumah mereka, jep warna hitam berhenti. Agaknya, keluarga Syarif Muhammad kedatangan tamu tak diundang. Dan belakangan baru disadari, mereka kehadiran tamu maut.

Sehari-harinya Syarif Muhammad adalah kepala Kampung Siantan Hulu. Sampai hari terakhir itu, ia berusia sekitar 40 tahun. Usia yang terbilang masih cukup muda. Saat tamu khusus itu datang, istrinya dan anak mereka Syarifah yang saat itu berusia sekitar 12 tahun, tetap berada di dapur. Dan tamu yang hadir, adalah balatentara pendudukan militer Jepang.

Saat mereka berada di ruang tengah rumah besar Syarif Muhammad, salah seorang di antaranya mengeluarkan buku besar. Lalu, membacakan nama Syarif Muhammad. Nama di dalam buku itu disertai selembar foto yang memang sebelumnya sudah dikumpulkan oleh balatentara Jepang. Menemani Sang Kepala Kampung, adalah Ahmad Dol keponakannya. Ahmad Dol ketika itu berusia sekitar 21 tahun. Mereka menduga, tentara Jepang hanya berurusan administrasi. Mengingat Syarif Muhammad adalah seorang pejabat di tingkat kampung. Namun, dugaan itu meleset. Karena, itulah saat terakhir mereka melihat lekat wajah orang yang mereka kasih dan sayangi dalam keadaan bernyawa.

Syarif menyambut kedatangan tentara Jepang yang berwajah dingin itu di serambi depan. Kedua tentara yang berada di tengah rumah itu bersenjata lengkap. Sedangkan, yang lainnya menunggu di dalam jep di luar rumah. Salah seorang mengatakan, Sentyo (Kepala Kampung), Kempeitai panggil! Maka, Syarif sambil mengatakan Haik! segera mengikuti mereka. Saat akan mengikuti balatentara yang membawanya segera itu, Syarif Muhammad sempat mengatakan kepada Achmad Dol, agar melihat rumah dan menjaga listrik dalam rumah mereka. Namun, belum jauh berjalan dari serambi rumahnya, serta belum sempat Achmad Dol menjawab pesan pamannya itu, salah seorang tentara Jepang meraih sarung bantal kursi tamu. Kain putih bersulam bunga itu lalu disungkupkan di kepala Syarif Muhammad.

Achmad Dol hanya terpana menyaksikan apa yang dialami pamannya itu. Dan seketika itu pula Syarif Muhammad diangkut dengan mobil jep meninggalkan rumah mereka di Siantan Hulu. Di tikungan jalan di Gang Selat Madura Siantan sekarang, hilanglah dari pandangan seisi rumah kepada Syarif Muhammad. Debu berterbangan saat kendaraan berwarna hitam pekat meninggalkan rumah calon korbannya. Dan, Syarif Muhammad bin Achmad Al Qadrie pun pergi dan hilang buat selamanya.
Belakangan barulah keluarganya tahu kalau orang terkasih dalam rumah tangga mereka itu telah dihabisi secara sadis oleh balatentara pendudukan militer Jepang. Tentu, sebagaimana juga keluarga korban lainnya, mereka tak mungkin melupakan kenangan pahit yang terus tersisa dan menyiksa jiwa mereka itu. Hati serasa nyeri manakala mengenang peristiwa maut tersebut. Kisah ini merupakan bagian modus operandi balatentara Jepang dalam menciduk satu persatu target operasi mereka. Dan, Syarif Muhammad adalah satu dari ribuan korban yang gugur.

12. SEPOTONG MEMORI
Liauw A Ciu ditangkap pada 12 bulan 8 Imlek (28 September 1944, Pen) subu di rumah kediaman di Singkawang. Sebab apa dia ditangkap dia tidak tahu pasti. Besoknya 13 dia dibawa ke Pontianak. Dalam perjalanan Liauw ada niat untuk melarikan diri dengan cara meloncat dari truk (belakangan disebutkan sebagai auto sungkup). Sebab sejak ditangkap, sudah ada perasaan atau firasat bahwa dirinya tidak akan kembali. Harapan untuk pulang sepertinya kecil sekali.

Namun niat Liauw itu tidak mendapat dukungan teman-temannya yang sama-sama ditangkap. Pada umumnya mereka tidak berani dan sebagian besar beranggapan dirinya tidak ada berbuat kesalahan apa-apa. Karena itu yakin mereka semua akan dikembalikan lagi. Dan dia berpikir itulah yang menyebabkan mereka semua berpikiran bahwa penangkapan itu tidak akan sampai menyebabkan mereka kehilangan nyawa.

Begitulah, Liauw dan lainnya diditempatkan dalam satu kamar dalam satu kamp tahanan. Dia lihat setiap hari tak sedikit orang menjalani kerja paksa. Disiksa dan bahkan dibantai secara sadis. Suatu hari, termasuk dirinya sendiri, mereka dikirim dalam truk tertutup rapat ternyatanya menuju Sungai Durian. Untuk dijadikan romusha di sana.

Pada 14 dan 15, (30 September dan 1 Oktober 1944, pen), Liauw melihat banyak Thiat Lian Ci atau tahanan yang berangkat pergi bekerja melewati pintu ruangan mereka. Liauw dan lainnya menyaksikan dari kamp tahanan hanya menundukkan kepala. Namun, dia saksikan, sorot mata mereka menatap kepada mereka, seakan menyatakan bahwa mereka semua bernasib sama. Dan sepertinya mereka itu akan pergi buat selamanya, tidak ada semangat untuk hidup. Yang tampak hanya wajah lesu dan putus harapan.

Pada 15 hari raya Chung Chiu Chiat atau Festival Kue Bulan. Kempeitai membawa sehelai kertas blanko dan menyuruh Liauw menandatanganinya. Malam itu nampaknya hujan gerimis. Sementara bulan mengambang penuh. Kira-kira pukul sepuluh malam.dalam perasaannya, inilah kali terakhir kehidupan Liauw. Sebab setelah ini, adalah mati! Pada saat itu, lampu telah dinyalakan. Terang benderang seluruh kamp. Ratusan kepala bergerak-gerak di sekeliling. Setiap orang hanya memakai singlet, celana pendek, tapi ada juga yang tidak memakai baju. Kepala ditutupi atau disungkup dan tangan diikat ke belakang. Setiap orang memiliki nomor. Liauw sendiri sewaktu masuk kamp diberi nomor 15 dan saat akan diangkut dengan truk pada malam nahas itu dia diberi nomor 101.

Semua baris antri. Mereka semua kemudian dipanggil satu persatu, hingga slesai tengah malam. Tak kurang ada sepuluh truk yang kemudian berjalan perlahan mulai bergerak mengangkut mereka. Tidak tahu akan dibawa ke mana. Dia kebenaran dinaikkan ke truk terakhir. Paling belakang. Dapat dia rasakan perjalanan truk. mereka puluhan orang dipaksakan berada dalam satu truk. Tak ada yang berani bersuara. Semua senyap, kecuali bunyi mesin auto truk. Liauw yakin, dari perasaan yang dia rasakan saat truk bergerak, mereka tidak diseberangkan lewat Sungai Kapuas. Karena mobil tidak naik ke pelampung. Saat itu tidak ada jembatan penyeberangan.

Liauw yakin. Dan ternyata benar kemudiannya, truk yang mengangkut mereka menuju ke arah Sungai Duian sekarang. Dalam perjalanan tengah malam itulah dia berusaha keras untuk melarikan diri. Semua truk yang mengangkut para tahanan ditutup rapat dengan terpal. Masing-masing truk diawasi tiga sampai lima orang balatentara Jepang yang siap dengan senapan laras panjang, sangkur dan bayonet yang terhunus.

Entah apa yang terjadi tiba-tiba saja truk yang Liauw tumpangi mengalami berhenti mendadak. Mungkin sekali kendaraan di depannya mengalami mogok, sehingga kendaraan yang paling akhir ini harus berhenti pula. Tentara Jepang yang mengawasi mereka, turun untuk memastikan ada apa di depan. Maka pada saat seperti itulah Liauw nekad untuk meloloskan diri. Diterangi cahaya bulan yang mengambang penuh, namun di sisi kiri-kanan gelap gulita pada pekat malam itu, Liauw melarikan diri. Yang ada dalam benak dia, daripada disiksa sebagai pekerja paksa yang pasti akan dihukum mati, lebih baik melarikan diri. Kalau pun tertangkap seketika, akan mati seketika itu pula. Maka Liauw pun melarikan diri dan masuk ke semak-belukar tempat iring-iringan kendaraan truk terhenti. Liauw tidak tahu di mana dan apa nama tempatnya.

Pada tengah malam itu, Liauw terus melarikan diri memasuki hutan belantara. Dalam kegelapan malam, yang dia yakin sudah sangat jauh dari iring-iringan kendaraan tadi, samara-samar dia yakini ada pondok penduduk. Dengan perasaan takut, capek dan suatu yang sulit digambarkan, Liauw pun menemui orang di dalam pondok itu. Ternyata, seorang nenek yang sudah tua. Orang tua inilah yang kemudian menyelamatkan dia, bahkan menjadikan Liauw anak angkatnya.

Mengenai bagaimana tentang truk-truk tadi selanjutnya, Liauw sama sekali tidak tahu lagi. Tetapi ada satu hal yang harus dia tegaskan bahwa dia pernah bersumpah di muka teman sekamar tahanan, seandainya dia bisa meloloskan diri, dia akan berusaha semaksimal mungkin membalaskan dendam atas pengorbanan mereka yang ternyata mereka itu semua hilang tak berbekas. Satu hal yang pasti, mereka ditangkap balatentara Jepang dan sama sekali tidak ada harapan hidup dan atau kembali pulang ke rumahnya.

Begitulah kemudian, setelah akhir peperangan ditemukan tak sedikit tulang belulang di kawasan Sungai Durian Pontianak. Tulang belulang itu kemudian dikumpulkan dan belakangan diangkut ke Mandor untuk disatukan pemakamannya di sana dengan tulang belulang lainnya yang juga telah ditemukan ketika itu. Kejadian ini membuktikan, betapa kejam dan tanpa prikemanusiaan, dengan tindakan penculikan dan penangkapan oleh tentara Nippon, mereka telah membunuh tanpa proses hukum setiap orang yang dicurigai tidak sefaham dan sejalan dengan politik mereka saat itu.

13. DI ANTARA ANAK KORBAN BERTUTUR
Jepang telah membantai kaum cerdik pandai. Ribuan keluarga menangis kehilangan orang yang dicintainya. Rakyat Kalbar jelas mengutuk tragedi berdarah yang telah menghilangkan satu generasi intelktual mereka. Mengenang kejadian lampau itu, sungguh terasa syahdu. Dalam suasana haru itulah terungkap kenangan pahit di masa silam. Tak sedikit di antara ahli waris yang menuturkan kisah duka yang dialami keluarga mereka. Di antaranya adalah yang diungkapkan Shiau Lan yang di hari senjanya menetap di Jakarta. Shiau Lan lahir di Landak Ngabang.

Ia ingat betul saat ayahnya dijemput oleh balatentara Jepang. Ayahnya seorang guru. Dijemput saat sang ayah tengah makan siang di rumah mereka. Kepergian sang ayah saat dibawa tentara Jepang, ternyata pergi buat selamanya. Tidak pernah kembali, bahkan tak ada kabar beritanya sama sekali. Kecuali kemudian baru diketahui dan diyakini keluarganya, kalau sang ayah sudah dihabisi Jepang bersama kaum cerdik pandai lainnya.

Saat itu Shiau Lan baru berusia sekitar delapan tahun. Ia lahir di Pasar Lama Ngabang dalam 1936. Ayahnya bernama Djie Sie Ngo Kepala Sekolah Chung Hua Kung Ciek di Ngabang. Saat itu ibu mereka tengah mengandung adik Shiau yang bungsu. Sang ibu saat itu tengah hamil tiga bulan saat suami tercintanya harus diciduk. Shiau Lan anak paling tua. Dengan tetes air mata ia menuturkan, adik bungsunya tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sebelum penculikan terjadi, rumah mereka didatangi seorang kempeitai. Dia minta Djie Sie Ngo untuk ikut ke kantor Bunken Kanrikan Ngabang. Karena merasa tak ada kesalahan, Guru Sie Ngo ikut saja. Meski saat itu ia tengah makan siang. Dan kepergian itulah ternyata pergi buat selamanya.

Lain kisah Shiau Lan, lain pula kenangan Chung Kim Liong. Namun keduanya yang tergolong masih famili dan berasal dari satu daerah yang sama di Ngabang itu, mengalami nasib yang sama. Mereka sama-sama memiliki kenangan pahit di saat harus kehilangan orangtua lelakinya pada masa pendudukan militer balatentara Jepang di masa Perang Dunia II di Ngabang Landak. Pria kelahiran Ngabang 1934 itu mengenang, ayahnya seorang pengusaha yang berjiwa sosial. Dia adalah tokoh masyarakat Tionghoa di Ngabang, namun dia lebih dikenal di kalangan luas. Bahkan, kesehariannya sudah sangat akrab dengan berbagai masyarakat Ngabang, Dayak atau pun Melayu di sana. Saat itu Kim Liong berusia sekitar 10 tahun saat sang ayah diangkut balatentara Jepang. Dalihnya, Cung Sui Lin sang ayah, harus menghadap Bunken Kanrikan. Namun, kepergian itu tak pernah lagi kembali. Pergi buat selamanya.

Barulah kemudian, setelah hampir setahun tak ada kabar beritanya, ada seorang Jepang datang menemui keluarga mereka di Pasar Lama Ngabang. Kedatangannya untuk mengantar kacamata Cung Sui Lin. Itulah kenangan terakhir dan peninggalannya yang paling bersejarah. Hanya kacamata yang tersisa, sedang nyawanya melayang entah ke mana.

Nasib malang sebagaimana dialami Djie Sie Ngo dan Cung Sui Lin, tak jauh berbeda modus operandi yang juga dialami korban lainnya. Mereka hanya berbeda lokasi tempat tinggal, namun di hadapan balatentara fasis militer Jepang, pembantaian terhadap mereka tak ada bedanya. Begitu pula nahas yang dialami Lim Bak Hwat dan beberapa orang keluarganya. Sebuah pagi yang tenang di kawasan Pasar Tengah Pontianak sekarang. Jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Lim Kian Chon bocah kecil itu asyik bermain sepakbola bersama anak sebayanya di pekarangan rumah mereka. Kian Chon saat itu berusia sekitar sembilan tahun.

Di ruang tamu rumah mereka, Lim Bak Hwat tengah menggendong Lim Kiam Ciu yang saat itu baru berusia sekitar sembilan hari. Di hari tuanya sekarang, si bungsu Kiam Ciu lebih dikenal sebagai Alexander Marsudi Halim, saat menuturkan kenangan ini dia telah berusia sekitar 62 tahun. Dari abangnya Kiam Chon dia mengetahui kalau balatentara Jepang menyungkup ayah mereka pada 18 Agustus 1944.

Kian Chon yang asyik bermain sepakbola kaget melihat belasan serdadu Jepang yang masuk pekarangan rumah mereka. Ia pun tak sempat memberi hormat sebagaimana keharusan pada semua usia masyarakat terhadap balatentara Jepang. Di dalam rumah, balatentara marah-marah dan menghardik Lim Bak Hwat. Tak banyak buang waktu, langsung menangkapnya, seraya menyebut nama Lim Bak Khim dari daftar yang dipegang salah seorang balatentara Jepang di dalam ruangan itu.

Kebenaran di ruang tamu itu tergeletak bantal tidur bayi Kiam Ciu. Maka sarung bantal itulah yang kemudian digunakan untuk menyungkup kapala Lim Bak Hwat. Seketika itu pula Bak Hwat dibawa pergi, entah ke mana dan tak ada kabar beritanya. Ia sudah hilang. Dan belakangan, barulah keluarganya memperoleh kabar tentang pembantaian besar-besaran di Mandor. Dan mereka meyakini di sanalah Bak Hwat dihabisi bersama ribuan orang lainnya. Mereka tak mengenali jasad ayahnya yang sudah berbauran dengan ribuah tengkorak korban lainnya.

Sebetulnya Lim Bak Hwat sudah lolos dari incaran balatentara Jepang. Dia mengungsi ke Kampung Parit Baru. Sehari-harinya Bak Hwat adalah Kepala Cen Chiang Cung Sui atau Kepala Sekolah setingkat SMP sekarang. Sekolahnya berlokasi di Pasar Cempaka atau kawasan Kapuas Indah Pontianak sekarang. Bak Hwat dianggap berbahaya, sebagaimana juga kalangan terpelajar lainnya. Dicurigai akan bersekongkol dengan kalangan pergerakan lainnya untuk menentang balatentara Jepang.

Kerinduan akan anak-anaknya, Bak Hwat suatu hari yang nahas itu pulang ke Pontianak di rumah mereka di kawasan Pasar Tengah. Terlebih, si bungsu baru berusia sekitar seminggu lebih. Kegembiraan seorang ayah yang sangat terasakan terpancar dari kerinduan pada anak-anaknya. Begitulah nasib nahas yang dialami Bak Hwat. Di hari yang sama, bukan Bak Hwat sendiri yang disungkup. Seorang kerabatnya yang lain, Lim Bak Khim, seorang Laothay juga diciduk. Bak Khim tinggal di kawasan Pasar Seroja sekarang. Seperti Bak Hwat, terlebih Bak Khim menjadi incaran Jepang pula, karena posisinya yang sangat strategis, khususnya di kalangan masyarakat Tionghoa. Bak Khim seorang lurah untuk ukuran sekarang, di samping tentunya sebagai orang berpengaruh serta dikenal sebagai pemuka masyarakat.

Sebetulnya Lim Bak Khim telah diminta oleh saudara sepupunya untuk menyingkir ke Semarang. Semula saudara sepupunya ini tahu bagaimana tindak tanduk Jepang. Saudara sepupunya itu seorang dokter, bernama Lim Bak Choi. Mengindahkan kata sepupunya itu, siang itu Bak Khim yang sudah berfirasat kalau dirinya pun akan segera ditangkap, berkemas-kemas untuk meninggalkan Pontianak.

Saat berkemas siang hari untuk malamnya segera pergi, balatentara Jepang datang dan langsung menyungkunya. Menurut penuturan menantunya, Lim Mui Jun, sebelum meninggalkan rumahnya saat kedatangan balatentara Jepang, surat yang dikirim dokter Lim Bak Choi dari Semarang itu ditelan bulat oleh Bak Khim. Tindakan itu dilakukan Bak Khim demi keselamatan saudaranya yang telah membocorkan tindakan bengis yang akan dilakukan Jepang.

Namun malang. Beberapa minggu kemudian, Lim Bak Choi pun tahu tentang penangkapan saudara-saudaranya di Pontianak. Ia segera ke Pontianak, setelah menyatakan keluar dari rumah sakit tempat ia bertugas di Semarang. Balatentara Jepang teryata tak ingin dibuat pusing oleh Lim Bak Choi, khawatir dokter muda ini akan terlibat dalam gerakan politis kaum pergerakan di sini, maka ia pun segera disungkup pula. Maka, dokter Lim Bak Choi pun ikut menjadi korban pembantaian massal di daerah ini.

Kini, baik Shiau Lan, Cung Kim Liong, Lim Kian Chon, Lim Kiam Ciu maupun Lim Mui Jun, semuanya sudah menapak usia senja. Rambutnya sudah memutih, batang usia mereka sudah meninggi. Walau saat peristiwa itu terjadi, mereka belum mengerti banyak, tapi sebagaimana juga yang lainnya, mereka merasakan kegetiran tragedi itu. Dan tentu bukan hanya mereka, ribuan keluarga lainnya juga mengalami kegetiran itu.

Lain pula Lim Bak Djue. Sosok tua ini mengatakan, mungkin dari masyarakat Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarganya terbilang cukup banyak. Memang tak tanggung-tanggung, ada delapan anggota keluargnya yang dibantai Saudara Tua. Dia mengenang masa itu, setelah jepang berkuasa, masyarakat mengalami masa yang sangat pahit. Dengan dalih sebagai saudara tua, Jepang justru menjajah sampai lebih dari tiga tahun. Walau tak selama Belanda menancapkan kuku di tanah air, akan tetapi kebiadabannya melebihi dari rasa sakit yang diderita.

Djue mengatakan, pamannya sendiri ada dua orang yang dibunuh Jepang, dan ada enam saudaranya yang juga mengalami nasib sama. Dia sendiri masih kecil saat kejadian itu. Karena itulah dia luput dari pembantaian. Tapi ketika sudah agak remaja, Lim Lan Hiang sang ayah bercerita. Dari pengisahan sang ayah inilah kemudian Djue mengisahkan ulang, kisah keluarga yang dibantai Saudara Tua ini.

Kedua pamannya yang terbunuh adalah Lim Hak Sio dan Lim Kheng Tie. Sedangkan enam saudaranya yang mengalami nasih malang pula adalah Lim Bak Cui, Lim Bak Kim, Lim Bak Khim, Lim Bak Song, dr Lim Bak Chai dan Lim Bak Huat. Sebelumnya Jepang pernah memanggil mereka. Tapi dua hari kemudian dilepas. Karenanya sangat disangka kalau panggilan setelah dua hari menikmati kebebasan itu adalah akhir, sama dengan akhir hidup mereka kemudian. Keluarga ini berasal dari kalangan pengusaha. Konglomerat lokal Kalbar pada zamannya. Karena sebagai kalangan terpandang itu pula, Jepang tak membiarkan mereka leluasa bergerak.

14. ANAK JALANAN GENERASI PERTAMA
Romo atau ayah saya adalah seorang ambtenaar di kantor BOW. Sebagai opseter kadaster, atau Dinas Pekerjaan Umum di bidang pertanahan atau agraria selaku Mantri Ukur di Pontianak. Waktu itu saya sekolah di HIS di Jalan Nurali Pontianak sekarang, tidak jauh dari kantor romo. Saya, antara lain, satu sekolah dengan H Ibrahim Saleh (Alm). Menjelang usia saya 10 tahun saat duduk di klas III, Jepang mulai menduduki Kota Pontianak ini.

Yang saya ingat, demikian Rd Wahyudi salah seorang putra korban penjagalan Jepang di Kalbar mengisahkan, tidak lama setelah pendudukan tersebut, ayah kami Raden Padmo bersama rekannya Jaksa Raden Sukrisno yang tinggal berdekatan di Gang Sargo atau Jalan Cendana sekarang, ditangkap serdadu Jepang atas petunjuk yang disebut mata-mata Jepang. Istilahnya waktu itu disungkup. Sebelum penyungkupan terhadap ayah saya, telah terjadi hal serupa terhadap dr Agusdjam, dr Rubini bersama istrinya yang sedang hamil. Juga terhadap Panangian Harahap yang rumahnya berseberangan dengan rumah dr Rubini. Beitu pula Jaksa Sawon Wongso Oetomo. Tak luput pula guru HIS kami, Meneer van Dalen. Mereka ini mudah saya ingat, karena di samping sebagai orang dekat ayah, juga tempat tinggal kami tidak berjauhan.

Kala itu nyaris semua mantan pejabat governemen di masa sebelum pendudukan Jepang, maupun para tokoh terpelajar dari berbagai suku dan agama, semuanya disungkup. Semuanya terjadi begitu cepat. Sewaktu ditangkap atau disungkup, siang hari mereka dikumpulkan di rumah penjara Sungai Jawi Pontianak atau RS St Antonius Pontianak sekarang.

Kejadian yang menimpa keluarga Kesultanan Kadriyah Pontianak sudah pula kami dengar pada waktu itu. Setiap rumah orang yang disungkup, tak terkecuali rumah kami, di teras depannya ditempeli tanda bertuliskan huruf Jepang. Maksud tulisan itu isyarat bahwa rumah ini dilarang untuk dikunjungi siapa pun. Akibat ayah disungkup, ibu kami mengalami kurang ingatan. Sedangkan ketika itu, saya dan abang saya sebagai anak tertua dalam keluarga ini, belum bisa berbuat banyak. Dan bahkan belum mengerti apa-apa. Di rumah, adik saya tiga perempuan dan yang paling kecil seorang bayi laki-laki yang masih menyusu. Kami tidak tahu bagaimana menjalani hidup selanjutnya.

Hanya dalam beberapa bulan saja kehadiran balatentara Jepang di daerah ini, khususnya di Pontianak, keadaan praktis lumpuh. Bahan pokok tidak lagi mudah didapatkan. Terutama beras, garam, gula, sandang, pangan dan sebagainya. Anak-anak seusia saya dan sebagian besar penduduk sudah tak lagi mengenakan baju. Jepang memberikan kain dari kulit kayu yang disebut kain kepuak. Untuk menjahit baju yang masih ada, dengan benang dari serat nenas yang dibuat sendiri. Di jalanan hanya ada serdadu Jepang yang lalu-lalang yang dinamakan Kempeitai dan Tokeitai.

Di tengah Kota Pontianak ketika itu ada sebuah tangsi militer. Selain terdapat banyak perkantoran sejak zaman sebelum kedatangan Jepang. Setahu saya, tempat penjagalan atau pemancungan kepala orang-orang yang disungkup oleh tentara Jepang salah satunya berada di dekat kantor Syutizi atau sebelumnya kantor residen, di seberang jalan sepanjang pinggiran Sungai Kapuas. Di sana suatu ketika saya menyaksikan beberapa orang pastor berkebangsaan Belanda dipancung tentara Jepang.

Di Pontianak sudah terlampau banyak orang yang disembelih, orang yang berada di jalan atau sekitar itu diharuskan menyaksikan bagaimana tentara Jepang melakukan pemenggalan dengan sebilah samurainya. Kejadian keji itu nyaris setiap hari terjadi dan sengaja dipertontonkan di hadapan umum. Sebagian besar mereka yang dipancung atau dipenggal kepalanya di dalam Kota Pontianak adalah orang bule atau berkebangsaan Belanda dan Tionghoa. Juga para guru dan para pegawai pemerintahan Jepang sendiri.

Yang sangat tragis yang pernah saya saksikan, suatu hari kami anak-anak sekolah HIS dikumpulkan bersama anak-anak yang dulunya sekolah di Bruderan, Vervolkschool atau SR. kami dikumpulkan di penyeberangan Sungai Kapuas atau stegher pelampung Pontianak. Kami disuruh menyaksikan para suster dari gereja Katederal, para biarawati bekas guru sekolah anak-anak murid dari Vervolkschool. Mereka ini diangkut menggunakan mobil truk bersungkup terpal atau oto sungkup. Mereka duduk di atas barang-barang dalam bak truk.

Banyak di antara murid sekolah yang menangis karena menyaksikan nasib guru perempuan mereka yang sesungguhnya para biarawati atau para suster justru dalam keadaan hamil. Itulah para korban kebejatan moral tentara pendudukan Jepang. Sementara itu kejadian yang sangat menyayat hati, banyak anak gadis yang dijadikan jugun ianfu di kota ini. Dalih awal, para anak gadis itu dicomot dari keluarganya oleh Jepang untuk dikirim di Tokyo untuk disekolahkan. Namun di Pontianak, mereka dikurung di dalam rumah besar di Jalan Gusti Sulung Lelanang Pontianak sekarang. Waktu itu berada di sekitar Aniem atau kantor listrik Pontianak. Sebagian lainnya dirumahkan di Jalan Diponegoro dan Jalan Gajah Mada sekarang. Mereka disekap di rumah berpagar tinggi dan dijaga ketat yang dinamakan Rumah Hitam. Mereka ini dijadikan pemuas nafsu bejat balatentara Jepang atau sebagai jugun ianfu.

Para Kempeitai maupun Keibitai terlebih lagi Tokeitai menangkapi orang dengan seenaknya. Nyaris tak ada perlawanan saat ditangkap. Sementara yang yang belum tertangkap, seakan setiap harinya menunggu giliran untuk disungkup pula. Penangkapan itu berjalan mulus, karena adanya sejumlah mata-mata atau spion atau kolaborator Jepang. Di antara mereka ini yang dikenal luas ketika itu antara lain Amir, Komendong dan Lau Bak Seng. Kesemua mata-mata ini belakangan bersama 14 penjahat Perang Dunia II lainnya dieksekusi mati oleh NICA—Belanda di Pontianak.

Kami sebagai penduduk Pontianak sebelum pendudukan Jepang hanya mengetahui orang Jepang itu melalui beberapa warganya yang sudah bermukim di Pontianak. Di antaranya Honda yang tinggal di Gang Tengah atau Gang Masrono sebagai tukang foto dan ada pula yang menjadi tukang jahit pakaian. Sebelum keruntuhan kekuasaan Jepang, di simpang jalan menuju ke Jalan Kalimantan atau Jalan Sultan Abdur Rahman sekarang yang saat terakhir dinamakan Sentiong, telah digali beberapa lobang yang ukurannya sama dengan luas pekuburan di Mandor sekarang. Diketahui, ternyata lobang-lobang itu untuk menyimpan jasad manusia yang dipenggal Jepang.
(Dituturkan Rd Wahyudi kepada Penulis di Pontianak)

15. KEHILANGAN ORANGTUA SEJAK KANAK-KANAK
Ada lagi putra korban lain pembantaian Jepang di Kalbar, Soewito Limin. Ia masih ingat benar suatu malam sebelum ayahnya disungkup Jepang. Limin saat itu baru menginjak usia lima atau enam tahun, baru belajar bicara. Dan pada malam itu yang ternyata sebagai malam penghabisan mereka berkumpul dan merupakan malam nahas, Limin baru pertama kali bisa mengucapkan kata memanggil papa kepada orang tua laki-lakinya itu.

Kata-kata yang baru bisa diucapkannya malam itu membuat seluruh anggota keluarga terbawa dalam keceriaan. Karena seorang anak mulai bisa bicara dan memanggil ayahnya. Namun kebahagiaan itu pun luluh sirna. Papa, orang tercinta yang dipanggilnya itu, esok harinya ditangkap Jepang atau yang dinamakan disungkup atau diambil. Dan sejak hari itu pula sang ayah hilang buat selamanya. Dan Limin pun kehilangan orang yang mengasihinya.

Di hari tuanya sekarang, mengingat seraya menuturkan kisah duka itu, Limin sesekali terhenti bertutur. Ia tak kuasa menahan rasa sedih yang membekas dan mendalam atas kehilangan sang ayah tercinta lebih dari setengah abad lampau. Sebuah kesedihan yang mengumpal yang tersimpan dalam dada seorang anak yang merindukan ayahnya sudah barang tentu. Kesedihan dan kerinduan seorang anak yang tersimpan lebih dari 60 tahun itu terungkap juga akhirnya.

Disertai pergulatan batin di dalam hatinya, kenangan manis di masa lalu, kerinduan yang tidak pernah terjawab, pencarian seorang anak untuk menemukan kembali sesosok figur sang ayah yang yang terenggut begitu saja dari kehidupannya keluarga mereka. Dan bersama tetes deras airmatanya, Limin nyaris tak kuasa meneruskan kisah yang dialami keluarga mereka.

Lain Soewito Limin, lain pula Ir H Said Djafar. Arsitektur terkemuka Kalbar yang belakangan merancang Monumen Makam Joang Mandor itu, tak lain adalah salah seorang putra dari Saudagar H Djafar H Rasyid. Dan Djafar sendiri sebagai orang terkemuka yang aktif di dalam Sarekat Dagang Indonesia Pontianak (SADIP) di masa pendudukan militer Jepang adalah seorang dari sekian ribu korban pembantaian Jepang di daerah ini. Bersama ribuan korban lain, Rasyid hilang tak tentu rimbanya. Hanya kolektif diyakini mereka terkubur secara massal, terbesar tempatnya di Mandor.

Senasib yang dijalani orang tua laki-laki Soewito Limin dan Ir H Said Djafar, begitu pula nasib malang yang menimpa Lim Bak Chai. Di masa Perang Dunia II itu, Lim Bak Chai ditawari Jepang menjadi Kepala Rumah Sakit Umum di Kota Pontianak. Namun ia mengetahui Jepang telah menculik dan membantai saudara sepupunya, maka ia menolak tawaran tersebut. Lambat laun Jepang pun tahu alasan penolakan tersebut, karena Lim Bak Chai adalah bersepupu Lim Bak Khim. Maka tak khayal, ia pun menemui ajalnya dengan tragis dalam kebiadaban militer Jepang pula.

Tindakan keji dan kebiadaban balatentara Jepang seolah tak berhenti memangsa kalangan terpelajar dan terkemuka Kalbar. Dari hari ke hari satu demi satu mereka diciduk atau disungkup. Darah mereka pun tumpah dan nyawa pun meregang di ujung sabetan samurai atau pun akibat letupan moncong timah panas yang bersarang di dada mereka. Menyusul orang-orang sungkupan lainnya, gugur yang lainnya. Adalah Lim Bak Hwap alias Lim Teng Guan yang kala ketika itu berusia sekitar 34 tahun. Ia pimpinan sebuah sekolah pada sekolah yang sederajat dengan SR kala itu. Dia abang kandung Lim Bak Khim. Mereka pun yang mengalami nasib sama. Mereka ini keluarga besar NV Lim Lan Hiang yang kala itu memiliki saham sebesar f10.000.

BAGIAN KE ENAM: P E N U T U P

1. DIMULAI DENGAN TUKANG FOTO
Sesungguhnya, Jepang sejak zaman Belanda, di masa Perang Dunia I, telah menyebarkan intelijennya ke Kalbar. Sehingga tatkala tentara Jepang masuk, 1941, mereka telah tahu dengan pasti di mana tempat mendarat, di mana tangsi militer Belanda. Bahkan mereka sudah tahu di mana lokasi bahan-bahan tambang dan tempat penebangan kayu yang mudah untuk dikeluarkan ke Sungai Kapuas. Oleh sebab itu, tatkala tentara Jepang masuk ke Kalbar diikuti pula oleh dua perusahaan. Masing-masing perusahaan Nomura yang bekerja di pertambangan, baik pertambangan batu tungau bahan baku mesiu atau alat peledak, maupun tambang emas. Sedangkan sebuah perusahaan lagi yaitu Sumitomo bergerak di usaha penebangan kayu.

Perusahaan Sumitomo juga merupakan sebuah perusahaan perkapalan. Kapal-kapalnya berlabuh di Telok Air, menunggu lanting kayu log dari pehuluan Kapuas. Mereka juga mengkoordinir penebangan kayu di daerah pedalaman Kalbar, kemudian dihanyutkan ke hilir. Sampai di Suka Lanting, mereka tidak belok kanan menuju Pontianak, melainkan belok kiri menuju Telok Air Batu Ampar. Konon, sampai tahun 1970-an kapal-kapal Sumitomo kembali masuk ke Telok Air Batu Ampar mengangkut kayu Kalbar yang waktu itu waktu log bebas diekspor ke luar negeri. Dan saat itu Kalbar tengah jaya-jayanya dalam sektor perkayuan ini.

Salah seorang intelijen Jepang yang sudah masuk ke Kalbar pada zaman Belanda, sebelum pendaratan Jepang, adalah Honda. Kerjanya sebagai tukang potret. Dia berkeliling daerah untuk memotret apa saja yang ditemuinya. Selain Honda, untuk profesi yang sama, ada pula Takeda.

Kota Pontianak, sekitar Kampung Bali, telah dibom oleh sembilan pesawat terbang Jepang. Banyak korban yang jatuh, baik masyarakat terlebih murid sekolah. Di Kampung Bali, sekitar Jalan Sisinga Mangaraja Pontianak sekarang, terdapat sekolah rakyat di sana. Pemboman yang dilakukan Jepang di Pontianak ini, terjadi Jumat 19 Desember 1941. maka keadaan sehabis halat Jumat jadi panik. Dari masjid orang berlarian pulang, untuk kemudian ada yang terus mengungsi ke pedalaman. Ada yang mengungsi dengan sampan, ada pula yang mengungsi bersama rakit tempat tinggalnya. Sekali-sekali terlihat pesawat pemburu Jepang yang terbang melintas. Bahkan kemudian sampai berjumlah 29 kapal terbang!

Suatu subuh di bulan Desember, demikian Almarhum Syekh Abdul Azis Yusnian yang saat itu baru berusia sekitar 13 tahun di hari tuanya menuturkan, tentara Jepang sudah masuk Pemangkat. Mereka mendarat dari laut, merapat di pantai Tanjung Kodok Pemangkat dengan menggunakan landing ship berhaluan dua, dalam ukuran kecil. Ditaksir jumlah mereka seluruhnya sekitar 5 kompi. Dari Bukit Tanjung Batu Pemangkat, terlihat oleh penduduk di sana ada 12 kapal perang Jepang yang sudah berlabuh di tengah Laut Cina Selatan. Inilah pendaratan pertama balatentara Jepang di Kalimantan Barat.

Azis mengatakan, pagi hari tentara Jepang menyebar turun ke Singkawang sekitar 145 kilometer di utara Pontianak, atau naik ke Sambas. Di Tebas, antara Pemangkat dan Singkawang, jembatan di sana dibumihanguskan Belanda untuk menahan gerak maju tentara Jepang. Tentara-tentara Belanda, laksana kekuatan yang membisu, melarikan diri tanpa memberikan perlawanan. Di pedalaman Sambas, ada berita rakyat membunuh Bobby seorang tuan kebun berkebangsaan Belanda. Kesempatan rakyat balas-dendam atas perlakuan yang diberikannya selama sebelum itu.

Sedangkan Belanda sipil ataupun para pastor yang tertangkap Jepang, diangkut ke Kuching Sarawak. Sekitar seminggu setelah pendaratan tersebut, di Pemangkat telah bercokol 1 kompi tentara Jepang. Semula adalah pasukan Rikugun, dikenal luas dengan sebutan Bintang, yang kelak digantikan Kaigun atau disebut orang Jangkar.

Berita-berita dari kota lain sukar masuk, karena alat komunikasi tidak ada. Malahan tak ada mobil yang menghubungkan atau dari dan ke Pontianak. Di Sanggau Kapuas, Jepang mengambil paksa barang-barang perhiasan seperti emas, intan berlian dan lain sebagainya dengan dalih untuk membikin alat-alat perang. Kalaupun ada istilah tukar menukar, maka untuk setiap karat intan paling-paling dibarter dengan 2,5 meter kain Suka Mandi.pada tahapan selanjutnya, rakyat diperintah untuk menyerahkan setiap senjata yang mereka miliki. Apakah itu keris atau meriam atau senapan lantak, senjata yang disebut terakhir ini mereka sita hanya untuk dibuang ke tengah Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam.

2. NYAWA MANUSIA TAK DIHARGAI SEPESERPUN
Mengenai korban pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Jepang di daerah Sanggau Kapuas, terdiri dari kalangan feodal otonom lokal, kaum pergerakan, ambtenaar, pedagang kebanyakan kalangan Tionghoa, cerdik-pandai terutama kalangan pengajar, dan pemuda kepanduan. Status korban penyungkupan ini di Kalbar nyaris sama. Mereka diciduk rata-rata malam dan dinihari, dengan mata ditutupi kain atau sarung bantal. Para korban belakangan disebut korban penyungkupan. Mereka diangkut dengan mobil truk, dan disungkup dengan terpal. Tapi ada pula yang diangkut dengan kapal motor khusus. Bahkan seorang konglomerat lokal, pengusaha Tionghoa Tio Phia Cheng dari Ketapang, diangkut dengan kapal motor sungai miliknya sendiri untuk diantarkan ke Pontianak, yang selanjutnya tak bukan lagi sebagai korban penyungkupan pula.

Dalam penuturan lanjutnya, Azis Yusnian mengaku, Juni 1945, saat di mana rakyat pedalaman suku Dayak yang tergabung dalam Laskar Majang Desa bangkit melawan penindasan tentara pendudukan yang mengaku dirinya sebagai Saudara Tua itu dan ikut bergabung ke dalamnya orang-orang Melayu militan dan lain-lain, ia bersama dua orang jepang dari maskapai Nomura berangkat dari Pontianak menuju Sanggau lewat jalan darat.

Kenangnya, ketika akan melewati Kopyang Mandor, mobil yang mereka tumpangi berjalan perlahan, kemudian sejenak berhenti. Mereka pun turun. Di mulut jalan yang menyimpang ke kanan, berjaga-jaga dua orang Kempeitai Jepang. Mereka memberi hormat dengan cara bersaikere, dan mereka membalas. Kemudian ketiganya meneruskan perjalanan. Kepada salah seorang Jepang teman seperjalanannya Takeuchi, Azis sempat bertanya apa yang mereka jaga di situ. Takeuchi hanya menjawab kalau Jepang membikin sebuah benteng kuat di situ untuk menghadapi Sekutu.

Azis yang masih belia usianya ketika itu hanya mengangguk saja. Sedikitpun ia tak menyangka kalau di situ tempat atau mungkin lebih tepat disebut ladang pembantaian manusia yang kejamnya luar biasa. Setiap mereka yang diangkut ke sana, maka nyata kemudian akan hilang tak berbekas. Pada 1946 ketika berada di Ngabang, sekitar 167 kilometer timur Pontianak, Azis memperoleh kabar dari Ibrahim Saleh yang datang dari Pontianak bercerita bahwa di Mandor banyak ditemukan tulang-belulang manusia berserakan dimakan babi hutan. Menurut pemuda Ibrahim Saleh yang saat itu menapaki karir sebagai wartawan, hal itu baru ditemukan oleh penduduk setempat dan telah dilaporkan kepada pemerintah di Pontianak.

Dari Pontianak kemudian datang utusan untuk memeriksa. Dan tentara Australia—Sekutu memang menemukan tulang belulang dan tengkorak manusia berserakan di sana. Dipastikan, di situlah korban mobil sungkup dibantai. Setelah kabar tempat pembantaian itu pecah ke mana-mana, salah seorang perempuan Tionghoa telah datang ke sana untuk melihat-lihat, kalau-kalau suaminya telah pula menjadi korban. Karena beberapa waktu sebelumnya, suami wanita itu telah raib dibawa Nippon.

Dan betul. Ia menjumpai mayat suaminya di situ. Mayat itu bisa dikenal dari gigi dan pakaiannya. Menurut cerita kemudian, wanita Tionghoa tadi diperbolehkan membawa mayat suaminya untuk dimakamkan secara baik. Almarhum H Achmad Noor menceritakan pula, sampai di Mandor, tengkorak dan tulang belulang masih banyak yang berserakan. Dan ada pula yang lagi disusun bertumpuk-tumpuk. Menyaksikan pemandangan yang menusuk hati itu, akunya, tak terasa menangis. Betapa pula jika membayangkan pembunuhan yang buas, di mana nyawa manusia tak dihargai sepeser pun …

3. LADANG PEMBANTAIAN MANUSIA
Adalah M Saiyan Tiong. Ia pada 1942—1944 berjabatan sebagai Fuku Guntyo di Mandor. Jabatan sederajat camat saat sekarang. Ia semasa hidupnya menuturkan, mulai bekerja di Mandor dengan jabatan pertama sebagai juru tulis. Kemudian pada 1942 diangkat sebagai Fuku Guntyo. Penghujung 1942 Jepang mengabarkan kepadanya akan membuat lapangan di Mandor. Dipesankan agar penduduk jangan mendekati lokasi yang diberi pagar kawat berduri. Di sana akan dilakukan penjagaan ketat, dan siapapun yang coba datang mendekat akan ditembak mati.

Tiga hari sekali, katanya, Jepang datang ke Mandor. Mereka minta bantuan makanan. Sering pula mereka menangkap sendiri ternak peliharaan penduduk, ataupun menembak buah kelapa. Pada waktu itu sering terjadi penganiayaan. Kalau penduduk tidak mau memberikan apa-apa yang mereka minta. Sasaran utama adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di pasar Mandor. Tak jarang mereka masuk ke rumah penduduk, mencari sesuatu yang diperlukannya. Keadaan seperti itu berlangsung sekitar enam bulan. Saiyan mengaku kelelahan meladani mereka.

Setelah lapangan yang dibikin oleh orang-orang hukuman selesai, maka tiap malam ataupun sore hari, sering terdengar tembakan di sana. Pun pada malam hari, mobil-mobil truk sering terdengar datang. Jarak jalan simpang ke lapangan dengan rumah kediaman Saiyan sendiri sekitar 300 meter. Pernah juga dia melihat apa isi truk yang selalu datang itu. Tampak kaki manusia terjulur dari bawah terpal. Waktu itu, ia mengira kaki-kaki tersebut milik tentara Jepang yang lagi tidur.


Setelah Jepang kalah dan lari, tentara Australia datang menemui Saiyan di Mandor. Mereka, katanya, minta diantarkan ke tempat pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara Jepang. Tentu saja Saiyan sangat terkejut. Karena tidak pernah mengetahui tentang hal itu. Tetapi setelah mendapat penjelasan dari tentara Australia itu, dan merangkaikan tingkah laku orang-orang Jepang, mereka lalu Saiyan tunjuki lokasi yang dipagari kawat berduri tersebut.

Begitu mendekati tempat itu, kenang Saiyan, hidung mencium bau mayat! Busuk, amis dan kepahitan. Terlihatlah tulang belulang manusia yang teronggok, bekas dimakan babi. Itu adalah tulang belulang milik korban yang tidak sempat dikuburkan oleh tentara Jepang. Yang sudah mereka pendam dalam lubang yang dangkal juga banyak. Tentara Australia kemudian bermufakat untuk menguburkan tulang belulang tersebut.

Untuk memunguti tulang belulang itu saja, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Kemudian lalu dikuburkan di parit-parit yang terdapat di sana. Menurut keterangan tentara Australia itu seperti dikutip Saiyan, sebagian tulang belulang tersebut akan dimakamkan di tempat lain. Hanya saja, tempat pemakaman itu Saiyan sendiri tidak tahu. Tentara Australia mengatakan bahwa kuburan massal di Mandor akan diperbaiki, bekerjasama dengan NICA.

4. UNTUK TAK MELUPAKAN SEJARAH
Sebuah sumber mengatakan, terungkapnya peristiwa Mandor, tidak bisa dipisahkan dengan era pemerintahan Gubernur Kadarusno. Ia gubernur Kalbar kelima, 1972-1977. Ia bekas tentara KNIL Belanda. Saat masih menjadi kopral, ia anak buah Sultan Hamid II yang ketika itu menjadi perwira militer dan mendapat pendidikan ketentaraan di Breda Belanda. Saat menjadi gubernur, Kadarusno memerintahkan anak buahnya meneliti keberadaan makam yang terletak di Mandor. Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan makam kerangka berserakan di berbagai area di Mandor tersebut.

Di mana mayat lainnya? Sungai Kapuas, kata sumber tadi. Sungai Kapuas dan Landak, ketika itu menjadi jalur bagi pengangkutan tahanan dari Pontianak ke Mandor. Para tahanan diculik di daerahnya dan dibawa ke Pontianak. Setelah itu, baru dibawa ke Mandor. Dalam perjalanan ada yang sakit. Mereka langsung dilempar ke sungai. Orang yang tidak sakit pun, bisa saja di lempar ke sungai. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan. Karena, tak mungkin Jepang menguburkan satu persatu tahanan. Biayanya akan sangat besar, kata sumber dimaksud.

Pembunuhan para korban peristiwa Mandor, tidak sekaligus. Namun, bertahap. Pembunuhan itu berawal sejak April 1943, dan berakhir sekitar Juli 1944. Alasan pembunuhan dilakukan pada April 1943, ketika itu di Banjarmasin sudah mulai terjadi pemberontakan melawan Jepang. Ada dua orang dari Banjarmasin dikirim ke Kalbar. Tugasnya, memberitahu permasalahan yang sedang terjadi di Banjarmasin, kepada para pemimpin di Kalbar. Keduanya adalah dr Soesilo dan Makaliwe. Dua orang inilah sering bertemu dengan para pemimpin Kalbar di Gedung Medan Sepakat, sebuah gedung di Jalan Jenderal Urip Pontianak sekarang. Dulunya, gedung itu sering menjadi tempat berkumpul para pejabat, pengusaha, aktivis pergerakan, dokter, dan para pembesar kerajaan di Kalbar. Mereka terdiri dari beragam etnis.
Dalam berbagai pertemuan itulah, mereka mencari jalan dan berdiskusi untuk melawan Jepang. Caranya, melalui gerakan massa rakyat. Mereka beranggapan, penyebab berbagai kesulitan hidup, akibat penjajahan Jepang. Maka, negeri matahari terbit itu, mesti memperbaiki kondisi di masyarakat. Saat itu, sulit menemukan keberadaan senjata. Jepang tidak percaya memberikan senjata, meskipun kepada warga Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuknya. Namun, negeri ini memang sarang penghianat, kata Sudarto seorang peneliti sejarah Kalbar.

Para penghianat yang merupakan warga Indonesia sendiri, antaranya mereka yang menjadi kolaborator dan informan Jepang, menambahi berita itu dengan berbagai bumbu dan cerita. Seolah-olah, para pemimpin itu, akan melakukan perlawanan bersenjata pada Jepang. Tentara pendudukan Jepang langsung merespon dengan berbagai penangkapan.

Ada dua hal yang menjadi kekhawatiran Jepang, saat itu. Pertama, pasukan Jepang di berbagai medan pertempuran, mulai terpukul mundur. Bahkan, dalam berbagai pertempuran di lautan Pasifik, Jepang mulai kalah dan terjepit. Misalnya, di Filipina dan berbagai medan pertempuran lainnya. Kedua, orang yang dibunuh, punya massa dan menjadi pemimpin bagi warganya. Bila mereka memerintahkan sesuatu pada rakyatnya, Jepang sangat khawatir, bakal menjadi perlawanan bagi pemerintahan pendudukan Jepang.

Penyungkupan atau penculikan selalu terjadi pada tengah malam ataupun dinihari. Setelah diculik, para pemimpin itu disungkup. Kepalanya ditutup dengan karung goni. Para pemimpin itu dibawa ke kantor Kepolisian Syutizi atau tangsi militer.

Munculnya jumlah angka korban Mandor sebanyak 21.037 orang, karena berita di salah satu di Pontianak, Harian Akcaya. Angka ini masih menjadi kontroversi hingga sekarang. Bahkan, seorang komandan Jepang yang dihukum mati di Kalbar, Yamamoto, juga mengaku tidak tahu. Menurut Sudarto, hal yang bisa dilakukan sekarang ini, untuk mengetahui jumlah sebenarnya tentang jumlah korban peristiwa Mandor, harus meneliti berbagai dokumen pengadilan perang di Jepang. Sudah ada kebijakan dari pemerintah Jepang, untuk mengakses berbagai dokumen pengadilan itu. Dokumen itu, tentu menggunakan huruf Kanji.

5. REKAYASA MILITER
Tanggal 19 Desember 1941, Pontianak diserang sembilan pesawat pembom Jepang, terkenal kemudian mengambil korban ratusan bahkan ribuan orang. Terutama daerah pasar, Kampung Bali (Jalan Sisingamangaraja sekarang) dan sekitarnya. Selama pendudukan Jepang, rakyat terbiasa menderita. Terbiasa menyembah ke arah matahari terbit, di mana berada Tenno Haika. Terbiasa baris kangkong, baris keladi atau baris kembong.

Hingga tibalah saat yang sangat menakutkan dan mengerikan: sungkop, sebutan yang sangat popular yang diarahkan rakyat pada tentara pendudukan Jepang ketika heitasan mulai menangkapi kaum cerdik pandai, tokoh-tokoh masyarakat, raja-raja dan keluarganya, pedagang besar dan menengah yang umumnya terdiri dari pengusaha Tionghoa, laki-laki maupun perempuan.

Mereka yang ditangkap itu dijemput dari rumah atau dari kantor. Kemudian kepala dan mukanya dibungkus dengan blansai, kantong anyaman terbuat dari daun sejenis pandan yang dikeringkan, tetapi kini telah digantikan dengan plastik.

Satu generasi kaum cerdik pandai dan tokoh-tokoh terkemuka Kalimantan Barat yang diperkirakan ribuan jumlahnya, habis dibunuh dan dipancung Jepang yang dipusatkan di Mandor dan sebagian kecil di Ketapang atau di tempat yang berserakan. Karena letak Kalbar yang strategis, penduduknya waktu itu hanya berjumlah satu setengah juta orang, luasnya satu setengah kali Pulau Jawa tambah Madura dan Bali, maka Kalbar akan dijadikan Manchuria dan Korea kedua. Umur dua belas tahun ke atas semuanya dibunuh habis, generasi sisanya sampai kanak-kanak dididik ala Jepang ditambah dengan orang-orang Jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka akan jadilah Kalbar dalam lima puluh tahun mendatang sebagai Jepang benaran. Itu rencana militer Jepang.

Di Manchuria, Korea dan Taiwan sampai dengan 1950 penduduk pribuminya fasih berbahasa Jepang dan tahu benar dengan kebiasaan dan adat istiadat Jepang. Kalimantan Barat dikatakan strategis, karena dari Jepang berlayar ke selatan melalui Philipina, Brunai dan Sarawak, langsung mendempet daerah Kalbar. Dari Sarawak ke Kalbar sejak lama banyak jalan tikus atau istilahnya belum ada jalan raya seperti sekarang. Dan perbatasan Kaltim dan Kalsel, Kalteng hutannya masih lebat. Kemungkinan orang Kalbar lari ke Kaltim, Kalsel atau Kalteng tipis sekali karena hutan lebat dan belum ada jalan seperti sekarang ini. Jadi, penyembelihan di Kalbar adalah proyek dan percontohan pertama Asia Timur Raya dijepangkan oleh Saudara Tua waktu Perang Dunia II. Jepang menamakan dirinya Saudara Tua dan kita Saudara Muda alias budak-budaknya.

Selama Perang Dunia II, Kalimantan Barat benar-benar terisolir. Tidak ada hubungan pos. tidak ada telkom. Tidak ada pelayaran apalagi pesawat udara. Yang ada hanya telkom dan angkutan tentara Jepang. Surat kabar hanya Borneo Sinbun yang menggunakan kertas merang dan dipimpin oleh perwira intel Jepang. Sempat pimpinan redaksinya orang Indonesia, meneer Faath, yang belakangan kemudian juga dijadikan korban penyungkupan.

Sesuai dengan pembagian wilayahnya, Kalimantan Barat (dan juga Kalimantan, Sulawesi dan seluruh Indonesia Timur) berada dalam kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun). Sifat khas wilayah Kalbar yang banyak memiliki penduduk Tionghoa, membuahkan dampak tersendiri. Para pemimpin militer setempat mungkin menyadari, perang Asia Timur Raya yang mereka lancarkan, diawali dengan penyerbuan ke daratan Cina.

Dengan demikian, sejak awal memberlakukan langkah tertentu untuk mengelola Kalbar. Dilengkapi kenyataan, pasukan Jepang yang mendarat pada Februari 1942 di Tanjung Kadok Pemangkat dan muara Sungai Kapuas, seluruhnya terdiri dari Tentara XIX eks Kwangtung Army yang terkenal dan baru saja membantai daratan Cina. Pertanyaan paling menarik adalah, mengapa penguasa militer Jepang melakukan pembantaian, dan berapa besar jumlah korban sesungguhnya? Dan benarkah, memang terdapat suatu komplotan rahasia untuk menggulingkan kekuasaan Jepang di Kalbar ini?

Betapa pendudukan Jepang telah menorehkan luka sangat dalam pada diri warga masyarakat Kalbar. Ribuan penduduk ditangkap dengan tuduhan melakukan pembangkangan, dan beberapa di antaranya malahan langsung dijatuhi hukuman mati. Pembantaian tersebut dilakukan oleh Tokkeitai (polisi istimewa Angkatan Laut). Sebuah teori menyebutkan, dengan mengacu kepada kenyataan geografis dan demografis setempat, Jepang sebenarnya pernah ingin men-jepang-kan Kalbar sebagaimana pernah mereka cobakan ketika menguasai Korea dan Manchuria. Garis pemisahan yang tajam telah diberlakukan kepada setiap kelompok masyarakat, pembersihan dilakukan kepada kelompok intelektual serta upaya mendekati warga Tionghoa setempat. Hanya sayangnya, atau justru malahan beruntung mujur, kebijakan tersebut akhirnya tidak sempat terwujud, karena Jepang telanjur cepat menyerah kepada Sekutu.

Ketika perang selesai dan pasukan Sekutu kembali menduduki Kalbar, kasus ini langsung menjadi agenda utama penyelidikan. Menurut hasil penelitian resmi, korban yang bisa diidentifikasikan seluruhnya berjumlah 1.534 orang. Mereka terdiri dari 577 orang Indonesia, 903 keturunan Cina atau Tionghoa, 36 berkebangsaan Eropa dan 18 warga keturunan Arab. Kasus ini segera memperoleh penanganan prioritas. Pihak Sekutu menyelenggarakan mahkamah militer dan menjatuhkan hukuman mati kepada 14 anggota militer Jepang yang dianggap paling bertanggung jawab atas pembantaian tersebut di Kalbar.

Teori konspirasi (dari para korban) sebagaimana dulu dituduhkan Tokkeitai, sama sekali tidak pernah terbukti. Tetapi kemungkinannya adalah, terdapat sekelompok perwira muda dari kesatuan polisi istimewa ingin menaikkan gengsi mereka di mata panglimanya yang ada di Tarakan, Kalimantan Timur. Untuk itu mereka sengaja merekayasa teori konspirasi, sehingga bisa membereskan para korban dengan sekali tebas.

Rekayasa atau tidak, lebih 1.500 penduduk Pontianak (Kalbar) telanjur tewas hanya untuk memenuhi ambisi 14 perwira muda yang ingin mencari nama. Mereka tega mencari kesempatan dengan memakan orang lain. Akhirnya, tidaklah kurang pentingnya: mengandung pesan kepada generasi sekarang dan selanjutnya, bahwa apa yang mereka capai masa kini, sukses pribadi maupun sukses Indonesia secara umum, kesemua itu dimungkinkan karena sebelumnya ada para pendahulu yang tanpa pamrih bersedia mengorbankan segalanya demi kemerdekaan Indonesia yang tercinta ini.
(Dituturkan Alm H Ibrahim Saleh kepada Penulis di Pontianak, 16 Agustus 1996. Alm. H. Ibrahim Saleh (1931-2004) terakhir Ketua Umum DHD Angkatan 45 Propinsi Kalbar, 1991-1996, 1996-2000 dan periode 2000-2006. Meninggal dunia dalam 2004 sebelum habis masa bhaktinya dalam periode tersebut).

BAGIAN KE TUJUH: APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI

1. PERANG DAN PENDUDUKAN
Sebuah pemboman udara mengejutkan penduduk Pontianak pada tengah hari 19 Desember 1941, ketika sembilan pesawat udara secara bertubi-tubi menjatuhkan bom api dan bom pencar, dan memberondong pusat kota, menewaskan kira-kira 150 orang penduduk sipil dan melukai banyak orang lainnya. Di antara para korban terdapat anak-anak Tionghoa dari sebuah sekolah misionaris yang keluar kelas untuk menonton pesawt-pesawat itu, tanpa menyangka akan diserang. Pemboman berikutnya menimpa kota-kota lain, Singkawang, Mempawah dan kemudian juga lapangan terbang di Sanggauledo.

Satu-satunya batalion tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger, Tentara Hindia Kerajaan Belanda) dan pemerintah sipil sudah tidak mendapat dukungan sama sekali dari Belanda sejak pendudukan oleh Jerman pada Mei 1940. para penduduk setempat tidak memberikan dukungan untuk melawan Jepang, kecuali sejumlah orang Tionghoa dan sebagian kecil lainnya. Banyak dari masyarakat yang memandang Jepang sebagai Sang Pembebas.

Dengan hancurnya lapangan terbang, Belanda tidak bisa lagi menghadang pesawat-pesawat musuh. Mereka Cuma menggunakan taktik bumi hangus untuk menghindari penggunaan tempat-tempat dan perlengkapan yang penting secara strategis, di Pontianak termasuk pabrik-pabrik dan rumah-rumah pengasapan karet, kendaraan bermotor dan bahkan beberapa pasar. Ini agar tidak jatuh ke tangan Jepang. Surat tentang kebijakan terhadap orang Tionghoa, kira-kira 1949, di mana Pontianak adalah kota pertama di Hindia yang dibom. Pada 28 Januari 1942 mereka angkat kaki, meninggalkan segala-galanya dalam keadaan hancur terbakar. Tentara Jepang bergerak ke arah selatan di sepanjang pesisir pantai dan mengambilalih Pontianak pada 2 Februari 1942. Pasukan Belanda kemudian mundur ke hulu Kapuas, namun akhirnya menyerah pada 8 Maret 1942. Para warganegara Belanda segera dipenjarakan, dikenakan tahanan rumah, atau langsung dibunuh. Penduduk setempat menjarah toko-toko untuk mengambil beras, gula, rokok, tekstil, dan mengambil persediaan dari gudang-gudang perusahaan impor hingga Jepang menghentikannya. Jepada pada awalnya mendorong penduduk untuk merampok gudang-gudang Belanda. Beberapa misionaris ditinggal untuk merawat rumah sakit lepra di dekat Singkawang, seorang pegawai Belanda berhasil selamat, disembunyikan oleh orang Tionghoa di pedalaman. Sebagian orang Tionghoa dan yang lainnya melarikan diri ke daerah pedalaman, namun tidak diketahui berapa jumlah jiwa yang bergabung dengan pelarian ini atau berapa lama mereka tinggal di pedalaman. Yang lainnya tetap meninggalkan kota untuk hidup di ladang dan perkebunan karet mereka.

Segera saja, satu pemerintahan tentara Jepang berdiri terbentuk, pada Agustus Angkatan Laut memikul tanggung jawab atas wilayah tersebut. Sebelum pergi, Angkatan Darat memindahkan para tahanan militer dan sipil Belanda ke sebuah tampat tawanan untuk tawanan Sekutu di Kuching, Sarawak.

Angkatan Laut berencana untuk menggabungkan pulau-pulau Timur Hindia, termasuk Kalimantan, dengan sumber daya karet dan minyak mereka agar secara permanen menjadi milik Jepang. Tidak akan ada pembicaraan mengenai kemerdekaan. Pendudukan tersebut menempatkan personel militer dan orang sipil Jepang sebagai pegawai untuk menjalankan tugas-tugas penting, walikota Pontianak yang baru adalah orang Jepang. Banyak penduduk pribumi yang diangkat untuk menduduki jabatan yang awalnya diduduki orang Belanda, dan aparat birokrasi rendahan kini sangat diperluas. Para penguasa pribumi Melayu, yang di Borneo Barat berjumlah 12 orang, diizinkan untuk tetap bertuga, sekalipun mereka dicurigai berpihak kepada Belanda. Sambas dan Pontianak memiliki sultan, yang lainnya yaitu Mempawah, Landak, Sanggau, Tayan, Sekadau, Sintang, Kubu, Simpang, Sukadana dan Matan memiliki panembahan. Mereka disebut juga sebagai 13 pemimpin pribumi.

Markas Angkatan Laut untuk Indonesia Timur berkedudukan di Makasar, yang juga menjadi tempat dari Minseifu (Kantor Pemerintahan Sipil). Markas besar untuk Borneo berada di Banjarmasin. Sistem yang diterapkan adalah secara esentralisasi, dan segera ketika Sekutu melancarkan serangan di garis perhubungan laut, membuat pemerintah lokal di Pontianak hampir terisolasi. Komunikasi lewat darat antara Pontianak dan Banjarmasin tidak pernah ada.

Semua perusahaan Belanda disita, semua sekolah Belanda ditutup, dan bahasa Belanda dilarang digunakan. Beberapa sekolah tetap beroperasi dengan melangsungkan pelajaran dalam bahasa Indonesia, demikian pula beberapa sekolah Tionghoa. Para guru dan pemimpin harus mempelajari bahasa Jepang, pemerintah Jepang mempropagandakan lagu-lagu dan tarian Jepang, senam bela diri dan kegiatan pekerja sukarela. Satu-satunya surat kabar yang boleh terbit pada waktu itu yaitu Borneo Shimbun, diterbitkan di Banjarmasin dalam bahasa Melayu dengan sebuah edisi untuk Pontianak, menyediakan berita publik yang benar-benar berada di bawah sensor ketat penguasa. Seperti halnya di negara lain yang diduduki Jepang, semua radio di rumah penduduk ditukar dengan pesawat yang hanya bisa menerima siaran resmi pemerintah. Jumlah tentara Jepang sebenarnya sangat tidak memadai, namun mereka selalu siap setiap saat untuk menggunakan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan mereka di wilayah tersebut.

2. PEREKONOMIAN DAN POLITIK MASA PERANG
Selama masa pendudukan, perusahaan-perusahaan perdagangan Jepang mengendalikan arus ekspor dan impor, mematikan banyak perusahaan Tionghoa yang bergerak dalam perdagangan internasional. Setelah 1944, organisasi-organisasi monopoli yang disebut kumiai membeli dan menyalurkan barang-barang. Perhimpunan pedagang yang dikelola bagai koperasi ini, yang mencoba memihak para pedagang Indonesia menghadapi para pedagang Tionghoa, diharapkan dapat menghalangi perdagangan pasar gelap dari berbagai barang kebutuhan pokok. Akan tetapi, karena kekurangan yang begitu parah atas impor barang kebutuhan pokok yang disebabkan oleh serangan Sekutu terhadap armada pelayaran, sistem ini gagal mencapai tujuannya, dan berbagai kumiai pun didorong untuk juga bergerak dalam bidang produksi makanan. Organisasi ini berfungsi tunggal untuk memastikan produk lokal sampai ke pasaran dengan harga seperti yang telah ditentukan, mencegah penyelundupan.

Pada masa sebelum perang, ekspor kopra dan karet telah membiayai impor makanan dan bahan konsumsi pokok. Beberapa tahun sebelum terjadi penyerbuan, nilai ekspor mencapai f40 juta, sementara impor sebesar f20 juta. Impor beras Borneo Barat baik dari luar negeri maupun Jawa tidak kurang dari 24.000 ton pertahun, dan jumlahnya bertambah hingga mencapai 41.000 ton lebih di tahun 1937, ketika pemerintahan di Borneo Barat mulai menimbun beras untuk persediaan pada masa perang yang diramalkan akan meledak. Singkawang sendiri mengimpor seribu ton beras dari Jawa setiap bulannya. Tentu saja sistem transportasi yang lumpuh pada masa perang tak memungkinkan permintaan ini terpenuhi. Pada masa perang terjadi kekurangan makanan yang cukup parah sehingga Jepang menyarankan agar para penduduk meninggalkan kota dengan menawarkan tanah, uang dan sejumlah besar gula, bagi mereka yang bersedia pindah ke daerah pertanian. Banyak orang yang menurutinya.

Jepang menggunakan kelaparan, kekurangan informasi dan juga teror untuk mengendalikan penduduk. Kemakmuran sederhana di Borneo Barat lenyap: kebun kelapa dan lada dipenuhi rumut, perkebunan karet tidak terpelihara. Tidak ada satu perahu pun yang berlayar di Sungai Kapuas, dan Jepang tidak dapat mengambil keuntungan dari komoditas strategis yang sebelumnya dihasilkan propinsi ini. Barang konsumsi menghilang. Mesin-mesin dihancurkan atau dibiarkan berkarat. Pendidikan hampir mengalami kemandegan, bahan-bahan bacaan dan siaran radio diawasi dengan ketat.

Pendudukan Jepang di Indonesia membawa kebuntuan politik dan sosial, karena organisasi yang sudah ada sebelumnya dihapuskan, namun di beberapa tempat, terutama di Jawa, Jepang secara bertahap membentuk berbagai organisasi untuk merekrut dan mengambil tenaga rakyat untuk kepentingan perang.

Di wilayah timur Indonesia, Angkatan Laut Jepang menghindari pengerahan semacam itu. Secara ekonomis terdapat monopoli perdagangan, namun segala macam kegiatan politik dibatasi secara ketat. Ketika Angkatan Darat melepaskan penguasaan atas Borneo Barat, pada Juli 1942 mereka menyokong pembentukan Partai Nisshinkai (awalnya dituliskan Nissinkwai) di Pontianak. Mirip dengan Gerakan Tiga-A di Jawa, Nisshinkai juga terbuka untuk semua orang Asia, pribumi Indonesia, Tionghoa dan Arab dan menggantikan semua organisasi politik dan masyarakat sebelumnya. Para pemimpin partai diambil dari organisasi nasionalis sebelum perang yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra), namun inisiatif pembentukan organisasi ini jelas berasal dari orang Jepang. Nisshinkai mulai memudar pada Oktober 1942, namun rupanya gerakan tetap ada. Namun menurut sebuah sumber Indonesia belakangan yang agak bermasalah, ada sekitar 500 partisipan yang menghadiri rapat Nisshinkai (demikian huruf tulisannya dalam bahasa Indonesia) yang diadakan pada 1943 di Gedung Medan Sepakat di Pontianak. Karena pertemuan ini dicurigai merupakan persekongkolan menentang Jepang, tentara Jepang kemudian mengepung gedung itu dan menghujaninya dengan tembakan, menangkapi yang masih hidup dan memberlakukan jam malam. Sumber lain mengatakan Nissinkai adalah sebuah organisasi pemuda dengan kepemimpinan nasionalis.

Angkatan Laut tidak begitu tertarik untuk melanjutkan kegiatan Nisshinkai dalam mengerahkan penduduk, namun mengorganisasikan sebuah kesatuan pemuda yang disebut Borneo Koonan Hookudan (Korps Pelayanan Nasional Borneo untuk Wilayah Selatan) yang merekrut para pemuda pribumi. Nyata terlihat bahwa Hookudan memiliki kesamaan dengan Heiho yang berfungsi sebagai batalion tambahan atau pekerja, namun hanya beberapa ratus orang pemuda yang ikut serta. Dengan adanya sekolah-sekolah byang mengajarkan kurikulum Jepang, pengajaran yang lebih intensif diberikan di asrama untuk murid-murid muda, di mana anak-anak Borneo Barat diajarkan untuk menjadi seperti orang Jepang.

Tak ada perbincangan mengenai kemerdekaan, hingga sampai pada masa ketika perang hampir berakhir. Sebagian besar penduduk Borneo Barat tidak mengetahui segala kegiatan yang terjadi di Pulau Jawa, terutama pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Awal 1945, pemerintah Angkatan Laut mengorganisasikan dewan-dewan setempat di seluruh Borneo Barat, dikarenakan mereka sadar bahwa mereka tidak bisa menduduki wilayah itu seterusnya seperti apa yang telah mereka rencanakan. Pada Agustus tahun tersebut, tentara pendudukan mengizinkan pembentukan komite regional yang akan melatakkan dasar-dasar untuk masa kemerdekaan nantinya, hal ini terjadi hanya beberapa hari sebelum Jepang menyerah.

Di sisi lain, selama pendudukan, militer menyelenggarakan suatu aparat keamanan lokal yang represif yang dirancang untuk meniadakan setiap kegiatan politik yang tidak memiliki izin, yang tidak hanya terdiri dari beberapa bentuk kepolisian, namun juga Keibitai (polisi pengintai). Dari Keibitai dibentuklah Tokeitai (pasukan polisi khusus yang menyerupai Kempeitai atau polisi rahasia di Jawa) pada September 1942.

3. ORANG TIONGHOA, KERJASAMA DAN PERLAWANAN
Orang Tionghoa di Borneo Barat benar-benar menyadari akan Perang Tiongkok—Jepang dan ketegangan yang terjadi di Asia Timur, namun perang tersebut baru menjadi kenyataan beberapa hari setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor. Rasa takut yang mencengkeram pada masa perang yang begitu mendominasi, khususnya di antara etnis Tionghoa. Jepang menyalahkan terjadinya kekurangan bahan makanan pada masa perang disebabkan para pemilik toko Tionghoa.

Masyarakat Tionghoa telah memberikan sumbangan yang cukup besar untuk Tiongkok sejak Perang Tiongkok—Jepang pecah pada 1937, dan Jepang sadar akan hal ini. Di Singapura dan Malaya, tentara pendudukan telah melenyapkan para tokoh Tionghoa terkemuka, namun hal ini tidak segera atau secara besar-besaran dilakukan terhadap pimpinan-pimpinan Tionghoa di Borneo Barat. Di Singapura intelijen Jepang memiliki daftar orang Tionghoa anti Jepang yang akan disingkirkan. Sebuah naskah Jepang menyebutkan betapa pentingnya untuk membasmi sepenuhnya semua organisasi Tionghoa Perantauan yang telah dimanipulasi untuk kepentingan gerakan politik … semua pembuat masalah yang tersembunyi yang harus dibasmi. Untuk Kalimantan Barat orang Tionghoa dari Mempawah yang terkenal mendukung upaya perang oleh Tiongkok telah ditangkap dan dihukum mati di minggu-minggu awal masa pendudukan.

Pada kenyataannya, mereka memperbolehkan mereka untuk tetap menjalankan usaha. Direktur sebuah perusahaan ekspor di Pontianak bernama Ng Ngiap Soen (Mandarin: Huang Yechun) menjadi kepala Kakyo Toseikai (Perkumpulan Umum Tionghoa Perantauan atau Huaqiao Zonghui), satu-satunya organisasi Tionghoa yang dizinkan ada dan bertugas untuk menyalurkan komoditas yang langka dan membeli bahan-bahan mentah. Jepang berusaha menyita harta orang Tionghoa dengan memberlakukan pajak yang sangat tinggi dan keharusan untuk memberikan sumbangan sukarela. Beberapa perusahaan Tionghoa disita, namun beberapa perusahaan yang lain justru mendapatkan keuntungan dari situasi ini, sebuah keberuntungan yang mengasingkan banyak orang Dayak dan Melayu. Permusuhan dari sudut-sudut yang lain. Menurut laporan intelijen Jepang tentang sistem penyaluran Tionghoa, hanya membuat orang Tionghoa semakin bersatu.
Tidak semua orang Tionghoa menjadi korban atau penentang Jepang. Beberapa di antara mereka bekerja sebagai mata-mata atau informan, beberapa di antaranya menjadi penerjemah, dan beberapa orang menjadi spekulan. Namun pada umumnya, orang Tionghoa diangap kurang menunjukkan kerja sama dibandingkan dengan orang Melayu yang dipilih Jepang untuk dipekerjakan sebagai polisi dan pegawai, seperti tugas yang pernah mereka emban pada zaman Belanda. Kebijakan Jepang dari maksud dan dari akibatnya jelas bersifat memecah-belah antar etnis. Orang Tionghoa merasa marah kepada orang Melayu karena mau bekerja sama dengan Jepang dalam tugas-tugas pemerintahan dan kepolisian. Orang Dayak yang paling tidak ada kesempatan mengambil keuntungan dari interaksi dengan tentara pendudukan, terkadang memandang orang Melayu sebagau pemeras dan orang Tionghoa sebagai pencatut. Meski begitu, beberapa orang Tionghoa menjadi pengungsi bersama orang Dayak di pedalaman, di mana orang Dayak membagi persediaan makanannya yang sedikit untuk mereka.

Ketika perang mulai bergerak ke arah kekalahan Jepang, kebanyakan orang Tionghoa menerima berita ini dengan gembira. Harapan pun membumbung tinggi, tidak hanya karena Jepang akan terpaksa keluar dari Borneo Barat, namun juga karena terlihat Negeri Tiongkok akan muncul sebagai salah satu pemenang dari perang itu. Orang Tionghoa dan kelompoknya seringkali menunjukkan kegembiraannya yang berlebih-lebihan. Memang pula cukup alasan baginya untuk berbuat demikian setelah sejak lama hidup di bawah tekanan. Tiongkok diketahui bukan saja sebuah negara besar tetapi pun juga salah sebuah dari negara-negara yang memenangkan perang. Negara itu kini termasuk dalam tiga besar atau mungkin empat besar yang mengibarkan bendera kemenangan. Itulah yang membuat mereka bangga.

Kegembiraan golongan Tionghoa itu seringkali dinampakkan mereka sebagai kebangaan dan rasa lebih diri secara menyolok. Sikap demikian itu bukan saja terhadap Jepang yang tidak berkuku lagi tetapi pun juga terhadap orang Indonesia dan lebih-lebih para pemudanya yang melihat gejala itu dengan rasa marah yang terpendam. Kadang-kadang sikap dan tingkah laku itu muncul dengan ucapan-ucapan yang negatif. Komunitas Tionghoa yang dalam masa sebelum perang terbagi dalam dua golongan antara orang Tionghoa yang sangat kuat berorientasi ke Tiongkok dan golongan yang mementingkan yang lain, dalam posisi ambang kejatuhan Jepang secara politik lebih bersatu dan semakin menyadari akan keetnisan Tionghoa mereka.

4. PERISTIWA PONTIANAK
Rezim teror Jepang di Borneo Barat mungkin yang paling buruk dibandingkan dengan wilayah Hindia lainnya. Komentar dalam laporan intelijen Belanda 7 Oktober 1946 tentang orang Tionghoa di Borneo Barat ini menyimpulkan segala pengalaman penduduk Borneo Barat selama perang. Di awal 1943 Jepang mengumumkan telah menemukan sebuah persekongkolan untuk melakukan pemberontakan di Banjarmasin. Mantan Gubernur Borneo BJ Haga yang tengah menjadi tawanan perang di sana, dituduh sebagai pemimpin komplotan multi etnis untuk melawan Jepang. Diduga, Haga berhubungan dengan dunia luar melalui seorang teman India yang membawakan makanan untuknya ke penjara. Menurut Jepang, karena temannya itu secara ilegal mendengarkan siaran berita asing, maka Haga sedang mengorganisasikan sebuah komplotan anti Jepang. Sekalipun tuduhan tersebut tidak mendasar dan bahkan sulit dipercaya, namun hal ini tidak menghentikan para penuduh. Pemerintahan Jepang menganggap mendengarkan siaran radio dari saluran tidak resmi merupakan pengkhianatan, mereka menyiksa beberapa orang tersangka untuk memperoleh pengakuan dan menyebutkan nama-nama dari mereka yang diduga terlibat dalam komplotan ini. Setelah itu serangkaian penangkapan yang meluas dilakukan Jepang, bahkan mereka menemukan sedikit senjata dalam upaya itu. Sekitar 140 orang dihukum mati, dan kebanyakan mereka tidak pernah dituntut atas satu kejahatan yang tertentu atau diadili di pengadilan.

Pemerintahan kemudian memutuskan, berdasarkan pengakuan yang didapatkan dari serangkaian penyiksaan, bahwa persekongkolan Haga juga menyebar ke bagian lain Borneo. Beberapa senjata yang ditemukan di Banjarmasin yang tidak cocok digunakan untuk mengadakan perlawanan telah digunakan untuk mencegah penjarahan pada masa awal pendudukan. Kepemimpinan militer jelas-jelas menekan kepala polisi Sasuga Iwao untuk memberikan informasi tentang sebuah komplotan di Pontianak. Kepala kepolisian Jepang Sasuga Iwao di Banajrmasin mengunjungi Pontianak beberapa kali sebelum Peristiwa Pontianak pecah pada 23 Oktober 1943, dengan terjadi penangkapan besar-besaran terhadap orang terkemuka di sana.

Pada awalnya hanya sedikit orang yang ditangkap dan disiksa, tapi mereka menyalahkan orang lain yang selanjutnya berakibat semakin banyak dan bahkan mencapai ratusan orang yang ditangkap dan disiksa di Pontianak. Masalah ini menjadi seperti bola salju yang semakin membesar, terdapat sekitar dua ribu orang dari semua komunitas yang dijadikan tersangka dan sekitar 1.300 hingga 1.500 orang ditangkap. Bahkan beberapa di antaranya adalah wanita. Sedikit sekali upaya yang dilakukan untuk menghindar tuduhan palsu ini. Beberapa korban menandatangani kertas kosong atas pengakuan dalam bahasa Jepang.

Sejumlah 46 orang, beberapa sumber menyebutkan jumlah 36, disidangkan kasusnya dalam pengadilan mahkamah militer di Pontianak pada Juni 1944. sementara itu yang lainnya dihukum dengan hukuman mati atas perintah Laksamana Madia Daigo Tadashigi di Balaikpapan. Laksamana tersebut kemudian mengklaim bahwa sebuah pengadilan darurat perang di Balikpapan telah menghadirkan para korban, namun tidak ada satupun dari para tahanan ini yang pernah melihat Balikpapan. Pengadilan di Pontianak hanya berlangsung selama satu setengah jam dan tidak ada pembelaan.

Truk-truk tertutup terpal atau oto sungkup pergi pada malam hari ke tempat tujuan yang dirahasiakan di dekat Mandor. Prosesi ini berlangsung terus hingga 28 Juni 1944 sebagaimana dituangkan dalam dokumen-dokumen kejahatan perang dan mengutip sebuah surat kabar Tionghoa 14 Oktober 1945 terbitan Pontianak. Orang hanya bisa berspekulasi tentang apa yang sedang terjadi. Kerjasama dengan Jepang tidak menjadi jaminan terhindar dari penangkapan-penangkapan ini, banyak di antara orang yang tertangkap memiliki jabatan dalam organisasi yang disokong Jepang.

Pada 1 Juli 1944 koran Borneo Shimbun edisi Pontianak memberikan penjelasan mengenai kegiatan misterius dan penghilangan orang secara rahasia tersebut. Dilaporkan bahwa sebuah persekongkolan raksasa pengkhianatan melawan Jepang telah terungkap. Pihak Jepang telah menemukan berbagai senjata yang disembunyikan dan bukti-bukti lainnya. Mereka telah menangkap para pemimpin kelompok ini dan telah menghukum mati mereka.

Setelah itu, sebuah daftar dengan nama para anggota komplotan persekongkolan terkutuk itu dikeluarkan, dan di antaranya terdapat orang Melayu, Bugis, Jawa, Minangkabau, Batak, Manado, Indo-Eropa, dan Dayak. Nama-nama terkemuka yang ada di dalam daftar tersebut adalah para penguasa pribumi, sultan dan panembahan, yang semuanya telah dihabisi dalam kejadian ini. Pemerintah menyatakan bahwa kesemua tersangka dituduh sebagai peserta dalam persekongkolan multi etnis yang terdiri dari 13 organisasi ini, yang membangun hubungan rahasia dengan orang tahanan Belanda yang ada di penjara dan dengan Sekutu yang masih berada jauh dari sana. Sebanyak ribuan orang telah bersekongkol untuk membentuk sebuah pemerintahan sayap kiri Republik Rakyat Borneo Barat yang akan menghapuskan pemerintahan kerajaan pribumi dan menggantikan kekuasaan mereka.

Menurut teori persekongkolan ini, sultan dan para penguasa lokal lainnya dinyatakan ikut terlibat dalam peristiwa ini, meskipun menurut fakta Republik Rakyat Borneo Barat dituding bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan mereka. Kisah ini berlanjut: setelah pembubaran Nisshinkai yang lemah, kelompok pemuda Islam yaitu Pemuda Muhammadiyah terbukti menjadi pimpinan persekongkolan ini, dan pada pertengahan 1943 orang Tionghoa pun bergabung. Bahkan sekelompok batalion pekerja (Heiho) pun dilibatkan. Selanjutnya, surat kabar Borneo Shimbun menyebutkan bahwa orang Tionghoa telah melakukan sabotase perekonomian. Surat kabar ini menyalahkan orang Tionghoa atas kesengsaraan yang disebabkan oleh kebijakan Jepang.

Meskipun surat kabar tersebut menutup sejumlah pertanyaan, namun surat kabar ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain. Sangat diragukan. Mereka terdiri dari beraneka ragam kedudukan dalam masyarakat. Jadi juga mempunyai beraneka ragam kepentingan. Ada sultan, ada panembahan, di samping ada juga para pegawai dan pedagang. Jika benar ada rencana untuk suatu pemberontakan, maka itulah ragam latar belakangnya. Kalaupun tidak benar, maka suatu kenyataan adalah jelas, mereka adalah korban yang sangat mahal untuk disia-siakan dari suatu pendudukan dan penjajahan asing atah tanahair dan bangsa.

5. DEMIKIANLAH KESUDAHANNYA
Sebuah penyelidikan selepas perang yang dilakukan oleh tentara Belanda dan Australia menegaskan dugaan bahwa mereka menyimpulkan bahwa isu pemberontakan itu hanya isapan jempol Jepang belaka ataupun alat untuk menyingkirkan para pemimpin setempat. Organisasi multi etnis tidak pernah dikenal di Borneo sebelum Perang Dunia II, dan Sekutu sendiri juga tidak mengetahui mengenai orang yang diduga sebagai kontak rahasia mereka di Borneo Barat. Beberapa waktu kemudian, seorang perwira Jepang menyatakan bahwa polisi telah menemukan beberapa senjata Sekutu, namun kalangan militer lainnya yang terlibat mengakui bahwa tuduhan tersebut hanya rekaan belaka. Sebenarnya tidak ada bukti yang menunjukkan berlangsungnya kegiatan perlawanan aktif terhadap Jepang.

Mustahil untuk menyusun kembali apa yang telah terjadi. Satu-satunya saksi yang ada hanyalah para pelaku dan para korbannya. Artikel dalam Borneo Shimbun merupakan satu-satunya penjelasan resmi atas peristiwa itu, selain pengakuan yang saling bertentang dari para perwira Jepang dalam pengadilan kejahatan perang yang dilakukan setelah perang berakhir. Satu-satunya pemberontakan fisik, yang berlainan dengan pemberontakan khayalan Jepang, menentang kekuasaan Jepang ialah pemberontakan orang Dayak di sekitar Sanggau Kapuas antara Mei—Juni 1945. di sana, orang Dayak membunuh sejumlah orang Jepang. Kekerasan menyebar, bahkan orang Melayu pun yang diduga berkolaborasi dengan Jepang diburu kepalanya sebagaimana terjadi di daerah Ngabang. Kapuas Hulu tetap dalam kondisi tidak aman selama berbulan-bulan.

Pembantaian yang dilakukan Jepang telah melenyapkan para elit Melayu setempat. Para penguasa pribumi Borneo Barat lainnya juga dihukum mati. Banyak pegawai dan mantan pegawai, para anggota organisasi nasionalis sebelum perang, wartawan, dokter terutama, guru, para istri orang Eropa, dan semua orang yang memiliki status hukum sebagai Golongan Eropa, ditangkapi dan dibunuh. Beberapa orang dari korban tersebut adalah para pengusaha kaya Tionghoa yang dituduh mengelak dari monopoli perdagangan resmi atau memiliki uang dalam jumlah besar. Ng Ngiap Soen yang memimpin Kakyo Toseikai tewas karena disiksa sebagaimana dijelaskan dalam Dokumen Laporan Interogasi Pontianak Februari 1946. ng Ngiap Kan (Mandarin: Huang Yejiang), pemilik pabrik es dan kepala sebuah organisasi di Singkawang, kemungkinan dia saudara atau sepupu laki-laki dari Ng Ngiap Soen, juga menjadi korban lainnya.

Sebuah pernyataan anonim menggambarkan metode yang digunakan dalam eksekusi tersebut. Dari sebuah pernyataan yang dikeluarkan dalam bahasa Belanda, Inggris dan Tionghoa dalam sebuah surat kabar Tionghoa di Pontianak menyebutkan bahwa anggota komplotan telah ditembak, namun ketika mayatnya digali pada 1947, terlihat bahwa mereka kebanyakan dipenggal kepalanya. Diuarikan di sana, setelah lewat tengah malam mereka diambil dari penjara. Kepala mereka ditutupi karung, dan digiring seperti hewan ke dalam sebuah truk tertutup dan mereka dibawa ke sebuah bandara yang belum jadi di sekitar Mandor. Di sana mereka dikubur hidup-hidup atau dipancung dan dibuang ke dalam lubang-lubang yang digali untuk keperluan ini.

Kebanyakan eksekusi tersebut dilakukan dekat Mandor. Terdapat sekurang-kurangnya 8 kali peristiwa ekskusi ini. Para algojo diambil dari Tokeitai atau polisi rahasia, penuturan-penuturan dalam bahasa Indonesia seringkali menyebutkan peran Kempeitai dalam pembunuhan ini, namun organisasi ini tidak pernah ada di Borneo. Tidak seperti Kempeitai yang dilatih secara rofesional, kebanyakan anggota Tokeitai adalah para pemuda desa dengan sedikit pendidikan atau pelatihan untuk pekerjaan ini. Mungkin karena inilah mereka nampaknya menurut begitu saja terhadap perintah untuk membunuh para korbannya, yang biasanya dilakukan dengan cara memenggal kepala para korban dengan pedang atau samurai.

Artikel dalam Borneo Shimbun menyebutkan bahwa kebanyakan penangkapan terjadi selama Oktober 1943. gelombang penagkapan kedua pada 24 Januari 1944 terjadi di Singkawang yang nampaknya diawali dengan tertangkapnya seorang Tionghoa yang membawa sebuah alat penerima radio terlarang, yang kemudian dirinya mendadak dikelilingi oleh sekumpulan sisa-sisa pesekongkolan, kebanyakan di antara mereka adalah para pengusaha Tionghoa. Korban yang tertangkap disiksa oleh orang Jepang dan polisi setempat dengan tuduhan terlibat dalam sebuah persekongkolan. Orang lainnya kemudian dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan berkalnjutan atau dengan surat beracun.

Di antara mereka yang ditangkap ini ialah Tjhen Tjhong-hin (Mandarin: Chen Changxing), bekas ketua Kamar Dagang yang juga menjabat sebagai pemimpin Kakyo Toseikai, sebuah organisasi yang pada mulanya disponsori Jepang bagi Tionghoa Perantauan. Dia dituduh mengorganisir persekongkolan untuk membentuk sebuah daerah otonomi Borneo Barat di bawah kekuasaan Chungking. Pemerintahan menyatakan bahwa komplotan di Singkawang ini berencana untuk meracuni orang Jepang. Dikatakan juga bahwa orang Tionghoa ini telah melakukan sabotase pereonomian dengan membeli bahan-bahan mentah dan tidak mau menjualnya ke orang Jepang. Peristiwa Tionghoa ini kembali mengkambinghitamkan orang Tionghoa, menyalahkan atas terjadinya kerusakan ekonomi ke pundak mereka, walaupun pada kenyataanya hal ini disebabkan oleh kebijakan yang diberlakukan oleh tentara pendudukan itu sendiri.

Para korban yang lainnya dipenggal kepalanya antara Desember 1944 dan Februari 1945 di dekat lapangan terbang Pontianak (Sungai Durian) oleh anggota Tokeitai dan Keibitai (polisi pengintai). Mereka dikuburkan dalam sebuah kuburan masal yang digali secara terpaksa oleh para korban itu sendiri. Pembunuhan tahap ini di sini dilakukan sekurang-kurangnya dua kali. Penggeledahan resmi terhadap senjata dan radio hanya menemukan dua pucuk revolver, namun dalam proses penggeledahan oleh Jepang tersebut juga dirampas berbagai barang berharga, uang, perhiasan dan emas. Banyak orang Tionghoa meninggalkan kota mengungsi ke pedalaman, banyak yang pindah ke kebun-kebun karet mereka, dan sebagian lainnya, seperti yang dilakukan orang Tionghoa yang berada di Malaya, menjadi penghuni liar.

6. MENJADI SEBUAH SEJARAH
Pada 1945, sebelum mereka dipindahkan ke Sarawak oleh pasukan Australia, para perwira dan tentara Jepang membakar semua dokumen yang berhubungan dengan pembunuhan massal di Pontianak, dan mereka sepakat untuk membuat pengakuan yang konsisten tentang pemberontakan. Australia yang bertindak atas nama Sekutu tiba di Borneo Barat pada 17 Oktober 1945 dan didampingi oleh beberapa pegawai Belanda sebagai perwakilan awal NICA, pemerintahan sipil Hindia Belanda, yang bertugas untuk memulihkan pemerintahan kolonial pada bulan-bulan berikutnya.

Berita tentang pembunuhan massal menyebar dengan cepat. Surat kabar berbahasa Tionghoa, Chung Hwa Jit Pao dalam edisi ke-6 tanggal 16 Oktober 1945, menerbitkan di halaman pertamanya sebuah surat untuk pasukan Sekutu dan NICA tertanggal 14 Oktober, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda dan Tionghoa. Surat terbuka ini menjelaskan betapa ribuan manusia telah menjadi korban sebagai akibat penganiayaan yang dilakukan Jepang dan bagaimana para tahanan disiksa dan dibawa dengan truk ke sebuah lapangan udara yang belum selesai dibangun di sekitar Mandor untuk kemudian dibunuh. Surat kabar tersebut menuntut agar mereka yang bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut mendapat hukuman, dan menyatakan rasa senangnya karena Sekutu telah tiba.

Pada Januari dan Februari 1946, sejumlah 111 tentara tingkat rendahan Jepang diterbangkan dari Kuching ke Pontianak untuk disidangkan dalam sebuah mahkamah perang Sekutu sementara atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Kebanyakan pelaku terkemuka disidangkan di Tokyo. Sulit untuk melindungi para tahanan ini dari tindakan main hakim sendiri begitu mereka tiba di Pontianak. Meskipun begitu, sewaktu sidang dimulai hanya sedikit saksi yang maju ke depan persidangan dengan pengakuan yang memberatkan mereka. Namun demikian, para wartawan dan orang perorangan yang ada di sana mengeluhkan jalannya sidang yang menurut mereka berjalan terlalu lambat.

Para tahanan akhirnya menuntun pegawai Belanda ke kuburan massal tersebut. Beberapa orang bersikeras bahwa sebuah persekongkolan multi etnis memang benar-benar ada. Sementara yang lainnya mengakui bahwa mereka tidak menemukan bukti satupun juga. Pada Januari 1948 mahkamah perang menghukum mati tujuh orang atas keterlibatan mereka tersebut dan lima tahanan lainnya dihukum penjara selama 10 sampai 20 tahun. Para penuntut umum sendiri tidak dapat menjelaskan mengenai peristiwa kekejaman massal yang luar biasa dan benar-benar unik yang terjadi di Kalimantan Barat.

Etnis Tionghoa ditangkap karena kekayaan mereka bukan karena mereka telah melakukan suatu kejahatan. Kebanyakan dari mereka adalah hartawan dan orang terkemuka dan kerena itu lebih baik mereka dibunuh, mengutip pengakuan seorang Jepang yang terlibat. Hanya beberapa dari jenazah korban yang dapat dikenali. Sebuah rencana awal bagi pendirian tugu peringatan kemudian disusun dan dibentuklah sebuah panitia untuk tujuan tersebut yang terdiri atas orang pribumi dan Tionghoa. Panitia ini disebut Panitia Peringatan Kaum Malang dengan Sultan Pontianak yang baru, Hamid II sebagai ketua kehormatan, yang meletakkan batu pertama pembangunan tugu peringatan tersebut pada akhir 1946.

Ketika pada 15 Maret 1947 tugu tersebut diresmikan, jumlah korban seperti diucapkan dalam pidato Hamid II saat itu, diperkirakan sekitar seribu orang di Kopyang dekat Mandor, 270 orang di Sungai Durian, 150 orang lainnya di Ketapang, 13 orang dibunuh di belakang bekas rumah residen, 6 orang di dalam penjara, dan 13 lainnya di belakang sebuah gereja. Keseluruhannya ada 1.500 orang, 21 di antaranya dikenali sebagai orang Eropa, 559 orang ada pribumi Indonesia, 18 orang India, dan kemudian 854 orang Tionghoa sebagai kelompok korban terbanyak. Pemusnahan para pemimpin di daerah ini menyebabkan kekosongan di dalam pemerintahan setempat.

Dan semuanya telah menjadi sejarah …