Minggu, 04 Oktober 2009

KEBANGKITAN NASIONAL KALIMANTAN BARAT

KEBANGKITAN NASIONAL KALIMANTAN BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

KEBANGKITAN NASIONALISME
Bagi Dunia Ketiga abad XX yang telah dilewati, dapal diberi julukan sebagai Abad Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarahnya yang menyaksikan pertumbuhan kesadaran berbangsa. Serta gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Perkembangan nasionalisme pada umumnya merupakan reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme yang merajalela dalam abad XIX dan bagian pertama abad XX. Ekspansi Barat sejak akhir abad ke XV memunculkan Belanda serta VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik di kawasan Nusantara. Tak terkecuali Kalimantan Barat, kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana. Berbeda sekali dengan sifat perlawanan itu, gerakan nasional mewujudkan corak dan bentuk jawaban yang disesuaikan dengan struktur serta sistem masyarakat kolonial. Maka periode 1908-I941 sebagai periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa sebelumnya.

Sistem kolonial beserta sistem eksploitasinya telah membawa dampak luas seperti terwujud sebagai komersialisasi, industrialisasi pertanian, birokratisasi, pendeknya modernisasi di pelbagai bidang. Termasuk komunikasi, transportasi dan edukasi. Suatu hasil yang tidak disengaja terjadi ialah timbulnya mobilisasi sosial yang lebih tinggi. Serta munculnya golongan intelegensia. Mendirikan sekolah-sekolah dapat diibaratkan seperti membuka kotak pandora, segala macam kekuatan sosial terlepas dan sukar dikendalikan. Atau seperti apa yang diucapkan secara bijak, pendidikan merupakan dinamit bagi sistem kolonial.

Dengan masuknva lembaga-lembaga modern masyarakat Indonesia mengalami perubahan di satu pihak proses destrukturisasi sistem feodal tradisional. Dan di pihak lain restrukturisasi sistem sosial yang lebih sesuai dengan struktur sosial masyarakat semi industrial. Dipandang dengan wawasan modernisasi ini menjadi jelas bahwa periode yang hadir ini adalah periode adaptasi terhadap sistem modern. Proses adaptasi ini sekaligus mencakup proses inovasi dalam pelbagai bidang. Seperti ekonomi, sosial, politik dan kultural. Pelbagai unsur budaya Barat, baik berupa nilai maupun sistem, diserap dan dilembagakan. Antara lain teknologi, pengetahuan, sistem organisasi, administrasi, pengajaran dan lain sebagainya.

Hadirnya gerakan kebangsaan atau kebangkitan nasionalisme di Kalimanian Barat merupakan manifestasi kesadaran sosial yang dibangkitkan oleh kompleks sosial yang menginggapi para terpelajar atau intelegensia. Adanya diskriminasi menurut garis warna, dualisme sistem ekonomi, eksploitasi bersamaan dengan tekanan, paksaan dan pengingkaran hak serta martabat manusia. Kesemuanya itu menimbulkan stigma pada kaum pribumi serta citra negatif pada dirinya.

Adalah sangat wajar apabila dalam menghadapi situasi kolonial yang penuh dengan pengingkaran hak-hak azasi manusia, antara lain ketidaksamaan (inequality), ketidakadilan, kontras antara yang berkedudukan istimewa dan yang tak berkedudukan (privileged-underprivileged), kontradiksi dan konflik, kaum cendekiawanlah yang ada dalam posisi serta berpengetahuan untuk mendefinisikan situasi, mengidentifikasi permasalahan, serta menyusun perumusan siasat dan cara bagaimana mengatasi situasi itu. Golongan elit baru itulah yang mempunyai kemampuan untuk menentukan identitas mereka. Semula yang negatif yang dipengaruhi oleh stigma-stigma baru kemudian lambat laut secara positif; yaitu identitas nasionalnya.

BERMULA DARI SAREKAT ISLAM
Fase pertama gerakan kebangkitan nasional di Kalimantan Barat diawali dengan kehadiran Sarikat Islam (SI) di Landak Ngabang dalam tahun 1914. lni menunjukkan gejala penemuan kembali identitasnya, yang logis sekaligus masih terikat pada keyakinan dan kebudayaan etnik masing-masing. Nasionalisme sebagai ideologi secara teologis menunjukkan arah tujuan proses integrasi yang membentuk unit geopolitik baru sebagai wadah masyarakat pluralistik. Berakhirnya masa kolonial di Kalimantan Barat, seperti juga di tanahair adalah bersamaan dengan munculnya pergerakan kebangsaan atau kebangkitan nasional. Memang dapat disimak bahwa kegiatan-kegiatan pemertntah koloniai pada sekitar pergantian abad XX sangat korektif dengan aktifitas kebangkitan dan pergerakan nasional. Kolonialisme sangat intensif berinteraksi dengan nasionalisme.

Pergolakan masyarakat sebagai akibat perubahan sosial yang cepat membangkitkan kesadaran kaum pribumi. Semula secara perseorangan, kemudian pada kelompok-kelompok kecil. Dan akhirnya pada akhir dasawarsa pertama sudah meluas di kalangan rakyat. Kecenderungan-kecenderungan sosio kultural yang ada pada pelbagai golongan menimbulkan luapan emosional yang sebagai kekuatan laten sewaktu-waktu dapat meledak.

Apabila ide emansipasi lahir karena ada kegelisahan dalam mengalami pola hidup yang masih penuh keterikatan pada tradisi. Maka ide kemajuan timbul karena adanya keresahan sosial berdasarkan keterbelakangan dan diskriminasi ras. Kecuali orientasi tujuan yang masih cukup kongkret. Gerakan itu tidak memiliki ideologi yang berfungsi sebagai dasar solidaritas yang kuat. Apalagi sebagai lambanya identitas kelompok.

Dalam pada itu Sarekat Islam (SI) dalam periode awal perkembangannya merupakan suatu badan besar. Dalam arti bahwa massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik di kota-kota maupun daerah pedesaan. Timbullah suatu pergolakan yang melanda seluruh daerah, gerakan massa semacam itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap penguasa kolonial. Karena ituiah SI di Kalimantan Barat khususnya di Landak Ngabang hanya berlangsung singkat, 1914-1919
Berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya. Sarekat Islam di Kalimantan Barat merupakan total. Artinya tidak terbatas pada satu orientasi tujuan, tetapi mencakup pelbagai bidang aktifitas, yaitu ekonomi, sosiai, politik dan kultural. Tambahan pula di dalam gerakan itu agama Islam berfungsi sebagai ideologi sehingga gerakan itu lebih merupakan suatu revivalisme, yaitu kehidupan kembali kepercayaan dengan jiwa atau semangat yang berkobar-kobar. Semangat religius tidak hanya menjiwai gerakan itu, tetapi juga memobilisasi pengikut yang banyak. Pertumbuhan SI yang cepat di Kalimantan Barat itu membawa akibat bahwa sebagian besar pengikut gerakan itu belum mempunyai pengertian dan kesadaran sepenuhnya tentang tujuan dan kegiatannya. Lebih-lebih mereka yang dari pedalaman dan pehuluan

Dengan demikian, sudah barang tentu timbullah penyimpangan-penyimpangan serta penyalahgunaan perjuangan dan nama Sarekat Islam. Terjadilah peristiwa-peristiwa di mana rakyat membenarkan aksi kolektifnya dengan memakai nama SI. Bukanlah suatu kebetulan belaka bahwa insiden-insiden itu sifatnya lokal dan berumur pendek. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa SI di Kalimantan Barat berdiri sendiri-sendiri atau otonom, sehingga segmentasi dari cabang-cabang itu tidak memungkinkan adanya koordinasi. Dalam hal ini pimpinan pusat SI pun tidak berdaya

Sehubungan dengan itu perlu diterangkan bahwa pemerintah kolonial sangat khawatir kalau-¬kalau laju pertumbuhan SI di Kalimantan Barat. Khususnya di Landak Ngabang akan berjalan cepat dan menjadi ancaman terhadap Belanda. Oleh karena itu, izin pendirian SI diberikan hanya dengan ketentuan cabang harus berdiri sendiri. Dengan demikian, bahaya dari aksi massa secara nasional tidak dapat terjadi. Meskipun SI Kalimantan Barat didirikan sebagai organisasi modern, lengkap dengan Anggaran Dasar dan Anggaran rumah tangga. Namun persepsi rakyat mengenai SI sering berbeda sekali dari yang dimaksud oleh pimpinan SI Iebih merupakan lambang dari identitas golongan.

Bagi Kalimantan Barat, SI mempunyai andil besar dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional. Bangkitnya kesadaran nasional di Kalimantan Barat ditandai dengan berdirinya SI di Ngabang tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan perdagangan komoditi intan dan emas. lde gerakan SI diteruskan oleh para pedagang intan dan emas dengan membentuk SI cabang Ngabang dalam tahun 1914. Di mana selanjutnya diketuai Ibrahim H Rahmad, sekretaris H Umar, bendahara H Nasri dengan beberapa komisaris di antaranya H Abdul Kadir, M Yusuf, HM Amin dan Mohamad Hambal.

Sehubungan dengan peristiwa Cimareme (Garut, Jawa Barat) pada bulan Juli 1918 dan isu mengenai adanya bagian rahasia, yaitu terkenal dengan Afdeling B dan CSI, maka SI di seluruh Kalimantan Barat dibekukan.

POLARISASI DAN RADIKALISASI
Pada akhir dasawarsa kedua, perkembangan politik di Kalimantan Barat mengalami intensifikasi dan ekstensifikasi. Tidak hanya karena terjadi pengetatan politik kolonial, tetapi juga karena ada peningkatan tuntutan politik serta meluasnya mobilisasi politik di kalangan rakyat. Tambahan pula tersedianya kepemimpinan yang dijalankan oleh tokoh-tokoh yang menunjukkan intensitas luar biasa. Meskipun fokus aktifitas politik tetap ada pada organisasi pergerakan, namun lewat saluran-saluran lain dilancarkan pelbagai aksi. Seperti aksi pemogokan serikat sekerja dan serikat buruh, protes dan lain sebagainya.

Pada tahun 1922 muncui kembali gerakan SI dalam bentuk Sarekat Rakyat (SR). Mulanya dikembangkan di Singkawang oleh Gusti Sulung Lelanang putra dari seorang Pangeran Laksemana Gusti Mahmud dari Kerajaan Landak. Gusti Suiung Lelanang pada mulanya adalah anggota SI di Batavia sejak 1914. Kegiatan SR yang dirintis Gusti Sulung Lelanang tersebut dengan cepat memperoleh dukungan dari orang sezamannya, seperti Gusti Djohan ldrus, Gusti Mohamad Hamzah, Djeranding Abdurrahman, HA Rais HA Rahman, Ahmad Marzuki, Ahmad Sood, Mohamad Sohor, Mohammad Hambal dan Gusti Situt Mahmud.

Pengaruh SR kian meluas. Karenanya. Residen Kalimantan Barat sebagai perpanjangan tangan Gubernur Jendral di Batavia dengan Besluit Gubernur Jendral ACD de Graeff Nomor 3 tanggal 1 April 1927, membekukan seluruh rangkaian aktifitas SR. Para tokoh utama gerakan SR ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul antara 1927 hingga 1939

SR Kalimantan Barat sesungguhnya bukan penganut komunis. Tetapi Belanda menuduh para penggagasnya sama dengan kaum pemberontak komunis 1926. tuduhan tersebut adalah vonis yang mempermudah bagi kolonial Belanda dalam upaya mematikan gerak langkah aktifitas politik yang menentang kekuasaannya yang dilakukan kaum pergerakan. Selaku motor penggerak dari organisasi SR, Gusti Sulung Lelanang diintimidasi penguasa otonom lokal setempat. Bahkan Gusti Sulung Lelanang diimingi jabatan atau kedudukan penting di lingkungan tembok istana Kerajaan Landak, apabila bersedia menempuh jalan kooperasi dengan pemerintah kolonial Belanda. Namun, tawaran kolonial Belanda yang disampaikan kepada Gusti Sulung Lelanang melalui Panembahan Kerajaan Landak saat itu, ditolak tegas oleh Gusti Sulung Lelanang. Sebaliknya ia semakin aktif menggerakkan roda organisasi SR yang dipeloporinya.

Tanah Merah dan Boven Digul, dua tempat di Irian (Papua) tempat diasingkannya para tokoh pergerakan Kalimantan Barat tersebut, belakangan menjadi semacam ijazah bagi kaum pergerakan pada zaman itu. Di tempat inilah diasingkannya para pelopor pergerakan kebangsaan di Kalimantan Barat sejumlah sepuluh orang. Masing-masing HA Rais HA Rahman (Parit Mayor, Pontianak), Djeranding Abdurrahman (Putussibau, Kapuas Hulu), Gusti Mohammad Hamzah (Teluk Melano, Ketapang) dan tujuh orang dari Ngabang Landak, yaitu Gusti Sulung Lelanang, Gusti Djohan Idrus, Gusti Situt Mahmud, Ahmad Sood, Ahmad Marzuki, Mohamad Sohor dan Mohamad Hambal.

Perkembangan dari tahun ke tahun sejak 1914, saat SI dibekukan di seluruh Kalimantan Barat, menunjukkan kecenderungan ke arah orientasi radikal. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kian memburuknya kondisi hidup pada umumnya yang menciptakan iklim yang penuh kegelisahan serta keresahan di kalangan rakyat. Sehingga ada kecenderungan kuat mengikuti himbauan para pemimpin untuk melakukan aksi-aksi. Dengan demikian, proses radikalisasi dapat ditingkatkan. Di samping, adanya proses politisasi lewat organisasi, dalam hat ini SR, media massa yang mulai tumbuh yang memperoleh rangsangan dari proses memburuknya kondisi sosial-ekonomi rakyat Kalimantan Barat.

PARINDRA—PAB--MUHAMMADIYAH
Periode antara awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 di Kalimantan Barat tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi¬-organisasi nasionalis. Tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat. Terutama sebagai dampak politik agitasi. Di sini dijumpai kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik sehingga gerakan nasionalisme sebagai totalitas menjadi kontra produktif. Bahkan dalam rangka kondisi ekonomis serta situasi politik menuju ke perbenturan kekuatan nasionalis dengan kekuasaan kolonial. Akselerasi aktifitas pada satu pihak hanya memancing politik serta tindakan yang semakin reaksioner pada pihak lain. Lebih-lebih dalam hal ini pemerintahan Gubernur Jendral de Jonge tidak tanggung-tanggung secara konsekuen menjalankan politik purifikasi atau pemurnian. Artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi. Maka dati itu, gerak-gerik organisasi pergerakan lainnya setelah dibekukannya SI 1918 dan SR 1927 senantiasa diawasi secara ketat.

Bahwasannya penangkapan dan pembuangan tokoh-tokoh nasionalis Kalimantan Barat sebagai pelaksanaan politik keras dan reaksioner pemerintah kolonial Belanda mempunyai dampak kuat pada sifat serta arah perjuangan kaum nasionalis yang tidak dapat disangsikan lagi. Perjuangan radikal yang hendak berkonfrontasi dengan penguasa kolonial pasti menemui kegagalan oleh karena pihak yang terakhir memiliki prasarana kekerasan. Dalam menghadapi politik tangan besi de Jonge, gerakan nonkooperasi tidak akan menghasilkan sesuatu apa pun, dengan adanya pelbagai tindakan reaksioner. Antara lain larangan diadakannya rapat-rapat umum, pengetatan pengawasan polisi rahasia, dan pers pun tidak luput dari pengawasan ketat.

Di samping menghadapi kesulitan ekonomi, politik keras tersebut tidak memberi alternatif lain. Kecuali mengubah haluan, ialah dari non-koperasi ke kooperasi. Kecuali faktor-faktor ekonomi dan politik tersebut, ada faktor historis lain yang turut mernpengaruhi perubahan orientasi nasionalisme di Kalimantan Barat, yaitu konstelasi dunia internasional waktu itu.

Dalam kerangka politik kooperatif di Kalimantan Barat arena politik memang sudah tertutup terhadap massa aksi. Namun ruang gerak masih leluasa untuk membangkitkan kesadaran nasional. Serta gerakan-gerakan atau aksi-aksi yang dapat mengkonsolidasi solidaritas dalam dan antarpartai. Salah satu titik pengerahan gerakan itu ialah apa yang kemudian ditempuh Parindra dan Persatuan Anak Borneo (PAB) di satu pihak dan Gerakan Muhammadiyah di pihak lain darinya.

Dalam tahun 1936 timbul gerakan Partai Indonesia Raya (Parindra) di Kalimantan Barat. Bermula pembentukan Parindra di Pontianak yang diketuai Raden Kumpul. Pembentukan Parindra di Pontianak dan kemunculannya di Kalimantan Barat, hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya para interniran politik Kalimantan Barat 1927 dari kamp konsentrasi Boven Digul dan Tanah Merah. Berbeda dengan SI dan SR, Parindra tidak memiliki peluang besar untuk melakukan tindakan politik sebagaimana ditempuh kedua organisasi politik itu di daerah ini sebelumnya.

Dalam tahun 1939 dilangsungkan Konferensi Daerah Parindra Kalimantan Barat di Singkawang. Dalam kongres ini, Raden Machmud Susilo Suwignyo Ketua Parindra Ranting Ngabang terpilih sebagai Ketua Parindra Pimpinan Wilayah Kalimantan Barat. Beberapa tokoh penting lainnya yang duduk sebagai pengurus daerah Kalimantan Barat, di antaranya dr R Agusdjam, dr R Suharso, dr Rubini, dr Rd Achmad Diponegoro, dr lsmael dan Uray Amir Safiuddin. Sebagaimana juga SI dan SR, Ngabang kembali menjadi sentral pergerakan Parindra. Para mantan Digulis yang telah berada kembali di Kalimantan Barat, kemudian bergabung ke dalam Parindra. Termasuk pula tokoh sentralnya Ya' Sabran yang semula aktifis PNI di Batavia dan seorang pengajar di Perguruan Rakyat Gang Kenari Jakarta.

Dimaksudkan semula untuk mengimbangi Parindra yang dikhawatirkan akan reinkarnasi dari SR, Residen Kalimantan Barat membentuk Persatuan Anak Borneo (PAB). Namun, perhitungan itu keliru. Sebaliknya aktifis PAB seiring sejalan dengan aktifitas yang ditempuh Parindra. Bahkan disemangati misi dan visi perjuangan SR yang dikemas dengan sangat haius, mereka menjadikan PAB sebagai organisasi sosial yang mementingkan pendidikan, sosial dan kebudayaan. Hubungan erat Parindra dan PAB (yang dibentuk dalam tahun 1938) menjadikan dua organisasinya sebagai wadah berhimpun yang diyakini mampu membawa rakyat Kalimantan Barat lepas dan belenggu kolonialisasi.

Di antara tokoh utamanya, seperti Ismail Osman, H Djamaluddin, H Thaha Tamim dan sebagainya. PAB memperoleh dukungan kuat dari kalangan kesultanan dan keraiaan yang tersebar di Kalimantan Barat. tanpa terkecuali dari tembok Istana Kesultanan Pontianak yang memberikan dukungan penuh, di mana Syarif Muhammad Alkadri Sultan Pontianak terlibat langsung secara aktif di dalamnya.

Dalam kondisi non aktif gerakan politik di Kalbar, di mana keberadaan PAB maupun Parindra tidak seganas SR, Muhammadiyah hadir sebagai gerakan pendidikan. Merupakan perikatan cabang dari Muhammadiyah di Yogyakarta. Kehadiran Muhammadiyah di Kalimantan Barat pada mulanya dibawa oleh dua orang tokoh pendidikan Islam, A Manaf dan M Akib dalam tahun 1925. Keduanya merupakan orang yang merintis jalan mengajarkan Agama Islam mempergunakan sistem dan metode Muhammadiyah. Setelah kader-kadernya cukup dewasa untuk bergerak, maka sejak tahun 1932 lahirlah gerakan Muhammadiyah yang sosio-paedagogik di beberapa daerah di Kalimantan Barat. Sejak tahun itu pula terbentuk sejumlah Cabang Muhammadiyah, khususnya di Sungai Bakau Kecil yang dipimpin HM Kurdi Djafar, Singkawang dipimpin M Taufik, Sambas dipimpin HA Malik Sood dan di Pontianak dipimpin Arsjad. Sementara itu, untuk kurun sedikit waktu, di Sambas dalam tahun 1927 berdiri organisasi lokal dengan nama Jong Sambas yang dipimpin H Ahmad Mesir dan Ariani Hardigaluh. Perkumpulan lokal ini bergerak di bidang pendidikan dan kepanduan.

PARINDRA—PAB LANDAK
Kehadiran Parindra dalam waktu singkat telah mengalami perkembangan pesat, khususnya di Pontianak, Mempawah, Sambas, Singkawang, Tayan, terlebih di Ngabang Landak. Di tempat terakhir itu menjadi basis Parindra Kalimantan Barat. Di Ngabang organisasi ini dipimpin antara lain Ranie Sulaiman, Gusti Bungsu Mohammad Amir saudara kandung dari Gusti Sulung Lelanang (dua bersaudara putra dari Gusti Mahmud Pangeran Laksemana Kerajaan Landak), Gusti Muhammad Appandie Rani (putra Gusti Abdurrani Pangeran Natakusuma) dan tokoh pimpinan lainnya. Bersama Parindra, aktif pula gerakan kepanduan Suryawirawan, di Ngabang antara lain dipimpin Ya' Arifn Umar dan Gusti Ismail Sotol. Keduanya klak di zaman Jepang menjadi korban fasis militer rezim tersebut dalam tahun 1944. .

Dalam tahun 1937, R Sudjono salah seorang pimpinan pusat Parindra mengunjungi Ngabang Landak. Di daerah ini, keorganisasiannya tertata rapi dan merupakan barometer Parindra Kalimantan Barat lainnya. Antara lain di Ngabang telah terbentuk Kursus Kader Politik yang dikelola Ya’ Mohamad Sabran, Debating Politik Club yang ditangani Gusti Sulung Lelanang. Bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, pendidikan yang ditangani Ade Mohamad Djohan dan RM Anom Putro. Dan bidang koperasi yang dipimpin GM Appandi Rani.

Dalam Konferensi Parindra Kalimantan Barat 29 Desember 1939 di Singkawang, ketua delegasi Parindra Ngabang Raden Mahmud Susilo Suwignyo terpilih sebagai Ketua Wilayah atau Komisaris Utama Daerah Parindra Kalimantan Barat, dengan sejumlah pengurus lainnya seperti Ir Soetjitro, RP Mohammad Dzubier Notosoedjono. Oleh karena pengawasan terhadap aktifitas Parindra di Ngabang begitu ketat, sementara Mantri Polisi Ngabang Mohamad Daud memberikan dukungan dan simpatinva, ia kemudian oleh Gezagheber Landak dipindah-tugaskan dan digantikan oleh Mantri Polisi PID Raden Mas Mangunsuparto. Sementara AB Faber selaku Controleur Ngabang, semakin memperketat pengawasannya.

Hingga penghujung tahun 1939, gerakan Parindra dirintangi terus. Bahkan, permulaan tahun 1938, bersamaan kembalinya Gusti Sulung Lelanang dan Digulis lainnya ke Ngabang, bersamaan pula dengan kedatangan tokoh PNI dari Batavia Ya' Sabran (Oktober 1938) ke Ngabang Landak, saat itu kondisi Parindra sedang mengalami tekanan keras. Saat itu, kehadiran PAB merupakan momok vang dijadikan alat devide et impera oleh Belanda. Gusti Sulung Lelanang dan Ya' Sabran, keduanya kemudian mengadakan pertemuan dengan Raden Mahmud Susilo Suwignyo di Riam terindak Sebebat Ngabang untuk membahas masalah yang tengaha dihadapi tersebut.

Tidak ingin terpecah dengan sesama orang Indonesia, Gusti Sulung Lelanang mengisyaratkan agar para aktifis Parindra Kalimantan Barat bersedia menjadi anggota PAB, atau menempuh jalan kooperatif. Untuk selanjutnya berusaha mendominasi di dalam kepengurusan PAB itu sendiri, sehingga dapat dengan mudah mengendalikan arah kebijakan PAB. Inisiatif Gusti Sulung Lelanang itu berhasil dilaksanakan, ditunjang dengan peranan penting yang dimainkan HA Rais HA Rahman, Gusti Mohammad Hamdzah, Ya’ Sabran dan Djeranding Abdurrahman, sehingga antara PAB dan Parindra saling beriringan. Sebaliknya, PAB telah berubah dan menjadi momok bagi pemerintah kolonial Belanda itu sendiri di Kalimantan Barat. Pimpinan PAB Kalimantan Barat saat itu antara lain Raden Muslimun Nalaprana (Ketua), Ismail Osman (Sekretaris) dan Gusti Putera (Ketua bagian Pemuda PAB). PAB akhirnya menyatu utuh dengan kaum pergerakan di dalam Parindra..

Masih sebagai barometer perkembangan Parindra di Kalimantan Barat, Parindra Ngabang Landak, yang sudah seiring-sejalan dengan PAB, dalam waktu singkat atas inisiatif Ya' Sabran, mendirikan sekolah INS yang setaraf HIS di Pontianak. Di Ngabang sendiri kemudian didirikan pula Overgang School sebagai lembaga pendidikan bagi tamatan SR Kelas V dipimpin Ade Mohamad Djohan dan RM Anom Putro. Harmonisasi Parindra dan PAB berlanjut hingga keduanya dibekukan pemerintah balatentara pendudukan Jepang saat menduduki Kalimantan Barat. Di samping kemudian, unsur-unsur pimpinannya menjadi korban fasis militer di daerah ini.

Sementara itu, aliran informasi lewat pers sangat meningkatkan intensitas komunikasi. Di Kalimantan Barat, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, namun pers mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif. Antara lain mengenai kepentingan umum, mobilisasi massa dan lain sebagainya. Dalam pada ini fungsi pers sangat membantu tumbuhnya massa kritikal dalam masyarakat, kesadaran kolektif dan solidaritas umum, sehingga dengan demikian pelbagai gerakan sebagai wahana aksi korektif mendapat dukungan kuat. Tidak mengherankan bila kemudian pelbagai aliran dan gerakan di Kalimantan Barat mempunyai persnya sendiri yang berperan sebagai juru bicaranya. Dalam proses itu tidak ternilai peranan yang. dipegang oleh media massa, khususnya surat kabar.

Jalur komunikasi tidak hanya terbatas pada hubungan tatap muka. Tetapi mampu melampaui batas golongan sosial, subkultur, kedaeralaan. Sehingga dapat mengatasi kukungan segmentasi. Meskipun jumlah surat kabar yang berhaluan radikal sangat terbatas, namun proses politisasi masyarakat berlangsung semakin gencar. Dan tidak lain karena berbagai surat kabar yang moderat pun banyak mengkomunikasikan faktor politik. Keradikalan lebih berwuiud sikap antikolonialisme dan antikapitalisme.

Sebagai media massa, pers Kalimantan Barat pada zaman itu menciptakan forum yang jauh melampaui batas-batas arena politik yang terbatas pada organisasi pergerakan saja. Media massa yang pertama terbit di Kalimantan Barat adalah Surat Kabar Borneo Barak Bergerak (BBB) yang terbit di Pontianak dalam tahun 1920. Menyusul tahun 1922 terbit Borneo Barat dipimpin M Dahlan dan Djeranding Abdurrahman. Selanjutnya dalam waktu bersamaan di Pontianak terbit pula Harian Halilintar dipimpin SM Anwar, Djeranding Abdurrahman, HA Rais HA Rahman dan Daeng Tatar. Datam tahun 1925 terbit Soeara Borneo yang dipimpin SBG Isa. Berani dipimpin Boullie. Tahun 1927 terbit Kapoeas Bode dan tahun 1930 terbit Harian Borneo Barat dipimpin bersaudara Evie Faath dan R Faath.

Dalam perkembangan berikutnya, dalam tahun 1937 Parindra menerbitkan Suluh Kalimantan dipimpin M Thahir Idhar dan PAB menerbitkan bulanan Persatuan Anak Borneo dipimpin Gusti Sulung Lelanang. Tahun 1939 diterbitkan Majalah Kapuas River dipimpin HA Rais HA Rahman dan Machroes Effendy. Perkembangan berikut, media massa ini selain dibredel oleh pemerintah kolonial Belanda, sejumlah pers yang masih tersisa sampai tahun 1942 dibekukan Jepang. Kemudian di zaman Jepang, terbit alat propaganda Jepang Surat Kabar Borneo Sinbun yang dipimpin Kiokomoto. Memang diferensiasi yang berkembang ketika itu sangat wajar, di mana timbul dalam proses modernisasi. Mengingat peranan strategis pers dalam perkembangan politik di Kalimantan Barat, maka pemerintah kolonial tidak segan-segan melakukan pemberangusan pers {persbreidel ). Penerapan artikel 155 dan 157 secara leluasa dilakukan oleh gubernemen.