KALIMANTAN BARAT
DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
KAPALTERBANG SEMBILAN
Hanya sekitar tiga minggu sesudah Jepang menyerang pangkalan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor 8 Desember 1941, pada tanggal 19 Desember untuk pertama kalinya pesawat-pesawat Jepang menjamah wilayah Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda. Balatentara Jepang mulai menduduki Kalimantan Barat melalui Pontianak sebetulnya sejak hari Jumat, tanggal 19 Desember 1941. Pesawat tempurnya sejumlah sembilan pesawat, menderu-deru mengagetkan masyarakat di saat sebagian besar kaum muslimin tengah melaksanakan sholat Jumat. Ternyata kesembilan pesawat itu, masing-masing jenis A6M2 Zero yang bertolak dari pangkalan Davao di Mindanao Selatan yang baru ditinggalkan pasukan Amerika, menjatuhkan bom dari udara, seketika itu pula bumi Pontianak merekah, nyawa manusia meregang.
Pesawat-pesawat itu sekitar pukul 11.00 tiba di sekitar Kota Pontianak. Keheningan menjelang dilaksanakannya sholat Jumat bagi kaum muslimin saat itu pun sontak pecah dan meledak ketika kesembilan Zero pimpinan Letnan Toshitada Kawazoe menukik dari langit dan menyerang kawasan kota ini. Tujuan semula adalah membumi hanguskan pertahanan tentara Belanda, khususnya kawasan tangsi militer. Namun ternyata, kesembilan pesawat udara Jepang itu telah salah sasaran. Kontan saja kawasan kota bumi hangus dan terbakar. Tak sedikit korban bergelimpangan, Kampung Bali, Parit Besar dan jajaran Kampung Melayu porak poranda luluh lantak dibinasakan dalam waktu seketika. Peristiwa ini dikenal luas kemudian dengan nama Peristiwa Bom Sembilan atau disebut juga dengan Peristiwa Kapal Terbang Sembilan. Serangan atas Pontianak dan sekitarnya itu didahului sebuah pesawat pengintai C5M2, juga buatan Mitsubishi, satuan pesawat Zero terbang dari Sarawak ke arah Pontianak di Kalimantan Barat.
Hanya membutuhkan waktu sedikitnya sepekan setelah kejadian itu, disusul dengan pemboman kedua dan ketiga, yakni tanggal 22 dan 27 Desember 1941, selanjutnya balatentara udara Jepang berhasil menguasai Pangkalan Udara Singkawang II, yang dibangun Belanda sebelum peperangan berkecamuk. Pemboman itu telah menyebabkan korban berjatuhan dan menimbulkan panik yang luar biasa, terutama di kalangan tentara Belanda. Sesuai strategi serangan gurita yang mencengkeram dengan beberapa belalainya sekaligus, terakhir Sabtu, 27 Desember 1941, pesawat Jepang kembali menyerang Kota Pontianak, dan keesokan harinya menyerang Tarakan di Kalimantan Timur. Dalam serangan terakhir di Pontianak ini, pesawat pemburu Belanda dari jenis Brewster Buffalo 339 mencoba melakukan perlawanan. Namun usaha itu sia-sia belaka.
Sementara armada Angkatan Laut Dai Nippon mendarat di peraiaran pantai utara Kalimantan Barat, di Pemangkat lewat Tanjung Kodok pada tanggal 22 Januari 1942, sedikitnya berjumlah 3.000 orang, mereka berasal dari Sarawak yang merupakan kesatuan tempur dari Pasukan ke-29. Pendaratan itu tidak mendapat hadangan dari tentara Belanda yang sudah kocar-kacir, meski sempat bertahan di kawasan Gunung Pendering 45 Kilometer arah timur Singkawang. Dan hampir dalam waktu bersamaan di tempat terpisah, pendaratan itu terjadi pula di Ketapang. Serangan udara yang dilakukan balatentara Dai Nippon terhadap Kota Pontianak ini telah membuka aksi-aksi udara Jepang di wilayah Hindia Belanda yang luas. Strategi invasi Jepang ke Hindia Belanda adalah melalui barat dan timur. Dari arah timur ini pula Angkatan Laut atau Kaigun atau dikenal juga dengan sebutan Jangkar memegang kendali. Pesawat dari Satuan Udara 3-Kokutai itu memang merupakan bagian dari kekuatan udara Kaigun Jepang yang dibentuk April 1941.
Mula-mula sebagai kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah menjadi kesatuan pengebom berpangkalan di darat, kemudian diubah lagi menjadi kesatuan tempur yang berintikan pesawat Mitsubishi A6M2 Zero yang baru, Zero model lama A5M4 serta pesawat buru-intai C5M2. Strategi Kaigun Jepang adalah menguasai Indonesia bagian timur dari basis invasinya dari Filipinan Selatan, mengarah ke Pontianak, lalu Tarakan, Balikpapan, Manado kemudian Kendari. Dan seterusnya ke Makassar dan terakhir Bali. Pendaratan besar terjadi 22 Januari 1942. Pihak pemerintah Hindia Belanda masih berusaha untuk menggagalkan serangan udara Jepang. Namun, dalam seketika saja, Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda. Tapi sebelum tindakan itu dilakukan pihak militer Jepang, Belanda yang sudah punya perhitungan lain, yaitu membumihanguskan beberapa kota sebelum ditinggalkan, seperti Sambas, Mempawah dan Landak Ngabang.
Dalam perkembangan yang begitu cepat, terjadi pendaratan tentara Jepang di Pemangkat, muara Sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang yang hampir bersamaan waktunya, pada 22 Januari 1942. Setelah Pemangkat dan Singkawang direbut dan dukuasai, dari sini balatentara Jepang membagi dua kekuatan pasukan militernya. Sebagian bergerak ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan yang telah mendarat lebih dahulu di muara Sungai Kapuas, di mana bagian ini kemudian merebut dan menguasai Kota Pontianak sepenuhnya sejak 2 Februari 1942. Dan bagian keduanya, bergerak ke arah timur dengan tujuan merebut pangkalan udara di Sanggau Ledo atau Singkawang II. Kelaknya, setelah pangkalan udara ini direbut, lumpuhlah kekuatan udara Belanda, bahkan seluruh kekuatan militer dan kekuasaannya di Kalimantan Barat.
Tentara Belanda yang diperkuat sedikit pasukan KNIL-nya yang ada di Pontianak, sebagian melarikan diri ke Ngabang di arah timur kota ini. Pada waktu itu Kota Ngabang sendiri telah diduduki Jepang, meski pasukan Jepang yang ada belum dalam jumlah memadai. Untuk menghindari pertempuran dengan Jepang, pasukan Belanda meneruskan pelariannya ke Sanggau Kapuas untuk seterusnya ke Melawi dan Kotabaru Sintang, setelah melihat dari dekat kekuatan Jepang yang ada. Namun, sebelum melarikan diri, mereka terlebih dahulu menghancurkan jembatan Ngabang yang terkenal besar dan megah di atas Sungai Landak dengan dinamit. Jembatan ini sendiri saat diledakkan belum setahun peresmiannya oleh Gezagghebber van Landak, AB Fabber, dalam bulan Juli 1941. Dalam gerak cepat menuju Pontianak, pasukan ke-29 balatentara Dai Nippon yang berasal dari Sarawak berhasil menangkap lima orang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda di Mempawah. Seorang di antaranya, Controleur van Mempawah Appel langsung dipancung kepalanya. Seda orang lainnya ditawan ke Pontianak.
Setibanya di Pontianak, dua orang tawanan yang merupakan pegawai bank pemerintah Hindia Belanda mengalami nasib yang sama serupa Controleur Appel, disaksikan massa rakyat di pelabuhan Theng Seng Hie di tepi Sungai Kapuas yang tidak berapa jauh dari Gedung Jacobson van den Berg, menemui ajalnya di ujung sabetan samurai balatentara Jepang. Sedangkan Dr AJ. Knibbe Controleur van Pontianak ditawan dan di kamp militer bekas KMK Belanda dan mendapat penyiksaan berat. Pada saat daerah ini mulai diduduki balatentara Jepang, kekuatan militer Belanda sudah tidak seberapa besar untuk ukuran pertahanan daerah. Seluruhnya kekuatan tentara Belanda yang ada saat itu sejumlah 700 personil. Penghujung Desember 1941, untuk memperkuat posisi tersebut, dimaksudkan juga untuk mempertahankan Kalimantan Barat, dari Jawa dikirim sebanyak delapan Brigade di bawah komando Overste Gortmans untuk menggantikan Overste Marks yang sebelumnya menjabat selaku Komandan Teritorial. Gortmans mengarahkan pertahanan pasukannya ke daerah Sanggau Ledo dan Seluas.
Namun, pada kesudahannya bertekuk lutut pula terhadap Jepang ditandai dengan jatuhnya pertahanan terakhir Belanda Pangkalan Udara Singkawang II di Sanggau Ledo. Dan waktu bersamaan, pasukan Inggris di bawah pimpinan Overste Lana mengalami nasib serupa, bertekuk lutut terhadap militer Jepang setelah gagal bertahan di sepanjang kawasan perbatasan Sambas dan Sarawak.
ZAMAN CAP KAPAK
Semulanya kedatangan balatentara Jepang mendapat sambutan hangat dari kebanyakan rakyat. Seakan kehadiran mereka membawa sebuah harapan baru untuk mewujudkan cita-cita lama yang terpendam, yaitu hasyrat untuk bebas dari segala bentuk penindasan. Namun kenyataan, pendaratan Jepang yang belakangan mengaku diri mereka sebagai Saudara Tua tak lebih dari penindasan pula. Tak sedikit wanita, terutama gadis remaja lebih-lebih lagi dari kalangan Tionghoa yang memilih bunuh diri ketimbang dijadikan pemuas nafsu birahi balatentara tersebut.
Perampokan, yang dikenal dengan sebutan ketika itu penggedoran disertai dengan penganiayaan, nyaris menjadi pemandangan mata sehari-harinya. Lagi pula, sasaran empuk utama perburuan harta adalah toko dan gudang milik masyarakat Tionghoa. Sementara juga, wabah kelaparan mulai menjalar, dan dalam waktu sesingkat itu pula, wabah penyakit sebagai akibat kurang makanan, menjalar di mana-mana. Kelaparan, mengawali derita dan kesengsaraan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Masyarakat umum, termasuklah orang-orang Jepang sendiri memperkenalkan zaman itu dengan sebutan Zaman Cap Kapak.
Zaman ini disebut demikian, dimulaikan oleh serdadu Jepang awalnya. Pintu-pintu gudang persediaan yang tak sempat dimusnahkan Belanda, digedor dengan kapak. Kemudian, tak pelak lagi adalah merampas seisi yang ada di dalam gudang. Makin hari penghidupan rakyat kian rapuh. Ketertekanan semakin tak terelakkan. Sekalipun Jepang mulanya bersikap baik hati, namun kenyataan selanjutnya, Jepang tak ambil peduli. Sebagai bangsa yang menang perang, hasyrat untuk menjajah selalu mengemuka dari kehadirannya. Maka pada diri rakyat, harapan kini tinggal harapan, dan segala sesuatu kembali menjadi impian yang sepertinya berkepanjangan.
Pengaruh kekuasaan Jepang memang sangat sedikit sekali terasa di pedalaman dan pehuluan. Dengan sendirinya, kenyataan itu tidak mengubah atau mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Kalimantan Barat yang bermukim di kawasan tersebut. Para permulaan pendudukan balatentara Jepang di daerah ini, yaitu di masa singkat Angkatan Darat (Rikugun), tata perekonomian tidak mengalami gangguan yang begitu berarti. Rikugun memperbolehkan aktifitas perekonomian pasar. Bahkan pasukan ini seakan membiarkan tindakan massal rakyat yang dikenal dengan nama Zaman Cap Kapak. Sebaliknya, sejak berkuasanya Kaigun, kenyataan itu menjadi suatu impian dan sirna.
Hubungan lalu lintas baik melalui jalur darat maupun sungai khususnya, tidak dapat berlangsung. Hal itu terancam ketidakadaan bahan bakar minyak. Motor-motor tradisional atau Motor Bandong yang menjadi sarana transportasi sungai di daerah ini, khususnya yang menghubungkan kota-kota di sepanjang aliran Sungai Kapuas, Landak, Sekayam, Pawan dan Melawi tidak dapat dioperasikan. Demikian pula perhubungan darat, khususnya yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Ngabang, Bengkayang, Pemangkat, Singkawang hingga Sambas, seluruhnya mengalami lumpuh total. Sarana transportasi itu hanya boleh bergerak apabila atas perintah pemerintah Jepang. Dengan sendirinya, krisis ekonomi menjelma, rakyat menjadi korban menderita kelaparan.
Pada masa ini tata perkonomian Kalimantan Barat menjadi morat-marit. Rakyat berusaha sendiri-sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekedar untuk dapat mempertahankan hidup mereka. Sama sekali tidak ada usaha untuk melakukan aktifitas perekonomian pasar. Sementara itu, rakyat dari pehuluan dan pedalaman dikerahkan militer Jepang untuk melakukan romusha atau kerja paksa. Selama bekerja paksa, mereka tidak diberi makan, dan tak ada jaminan untuk bertahan hidup, sementara di pehuluan dan pedalaman semakin sedikit mereka yang menggarap ladang. Daerah-daerah tersebut mengalami kekurangan tenaga karena diwajibkan dan dikirim pemerintah Jepang ke luar daerah untuk menjalani romusha, antara lain di Sungai Durian Pontianak. Secara sistematis romusha atau kerja paksa adalah untuk kepentingan militer Jepang, terus ditingkatkan dengan mengerahkan puluhan ribu rakyat baik tua maupun muda. Akibatnya tak sedikit korban yang berjatuhan.
Sementara, berbagai tindakan kekerasan dan bentuk-bentuk penindasan terjadi di berbagai pelosok daerah ini. didampingi secuil orang yang berkolaborasi dengannya, militer Jepang melakukan pengumpulan harta benda rakyat secara paksa. Pengadaan ketersediaan bahan pokok untuk pasukannya harus selalu terjamin. Kehidupan rakyat semakin tidak menentu. Apabila seseorang tidak bersikap menghormati, tidak bersikap menyembah pada waktu militer Jepang lewat, orang tersebut akan dipukul atau disiksa dengan bengis dan kejam.
Pranata ekonomi masyarakat daerah ini sebagian besar adalah masyarakat Tionghoa, baik sebagai pedagang besar, menengah maupun pedagang kecil. Selain itu juga terdapat pengusaha Jepang, terutama untuk memenuhi kebutuhan balatentara mereka, khususnya untuk keperluan militer. Pada tahapan terakhirnya, para pengusaha non-pri sebagian besar menghentikan usahanya, dan sebagian lagi dengan sangat terpaksa harus menjalani aktifitas pasar dengan penguasa Jepang. Mereka tidak kuasa menghadapi resiko yang harus diterima bila menolak kebijakan yang diberlakukan penguasa Jepang.
Di samping pranata ekonomi yang morat-marit tersebut, dan sarana transportasi yang mengalami kelumpuhan, alat komunikasi seperti radio dan film, semuanya dikuasai oleh pemerintah militer Jepang. Pesawat-pesawat radio milik rakyat semuanya disita, kalaupun tidak diambil, barang mewah pada zamannya itu, harus disegel. Akibatnya rakyat tidak bisa leluasa mendengarkan siaran radio dan menyaksikan pemutaran film. Pemerintah Jepang hanya menempatkan pesawat-pesawat radio pada tempat-tempat tertentu yang strategis. Dan untuk mendengarkan siaran radio ini, rakyat dikumpulkan di tempat tersebut, dan acara siarannya pun yang boleh untuk didengarkan mengalami penyensoran secara ketat terlebih dahulu.
AWAL PENDUDUKAN JEPANG
Pada saat kedatangan Jepang, menggantikan posisi Belanda sebagai penguasa, sekaligus penjajah, di Kalimantan Barat saat itu terdapat 13 badan, perkumpulan pemuda atau pun semi-partai politik lokal, yang dengan sendirinya masing-masing memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan rakyat. Namun, dengan tak mengenyampingkan keseluruhannya, dua di antaranya, yaitu Pemuda Muhammadiyah dan Kepanduan Suryawirawan milik Partai Indonesia Raya (Parindra), disusul kemudian Persatuan Anak Borneo (PAB) merupakan yang terkemuka.
Seterusnya di masa kekuasaan Saudara Tua ini, di Kalimantan Barat umumnya hanya terdapat organisasi pemuda yang berupa organisasi musik dan olahraga. Itu pun dalam aktifitasnya diawasi dengan sangat ketat. Dan kenyataan lain, pemerintahan yang ada waktu itu dapat dikategorikan dua macam, masing-masing pemerintahan yang diadakan oleh Jepang, dan pemerintahan tradisional yang ditunjang oleh adat istiadat dan hukum adat lokal.
Pada tanggal 2 Februari 1942 Kota Pontianak resmi mulai diduduki dan dikuasai oleh Angkatan Darat (Rikugun) balatentara Jepang. Dan praktis, sejak itu pula Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan Saudara Tua dari Negeri Matahari Terbit itu. Kekuasaan itu memang berlangsung singkat, setelah pertengahan Juli 1942, Rikugun atau Angkatan Darat yang dikenal juga dengan sebutan Bintang, ditarik dan digantikan oleh Angkatan Laut. Praktis, sejak pertengahan Juli 1942 Kalimantan Barat berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Angkatan Laut (Kaigun) atau dikenal dengan sebutan Jangkar yang berada di bawah kekuasaan Armada Selatan II. Armada Selatan II ini memegang kekuasaan di kawasan Indonesia Timur dan Kalimantan yang berpusat di Makassar. Dalam struktur pemerintahan, sejak kekuasaan Jepang yang dikendalikan Angkatan Laut (Kaigun), pemerintahan Kalimantan Barat dikendalikan Minsebu. Sebelum ini, Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (S-1855/2) merupakan peraturan dasar ketatanegaraan pemerintahan Hindia Belanda semula tidak mengenal desentralisasi. Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau wilayah yang diperintah secara sentralistis. Pada pemerintahan yang demikian ini dijalankan pula dekonsentrasi, yaitu tugas pemerintahan dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatnya secara hierarkis. Menurut reglement tersebut terbagi dalam daerah-daerah administrative gewest, kemudian disebut residentie, yang masing-masing selanjutnya terbagi dalam afdeeling, district dan onderdistrict.
Kalimantan Barat di masa kolonial Belanda, setelah diterbitkannya tata aturan sistem pemerintahan tersebut berbentuk Keresidenan yang berada di bawah Propinsi Kalimantan yang ibukotanya berkedudukan di Banjarmasin. Keresidenan Kalimantan barat dengan ibukotanya Pontianak, selanjutnya dibagi ke dalam empat afdeling. Adapun afdelingen di dalam Wester Afdeling van Borneo tersebut, masing-masing Afdeling Singkawan terdiri dari Sambas, Singkawang, Bengkayang dan Mempawah. Afdeling Pontianak terdiri dari Pontianak, Landak, Sanggau dan Sekadau. Afdeling Ketapang terdiri dari Sukadana, Beneden Matan dan Boven Matan. Dan Afdeling Sintang terdiri dari Melawi, Sintang, Semitau dan Boven Kapuas.
Susunan pemerintahan Hindia Belanda yang sentralistis itu berlangsung sampai permulaan abad XX. Di kalangan bangsa Belanda sendiri timbul gerakan Etische Politiek yang menghendaki agar politik colonial tidak semata-mata bertujuan mengeduk kekayaan bumi di Hindia Belanda saja, melainkan juga hendaknya meninggikan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyatnya. Kesemua itu mendorong pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan dalam tahun 1903 suatu Wet Houdende Decentralisatie van her Bestuur in Nederlandsch Indie (S-1903/329). (Catatan Penulis: Sebelum Balatentara Jepang menduduki Kalimantan Barat sepenuhnya (1942), laju pertumbuhan penduduk di daerah ini, antara tahun 1895-1930 hingga 1940 dijelaskan bahwa dalam tahun 1895 berjumlah 370.700 jiwa, tahun 1900 berjumlah 403.000 jiwa, 1905 berjumlah 450.000, tahun 1920 berjumlah 605.000 dan tahun 1930 sejumlah 827.000 jiwa. Sementara secara khusus penduduk Kalimantan Barat dari kalangan Tionghoa (berdasarkan Distribusi Penduduk yang dilaporkan Residen Kalimantan Barat J Oberman tahun 1938) berjumlah 107.998 atau 13,5 persen.)
Setelah balatentara pendudukan Jepang mulai berkuasa di Indonesia, ditetapkanlah Undang Undang Nomor 1 tentang menjalankan pemerintahan balatentara (KP Nomor Istimewa, Maret 1943). Dalam Undang Undang ini ditentukan bahwa balatentara Jepang untuk sementara melangsungkan pemerintahan militer di daerah-daerah yang telah didudukinya. Selanjutnya, ditentukan bahwa semua badan pemerintahan dengan kekuasaannya, hokum dan undang undang dari pemerintah Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah, asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.
Dalam Agustus 1942 Gunsireikan menetapkan Undang Undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah (KP 1), di mana struktur pemerintahannya, di atas Minseibu terdapat Minseifu. Selanjutnya, bawah Minseifu terdapat eselon pemerintahan yang bernama Minseibu. Miseibu merupakan koordinator pemerintahan militer yang dituangkan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, terdiri dari Syu, Ken, Bungken, Gun dan Son. Untuk Syuu dan Tokubetu Si kemudian ditetapkan Undang Undang 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetu Si (KP 1). Sedang untuk Ken dan Si ditetapkan Osamu Seirei 1943/12 tentang Ken dan Si (KP 18) dan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si (KP 18) serta peraturan Zi Sei Hi No Nomor 1616 (Peraturan Keuangan Ken dan Si) (KP 16).
Kalimantan Barat secara resmi sebagai salah satu daerah Syu atau di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dikenal dengan Keresidenan. Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam lingkungan wilayahnya. Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah sesuatu Syuu, melainkan langsung di bawah Gunseikan. Masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala daerahnya, atau masing-masing Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Sityoo. Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum yang dalam Stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahannya, di masa pemerintahan militer Jepang ini dipegang oleh Sityoo. Sedangkan Ken sama dengan daerah Regentschap. Ken terbagi atas Bunken, selanjutnya Bunken terdiri dari Gun, dan Gun terbagi atas Son. Bunken sama dengan Sub Regentschap, sedangkan Gun sama dengan Distrik dan daerah Son sama dengan Onder Distrik. Di dalam Syu, Ken, Gun dan Son, masing-masing dikepalai Syun (Residen), Ken Kanrikan (Swapara), Guntyoo (Wedana), Fuku Guntyoo (Camat) dan Sontyoo (Kepala Kampung) Secara efektif, struktur pemerintahan ala Jepang tersebut berlaku di Kalimantan Barat mulai berlaku sejak Agustus 1942.
Setiap Syu atau suatu daerah yang merupakan pembantuan kegubernuran (Minseifu) ditempatkan pula sejumlah perwira yang menyandang pangkat tertinggi. Di Kalimantan Barat ditempatkan pula perwira tertinggi dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada tiap Syu didukung oleh komandan-komandan setempat, di samping bertugas untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, mereka diberikan kewenangan untuk memecat para pegawai peninggalan kekuasaan Belanda di samping menyusun dan membentuk pemerintahan setempat. Komandan Teritorial Kaigun (Angkatan Laut) di Kalimantan barat dijabat oleh Letnan Kolonel Yamakawa. Seorang yang memimpin Jawatan Kepolisian (Keibitai) disebut Keisatsukuco. Kekuasaannya tidak seluas kekuasaan Polisi Militer atau Kenpetai, yang mengendalikan semua kegiatan pengawasan dan tindakan refresif atau apapun yang terjadi di daerah ini.
Pada bulan Agustus 1942 tersebut, jabatan-jabatan yang tinggi yang diduduki oleh bangsa Indonesia, semuanya diganti oleh orang Jepang. Jabatan yang disediakan untuk orang Indonesia hanya meliputi Gunco dan Sonco saja. Namun, tidak lama kemudian, Jepang kembali mengangkat bangsa Indonesia pada jabatan tinggi atau tertentu tersebut. Hal ini dikarenakan mereka kekurangan tenaga pegawai. Beberapa di antaranya yang diangkat, antara lain JE Pattiasina selaku Soomu Kakarityo, Ng Ngiap Soen selaku Kakyo Tosei Kaityo, Loemban Pea sebagai Keityo Kantor Politie, Raden Pandji Mohammad Dzoebier Notosoedjono (Notosoedjono) selaku Suito Kakarityo, FJL Paath sebagai Kookika Syoti.
Pemerintahan Balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia 1942-1945 pada umumnya tetap meneruskan politik desentralisasi Hindia Belanda. Tetapi, pembentukan daerah dihubungkan dengan siasat militer untuk menghadapi pelbagai kemungkinan dalam masa perang itu. Sebagai daerah yang diangap terpenting ialah Syuu, termasuk Tokubetu Si dan Kooti, yang diharapkan dapat berdiri sendiri-sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri, terutama pangan, apabila sampai terputusnya hubungannya dengan daerah lain.
Di samping itu, Jepang agaknya tak ingin dipusingkan oleh kekuatan politis yang dimiliki masing-masing perkumpulan itu. Apalagi, kemampuan para tokoh yang duduk di dalam jajaran kepengurusannya dalam mengambil semangat rakyat tidak diragukan. Maka selekasnya badan-badan yang ada itu segera dibubarkan. Jepang membuat putusan, segala bentuk pergerakan rakyat, terlebih yang berbau politik, dilarang sama sekali. Pada zaman pendudukan militer balatentara Jepang, khususnya Kaigun atau Jangkar atau Angkatan Laut Jepang di Kalimantan Barat semasa Perang Dunia II, di bidang pendidikan, tidak ada sekolah lanjutan yang mempergunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sampai menjelang jatuhnya kekuasaan Belanda di Kalimantan Barat, di Kota Pontianak hanya terdapat beberapa sekolah, di antaranya Handelschool (Sekolah Dagang) dan MULO atau Sekolah Menegah Umum dan Normal School serta beberapa sekolah partikulir lainnya.
Seterusnya, tidak berapa lama setelah menduduki Kota Pontianak, di kota ini Jepang mendirikan sekolah menengah yang bernama Fuku Cuugakko. Sedangkan sekolah-sekolah yang ada di zaman Hindia Belanda dibuka kembali, namun dalam praktik kesehariannya, para murid lebih banyak diberikan pelajaran semi-militer yang dinamakan dengan kyoren dan kinrohoashi. Pelajaran Bahasa Jepang secara intensif diberikan kepada guru, siswa dan para pegawai. Kemahiran berbahasa Jepang menjadi ukuran bagi seseorang untuk dianggap bersimpati kepada Jepang. Dalam perkembangan kemudian, para pemuda dan tokoh politisi lokal tidaklah patah arang atau kehabisan semangat dengan monopoli kekuasaan dan tindakan yang dilakukan Jepang. Dengan mengadakan pendekatan satu dengan lainnya, mereka pun mufakat untuk mengadakan gerakan terselubung, yang dikesankan seakan bekerjasama dengan pihak Jepang. Maka, lahirlah sebuah perkumpulan yang direstui Syuuzityo Minseibu, (Residen) Kalimantan Barat, dan mendapat dukungan sejumlah perwira berpengaruh bangsa Jepang, yaitu organisasi Nissinkai.
Di dalam organisasi kamunflase politis ini terdapat sejumlah nama dan berpengaruh penting di antaranya Raden Pandji Mohammad Dzubier Noto Soedjono, mantan Komisaris Parindra, serta sejumlah nama penting lainnya serupa Gusti Sulung Lelanang, dokter Roebini, Ya’ Mohamad Sabran, dan sebagainya. Melalui Nissinkai pula, sejumlah pemuda penuh militansi ini melakukan sebuah perundingan yang tentu sekali sangat rahasia sifatnya. Dengan begitu, Nissinkai menjelma sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bawah tanah memotori pergerakan rakyat Kalimatan Barat.
Gerakan rahasia ini, selain membonceng fasilitas dari Jepang (yang diberikan untuk Nissinkai) juga mengadakan pendekatan dengan berbagai kalangan berpengaruh. Dan tak tertinggal, keterlibatan para konglomerat lokal dari kalangan Tionghoa khusususnya yang bersimpati, memberikan dukungan material. Tersebut nama-nama penting di antara kalangan ini seperti Ng Nyiap Sun, yang belakangan mendapat posisi selaku bendahara pergerakan dari gerakan untuk menghadapi Jepang di daerah ini. Sejak itu, di beberapa tempat di Kalimantan Barat terjadi gerakan-gerakan yang oleh Jepang dikatakan sebagai huru–hara. Para pemuda yang mulanya mendapat didikan semi-militer, melalui Seinendan, Keibodan dan Heiho, serta merta berbalik melawan balatentara pendudukan Dai Nippon.
Akibat dari yang mereka lakukan bukannya tak ada resiko yang harus diterima. Buntutnya, pada tanggal 14 April 1943, Syuutizityo pun mengadakan rapat kerja pertama. Hadir 12 penguasa lokal, di mana terdapat dua orang sultan atau dokoh dan sepuluh orang penembahan atau raja ketika itu, serta sejumlah orang tertentu. Rapat ini disebutkan untuk membahas masalah huru-hara yang tengah dan terus terjadi secara gencar di berbagai daerah di bawah masing-masing kekuasaan para penguasa otonom lokal tersebut.
KONFERENSI NISSINKAI
Pertemuan 14 April 1943 itu, nyata hanyalah siasat Jepang belaka untuk mengetahui sejauhmana pengaruh para penguasa lokal serta pengaruh orang-orang tertentu yang dulunya para pemimpin pergerakan di daerah ini. Menyusul beberapa waktu kemudian, pada 23 April 1943, para raja atau panembahan dan sultan di Kalimantan Barat mulai ditangkap di masing-masing tempat mereka. Begitupun dengan sejumlah orang yang dianggap berpengaruh. Mereka ini mulai diamankan menurut cara dan gaya penguasa Jepang. Berita penangkapan yang belakangan diperkenalkan dengan sebutan penyungkupan itu segera bukan menjadi rahasia umum. Namun, tak ada seorang pun yang berani untuk melakukan pengusutan sedetilnya mengenai masalah tersebut, mengingat begitu kejam dan kejinya perlakuan pihak penyungkup terhadap para korbannya.
Setelah didahului penangkapan pertama, 23 April 1943, disusul kemudian penangkapan berikutnya pada tanggal 24 Mei 1944, setahun kemudian. Penangkapan berdasarkan penanggalan kalender itu adalah dalam sekala besar, namun sedari penangkapan pertama sampai juga melintasi tanggal tersebut, penangkapan terus saja berlangsung terhadap perorangan. Penangkapan yang terjadi pada tanggal 24 Mei 1944, dilakukan saat dimulainya Konferensi Kerja Nissinkai di Gedung Medan Sepakat Jalan Palm Land di Pontianak (di Jalan Jendral Urip Sumohardjo sekarang). Tanpa ada pengecualian, seluruh peserta yang hadir ketika itu ditangkap dan digiring satu persatu menuju kamp tahanan yang sudah dipersiapkan.
Tak sampai di situ. Balatentara Jepang juga menciduk orang-orang yang dianggap berbahaya bagi mereka. Sekalipun keseharian mereka menampakkan sikap bersahabat dengan kalangan rakyat, namun mereka terus mendatangi dan mengambil satu persatu orang-orang yang sudah masuk daftar yang harus diamankan. Malam dan dinihari khususnya, di saat tengah tidur pulas, maka di saat itu pula penangkapan dilaksanakan, dengan tidak diberikan ampun ataupun sedikit kesempatan untuk menyelamatkan diri bagi calon korbannya. Selain itu, penangkapan juga dilakukan di saat calon korban tengah melakukan aktifitas rutin keseharian mereka. Begitulah akhirnya. Rakyat bertanya-tanya kepada sesamanya dengan cara yang ada pada diri mereka pula, akhirnya mendapat sedikit jawaban, jawaban yang belum sepenuhnya tuntas, mengenai nasib sejumlah orang yang diculik atau disungkup. Dalam terbitan edisi 1 Sitigatu 2064 atau 1 Juli 1944, Surat Kabar edisi Kalimanatan Barat, Borneo Sinbun di halaman terdepannya memberitakan sebuah perkara yang berlangsung. Berita yang mengejutkan dan menyentakkan pembacanya, kalangan terbatas di daerah ini, yaitu memberitakan tentang Eksekusi Mati terhadap para tawanan yang dianggap akan melawan Pemerintahan Jepang di daerah ini.
Menurut media Borneo Sinbun tersebut, telah ditangkap sejumlah orang berpengaruh di daerah ini, di mana mereka terhimpun di dalam 13 organisasi yang mulanya telah diberangus pemerintah Jepang. Dan mereka itu, telah dijatuhi hukuman mati (ekskusi) pada tanggal 28 Juni 1944 secara missal. Masih menurut versi koran itu, bahwa disebutkan ada 48 nama (terbatas) yang menjalani eksekusi tersebut, mengingat mereka ini adalah (di antara) orang-orang yang berpengaruh di tengah- tengah rakyat dan dituduh sebagai otak penggerak huru-hara yang selama ini terjadi.
GERAKAN BAWAH TANAH
Menjadi jelas kini bahwa mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Rokugatu 2604 atau 28 Juni 1944. Berita dari koran propaganda pemerintah pendudukan meliter Jepang di Pontianak itu walaupun mengejutkan, tetapi memberikan penjelesan kepada keluarga, anak dan handai taulan khususnya para korban tentang apa yang sebetulnya telah terjadi. Hal itu dengan sendirinya mengundang lagi dugaan dan tanda tanya yang belum terjawab. Namun pun demikian, bertanya dalam soal itu seperti orang yang nyinyir bukannya tidak mengandung bahaya. Maka yang memungkinkan untuk lebih amannya bagi rakyat ketika itu adalah berdiam diri sambil menanti kejelasan lebih lanjut. Itulah yang dipilih kebanyakan masyarakat di dalam masa tersebut.
Berita koran itu memang belumlah menerangkan semuanya, masih banyak orang-orang yang ditangkap atau disungkup maupun diambil, yang tidak atau ketika itu belum memungkinkan untuk disebutkan namanya. Koran ini hanya menyebutkan sederet nama mereka yang dituduh sebagai pemimpin komplotan dan garis besar apa yang dikirakan (tepatnya dituduhkan) oleh pemerintah Jepang. Maka orang menduga bahwa nasib yang sama juga telah menimpa mereka yang digolongkan sebagai pengikut-pengikut apa yang dikatakan sebagai suatu rencana besar untuk melakukan pemberontaklan terhadap Dai Nippon.
Apa yang tidak diduga-duga telah terjadi. Dan apa yang masih akan terjadi dalam waktu yang akan datang merupakan suatu dugaan lagi. Jika benar mereka, para korban, merencanakan suatu pemberontakan, maka itu adalah suatu keberanian yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Dan seandainya itu benar, adalah suatu keberanian luar biasa di tengah-tengah ancaman bayonet dan pukulan penggada senjata. Bahkan seperti yang sudah terjadi, yaitu hukuman mati di ujung samurai dan letupan bedil yang melesetkan timah panas bagi mereka. Dan sekiranya itu tidak benar, maka berarti bahwa latar belakang permasalahan yang dituduhkan pemerintah Jepang terhadap mereka, yang belakangan sebagai korban, adalah suatu fiksi atau fiktif belaka.
Mereka yang dikatakan pimpinan komplotan, mereka adalah gambaran dari masyarakat yang mejemuk. Jika diperinci menurut golongan, kepentingan apakah yang menjadikan sebagai pendorong mereka sehingga mereka merencanakan suatu pemberontakan. Dan andai kata komplotan yang dituduhkan itu benar-benar ada, sekurang-kurangnya ada lima golongan. Golongan pertama; katakanlah para Dokoh (Raja atau Panembahan atau Sultan) termasuk di dalam golongan ini. Semasa hidupnya, mereka untuk wilayahnya masing-masing adalah kepala pemerintahan yang banyak atau sedikit mempunyai hak-hak otonomi. Mereka ini dahulu disebut Zelfbestuurders. Jepang kemudian menyebutnya Dokoh, mungkin mereka merasa kehilangan hak-hak itu semenjak kedatangan Jepang.
Golongan kedua; Noto Soedjono (Raden Pandji Mohammad Dzubier Notosoedjono) dan rekan-rekannya yang sehaluan, utamanya sebagai aktifis Parindra. Cita-cita mereka adalah kemerdekaan dan Persatuan Indonesia. Di zaman Belanda atas anjuran Parindra didirikan Gabungan Politk Indonesia atau GAPI. Badan ini sebagai gabungan partai-partai politik yang dimaksudkan sebagai wadah pemersatu untuk gerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, dengan lebih dahulu menuntut Indonesia Berparlemen. Golongan ketiga; termasuk di dalam golongan ini para pengusaha, baik besar maupun kecil. Di waktu yang lampau mereka memiliki peranan penting sebagai kunci dalam kehidupan roda perekonomian, peranan mereka cukup menentukan. Kebanyakan mereka di dalam kelompok ini adalah para konglomerat lokal khususnya dari kalangan Tionghoa.
Golongan keempat; golongan ini dapat dimasukkan pegawai-pegawai dan para pejabat. Tidak dapat disangkal bahwa di antara mereka ada yang masih memimpikan zaman dahulu, sebagian lagi harus dicatat sebagai pendukung gerakan politik Parindra, sekalipun dengan jalan diam-diam. Golongan kelima; dalam golongan ini terdiri dari masyarakat umum yang terbagi-bagi di antara golongan pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Jika benar ada rencana untuk suatu pemberontakan, maka itulah ragam latar belakangnya. Kalaupun tidak benar, maka suatu kenyataan adalah jelas, mereka adalah korban yang sangat mahal untuk disia-siakan, dari suatu pendudukan dan penjajahan asing atas tanah air dan bangsa yang sejak dahulu ditentang mati-matian oleh kaum pergerakan. Inilah kesimpulannya secara umum.
EKSEKUSI MASSAL
Borneo Sinbun adalah satu-satunya media masa milik pemerintah pendudukan Jepang di Kalimantan Barat selama kurun 1943 hingga 1945. Koran ini menjadi corong resmi pemerintahan fasis militer Jepang saat menduduki dan berkuasa di daerah ini. Koran ini, menurut keterangan kemudian, diterbitkan tiga kali dalam seminggu, yang wilayah edarnya di Kalimantan. Khusus untuk wilayah Kalimantan Barat dinamakan Borneo Sinbun edisi Borneo Barat. Di Pontianak, koran ini cukup dikenal. Sebagai media massa resmi, wajar saja bila berita yang dimuat dimaksudkan sepenuhnya untuk kepentingan Jepang. Walaupun demikian, mengenai apa yang selengkapnya ditimpakan terhadap mereka yang didaulat sebagai orang-orang komplotan, tak detil diberitakan selain ulasan-ulasan yang hanya dasarnya saja, kecuali intinya mengabarkan pada 28 Rokugatu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944, telah dilakukan esksekusi mati secara missal terhadap para orang dimaksudkan.
Ditulis dalam (sebagaimana bunyi aslinya) berita tersebut sebagai berikut : “Komplotan besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon soedah diboengkar sampai keakar-akarnja. Salah satoe Pasoekan Angkatan laoet di Pontianak jang sedjak dahoeloe mengetahoei tentang tersemboenjinja rantjangan komplotan melawan Dai Nippon jang sangat besar oekoerannja di daerah Kalimantan Barat, Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya sebagai poesatnja, senantiasa meneroeskan pengintipan dengan seksama, hingga soeboeh tanggal 23 Zyunigatu tahoen jang lampaoe melangsoengkan penangkapan besar jang pertama, dan pada soeboeh tanggal 24 Itigatu taoen ini dioelangi penangkapan besar sekali lagi.
Sedjak itoe pemeriksaan teliti telah diteroeskan terhadap Dokoh Pontianak serta beberapa ratoes orang jang bersangkoetan jang soedah ditahan, maka achirnja terbongkar dengan sendjata-sendjatanya komplotan besar oentoek melawan Dai Nippon jang sangat mengejoetkan orang. Oleh karena itoe baroe2 ini dalam Sidang Madjelis Pengadilan Hoekoem Ketentaraan Angkatan laoet, kepala2 komplotan serta lain-lainnya telah didjatoehkan hoekoeman mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu merekapoen telah ditembak mati”
Pengumuman pasukan pendudukan Jepang di Pontianak tanggal 1 Sitigatu tahun 19 Syowa di dalam Surat Kabar tersebut menyebutkan beberapa nama korban yang dituduh sebagai orang-orang komplotan. Masih menurut Surat kabar yang edisi Pontianak redaksinya dipimpin R Koakimoto itu, digulungnya komplotan yang melawan kekuasaan Dai Nippon ini berawal dari pengintaian yang dilakukan Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang ada di Pontianak. Pengintipan atau pengintaian itu dilakukan dengan seksama hingga mencapai puncaknya.
Setelah melalui pemeriksaan terhadap ratusan orang yang ditahan, akhirnya dapat diketahui, menurut pihak Jepang, adanya suatu komplotan besar untuk melawan mereka. Melalui sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan laut Jepang di Pontianak, maka orang-orang tersebut yang disebutkan sebagai anggota komplotan itu dieksekusi mati.
PENYUNGKUPAN
Sejak pendudukan Jepang mulai berkuasa pada 2 Februari 1942 di Pontianak, sistem pemerintahan masih di bawah kekuasaan militer Angkatan Darat atau Rikugun atau lebih dikenal dengan sebutan Bintang. Itu berlangsung sampai 15 Juli 1942. Komandan Rikugun mengeluarkan pengumuman bahwa pemerintahan Belanda sudah tidak diberlakukan lagi. Dan seluruh pegawai serta pejabat Belanda di Pontianak maupun di Kalimantan Barat diwajibkan melaporkan diri. Dalam pelaksanaan pemerintahan Rikugun masih menggunakan pegawai pribumi yang sebelumnya bertugas sebagai pegawai Hindia Belanda. Tujuan ini dilakukan untuk menarik simpati kaum pribumi dan sebagai alat untuk mencapai kekuasaannya. Walaupun dapat dipahami, bahwa pemerintahan Rikugun masih kekurangan tenaga pegawai pemerintahan Jepang.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan Kalimantan Barat sebagai daerah Syuntiyoo dijabat oleh Letnan Kolonel Izumi, sedangkan Kota Pontianak sebagai Plaatselijk Fonds pada awal pendudukan Jepang aktifitasnya sempat terhenti selama sebulan. Setelah masuknya tenaga sipil Jepang dan dibentuknya Ken Kanrikan Pontianak, maka Plaatselijk Fonds kembali dibentuk dengan nama Shico atau Shintjo diketuai Mohammad Abdurrahman (yang kemudian menjabat posisi ini sampai 1 Oktober 1946). Dalam pemerintahan sipil, Sultan Syarif Muhammad Alkadri disebut Dookoo (Dokoh) dan kepala swapraja hanyalah penguasa yang dibatasi wewenang kekuasaannya. Para Gunco (kepala distrik atau demang) dan Sunco (onderdistrik atau camat) dibatasi kebebasannya untuk bepergian ke luar Pontianak. Keadaan ini disebabkan timbulnya kecurigaan pihak Kaigun terhadap mereka yang sebelumnya mengabdi pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan mempunyai pengaruh yang cukup luas di tengah masyarakat.
Pekerjaan yang dilakukan Fuku Gunco (camat) terbatas hanya mengumpulkan pendapatan hasil-hasil bumi dan pendapatan lainnya dari Sunco dan Danco. Kadangkala Fuku Gunco mengontrol ke berbagai Sunco untuk mengamati kehidupan masyarakat. Apalagi kesibukannya bertambah setelah timbulnya kekurangan bahan makanan pokok (beras) bagi penduduk.
Sebelum jatuhnya pemerintahan Belanda, di dalam Kota Pontianak telah berdiri Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (Sekolah Menengah Pertama), Hollandsch Inlandsche Scholen atau HIS, Hollandsch Chineesche School (HCS), ELS atau Europesche Lagere School, Inheemse Nederlandsche School (INS), Ambachschool (Sekolah Pertukangan), Handelsschool (Sekolah Dagang), Sekolah Dasar Lok Yue dan Cursus Volksonderwijzer atau CVO (Sekolah Pendidikan Guru). Permulaan masuknya militer Jepang di bawah kekuasaan Kaigun yang telah menggantikan Rikugun, kegiatan sekolah dibekukan. Dan semua yang dianggap begitu rumit sekolah masa pemerintahan Belanda dihapuskan. Hal itu sekaligus adalah upaya Jepang untuk mengikis pengaruh faham Belanda di daerah ini.
Selanjutnya, sekolah-sekolah yang didirikan masa pemerintahan Belanda dibentuk kembali dan kesemuanya berada di bawah pengawasan Jepang, seperti CVO, Sekolah Indonesia I dan Sekolah Pertanian. Semua sekolah swasta ditutup dan dilarang didirikan tanpa seizin pemerintah Jepang. beberapa sekolah tertentu, seperti sekolah yang dikelola Muhammadiyah, diberikan kelonggaran untuk mengelola pendidikan pada tahun 1943. Itu pun dalam mata pelajarannya harus memasukkan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar. Dan baris berbaris serta menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo, merupakan suatu kewajiban.
Menggantikan MULO sebagai sekolah menengah, pihak Jepang mendirikan Futsu Chu Gakko. Sekolah ini di bawah pimpinan seorang Jepang bernama Murakawa, berpangkat letnan kolonel. Sedangkan para gurunya atau sensei, semuanya berasal dari kalangan militer Kaigun dan mengajarkan pelajaran sesuai dengan keahliannya. Kesemuanya tunduk dan patuh pada Syuntiyoo Izumi. Demikian pula Sekolah Rakyat (SR) dilebur dalam Kokumin Gakko atau Sekolah Penduduk. Murid-muridnya diwajibkan kepalanya gundul, selain diajarkan ilmu pengetahuan sebagian besar juga diberikan latihan kemiliteran atau kyoren dan kerja bakti atau kinrohoashi.
Pada waktu itu yang diizinkan hanyalah kepanduan Hisbul Wathan atau HW yang berupa acara baris berbaris di lapangan PSP Pontianak. Mereka diwajibkan untuk menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo. Seterusnya, organisasi Seinendan (Barisan pemuda) dibentuk sebagai suatu korps pemuda yang bersifat semi militer.
Selanjutnya dibentuk pula Keibodan atau Barisan Pembantu Polisi, dan pertengahan tahun 1943, dibentuk Heiho atau Prajurit Pembantu Tentara Jepang yang merupakan bagian dari Kaigun Jepang. Tujuan dibentuknya organisasi-organisasi semi militer ini bagi pihak Jepang dimanfaatkan untuk tenaga cadangan di garis belakang dalam Perang Asia-Fasifik dan pengembelengan pemuda secara militer dengan memakai semangat Nippon Seisin, merupakan satu proses untuk menjepangkan para pemuda khususnya. Dalam banyak hal tidak menghasilkan apa yang diharapkan Jepang, sebaliknya, justru memperkuat perasaan nasionalisme di kalangan pemuda. Semangat juang yang ditanamkan dalam diri Heiho, Keibodan dan Seinendan memberi reaksi negatif terhadap Jepang. Perlakuan yang keras dalam latihan dengan harapan menyamai klasifikasi yang dimiliki perwira Jepang, justru menimbulkan kebencian dan rasa dendam para pemuda.
Sebetulnya sejak aksi-aksi pengeboman di Pontianak oleh militer Jepang yang menelan korban massal dan masuknya pendudukan Jepang melalui militer Rikugun di Pontianak yang diikuti dengan penjarahan barang milik orang Cina (dikenal dengan sebutan Zaman Cap Kapak), menyebabkan penduduk khususnya di Pontianak mengalami rasa ketakutan dan aktifitas rutin mereka terhenti. Awal April 1942, Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadri mengundang para kepala swapraja yaitu para raja atau panembahan se-Kalimantan Barat di Istana Kadriyah Pontianak. Mereka berkumpul membahas situasi daerah yang semakin tidak menentu. Selanjutnya dirumuskan bahwa ketakutan, penderitaan dan kemelaratan yang dialami penduduk dapat diatasi jika pihak Jepang dapat dihadapi. Hasil pertemuan di Istana Kadriyah inilah yang selanjutnya menjadi rintisan awal munculnya perlawanan terhadap militer Jepang dan selanjutnya berkembang secara meluas di seluruh penjuru Kalimantan Barat.
Pembubaran organisasi sosial dan semi-politik lokal di Kalimantan Barat, menyebabkan dr Roebini Kepala Rumah Sakit Umum Pontianak dan Raden Pandji Mohammad Dzubier Notosoedjono (Notosoedjono) mengambil sikap dan mengusulkan kepada Syuutizityo (Residen) Izumi untuk membentuk sebuah badan atau perkumpulan pemuda sebagai wadah organisasi lanjutan bagi organisasi pemuda yang telah dibekukan. Usul tersebut selanjutnya disetujui Izumi dan para perwira militernya yang berpengaruh, maka kemudian dibentuk sebuah perkumpulan baru dengan nama Nissinkai dan diketuai Notosoedjono. Organisasi ini mendapat peranan penting, sebagian besar anggotanya duduk dalam berbagai pekerjaan rutin birokrasi syuutizityo.
Walaupun Nissinkai mendapat bantuan dan fasilitas dari pihak Jepang, namun di balik aktifitasnya para pengurus dan anggota Nissinkai menghimpun kekuatan dari luar yang sehaluan untuk melancarkan suatu gerakan menghadapi Jepang. Pemuka masyarakat dan kalangan politisi serta pemuda merapatkan barisannya. Demikian pula dukungan dari pejabat pribumi seperti JE Pattiasina selaku Soomu Kakarico atau Kepala Urusan Umum dan dukungan dari kalangan konglomerat lokal yang khususnya dari kalangan Tionghoa seperti Ng Ngiap Soen, Kei Liang Ki, Ong Tjoe Kie, Ng Loeng Khoi dan Teng Swa Teng. Berbagai aktifitas dan pertemuan rahasia secara rutin dilakukan untuk memobilisasi rakyat dalam melakukan gerak perlawanan terhadap militer Jepang. Munculnya rencana perlawanan terhadap Jepang telah tersusun, namun akhirnya diketahui militer Jepang melalui informasi para agen dan kolaboratornya di lapangan. Pada tahun 1943, Pangeran Adipati yang kembali dari Makasar dan sempat singgah di Banjarmasin, di mana di sini bertemu langsung dengan tokoh penggerak perlawanan terhadap Jepang dr Soesilo.
Namun setibanya di Pontianak, saat turun dari kapal laut yang ditumpanginya, Pangeran Adipati (Syarif Osman Alkadrie Pangeran Adipati Sri Maharaja) langsung ditangkap Jepang. Selanjutnya, menyusul penangkapan terhadap Pangeran Adipati, militer Jepang melakukan hal yang sama terhadap sejumlah orang yang dianggapnya mempropagandakan usaha pemberontakan terhadap kekuasaannya, seperti Ahmad Maydin, Mohamad Sjarif, Burhanuddin, MK (Merah Kesuma) Indra Mahjuddin, The Hay Sia dan The Seng Nguang. Mereka mengalami penyiksaan oleh Kempeitai. Selanjutnya mereka dilepaskan kembali, kecuali Ahmad Maydin yang pada kesudahannya tak diketahui nasibnya.
Selanjutnya, kedatangan Makaliwey yang menjabat Noomu Kakarityo dan dr Soesilo yang menjabat Kan Satukan yang diutus oleh bekas Gubernur Borneo BJ Haga di Banjarmasin, memberikan semangat besar bagi para pemuka pergerakan di Kalimantan Barat. Kedua utusan dari Banjarmasin tersebut mengadakan suatu pertemuan dengan Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadri, para sultan dan panembahan lainnya serta tokoh pergerakan. Pertemuan itu adalah untuk menggalang kekuatan bersama untuk melancarkan gerakan terhadap militer Jepang.
Ternyata, militer Jepang telah mengetahui di istana sultan di Kampung Dalam Pontianak kerap dilakukan pertemuan dan rapat bagi para tokoh pergerakan. Pengawasan terhadap birokrat istana semakin ditingkatkan, aktifitas sultan semakin dicurigai. Dan pada kesimpulan terakhirnya, militer Jepang menuduh Sultan Pontianak sebagai orang yang berbahaya dan merupakan otak penggerak usaha untuk menggulingkan kekuasaan Dai Nippon. Dengan alasan itulah kempeitai kemudian melakukan penangkapan terhadap sultan beserta keluarganya yang dicurigai ikut andil dalam rencana perlawanan terhadap Jepang. Langkah selanjutnya, ditujukan kepada organisasi Nissinkai yang dianggap sebagai badan penggerak untuk melaksanakan aksi perlawanan terhadap Jepang. Sejak saat itu, Nissinkai diawasi dengan ketat. Selanjutnya Ketua Nissinkai Notosoedjono diundang Syuutizityo Izumi, di mana diberikan penjelasan tentang penangkapan yang dilakukan kenpeitai terhadap Sultan Pontianak dan sejumlah orang berpengaruh lainnya, di antaranya dr Roebini, Pangeran Adipati (Syarif Usman Alkadri Pangeran Adipati Sri Maharaja), Pangeran Agung (Syarif Mahmud Alkadri Pangeran Mas Perdana Agung), Ng Ngiap Soen dan Richard mantan Hoofd Inspecteur Politie. Dalam pertemuan itu, diinstruksikan Nissinkai segera mengadakan konferensi kerja tahunan.
Pada tanggal 24 Mei 1944 bertempat di Gedung Medan Sepakat, bersamaan dengan hari ulang tahun pertama pembentukannya, dilangsungkan konferensi kerja pertama (dan ternyata yang terakhir) Nissinkai. Sebelum konferensi dibuka, militer Jepang mengadakan razia terhadap seluruh peserta. Dan ternyata, diselenggarakannya konferensi tersebut hanyalah bertujuan untuk menghabisi semua pimpinan pergerakan rakyat Kalimantan Barat. Sebelum acara dibuka, razia yang dilakukan berhasil menyita senjata-senjata tajam yang dimiliki dan dibawa para peserta. Di samping razia dan penangkapan besar-besaran tersebut, khususnya di Kota Pontianak, keadaan semakin mencekam. Berita penangkapan yang dikenal luas dengan penyungkupan tersebut merupakan hal yang sangat tabu dibicarakan. Dalam perkembangan kemudian, Surat Kabar Borneo Sinbun edisi 1 Sitigatu 2604 atau 1 Juli 1944 Nomor 216 Tahun II edisi Pontianak telah menjawab berita-berita miring yang beredar di tengah masyarakat luas. Pada halaman depan memuat foto para korban dan tulisan besar yang merupakan headline serta dimuat pula proses penangkapan para korban.
Dalam suasana mencekam, penuh keprihatinan serta diselimuti rasa cemas yang mendalam, penduduk Kalimantan Barat khususnya penduduk Kota Pontianak, setelah mengetahui berita penangkapan dan pembantaian secara sadis tersebut, serta merta dikejutkan lagi oleh berita kematian Syuutizityo Izumi di Sungai Kapuas. Kematian Izumi dilakukan dengan menenggelamkan dirinya ke dasar Sungai Kapuas dengan cara mengikat mesin ketik di badannya. Izumi dicurigai terlibat memberikan bantuan kepada para penggerak pergolakan di dalam Nissinkai untuk perlawanan terhadap bangsanya sendiri.
Menyusul kemudian, di daerah pehuluan dan pedalaman dengan semangat bergelora dan menyala, rakyat di sana mengangkat senjata dan melakukan perlawanan terbuka antara lain di pimpin Pangsuma, Gusti Sohor dan sebagainya. Kawasan Meliau, Landak Ngabang, Tayan, Sanggau, Sekadau dan sekitarnya merupakan basis perlawanan rakyat yang cukup kuat, sehingga pihak militer Jepang melakukan serangan besar-besaran di wilayah tersebut. berbagai serangan telah menimbulkan korban di keduabelah pihak, tetapi dengan senjata tradisional mandau, pergolakan Pangsuma di Meliau telah memenggal kepala Letnan Nakatani dan sejumlah serdadunya.
PENGADILAN MILITER SEKUTU
Pada bulan Oktober sampai Nopember 1947, setelah kemerdekaan Indonesia, merupakan masa persidangan oleh Mahkamah Militer Sekutu di Pontianak. Ada 16 tentara Jepang yang dituduh sebagai penjahat perang karena telah melakukan pembantaian terhadap ribuan orang di Kalimantan Barat. Waktu itu agaknya semangat balas dendam atas kebengisan, kesadisan dan kekejaman balatentara Jepang memang menggelora. Tapi menyerahkan persoalan kepada Mahkamah Militer yang berkuasa adalah dipandang sangat arif dan proporsional. Sidang Mahkamah Militer itu dipimpin oleh Mr Kan, President Landraad Militer Borneo Barat, sebagai ketua Mr Van Kessel, Hoofd Landraad Pontianak, sebagai anggota Mr Jonge Nielen dan Mr Alling selaku oditur.
Keenam belas tahanan perang itu di antaranya adalah T Daigo Panglima Tentara Angkatan Laut Jepang wilayah Kalimantan yang bermarkas di Balik Papan dan M Kamada Komandan Tempur di Balik Papan. Selain itu ada sejumlah perwira lain masing-masing K Uesugi, T Okajima, Seichi Yamamoto, S Sano, Y Ishiyama, S Hirayama, Y Yoshio, B Unno, G Kojima, J Miyajima, Y Yamamoto, T Tsurumi, Y Kaneko dan K Kuse. Dalam persidangan, mereka terbukti bersalah dan akhirnya divonis hukuman mati dengan cara ditembak duabelas peluru. Kapten Seici Yamamoto mengaku bahwa pembunuhan massal terhadap ribuan rakyat Kalimantan Barat itu dilakukan tentara pendudukan di beberapa tempat. Antara lain di Mandor (tempat pembantaian terbesar), Sungai Durian, di Pontianak masing-masing di kawasan Jalan Kapitan, Markas Kenpeitai, Kebun Sayur dan Penjara Sungai Jawi. Target pembunuhan sebetulnya adalah 50.000 jiwa. Tapi sebelum itu terlaksana, Jepang keburu kalah terhadap Sekutu.
Menyadari dan menginsafi, memerintahkan pembunuhan massal di daerah ini, kepada pimpinan pengadilan yang mengadilinya, sebelum ditembak mati Yamamoto mengajukan tiga permohonan. Adapun permohonan terakhirnya yaitu, pertama ingin menyanyikan lagu kebangsaan Dai Nippon, Kimigayo. Kedua, menyerukan Banzai tiga kali untuk keselamatan Tenno Heika dan Kerajaan Dai Nippon. Dan yang ketiga atau yang terakhir, dalam menjalani eksekusi itu agar tak ditutup matanya. Hukuman mati atas Kapten Seici Yamamoto dan empat tentara Nippon lainnya dilakukan di Sekip Militer (Lapangan Tembak) di Kotabaru Pontianak (Jalan Sutan Sjahrir sekarang). Waktu menjalani eksekusi itu, Yamamoto yang selama pendudukan militer dikenal kejam, bengis dan sadis berpakaian dinas tentara Jepang tanpa pangkat, ia bersepatu bot laras tinggi. Sepatu ini ditemukan saat penggalian pembangunan bekas lokasi penembakannya itu tahun 1961. (Catatan penulis: Tatkala vonis hukuman mati telah dijatuhkan, Yamamoto berkata, “Saya menyadari dan menginsyafi, karena akibat tindakan saya yang memerintahkan pembunuhan terhadap lebih dari 50 ribu jiwa penduduk Borneo Barat yang tidak berdosa, maka memang sepatutnyalah saya dijatuhi hukuman mati).
Lebih kurang 20 tahun sejak terkuburnya jenazah para penjahat perang tersebut di Pontianak, penghujung tahun 1976, Nurio Tsucimochi bekas Letnan Satu sukarelawan dari Mancukho Jepang, mengirimkan surat kepada seorang kenalannya, Almarhum Ya’ Syarif Umar (1924-1998) yang saat itu sebagai anggota DPRD Kalimantan Barat. Tsucimochi dulunya pernah menetap di daerah ini mengikuti pamannya Dr S Motoshima yang mengelola perkebunan karet di Kampung Sebebat Kecamatan Ngabang Kabupaten Landak sekarang. Belakangan kemudian baru diketahui, bahwa kehadiran dan keberadaan keduanya (Dr S Motoshima dan Nurio Tsucimochi) di daerah ini dulunya adalah sebagai agen rahasia Jepang. Sebagaimana juga juru potret Honda yang menetap di Pontianak.
Dalam surat kepada Ya’ Syarif Umar itu antara lain dikatakannya, menanyakan tentang kemungkinan rekan-rekannya para veteran Jepang yang belakangan telah menjadi kalangan sipil di Jepang untuk berkunjung dan berziarah ke beberapa tempat di Kalimantan Barat. Khususnya mereka bermaksud mengunjungi Mandor. Dia secara hati-hati menanyakan lewat suratnya itu, apakah kedatangan mereka tidak menimbulkan suatu masalah nantinya. Oleh Ya’ Sarif Umar yang juga mantan anggota MPRS RI itu, surat yang diterimanya dari Tsucimochi kemudian disampaikan kepada Gubernur Kalbar Kadaroesno pada waktu itu. Oleh Gubernur Kadaroesno, ternyata direspon dengan baik dan positif. Setelah mengetahui sikap Gubernur Kadaroesno sebagai Kepala Pemerintahan Kalimantan Barat tersebut, maka Ya’ Syarif Umar mengirim telegram ke Tsucimochi di Tokyo, dengan mengabarkan bahwa keterbukaan Pemerintahan Kalimanatan Barat atas kedatangan, sebagaimana keinginan yang dimaksud para veteran Jepang itu.
PENJAHAT PERANG
Tak beberapa lama setelah dikirimkannya telegram kepada Tsucimochi oleh Ya’ Syarif Umar, Mr Y Kurose Sekretaris Utama Kedutaan Besar Jepang di Jakarta (waktu itu) berkunjung dan menemui Ya’ Syarif Umar di Pontianak. Boleh dikatakan, kunjungan Kurose ini sebagai semacam penjajakan awal. Selain ke Pontianak juga ke daerah lainnya di Kalimantan Barat, Kurose didampingi Ya’ Syarif Umar berkunjung ke Singkawang. Selanjutnya Maret 1977, rombongan turis berkebangsaan Jepang yang menamakan diri dengan Minami Borneo Kai antara lain di dalam rombongan ini turut serta Norio Tsuchimochi dan dipimpin Otohisa Asuka yang seluruhnya sebanyak 21 orang, di antaranya Hayashi Tadashi, Sadao Hiraga dan Watanabe Rokuro datang ke Pontianak. Mereka adalah orang sipil yang pernah menjadi tawanan perang Sekutu dan sempat untuk beberapa waktu dipenjarakan di Penjara Sungai Jawi Pontianak. Apabila dibanding dengan 16 orang penjahat perang lainnya, mereka ini masih bernasib baik, lolos dari vonis eksekusi mati.
Kunjungan itu, selain untuk berziarah, juga melakukan pertemuan dengan Gubernur Kadaroesno. Atas nama bangsanya, mereka ketika itu mengaku salah dan minta maaf atas perlakuan masa lalu bangsanya terhadap rakyat Kalimanatan Barat di masa silam. Sejak kunjungan itu, kemudian hampir tiap tahunnya turis Jepang mengunjungi Kalimantan Barat dan mengutamakan datang ke Mandor untuk melihat lebih dekat. Di samping tentunya mereka melakukan ziarah. Kemudian pada tahun 1985, setelah berselang kurang lebih delapan tahun dari kunjungan pertama tahun 1977, kali ini rombongan turis Jepang kembali berkunjung ke Pontianak. Dalam rombongan ini ikut serta Tadahisa Daigo putera dari penjahat perang T. Daigo dan Kamada putera M Kamada. Mungkin, dibandingkan dengan kedatangan sebelumnya, kedatangan mereka kali ini dirasa sangat penting dan mempunyai missi yang tersendiri.
Masco yang menjadi juru bicara rombongan dengan sigap dan lancar, di dampingi Ya’ Syarif Umar, kepada Gubernur Kalimantan Barat yang ketika itu telah dijabat H Soedjiman, membeberkan mengenai 16 tawanan perang yang belakangan disebutkan sebagai penjahat perang Jepang di Kalimanatan Barat. Tiga tahun kemudian, September 1987, atas saran dari Ya’ Syarif Umar yang menjadi perantara para turis tersebut, Tadahisa Daigo secara resmi dari Tokyo mengirim sepucuk surat kepada Gubernur Kalimantan Barat. Inti dari surat itu, ia atas nama keluarga besar 16 penjahat perang yang dieksekusi di Pontianak, berharap Pemerintah Daerah ini menyetujui penggalian kerangkanya dan selanjutnya diabukan untuk kemudian diboyong ke negeri leluhurnya di Tokyo. Dua bulan setelah itu, Nopember 1987, isi dan maksud surat tersebut ditanggapi dengan persetujuan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat.
Operasi pencarian kubur keenambelas orang Jepang itu di sekitar lokasi Penjara Sungai Jawi dibantu beberapa petugas penjara, penggalian di lokasi yang diketahui kemudian dilakukan. Dan ternyata benar. Ditemukanlah kerangka para penjahat perang itu, yang pada keesokan harinya diperabukan atau dikremasi dan abunya kemudian diangkut Tadahisa Daigo, Masco dan Asuka mewakili bangsanya ke Tokyo. Almarhum Ya’ Syarif Umar dalam penjelasannya sekitar tahun 1997 kepada penulis, mengatakan keenambelas orang itulah yang dianggap paling bertanggungjawab atas pembunuhan dan pembantaian massal terhadap ribuan rakyat Kalimantan Barat. Salah satunya yang terbesar berlokasi di Desa Kopyang Kecamatan Mandor Kabupaten Landak.
KORBAN EKSKUSI MASSAL
Hingga kini berapa sebenarnya angka warga Kalimantan Barat yang menjadi korban keganasan selama Perang Dunia II, masih sesekali waktu menjadi polemik. Sesuai dengan pernyataan resmi waktu itu Pemerintah Daerah (Pemda) Kalimantan Barat pada tanggal 28 Juni 1977, di saat acara peresmian Makam Joang Mandor, oleh Gubernur Kalimantan Barat (waktu itu) Kadaroesno ditegaskan, bahwa korban kekejaman dan keganasan Jepang di daerah ini seluruhnya berjumlah 21.037 orang.
Tentang asal usul angka tersebut, menurut keterangan almarhum Ya’ Syarif Umar, adalah bermula dengan kedatangan beberapa turis Jepang. Salah seorang di antaranya yang berkunjung tahun 1977 ke Kalimantan Barat bernama Kiotada Takahashi. Rombongan turis sejumlah 21 orang dari Negeri Sakura itu berada di Pontianak dalam bulan Maret 1977. Pada umumnya, anggota rombongan yang tergabung dalam Minami Borneo Kai tersebut adalah veteran Jepang semasa Perang Dunia II. Sampai sejauh pembicaraan tentang kunjungan mereka, belum ada pembicaraan apa pun yang menyangkut pembantaian oleh balatentara Dai Nippon di Kalimantan Barat selama Perang Dunia II. Kecuali, mereka hanya bermaksud untuk melihat secara dekat Kalimantan Barat.
Analisa Gubernur Kadaroesno ketika itu, mungkin mereka mempunyai missi tersendiri dari bangsanya. Perkiraan Ya’ Syarif Umar sendiri ketika itu ada dua hal. Pertama, mereka mencari data mengenai balatentaranya dahulu sewaktu Perang Dunia II yang bertugas di Kalimantan Barat. Kedua, menyelidiki kemungkinan adanya harta peninggalan yang belum sempat terangkut, yaitu milik mereka ketika berada di daerah ini dulunya. Dugaan ini ternyata tak meleset jauh. Kedatangan mereka itu merupakan rintisan awal untuk mencari kerangka balatentaranya yang dieksekusi oleh militer Sekutu di Pontianak setelah Perang Dunia II usai. Rombongan turis ini sendiri, sebelumnya telah menyempatkan diri menziarahi Makam Joang Mandor yang merupakan areal terbesar, ladang pembunuhan dan pembantaian militer Jepang antara tahun 1942-1945 di Kalimantan Barat dan Mandor adalah salah satu lokasi yang kemudian diketahui.
Dalam keterangannya kepada penulis tahun 1995, (Almarhum) Ya’ Sarif Umar antara lain mengungkapkan tentang Takahashi. Takahashi mengenal dengan baik Kalimantan Barat, sebab semasa Perang Dunia II, dan sempat untuk beberapa waktu menetap di Pontianak. Ia tinggal di Jalan Zainuddin (sekarang), di hari tuanya, Takahashi menjadi seorang pengusaha, selaku Presiden Direktur Perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd. Selain angka 21.037 jiwa korban keganasan Jepang di Kalimantan Barat berdasarkan keterangan, yang pertama sekali ini dari Kiyotada Takahashi yang kemudian menjadi angka resmi versi Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat. Selanjutnya pada jumlah angka yang lain menyebutkan, berdasarkan Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa yang diadakan pihak Sekutu di Pontianak, antara Oktober hingga Nopember 1947 ketika mengadili Kapten Seici Yamamoto yang dituduh sebagai salah seorang penjahat perang selama Perang Dunia II, olehnya terungkap, bahwa target pembantaian di Kalimantan Barat sejumlah 50.000 orang.
Yamamoto yang kemudian dieksekusi Nopember 1947 di Penjara Sungai Jawi Pontianak, antara lain juga menyebutkan sejumlah tempat, selain Mandor sebagai ladang pembantaian. Antara lain di daerah Sungai Durian, beberapa tempat di kota Pontianak dan beberapa tempat lainnya di Kalimantan Barat. Ketika pelaksanaan pengadilan kilat tersebut berlangsung, Hamid II, Sultan Pontianak dan juga Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat ketika itu, yang kemudian memprakarsai untuk pertamakalinya didirikan Makam Joang Mandor, mengikuti jalannya persidangan tersebut dengan penuh perhatian. Selain angka-angka terdahulu, 21.037 dari Kiyotada Takahashi dan target 50.000 jiwa Kapten S Yamamoto, ada lagi angka lainnya, yaitu 642 orang versi Persatuan Keluarga Korban Agresi Jepang atau PPKAJ Kalimantan Barat yang diketuai Ny Nani Thaha Alkadrie.
Dari jumlah yang tercatat itu, dicatatkan masing-masing di Pontianak korban sejumlah (angka digabung dengan Kabupaten Pontianak) 305. Dari 305 korban itu, 211 orang di antaranya adalah keturunan Tionghoa. Korban di Kabupaten Sambas sejumlah 138 jiwa, di mana 109 orang di antaranya adalah Tionghoa. Di Kabupaten Sintang tercatat 16 orang, 5 darinya adalah keturunan Tionghoa, di Kabupaten Sanggau ada 67 orang di mana 9 orang adalah warga keturunan Tionghoa dan di Kabupaten Ketapang terdapat 116 orang, 19 darinya adalah warga Tionghoa. Berdasarkan keterangan seorang bekas klerk dari Militaire Auditie Tentara Belanda mengenai jumlah korban keganasan Jepang, dituliskan olehnya, orang Indonesia sejumlah 577 orang, Tionghoa 903 orang, orang Eropa dan Indo 36 orang dan Timur Asing ada 18 orang. Dengan demikian, angka versi ke empat adalah 1.534 orang.
Adapun angka lain yang didasarkan atas catatan Mr Mitchel bekas Ketua Pemelihara Pemakaman Korban Jepang di Mandor, di mana dia bertugas untuk itu selama masa pemerintahan Sekutu, diterangkan bahwa kuburan I berisikan 90 orang, kuburan II berisikan 110 orang, kuburan III berisikan 100 orang, kuburan IV berisikan 90 orang, kuburan V berisikan 100, kuburan VI berisikan 80 orang, kuburan VII berisikan 36 orang, kuburan VIII berisikan 250 orang dan kuburan IX berisikan 144 orang, dengan demikian dari jumlah sembilan kuburan tersebut seluruhnya terdapat 1.000 orang korban. Selain itu, jumlah di lain tempat dijelaskan pula, di Sungai Durian terdapat 270 orang, Ketapang ada 150 orang, belakang KMK (Komando Militer Kota) Pontianak ada 13 orang, Tangsi Besar ada 6 orang, belakang gereja Pontianak 14 orang. Dari jumlah yang ada dapat diketahui berjumlah 452 orang selain dari yang ada di Mandor. Selanjutnya di Singkawang sedikitnya ada 250 orang yang dibantai di daerah Pasir Panjang Singkawang.
Terlepas dari semua jumlah yang ada sebagaimana tersebut di atas, besarnya korban akibat kekejaman dan keganasan Jepang di Kalimanatan Barat adalah akibat Doktrin Perang Asia Timur Raya yang ingin melenyapkan satu generasi bangsa lain di tanah pendudukannya. Rekayasa atau tidak, sesuai Doktrin Dai Toa Ni Senso tersebut, yang pasti lebih dari 1.000 orang, sebagai angka minimum, rakyat Kalimantan Barat telah terlanjur tewas di ujung senjata dan samurai tentara Jepang selama tahun 1942–1945. Diungkapkan H Achmad Noor, (1929-2000) kepada penulis, satu-satunya informasi tentang adanya pembantaian di Kalimanatan Barat secara tertulis, diberitakan oleh surat kabar Borneo Sinbun edisi 1 Sitigatsu 2604 bersamaan 1 Juli 1944. Dalam surat kabar tersebut antara lain dikatakan, bahwa pada tanggal 28 Rokogatsu 2604 atau 28 Juni 1944, telah diadili dengan hukuman mati sejumlah orang yang dituduh akan menggulingkan kekuasaan Dai Nippon.
Itulah berita tentang pembantaian besar-besaran di Kalimanatan Barat. Selanjutnya menurut Almarhum Haji Ibrahim Saleh (1931-2004), dirinya termasuk orang pertama di Kalimantan Barat yang ikut menyaksikan ketika untuk pertamakalinya ditemukan oleh pasukan Sekutu kerangka korban pembantaian Jepang di Mandor. Akibat pembantaian besar-besaran tersebut Kalimantan Barat telah kehilangan satu generasinya. Mereka yang dibantai tersebut, jelas H Ibrahim Saleh adalah kalangan terpilih, yaitu orang-orang berpengaruh dan terpelajar. Jenderal Besar TNI AH Nasution (almarhum) mengenang perjuangan rakyat yang memberontak pada Jepang tahun 1942-1945 di seluruh bumi Kalimantan, menulis, “Bahwa keberanian dan ketabahan kaum pemberontak itu sangat membanggakan dan membuktikan bahwa seluruh bangsa kita dari kota-kota pusat sampai ke hutan-hutan Kalimantan berani berontak jika ditindas oleh siapa pun juga”.
Soal politik, tulis Nasution lagi, adalah soal yang sepadan dengan kecerdasan. Di balik peristiwa sejarah pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Kalimantan Barat di masa Perang Dunia II oleh Jepang, terjelma sejumlah misteri yang belum terungkap tuntas. Namun yang pasti, Indonesia tetaplah bangsa yang besar dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan bangsanya