Minggu, 04 Oktober 2009

DENYUT NADI REVOLUSI KEMERDEKAAN KALIMANTAN BARAT (I)

PEMUDA PENYONGSONG REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang, sekitar 14 Agustus 1945 beberapa pesawat terbang Sekutu jenis B.I7 dan B.29, telah me1akukan penyerangan kedudukan bala tentara Dai Nippon di beberapa tempat di Kalimantan Barat. Di antaranya, dengan melaku¬kan tembakan dari udara secara gencar dan beruntun serta menebarkan pamflet-pamflet di atas Pontianak, Mempawah, Sanggau, Ngabang dan di kawasan pesisir. Dalam selebaran udara itu, Sekutu menyatakan bahwa perang telah berakhir dan Jepang dinyatakan menyerah kalah terhadap Sekutu. Hanya saja, surat selebaran dari udara itu tidak sepenuhnya didapat oleh rakyat, karena surat-surat selebaran yang dipungut itu oleh beberapa tentara Jepang segera disita. Lain dari itu, rasa ketakutan dan trauma atas kekejaman Jepang masih juga membayang di pelupuk mata rakyat.

Sejumlah pamflet yang disebarkan dari udara itu nyaris merata di seluruh pelosok Kalimantan Barat. Mulai dari Pontianak hingga daerah terpencil di pedalaman yang ada penghuninya. Maklumat yang disebarkan oleh pesawat tempur Sekutu itu ditandatangani oleh Jendral Sir Thomas Albert Blamey, pemimpin tertinggi dari tentara Australia (Sekutu ).

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jakarta, pada mulanya tidak terdengar di Kalimantan (Barat). Hal ini dikarenakan sejak Jepang berkuasa dan menduduki daerah Indonesia, semua alat¬-alat komunikasi te1ah dirusak dan disita. Hanya beberapa buah radio yang sempat disimpan dan disembunyikan dengan sangat rahasia oleh orang tertentu. Dari radio inilah orang-orang Kalimantan mencari berita secara sembunyi-sembunyi.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, beberapa orang pemuda di Pontianak telah mengetahui berita penting tersebut. Kabar mengenai kemerdekaan Indonesia itu didengar pemuda¬-pemuda di Pontianak melalui siaran berbahasa Indonesia dari Radio San Fransisko, Amerika Serikat. Secara kebetulan, saat yang tidak disengaja itu, radio tersebut tengah mengulas tentang kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleb Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta.

Tak banyak warga yang memiliki pesawat radio ketika itu. Kalaupun ada, hanya disembunyikan dan tak seorang pun yang berani menyetelnya dengan jelas. Tentara Jepang menyita radio yang dimiliki penduduk dan memberlakukan hukuman yang berat bagi mereka yang berani menyimpan barang tersebut. Oleh Jepang, radio-radio yang disita kemudian dimusnahkan, sebagian diceburkan ke Sungai Kapuas.

Berita mengenai kemerdekaan Indonesia dari siaran Radio San Fransisko itu, pertama kali di Pontianak didengar oleh pemuda M. Sukandar. Suatu senja, dengan sernbunyi-sembunyi setelah menyaksikan kondisi melemahnya tentara pendudukan Jepang di Pontianak, M Sukandar menyetel radionya. Pemuda Soekandar memperoleh alat komunikasi terpenting pada masanya itu, karena salah seorang saudara perempuannya bekerja di Kantor Telekomunikasi Jepang di Pontianak. Karena bekerja dikantor Jepang itulah, saudara perempuan Soekandar itu diperbolehka membawa radio ke rumahnya.

Pamflet udara yang disebarkan melalui pesawat Sekutu, bagi rakyat Kalimantan Barat di pedalaman dan pehuluan, telah membang¬kitkan kembali semangat hidup mereka untuk menghadapi Jepang. Pada 11 September 1945, pasukan Majang Desa yang bertahan di sekitar Sanggau Kapuas, menerima kunjungan scorang kurir Suku Dayak Iban dari perbatasan Serawak. Kedatangan kurir tersebut membawa pamflet dari pesawat Sekutu. Dari pamflet itu, mereka kermudiam bermaksud mencari kejelasan tentang kekalahan yang dialami Jepang,

Untuk mencari kebenaran yang ditulis dalam pamflet tersebut, dengan dipimpin sejumlah panglima adatnya, di antaranya Panglima Burung, Gusti Wadai dan Gusti Matan dari Hulu Air di daerah Ketapang, rakyat pehuluan dan. pedalaman Kalimantan Barat memasuki Pontianak. Kedatangan mereka ke Pontianak, selain untuk maksud di atas, adalah untuk membalas dendam atas kekejaman yang dilakukan Jepang selama sebelumnya.

Di Pontianak, pemuda M Soekandar setelah mendengarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia segera menghubungi beberapa orang rekannya. Soekandar kemudian memberitahukan bahwa Indonesia nyata telah memproklamirkan kemerdekaannya, sejak 17 Agustus 1945. Bcrdasarkan informasi dari Soekandar tersebut, dan me1ihat kenyataan-kenyataan yang ada, di antaranya kedatangan rakyat pehuluan dan pedalaman yang telah mendapatkan pamflet tentang kekalahan Jepang, pada 15 September 1945, empat pekan setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuklah sebuah organisasi di lingkungan pemuda. Organisasi ini dinamakan dengan "Panitia Penyongsong Kemerdekaan Indonesia" yang disingkat dengan PPRI. Dalam perkembangan berikutnya, PPRI ini menjadi "Pemuda Penyongsong Republik Indone¬sia” .

Rapat pembentukan Panitia Penyongsong Republik Indone¬sia ini dilangsungkan di rumah kediaman Ya' Umar Yasin di Jalan Palmenlaan (Persimpangan Jalan Merdeka dan Jalan Jendral Urip sekarang) Pontianak. Dalam rapat pembentukannya, 15 September 1945, ditetapkan suatu susunan kepengurusan. Selaku ketua dipercayakan kepada Muzani A Rani, wakil ketua Anang Djajadi Saman, penulis I dipercayakan kepada Ya' UmarYasin. sebagai penulis II dijabat Ya' Achmad Dundik. Abi Hurairah Fattah diangkat sebagai bendahara, selain itu dilengkapi dengan beberapa orang pengurus lain, seperti A. Syukri Nour, Firdaus Harahap, M Soekandar, Fauzi Rani, Oesman Amsjah, A Muthalib Rivai, Syarifuddin Effendi dan sejumIah pemuda lainnya. Di dalam PPRI ini, tergabung tcnaga-tenaga penuh militansi. Sebagian dari mereka pernah mendapat latihan kemiliteran melalui Heiho dan Seinendan.

Program perjuangan yang digariskan PPRI, segera dirumuskan. Di mana dalam program itu, PPRI merencanakan untuk segera menghadap Syuutizi (Residen) Kalimantan Barat, Asikin Noor, dan menyampaikan kepada suatu mosi agar Kalimantan Barat segera menyatakan diri menjadi bagi dari Republik Indonesia. Selanjutnya di dalam mosi yang disampaikan itu digariskan, bahwa pemerintah daerah bertindak cepat dan tegas untuk menertibkan keadaan. Baik di bidang keamanan, maupun menyangkut permakanan rakyat. PPRI juga menyatakan, bahwa para pemuda menyediakan diri untuk melaksanakan tugas apa saja yang dipikulkan kepada mereka. . .

Dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan, PPRI berusaha mengirim beberapa orang pemuda, antara lain Djajadi Saman dan A Rahman Oemri, dengan perahu layar berangkat menuju Jawa, guna menghadap Bung Karno dan Bung Hatta untuk menyampaikan surat PPRI untuk permohonan bantuan persenjataan. Dan satu pro¬gram lain yang ditetapkan PPRI, yaitu mengumpulkan para bekas. Heiho dan mengusahakan mencari senjata, yang seperti dikatakan banyak orang. dibuang Jepang ke Sungai Kapuas di saat mereka meninggalkan Kalimantan Barat menuju Miri, Serawak.

PPRI menyadari sekali, bahwa pemerintah republik itu tidak¬lah datang dari luar. Melainkan muncul dari dalam atau dari rakyat. Di lingkungan PPRI sendiri ditegaskan, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atas desakan rakyat. Maka juga naskah proklamasi ditandatangani atas nama rakyat. Hanya yang menjadi masalah selanjutnya adalah kelanjutannya, terutama bagi daerah Kalimantan Barat.

Setelah berdirinya PPRI, beberapa permasalahan lainnya telah menjelma dan harus dihadapi dengan penuh konsekwen. Di antaranya, kedatangan tentara Sekutu (yang diwakili Australia) untuk melucuti tentara Jepang, di samping berusaha menetralisir situasi. Kemudian, terjadinya "gczagsvacuum" bagi daerah Kalimantan Barat, di mana Jepang menyerahkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada Asikin Noor. Masalah pelik lainnya yang dihadapi PPRI, adalah Penjdaga Keamanan Oemoem (PKO) yang di dalamnya adalah dominasi orang Cina, dan merupakan Po An Thuy. PKO ini beraliran Koumintang yang berusaha keras untuk mendominir Kalimantan Barat.

Sedangkan dua masalah lainnya yang menjadi perhatian khusus pula menyangkut penyusupan tentara militer Belanda dengan NICA¬nya, yang membonceng Sekutu. Serta kedatangan rakyat pehuluan dan pedalaman di bawah pimpinan Gusti Matan, Gusti Wadai dan Panglima Burung yang menuntut eksistensi seorang pemimpin, di mana mereka menginginkan adanya seorang sultan di Pontianak.

PPRI dengan tegas menolak kehadiran kembali pemerintah Belanda dalam segala bentuk dan manifestasinya, baik me1alui Residen Asikin Noor, maupun melalui tentara Sekutu. Dalam suatu perundingan yang dilakukan PPRI dengan Asikin Noor yang ditemukan hanyalah "jalan buntu" tak dapat menye1esaikan masalah, karena Asikin Noor diliputi oleh keragu-raguan yang menye1imuti sikap dan pendiriannya.

PPRI menuntut penggabungan Kahmantan Barat dengan Republik Indonesia. Tuntutan ini disampaikan dalam bentuk sebuah mosi, atas nama rakyat Kalimantan Barat. Mosi yang disampaikan itu selengkapnya memuat dua butir pernyataan penting. Pertama, agar Kalimantan Barat segera dinyatakan menjadi bagian dari Republik Indonesia, sedangkan butir kedua, bahwa pemerintah daerah supaya bertindak cepat dan tegas untuk menertibkan keadaan, berhubung dengan keamanan dan masalah pangan.

Jepang yang menarik diri dari tanggungjawab mengenai masalah pemerintahan, telah meletakkan beban berat di atas pundak Residen Asikin Noor. Di tangan pejabat inilah terpusat kekuasaan. Asikin Noor menjadi tempat bertumpu semua persoalan, yang menyenangkan maupun tidak. Dari segi pandangan politik, para pemuda PPRI melihat adanya sesuatu yang disengaja. Hasilnya ialah pecah belah dalam sikap dan pendirian. Dalam kenyataan yang ada, program pertama dari PPRI telah menemui jalan buntu mencapai tujuannya. Hal itu dikarenakan penolakan yang diberikan Residen Asikin Noor. Sedangkan program kedua dan ketiga yang digariskan PPRI, diteruskan juga oleh bagian yang militan dari para pemuda, berapa pun besar resikonya.

Sehari setelah dibentuknya PPRI di Pontianak, bertempat di "Lapangan Kebun Sayur", pemuda Achmad Noor dan Hasan Bafadhal, pada 16 September 1945, dalam suatu upacara massal mengibarkan bendera Merah Putih. Hal itu sebagai pernyataan, bahwa Kalimantan Barat merupakan suatu daerah yang berdiri di belakang Republik In¬donesia.

Menyusul kemudian pada 20 September, dinyatakan bahwa pemerintahan "de fackto" Republik Indonesia di belahan Kalimantan Barat, walaupun dalam batas waktu relti singkat, akan tetapi disambut dengan spontanitas oleh rakyat. Pada saat yang bersamaan itu, pemuda Ya' Achmad Dundik seorang pengurus teras PPRI, mengibarkan bendera Merah Putih dengan terlebih dahulu merobek warna Biru dari selembar bendera Belanda, dikibarkannya di halaman kantor residen (Kantor Walikota Pontianak sekarang).

Seterusnya, menjelang permulaan Oktober 1945, berlangsung kembali sebuah perundingan antara PPRl dengan Residen Asikin Noor. Dalam diri Asikin Noor, kembali keragu-raguannya menjelma karena ia telah mendapatkan semacam "inside information" bahwa Hamid Alkadrie, putra almarhum Syarif Muhammad Alkadrie, sultan Pontianak yang diciduk Jepang, akan tiba di Pontianak beserta pasukannya.

Di dalam PPRI sendiri, timbul dua persoalan yang perlu untuk dicari titik temunya sebagai kendali. Karena juga, dua masalah yang muncul dari dalam itu merupakan suatu permasalahan yang menuntut adanya suatu perhatian khusus dari PPRI. Satu pihak menolak keras kehadiran sebuah kerajaan di Pontianak. Alasan atas persoalan pertama ini, didasarkan bahwa tidak terdapat dalam pemerintahan RepubIik Indonesia sebuah pemerintahan kerajaan.

Hal itu dikemukakan Abi Hurairah Fattah dengan beberapa rekannya yang lain. Sementara pihak lain, masih dan lingkungan pengurus PPRI sendiri, A Muthalib Rivai berpendapat dengan mengemukakan sebuah argumentasi yang kuat pula. Bahwa untuk meredam masyarakat pehuluan dan pedalaman yang sudah memasuki Pontianak, hal yang ditolak Abi Hurairah Fattah itu diperlukan sekali. Oleh karena itu untuk waktu sementara, eksistensi sebuah kerajaan perlu diadakan.

Akhirnya, antara pertentangan pendapat Abi Hurairah Fattah dan A Muthalib Rivai itu mendapatkan kesepakatan, dengan mengindahkan argumen yang disampaikan A. Muthalib Rivai tadi. Selan¬jutnya A Muthalib Rivai menegaskan, bahwa yang tepat untuk dia¬ngkat sebagai sultan Pontianak yang mana kesultanan ini dibentuk kembali dan berdiri di belakang Republik Indonesia, adalah Syarif Thaha Alkadrie. Syarif Thaha Alkadrie adalah seorang cucu dan Syarif Muhammad Alkadrie, sultan yang menjadi korban keganasan Jepang, di Kalimantan Barat. Saat itu, pemuda.Syarif Thaha Alkadrie baru menginjak usia remaja sekitar 17 tahun.

Dengan dinobatkannnya Syarif Thaha Alkadrie sebagai sul¬tan di Kesultanan Pontianak, sepenuhnya masyarakat pehuluan dan pedalaman yang dipimpin Gusti Matan dan panglima-panglima adat suku Dayak dan Melayu yang masih berada di Pontianak, dapat menerimanya. Pada saat penobatan Syarif Thaha itulah, Gusti Matan mengibarkan bendera Merah Putih di halaman istana Kesultanan Pontianak pada 21 September 1945. Dengan dinobatkannya Syarif Thaha Alkadrie dan kesultanan yang dipimpinnya itu dinyatakan sebagai sebuah kesultanan yang berdiri di belakang Republik Indone¬sia, lingkungan pemuda khususnya dari kalangan PPRI menya¬takan itu semua sebagai kelahiran pemerintahan de fackto Republik Indonesia di belahan bumi Kalimantan Barat.

Akan tetapi, keadaan demiikian tidaklah berjalan selamanya. Hanya beberapa waktu berselang, di mana pertengahan Oktober 1945, tentara militer NICA-Belanda dengan pasukan KNIL, rnernasuki Pontianak. PKO-Po An Thuy yang dipimpin Mr Lie Tan Kheng berusaha keras memaksakan diri untuk memberikan warna lain bagi masyarakat Kalimantan Barat. Mereka berpendapat, bahwa kemenangan Sekutu adalah juga kemenangan bangsa mereka di bawah kepemimpinan Chiang Kay Shek yang beraliran Koumintang.

Di Siantan, Sungai Jawi, Sungai Kakap dan Punggur, tak sedikit bergelimpangan mayat orang Cina yang pro PKO-Po An Thuy. Or¬ang-orang Cina ini menutut jalan arah ke pasar dan semua toko serta kedai mereka tutup. Tak sedikit masyarakat Pontianak yang terbunuh oleh mereka. Peristiwa bentrokan antara rakyat Kalimantan Barat dengan PKO-Po Ad Thuy ini karena ulah serdadu-serdadu Belanda yang memberikan hasutan kepada orang Cina agar tidak mematuhi perintah mengibarkan bendera Merah Putih.

Sebaliknya, golongan ini malah mengibarkan :bendera kebangsaan mereka, bendera Bintang Dua Belas. Selanjutnya, beberapa pemuka masyarakat Cina antara lain Ng Nyap Liang dan Tan Liong Khiat meminta diadakan sebuah perundingan. Sejak itu, keadaan Kota Pontianak dan sekitarnya agak mereda.

Kesibukan-kesibukan berjalan terus sampai ke puncaknya. Pada 14 Oktober 1975, sejumlah pimpinan militer Sekutu yang diawali Australia dengan pesawat udara jenis amphibi, pagi tiba dan mendarat di Pontianak. Tujuh orang pimpinan mereka turun dari pesawat yang mendarat tersebut. Menyusul kemudian sorenya, sebuah lagi pesawat terbang mendarat dengan membawa sepasukan tentara Sekutu Australia. Kedatangan pasukan sekutu-Australia ini dengan membonceng pasukan militer NICA-Belanda. NICA, perangkat sipili Hindia Belanda, bermaksud untuk memegang ke,bali kendali pemerintahan yang, ketika Jepang berkuasa, untuk sementara telepas dari tangannya.

Sekelompok orang, para pemuda militan dari PPRI dan kaum republikein, minta waktu untuk bertemu dengan pimpinan militer Sekutu-Australia. Sekelompok utusan PPRI ini dihadang oleh seor¬ang opsir Belanda yang bernama Schuilwelver. Namun akhirnya, utusan PPRI berhasil juga masuk untuk bertemu. Tekad semula para utusan adalah untuk menyatakan kepada para pimpinan militer Sekutu¬-Australia itu tentang ketegasan sikap PPRI yang setia kepada proklamasi kemerdekaan. Dalam barisan PPRI itu terdapat Radjikin (selanjutnya dituakan di antara rombongan PPRI pagi itu), Abi Huraitah Fattah, Djajadi Saman, A Syukri Nour, Ya’ Umar Yasin, Ya' Seman Yasin, Ya’ Achmad Dundik dan banyak lagi lainnya.

Rombongan utusan PPRI diterima oleh pimpinan militer Sekutu-Australia di rumah kediaman residen. Maksud yang disampaikan utusan PPRI kepadanya tetap sebagaimana apa yang menjadi pendirian semula. Pertama, bahwa Kalimantan Barat adalah wilayah Republik Indonesia. Kedua, utusan yang menghadap adalah utusan Republik Indonesia, berbicara atas nama rakyat dan hanya mengakui pemerintah Republik Indonesia, bukan yang lain. Ketiga, menyatakan bahwa alat pembayaran yang sah adalah Oeang Republik Indonesia (ORl). Namun demikian, mata uang Jepang dianggap masih berlaku.

Sir Thomas Blarney yang menerima utusan PPRI terkesan menanggapi pernyataan para utusan dengan positif. Namun demikian, delegasi pcmuda melihat ada keraguaan yang masih membayang pada raut mukanya. Melihat kondisi yang demikian, para utusan PPRI dalam rombongan itu kemudian merencanakan untuk mengadakan suatu rapat umum secara besar-besaran esok harinya di "Lapangan Kebon Sayur” Pontianak.

Keesokan harinya, 15 Oktober 1945, sebuah rapat umum berlangsung siang hari, Pemuda-pemuda militan, kaum republikein, anggota PPRI dan masyarakat umum merupakan penggerak rapat umum itu. Orang datang berduyun-duyun memenuhi lapangan tersebut. Rapat umum itu menyetujui sebuah statement. Isi pokoknya, sama dengan yang dikemukakan delegasi dengan lisan kepada pimpinan militer Sekutu kemarin. Statemen tertulis itu selanjutnya akan disampaikan resmi kepada Sir Thomas Blarmey. Untuk menyampaikan statemen itu ditunjuk sejumlah pemuka masyarakat.Di diantaranya adalah dr M Soedarso, Anang Djajadi Saman, Thomas Bleas dan Abi Hurairah Fattah.

Salah seorang dari utusan kemudian menyampaikan kepada Sir Thomas Blarmey sebuah sampul berisi statement tadi. Resolusi yang sama juga akan disampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, dengan mengutus pemuda A Syukri Nour untuk menyampai¬kannya. Akan tetapi, dalam perjalanan menuju Pulau Jawa membawa resolusi tersebut, di perairan Kendawangan, Ketapang, A Syukri Nour tertangkap oleh militer NICA-Be1anda. Berselang sehari kemudian, pada 17 Oktober dilangsungkan sebuah pertemuan di kantor residen.

Dalam pertemuan itu dihadiri 4 orang Indonesia mewakili golongan pemuda (PPRI), 4 orang mewakili kaum politisi pemuka masyarakat yang disebut golongan tua, 6 orang wakil dari NICA-Belanda dan 4 orang lainnya mewakili golongan Cina. Pemuda PPRI diwakili oleh Muzani A Rani, Abi Hurairah Fattah, A Muthalib Rivai dan A Syukri Nour. Dari golongan politisi pemuka masyarakat diwakili dr M Soedarso, Raden Wariban, Radjikin dan Raden Soekotjo Katim. Utusan golongan Cina dipimpin Mr Lie Teng Kheng, pimpinan Po An Thuy (PKO).
Buah pembicaraan dalam pertemuan itu adalah sekitar pengali¬han tanggung jawab pemerintahan. Situasi memang telah menjadi lain. Wakil dari PPRI dalam pertemuan itu memprotes, menuntut supaya menyadari dan mengakui bahwa pemerintah yang sah adalah pemerintah Republik Indonesia. Kalimantan Barat, demikian A Syukri Nour menegaskan dalam pertemuan itu, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia.

Namun kenyataan yang ditemukan, protes tinggal protes. Protes keras itupun tidak mendapatkan tanggapan secara sewajarnya seperti yang diharapkan. Sebaliknya, wakil dari NICA-Belanda menjawab protes itu dengan mengingatkan, bahwa Asikin Noor telah menolak untuk menjadi residen republik di Kalimantan Barat. Maka itu, wakil NICA-Belanda dalam pertemuan itu kemudian menggariskan, bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas kelangsungan daerah Kalimantan Barat.

Kemelut yang mengawan hitam di Pontianak itu, merupakan detik-detik yang cukup menentukan, sampai sejauh mana rakyat dan para pemuda. di dalam PPRI dapat mempertahankan pemerintahan de fackto Republik Indonesia. Tentara, Sekutu yang diwakili Australia yang memasuki daerah ini dibonceng oleh pasukan militer Be1anda dengan NICA-nya beserta sejumlah pejabat sipilnya.

Tujuan Belanda jelas untuk mengembalikan pemerintahan kolonial, di bawah pimpi¬nan Residen Dr van der Zwaal. Sementara itu pasukan Sekutu yang menawan tentara Jepang di daerah Kapuas Hulu mendapat bantuan dari pasukan Majang Desa. Tiga orang Jepang, bekas pimpinan perusahaan Jepang Nomura Shokosan Kabushiki Kaisha yang juga merangkap sebagai Bunken Kanrikan bernama Ohnishi, dengan dua orang Jepang lainnya, Kaneda pimpinan perusahaan Sumitomo Shokosan Kaisha dan Taniguchi, dirampas Pasukan Majang Desa. Ketiganya dibantai dengan dipenggal lehernya.
Hingga kemudian, keluar suatu pengumuman yang sudah ditunggu-tunggu orang sejak berkali-kali perundingan dilakukan. Pengumuman yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 itu intinya, bahwa sejak Senin, 22 Oktober tersebut, kekuasaan atas seluruh wilayah Kalimantan Barat dengan resmi beralih ke tangan pemerintah NICA¬Belanda. Dalam pada itu, residen Asikin Noor juga melakukan serah terima jabatan residen, yang justru jabatan itu diserahkannya kepada NICA-Belanda. Tanpa suatu kesulitan yang berarti, keresidenan Kalimantan Barat dengan demikian telah dipindah tangankan dari Asikin Noor kepada Dr van der Zwaal. Sedangkan Asikin Noor selanjutnya diinap¬kan ke tangsi militer, untuk selanjutnya diterbangkan kembali ke Banjarmasin.

Pemerintah sipil NICA-Belanda selanjutnya mengimbangi kondisi tersebut dengan suatu kejutan baru. Pada 23 Oktober 1945, diumumkan pengangkatan Sultan Pontianak yang baru, Syarif Hamid Alkadrie. Ia selanjurnya dikenal dengan sebutan luas Sultan Hamid II. Itu berarti, Syarif Thaha Alkadrie harus meletakkan jabatannya. Sul¬tan Syarif Thaha Alakdrie, menurut pendapat pemerintah NICA¬-Belanda diangkat oleh para kaum "ekstremis", jadi tidak sah. Syarif Thaha Alkadrie, tak bukan sebetulnya adalah keponakan Sultan Hamid II sendiri.

Politik merangkul kiranya telah dicobakan. Para wakil kaum republikein, unsur-unsur pemuda dengan PPRI-nya, diundang oleh Sultan Hamid II untuk suatu pertemuan. Dan pada 28 Oktober 1945, terjadi penangkapan terhadap diri dr. M Soedarso, Radjikin, Murzani A Rani, Abi Hurairah Fattah dan banyak lagi yang lainnya, baik yang hadir dalam pertemuan maupun yang tidak. Mereka diciduk di rumah masing-masing.

Keesokan harinya, 29 Ok tober, suatu kejutan baru dapat disaksikan ketika rombongan demonstran beramai-ramai menuju kantor residen. Pada hari itu terjadi protes massa terhadap penurunan nilai tukar uang Jepang dan berlakunya uang NICA-BeIanda. Rakyat bersenjatakan senjata tajam, keadaan semakin kacau. Dalam suasana itu, Sultan Hamid II turun ke jalan dan ke pasar menentramkan keadaan. Entah karena wibawa sultan, atau karena kekerasan tindakan MP atau keduanya, demonstran pun bubar. Dengan gelombang penangkapan-penangkapan terhadap pemuda militan, kaum republikein dan unsur pimpinan PPRl, maka dengan demikian berak¬hirlah riwayat PPRI di Pontianak.