MERAH PUTIH BERDARAH DI SAMBAS
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sebetulnya telah diketahui beberapa orang penduduk di Sambas melalui siaran radio Serawak Malaysia Timur. Karena tentara Jepang masih berada di daerah itu, berita penting tersebut hanya menyebar kepada seorang perseorangan saja. Kekhawatiran terhadap kebengisan Jepang masih melekat dan membayang di dalam diri masyarakat Sambas.
Di Singkawang, berita proklamasi beredar masih secara tersem¬bunyi di kalangan tertentu saja. Berita proklamasi yang lebih jelas baru diketahui di kota ini pada saat utusan Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI) Pontianak Ya' Achmad Dundik yang secara khusus datang ke Singkawang pada 2 Oktober 1945. Sedangkan warga Sambas mendapat kepastian bahwa Indonesia telah merdeka tatkala pemuda Gifni dan Zainuddin yang bermukim di Pontianak kembali ke Sambas. Berita itu kemudian menyebar dari mulut ke mulut dan sudah bukan suatu rahasia lagi sifatnya.
Setelah beberapa informasi itu diterima, kemudian berdirilah sebuah organisasi perjuangan yang bersifat politis diberi nama "Persatuan Bangsa Indonesia Sambas" (Perbis) dengan pimpinan HM Siradj Sood, Naim Abdurrazak, M Kemad, Umar Sood, Uray A Hamid. Selain itu juga dibentuk "Komite Nasional Sambas". Pada 17 Oktober 1945, tentara Sekutu terdiri dari orang Aus¬tralia memasuki Sambas dan beberapa tempat lainnya. Tujuan mereka tidak lain, kecuali untuk melucuti senjata tentara dan menurunkan sejumlah bendera Jepang yang ada di Sambas. Kemudian pada 20 Oktober datang tentara Nederland lndische Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Assisten Residen Brieckvild dan sepasukan KNIL yang dipimpin Kapten Van der Schoors dan Sersan Mayor Blok. Tentara ini lengkap dengan persenjataan di tangan mereka.
Baik NICA maupun pasukan KNIL, mereka kemudian menghimpun semua bekas tentara KNIL dan Polisi yang ada. NICA mengakui keberadaan barisan "Pendjaga Keamanan Oemoem" atau PKO yang tak sedikit jumlahnya, dan mayoritas orang Cina. PKO dipimpin oleh Rudolf van der Lief atau dikenal luas sebagai Dolop.
Melalui Naim A Razak, Kapten van der Schoors pimpinan pasukan KNIL, melakukan suatu pendekatan. Tujuannya agar Perbis ikut membantu NICA dalam menjalankan pemerintahan di Sambas dan sekitarnya. Pimpinan Perbis menolak dengan tegas tawaran Schoors dan Naim A Razak menyatakan bahwa Sambas adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia yang telah merdeka. Dan mereka tidak memerlukan bantuan dari NICA.
Lebih sepekan kemudian, pada 26 Oktober 1945, datang rombongan M Akir dari Pemangkat dengan sebuah truk. Mereka di dalam truk tersebut mengibarkan bendera Merah Putih dan meneriakkan pekik merdeka di sepanjang jalan yang dilalui. Teriakan itu disambut warga Sambas dengan pekik yang sama. Rombongan M. Akir selanjutnya mengelilingi Sambas. Tindakan itu sebagai suatu demonstrasi terhadap Pemerintah Belanda (NICA) di Sambas dan sekitarnya.
Rombonga. M Akir dari Pemangkat kemudian mengadakan rapat dengan pengurus Perbis di Sekolah Tarbiyatul Islam, dan dalam rapat itu diputuskan serta disepakati untuk mengirim delegasi ke Kantor Pemenntah NICA di Sambas. Pada hari itu juga sekitar pukul 15.30, rombongan menghadap pimpinan NICA untuk mengadakan suatu pertemuan.Tetapi mereka dihadang oleh satu regu tentara NlCA dan barisan PKO. Perundingan yang direncanakan pun batal dilaksanakan. Malam harinya dilaksanakan "rapat kilat" di rumah kediaman Mashudi Berader di Desa Tumuk. Dalam rapat kilat itu disimpulkan akan mengadakan suatu rapat umum bertempat di Gedung Bioskop Indonesia Theater Sambas.
Pada 27 Oktober 1945 pagi, sekitar pukul 07.00, sejumlah warga memasuki gedung bioskop Indonesia Theater. Rapat umum pun dimulai, silih berganti para pemuda berpidato mengobarkan semangat dan jiwa revolusi kepada yang hadir. Peserta rapat kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pemerintahan NICA (Belanda). Sampai ditujuan mereka langsung menurunkan bendera Belanda (Merah, Putih dan Biru) yang dikibarkan di halaman kantor tersebut. Kemudian digantikannya bendera tiga warna tersebut dengan Merah Putih dan diiringi Lagu Indonesia Raya serta bertalu-talu pekik merdeka.
Selesai mengibarkan bendera Merah Putih, mereka berebutan menaiki Kantor Pemerintahan NICA (Belanda) dan mengobrak abriknya. Dari ruang kantor itu muncul seorang Indo-Belanda Rudolf van der Lief. Ia mengacungkan pistol di depan para pemuda. Tiba.-tiba seorang di antara pemuda dan massa demonstran dengan keberaniannya mendobrak Van der Lief yang kebingungan melihat ratusan warga Sambas. Pemuda tersebut bethasil mengepit leher Van der Lief dan dengan mudah menjatuhkan pistol dari genggamannya. Terjadilah pengeroyokan yang berakhir dengan tewasnya Van der Lief seketika.
Selanjutnya barisan massa menuju Istana Kesultanan Sambas, sebagian lagi menyerbu kantor polisi untuk merampas senjata yang dipergunakan oleh PKO. Mantri Polisi Sambas dijabat oleh Songot. Para demonstran telah sampai di alun-alun istana. Waktu menunjuk¬kan pukul 11.00 siang, tanpa diduga sebelumnya terdengar suara gemuruh mobil menyerbu ke arah alun-alun di bawah pimpinan Van der Schoors. Dan dalam kendaraan yang dipergunakannya, Van der Schoors berteriak agar massa mengangkat tangan dan menyerahkan diri. Saat itu, di alun-alun Istana Kesultanan Sambas bendera Merah Putih belum sempat dikibarkan. Maksud semula bendera Merah Putih dikibarkan di kiri kanan Gerbang Paseban Istana.
Bendera yang akan dikibarkan itu dipegang oleh pemuda Tabrani H Achmad. Gertakan Van der Schoors tak dihiraukan massa rakyat yang berbondong-bondong banyaknya. Tabrani H Achmad dengan langkah yakin maju ke tempat direncanakan semula untuk mengibarkan bendera Merah Putih, di hadapan mata Van der Schoors. Dan bersamaan dengan itu pula, tembakan senjata jenis stengun beruntun memuntahkan pelutu ke arah tubuh pemuda Tabrani H Achmad. Disusul kemudian dengan tusukan bayonet, seketika itu pula Tabrani jatuh terkulai bersimbah darah.
Saat bendera Merah Putih yang dipegang Tabrani akan terjatuh, HM Siradj Sood dengan cekatan bergerak maju menangkap bendera tersebut. Kembali stengun tentara NICA-Belanda memuntahkan peluru dan bersarang di tulang belikat HM Siradj Sood. Tokoh Perbis itu tersungkur bersimbah darah. Oleh massa demonstran yang lain, HM Siradj Sood segera dilarikan ke rumah penduduk yang terdekat untuk diberikan pertolongan.
Setelah terjadi penembakan terhadap Tabrani H Achmad dan HM Siradj Sood, tentara NICA kemudian meninggalkan halaman istana kesultanan dengan melintasi jembatan Batu. Seorang pemuda lainnya, Sapali, mencoba untuk memotong jalan yang dilalui tentara NICA tadi. Sapali bermaksud untuk menuju ke rumah Maharaja Imam H Abdurrachman. Namun tentara NICA yang mengawasi gerak¬ geriknya segera memberondongkan peluru mereka dan seketika itu pula Sapali tewas.
Keesokan harinya pada 28 Oktober 1945, dilakukan penangkapan siang dan malam hari oleh Polisi bersama Tentara NICA dan KNIL terhadap orang-orang yang tergabung di dalam Perbis. Dan jam malam pun diberlakukan di seluruh Sambas dan sekitarnya. Diantara mereka yang berhasil ditangkapi seperti Uray Abdul Hamid,Uray Saidi, Hamidi A Rachman, Daeng Zayadi, Naim A Razak.
Selang sebulan lebih kemudian, pada pertengahan Desember 1945, para pemuda di bawah koordinasi Uray Basjir menyebarkan informasi tentang rencana gerakan di Bengkayang dengan mengajak kerjasama para pemuda ke dalam suatu ikatan.Tujuannya adalah untuk menghadapi Belanda yang sekarang itu telah nyata menggantikan kedudukan Sekutu.
Sebuah organisasi teah terbentuk dikenal luas dengan nama "Gerakan Indonesia. Merdeka" atau Gerindom, di bawah pimpinan M Arief Satok, Ali Saleh, Ramli Saleh dan Munziri A Kadir. Gerindom telah menyusun suatu rencana untuk mengadakan sebuah gerakan, di mana dalam gerakan itu nantinya Sektor Barat dipimpin Alwi Bakran, Sektor Timur dipimpin Sarie Dahlan, Sektor Selatan dipimpin Uray Damiri dan Sektor Utara ditangani beberapa orang pemuda lainnya. Meski sudah nyata terbentuk, namun Gerindom dalam operasionalnya tetap dirahasiakan. Dan secara "gerakan bawah tanah", Gerindom meluas hingga Sanggau Ledo dan Seluas.
Dalam waktu beberapa bulan kemudian, pada awal April 1946, diadakan sebuah rapat di sebuah kampung yang berjarak sekitar 20 Km dari Sambas. Rapat dilangsungkan di rumah kediaman Alwi Bakran. Dalam pertemuan itu antara lain dihadiri Raden Muhammad Nurdin, A Latief, M Arief Satok, Ali Saleh serta lima belas orang lainnya. Rapat bertujuan mengadakan "pemberontakan" ditandai dengan menyerbu tangsi militer Belanda.
Namun rencana itu ternyata bocor. Pada 10 April 1946, tentara NICA mengadakan suatu penangkapan terhadap sejumlah tokoh, di antaranya Alwi Bakran, D Miradj, M Arief Satok, Ali Saleh, Munziri A Kadir, Thabrani Ismail, Sjarie Dahlan dan beberapa orang lainnya lagi. Mereka kemudian ditahan dalam penjara dan ditempat¬kan secara terpisah-pisah. Selama dalam tahanan mereka disiksa dipukuli oleh tentara NICA-Belanda. Terlebih-lebih terhadap diri Alwi Bakran, Daeng Zayadi dan M Arief Satok. Sersan Block yang menangani masalah tahanan memerintahkan kepada bawahannya agar para tahanan itu segera ditembak mati di pinggir sungai. Block yang melakukan introgasi menuntut pengakuan para tahanan tentang siapa yang membunuh Jan Rudolf van der Lief atau Dolop dalam suatu insiden beberapa waktu lalu. Tak seorang pun di antara tahanan yang mengakuinya. Akibatnya, siksaan terhadap mereka lebih ditingkatkan lagi.”Imbalan” dari siksaan itulah yang menyebabkan Daeng Zayadi sampai terganggu jiwanya, selain derita yang berkepanjangan.
Melalui mata-mata yang dipergunakan NICA-Belanda, akhirnya mereka mengetahui pusat pergerakan para pemuda Sambas. Pada 14 Mei 1946, tentara NICA melakukan penyerbuan tempat pertahanan para pemuda, sehingga Misawa, seorang mantan Tentara Jepang yang bersimpati dan kemudian menggabungkan diri dengan para pemuda Sambas, tewas tertembak mati. Para pemuda di bawah komando Dolah, berhasil menyelamatkan diri dengan menyusup ke dalam semak belukar. Namun demikian, beberapa orang lainnya berhasil tertangkap, di antaranya Yusuf Amin, Imbong dan Jaret.
Adapun mereka yang ditangkap terdahulu, seperti Ali Saleh, Muhammad Syahri, Uray Abdul Rachman, Jusin, Soni, Munzili Nawawi dan A Samad Mustafa telah "dikirim" ke Penjara Cipinang, Jakarta. Selanjutnya pada 12 Oktober 1946, pimpinan Gerindom, M Arief Satok ditangkap kembali untuk keduakalinya. Ia langsung diperiksa oleh Kapten Ven der Schoors yang bertindak selaku Controleur Sambas.
Pada 11 November 1946, berdirilah sebuah organisasi baru dengan nama "Persatuan Muslimin Indonesia" disingkat Permi. Organisasi politik ini diketuai HM Siradj Sood dengan sekretarisnya Fahri Satok. Beberapa orang pengurus lainnya di antaranya Tan Mohamad Saleh, Naim A Razak, Raden Maryam dan Raden Amalia. Dua nama terakhir adalah putri dari sultan Kesultanan Sambas.
Sementara itu, penangkapan oleh tentara NICA-Belanda bukan hanya terjadi di Sambas. Penangkapan sejak meletusnya demonstrasi massal pada 27 Oktober 1945 terus berlanjut hingga ke Pemangkat dan Singkawang. Di Desa Semparuk, Pemangkat, para pemuda seperti Gazali Busri, Aminuddin, A Rani, Sairi dan lainnya mengadakan suatu perundingan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menghimpun pemuda lainnya untuk mengintai kembalinya Tentara NICA ke Pemangkat. Mereka merencanakan untuk melakukan sebuah sabotase di jalanan. Hingga waktu yang telah dimatangkan, konvoi tenrara NICA yang diintai belum juga muncul.
Akibatnya, Gazali Busri dan pemuda lainnya membubarkan diri. Namun sekitar setengah jam kemudian, konvoi tentara NICA yang ditunggu-tunggu sudah memasuki Pemangkat dan berhenti di Pasar Kampung Melayu. Gazali Busri yang hanya seorang diri datang mendekati kendaraan konvoi tentara NICA. Gazali terkejut, ketika dilihatnya dalam salah satu kendaraan telah ditawan sejumlah pemuda dari Sambas, seperti Uray Abdul Hamid yang telah tertangkap lebih dahulu. Para pemuda dari Sambas dan Pemangkat yang telah tertangkap itu oleh tentara NICA dimasukkan ke Penjara Kampung Sekip Lama.
Khawatir terhadap keselamatan para tawanan NICA tadi, para pemuda dan tokoh masyarakat Kampung Sekip Lama bermaksud mem¬bebaskan mereka. Mereka kemudian mendatangi Kepala Kampung Sekip Lama, Karmin Rakiyo. Dalam sebuah pertemuan dengan Karmin, dihadiri antara lain oleh tokoh masyarakat setempat HM Sood. Dalam pertemuan itu disepakati untuk menyerbu Penjara Sekip Lama, untuk membebaskan para tawanan tenrara NICA-Belanda.
Menjelang waktu Maghrib, Kepala Kampung Sekip Lama Karmin Rakiyo dan HM Sood serta Sarimin mengatur siasat. Sebelum rencana penyerbuan dilakukan, datang Kepala Polisi Singkawang, Bambang Tirtoredjo. Bambang menyarankan agar penyerbuan ke Penjara dibatalkan. Bambang menyetujui dan mendukung sepenuhnya rencana tersebut, hanya diingatkannya perlu untuk diingat dan dipikirkan, bahwa massa yang akan melakukan itu belum siap untuk berhadapan dengan tentara NICA yang memiliki senjata yang lengkap dan memadai. Nasihat Bambang itu diikuti para pemuda dan tokoh masyarakat. Penyerbuan ke penjara pun dibatalkan.
Namun demikian, rencana penyerbuan ke Penjara Sekip Lama oleh warga setempat telah diketahui tentara NICA. Bambang Tirtoredjo sendiri kemudian ditangkap dan diadili oleh Polisi Militer. Setelah mendapatkan penyiksaan berat, Bambang kemudian dikirim ke Penjara Sungai Jawi, Pontianak. Tentara NICA semakin memperketat pengawasan terhadap warga Kampung Sekip Lama. Demikian pula di Sambas, Singkawang, Pemangkat dan daerah sekitarnya.