MENELISIK RIWAYAT KERAJAAN KUBU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD *)
PENDAHULUAN
Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus (lahir Kamis malam 17 Ramadhan 1144 H—1732 M di Al Raidhah Trim Hadramaut Jazirah Arab Yaman Selatan) adalah peletak dasar berdirinya Kerajaan Kubu. Setelah melakukan pengembaraan di laut lepas, dalam rangka niaga dan syiar Islam, sampailah kemudian di Daerah Aliran Sungai Terentang, di muara Sungai Terentang sampai Pulau Bengah, sekarang. Belakangan di sinilah ia, beserta pengikutnya orang Bugis dan Melayu, membuka suatu kawasan pemukiman.
Kawasan hunian awal ini terletak di persimpangan tiga anak sungai, sekitar 1 Km hulu Sungai Terentang sekarang. Kawasan ini dibuka dan mulai ditempati dalam 1182 H (1768 M). Kawasan itu rawan perompak atau bajak laut atau lanun. Untuk itulah, Idrus merekayasa pemukiman itu dengan kubu atau benteng pertahanan. Oleh sebab itu, pemukiman baru yang resmi dibangun dan ditempati itu dinamakan dengan Kampung Kubu.
Dalam perkembangan kemudian, Kampung Kubu ini pada 1775 M menerima migrasi besar-besaran. Dan sejak itulah Kampung Kubu menjadi sebuah otonom lokal pada zamannya. Maka sejak itu pula diperkenalkan sebagai Negeri Kubu.
Raja Pertama (1775—1794)
Pertanda Kubu resmi sebagai Negeri Otonom di Borneo, 1775 M, dengan ditabalkannya Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus sebagai raja pertama Kubu bergelar Tuan Besar Raja Kubu. Bersamaan itu, dibangun pula Istana Raja Kubu, yang di atas bekas bangunan itu belakangan didirikan Masjid Raya sekarang. Saat ini penduduk Kubu sekitar 700 jiwa.
Dalam melaksanakan otonom negerinya, Idrus didampingi tiga orang rekannya sebagai menteri kerajaan. Masing-masing Sayid Hamzah Al Baraqbah, Sayid Ali As Shahabuddin dan Sekh Ahmad Faluga. Kesemuanya berasal dari Hadramaut.
Untuk meluaskan wilayah kekuasaan, dibuka beberapa perkampungan sebagai pemukiman baru, antara lain di Sungai Radak dan Sungai Kemuning. Kawasan ini oleh Tuan Kubu dijadikan tempat hunian masyarakat Melayu dan Dayak yang belakangan ikut menggabungkan diri sebagai rakyat di bawah kekuasaan Tuan Kubu.
Sekitar 14 tahun berkuasa, timbul silang sengketa antara Kubu dengan Siak Sri Indrapura. Mulanya pasukan Siak terpukul mundur. Tujuh bulan kemudian, ada upaya Siak menyerang Kubu kembali, namun berhasil dilumpuhkan rakyat Kubu di bawah Syarif Alwi bin Idrus Al Aydrus.
Suatu muslihat dilakukan orang Siak. Melalui penghianatan anak negeri Kubu sendiri, Ahad 26 Zulkaidah 1209 H (1794 M), saat shalat Subuh, Tuan Besar Raja Kubu Syarif Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus menemui ajalnya.
Semasa hidupnya Idrus, dari beberapa orang istri, dikaruniai 12 orang anak. Masing-masing: Syarifah Aisyah, Syarif Muhammad, Syarif Alwi, Syarif Abdurrahman (menikah dengan Syarif Aisyah, anak dari Syarif Abdurrahman Al Qadri Sultan pertama Pontianak dari istrinya Utin Tjindramidi anak dari Opu Daeng Menambun raja Mempawah), Syarif Abdul Hamid, Syarif Mustafa, Syarif Hasan, Syarif Zain, Syarif Hasyim, Syarif Husin, Syarif Saleh, dan Syarifah Fatimah
Raja Kedua (1794—1829)
Wafatnya Idrus, putra tertuanya Syarif Muhammad naik tahta bergelar Tuan Besar Raja Kubu Syarif Muhammad bin Idrus bin Abdurrahman Al Aydrus. Dalam memerintah ia didampingi tiga orang menteri kerajaan, masing-masing Sayid Husin Al Aydrus, Sayid Abdurrahman Al Aydrus dan Punggawa Pusini.
Saudara Muhammad yang bernama Syarif Alwi yang berjasa menghalau Siak, saat ini (1794) memisahkan diri dengan mendirikan negeri sendiri, Kerajaan Ambawang. Muhammad menikah dengan Syarifah Maimunah memperoleh anak bernama Syarifah Zubaidah yang kelak dinikahi Syarif Abdurrahman anak dari Syarif Alwi Raja Ambawang.
Pada masa ini Negeri Kubu mulai mekar. Hasil hutan melimpah. Para pendatang dari luar semakin banyak datang dan memilih menetap di Kubu. Di masa ini pula, Pulau Padang Tikar mulai dihuni para nelayan Melayu dan Bugis.
Dalam Nopember 1822 (1241 H) utusan Gubernur Jendral Belanda, Muller, mengunjungi Kubu. Berikutnya, 4 Juni 1823, Komisaris Borneo, Tobias, menyodorkan untuk pertama kali Korte Verklaring kepada Raja Kubu. Pada 1829 M (1248 H), Muhammad mangkat, setelah sekitar 40 tahun memerintah Kubu.
Raja Ketiga (1829—1841)
Muhammad digantikan putranya, Abdurrahman, bergelar Tuan Kubu. Memerintah dibantu tiga orang menteri kerajaan, masing-masing Syarif Thaha bin Muhammad Al Aydrus, Syarif Saleh bin Muhammad Al Aydrus dan Syarif Usman bin Alwi Al Aydrus.
Abdurrahman dikenal tegas dan berani. Di ibukota kerajaan, penduduk tersisa 30 jiwa. Wilayah kekuasaan Ambawang yang berbatasan dengan Kubu, mulai diusiknya. Intervensi kekuasaan otonom itu, antara lain, Kampung Sungai Pinang pada masa itu di Sungai Kapuas Punggur Kecil, dikuasai Syarif Thaha (Hitam) Al Aydrus.
Tuan Kubu ini juga berani memprotes keras isi Korte Verklaring yang dibuat Kubu dan Belanda 4 Juni 1823. Pemerintah Tinggi di Batavia menanggapi protes tersebut dan mengutus Wakil Komisi, de Lingie, ke Kubu. Pada 15 Mei 1835 terbit besluit mengenai status kekuasaan otonom Kubu. Belanda justru mempersempit ruang gerak otonom Kubu.
Di masa Abdurrahman, Ambawang diupayakan untuk disatukan kembali dengan Kubu. Pada 2 Februari 1841 (1260 H), Abdurrahman mangkat.
Raja Keempat (1841—1864)
Abdurrahman mangkat digantikan putranya Syarif Ismail. Ismail masih kanak-kanak, maka sebagai Pemangku Raja atau pelaksana harian diangkatlah Syarif Thaha, paman Ismail. Saat Ismail dinobatkan, ia disodori korte verklaring 28 Mei 1841. Intinya, Kubu berada di bawah kuasa Belanda sepenuhnya, dan Raja Kubu ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda. Saat bersamaan, Syarif Abdurrahman bin Alwi Al Aydrus dipindahkan ke Pontianak setelah sebelumnya meletakkan jabatan sebagai Raja Ambawang.
Di masa Ismail, pusat kerajaan dialihkan ke kiri Sungai Terentang. Ia didampingi dua orang menteri kerajaan, Syarif Thaha (Hitam) Al Aydrus dan Syarif Abubakar Al Aydrus. Ismail wafat 19 September 1864. Ia digantikan putra tertuanya Syarif Abdurrahman bin Ismail. Saat itu, Abdurrahman berada di Serawak Malaysia, maka pelaksana Kerajaan Kubu dijabat saudaranya yang bernama Syarif Hasan bin Ismail.
Raja Kelima (1866—1900)
Menanti kedatangan Abdurrahman yang berada di Serawak, pada saat itu Belanda mengangkat Syarif Hasan bin Ismail sebagai Pemangku Sementara Tuan Kubu pada 5 Maret 1866. Ia tidak menempati istana Kubu di kiri Sungai Terentang, namun berkantor di seberang istana ini. Didampingi dua orang menteri kerajaan, Haji Senen bin Hasan gelar Dato’ Kaya. Ketika Dato’ Kaya mangkat digantikan Syarif Agil bin Abdurrahman (saudaranya), serta Punggawa Enci’ Ahmad bin Pusini. Ahmad wafat digantikan Syarif Ali Al Qadri dan Syarif Hamdan Al Ba’bud.
Ketika akan dilantik, dalam perjalanan menuju Kubu dari Serawak, Abdurrahman wafat. Dengan demikian, pemangku Syarif Hasan dikukuhkan sebagai Tuan Kubu pada 27 Juni 1878 ditandai penandatangan Korte Verklaring kembali. Pada 21 Oktober 1880, melengkapi alat kekuasaannya di bidang keamanan di Kubu, Belanda menerbitkan Tambahan Korte Verklaring yang diperkuat Staatsblad 59 Tahun 1883.
Di masa Tuan Kubu Syarif Hasan bin Ismail, pada 1870, Syarif Ahmad bin Syarif Khalid bin Syarif Alwi Al Aydrus dari Ambawang, menimbulkan tuntutan mengenai status lanjut eksistensi Kerajaan Ambawang. Dalam 1866 M (1304 H) timbul pergolakan menentang kolonial Belanda yang ditujukan pada pemerintahan Kubu oleh Syarif Yasin bin Syarif Alwi Al Aydrus dari Ambawang. Yasin sejak semula bermukim di Serawak karena menentang Belanda dan menolak korte verklaring Kubu dan Belanda.
Yasin yang menyatakan didukung orang-orang Bugis, Melayu dan Dayak, mengibarkan bendera Inggris (EIC). Namun oleh sepasukan marsose Belanda, pergolakan ini dipatahkan. Kemudian setelah sebelumnya ditahan di Pontianak, Yasin dan pengikutnya diusir kembali ke Serawak. Di sana pula turun temurun Yasin menetap. Salah seorang turunannya, Tun Datok Tuanku Haji Bujang Al Aydrus pernah menjabat sebagai YT Gabnor Serawak.
Dalam 1887 M (1305 H) Parit Tanjung Bunga mulai dibuka dan dijadikan kawasan perkebunan kelapa yang luas. Pada 4 Nopember 1900 bersamaan 11 Rajab 1318 subuh, Tuan Kubu Syarif Hasan wafat. Saat ini Negeri Kubu dihuni sekitar 4000 jiwa penduduk.
Raja Keenam (1900—1911)
Wafatnya Syarif Hasan, putranya yang bernama Syarif Abbas, dinobatkan sebagai pengganti dengan persetujuan Pemerintah Tinggi Belanda, 8 Nopember 1900 (1318 H). Ia didampingi empat orang menteri kerajaan, masing-masing Syarif Abdullah bin Syarif Hasan, Syarif Yasin bin Syarif Hasan, Syarif Kasim bin Syarif Hasan (berkedudukan di Teluk Pakedai) dan Daeng Baso Dato’ Kaya.
Pada 1901 Kerajaan Kubu dihuni 4.637 jiwa penduduk dan 119 orang Tionghoa. Istana dipindahkan dari hulu Sungai Terentang ke kualanya di bagian hilir pada 7 Sya’ban 1322 H (1903 M). Sampai saat itu, Belanda tidak terlampau intervensi pada hasil bumi Kubu. Namun sejak terbit keputusan Residen Borneo Barat 4 Januari 1912 Nomor 111/13 , gerak pelaksanaan otonom Kubu semakin dijepit. Karena itulah, Abbas kemudian menyatakan mengundurkan diri. Saat itu penduduk Negeri Kubu sekitar 11.000 jiwa.
Raja Ketujuh (1911—1919)
Mengisi kekosongan tahta yang ditinggal Abbas, Syarif Zain bin Syarif Ismail, dipilih majelis kerajaan dengan mengantongi 22 suara, meneruskan tahta Tuan Kubu. Ia dilantik pada 26 September 1911 bergelar Tuan Kubu, menempati istana di Pematang Al Haddad yang belakangan dikenal dengan Kerta Mulia, sebuah perkampungan kecil di Tanjung Bunga daerah Telok Pakedai.
Zain disahkan oleh Residen Borneo Barat van der Risa, dikukuhkan Assisten Residen Kerr dan ditempatkannya Verlipper sebagai controleur di Sungai Kakap. Mendampingi Zain, diangkat sejumlah 4 orang menteri kerajaan, masing-masing Syarif Agil bin Zain (Kepala Distrik Telok Pakedai), Sayid Ali Al Habsyi (Penghulu Agama), Syarif Abubakar (Kepala Kampung Telok Pakedai dan Kerta Mulia) dan Syarif Yahya bin Zain (Kepala Distrik Padang Tikar).
Sampai 1912, penduduk Kubu tersisa sekitar 8.000 jiwa. Sebagian besar penduduk semula pindah ke daerah lain di luar Negeri Kubu. Mereka merasa tertekan oleh berbagai pajak yang diberlakukan oleh para menteri kerajaan yang diberi kewenangan untuk menarik pajak, berupa cukai dan blasting.
Dalam 1917, Agil bin Zain diberhentikan dari jabatannya digantikan Kasimin Mantri Polisi dari Pontianak berkedudukan di Telok Pakedai selaku Kepala Distrik. Pada 1919 Syarif Yahya wafat, digantikan Syarif Saleh bin Idrus Al Aydrus berkedudukan di Padang Tikar. Pda 1919 itu pula, Tuan Kubu Syarif Zain berhenti dari kedudukannya oleh putusan Gubernur Jendral Belanda 29 Agustus 1919 dan memperoleh hak pensiun sejak 15 Juni 1921.
Untuk mengisi kekosongan tahta Raja Kubu, dengan persetujuan pemerintah Belanda di Batavia, 23 Oktober 1919 dibentuk Majelis Kerajaan (Bestuurscommissie) Kubu, terdiri dari Syarif Saleh bin Idrus (Kepala Distrik Padang Tikar) dan Kasimin (Kepala Distrik Telok Pakedai). Dikarenakan sesuatu sebab hukum, Kasimin kemudian diberhentikan Belanda.
Raja Kedelapan (1919—1944)
Dengan diberhentikannya Kasimin selaku Bestuurscommisie, maka lembaga ini menyisakan Syarif Saleh Al Aydrus sendiri. Saleh, salah seorang ahli waris Kerajaan Ambawang, pada 7 Februari 1922 dinobatkan sebagai Wakil Kepala pemerintahan Kerajaan Kubu bergelar Tuan Kubu di mana sebelumnya berdasarkan Korte Verklaring 3 September 1921 ditetapkan sebagai Wd Zelfbestuurder (Wakil Kepala Pemerintah) Kerajaan Kubu.
Masa pemerintahan Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus bin Idrus bin Abdurrahman bin Alwi bin Idrus Al Aydrus (turunan penguasa Ambawang) Kerajaan Kubu dibagi dalam 3 Onder Distrik. Masing-masing Telok Pakedai (dikepalai Saidi bin Said), Batu Ampar (Burhanuddin) dan Kubu (Syarif Ahmad bin Syarif Saleh Al Aydrus).
Belakangan Onder Distrik Kubu dipimpin Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus sejak 1 Agustus 1942, sejak Ahmad ditetapkan sebagai Raja Muda Kubu. Namun 1 Maret 1943, Yusuf meletakkan jabatannya. Pada 20 Februari 1944, Tuan Kubu (Dokoh) Syarif Saleh diciduk balatentara pendudukan Jepang. Keesokan harinya, 21 Februari, Raja Muda Kubu Ahmad, juga diciduk menyusul ayahnya. Maka kemudian barulah diketahui, pada 28 Juni 1944, bersama pemuka Kalimantan Barat lainnya, Tuan Kubu Saleh dan Raja Muda Ahmad, termasuk korban pembantaian Jepang.
Bunken Kanrikan Kubu ketika itu dijabat Nakamura. Sejak awal pendudukan, ia tidak sebagaimana balatentara Jepang lainnya. Sikapnya yang bersahabat dan bersimpati pada rakyat, menyebabkan ia dipersalahkan pemerintah militernya. Nakamura belakangan melakukan hara-kiri sebagai protes atas kekejaman Jepang di Kalimantan Barat.
Syarif Saleh Al Aydrus lahir di Ambawang Kubu Rabu 11 Zulhijjah 1300 H bersamaan 14 Juli 1883. Ibunya Syarifah Seha binti Syarif Umar Al Baraqbah. Wafat 7 Rajab 1363 H bersamaan 28 Juni 1944 akibat kekejaman balatentara Jepang di masa Perang Dunia II. Tentang itu diwartakan Borneo Shimbun 1 Juli 1944 dan Parket v/d Auditeur Militair Pontianak 27 Desember 1947 Nomor 2784/1 yang ditandatangani Mr AH Bosscher.
Semasa hidupnya didampingi 4 orang istri. Masing-masing 1). Syarifah Telaha binti Tuan Kubu Syarif Hasan Al Aydrus (Raja Kubu Kelima) dikaruniai 3 anak, yaitu Syarif Husin, Syarif Abdurrahman dan Syarif Abubakar. 2). Enci’ Rahmah binti Bujang, mendapatkan 3 anak, yaitu Syarif Ahmad (1914—1944, korban keganasan Jepang), Syarifah Aisyah (bersuami Syarif Yusuf bin Said Al Qadri Patih Suri Negara Kubu), dan Syarif Usman. 3). Raden Ning binti Muhammad Syarif dikaruniai seorang anak Syarifah Chadidjah, dan 4). Daeng Leha binti Dalek, tidak beranak.
Masa Transisi
Wafatnya Tuan Kubu Syarif Saleh (1944) beserta putranya Syarif Ahmad, maka kemudian Bunken Kanrikan menunjuk Syarif Yusuf bin Said Al Qadri, menantu Syarif Saleh, sebagai Gi Tyo pada Kubu Zitiryo Hyogikai (semacam Bestuurscommissie masa sebelum pendudukan Jepang). Mulanya Yusuf tidak didampingi anggota lainnya menyandang kedudukan tersebut. Namun kemudian Bunken Kanrikan menetapkan 2 orang anggota mendampingi Yusuf Al Qadri, masing-masing Syarif Jaafar Al Aydrus (Bujang) mantan Controleur Padang Tikar, dan Syarif Hasan bin Zain Al Aydrus (saat itu pagawai kantor Sutiji Tyo di Pontianak).
Setelah kemerdekaan Indonesia, dan revolusi pemuda republikein bergolak di mana-mana, tak terkecuali semangat itu sampai pula di wilayah Kubu. Dalam Nopember 1945 serombongan militer NICA berkunjung ke Kubu. Dipimpin Kapten Hoskstra disertai Wedana Politie Madsaleh mereka mendatangi Istana Kubu. Di sana mereka diterima putra tertua Tuan Kubu yang telah mangkat, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus. Olehnya, Husin selaku pewaris Kubu diminta ke Pontianak untuk menghadap Sultan Hamid II.
Pada 1946, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus menghadap Sultan Pontianak Hamid II. Dengan persetujuan pemerintah NICA, masa transisi pemerintahan pasca kemerdekaan, berakhirnya masa Kubu Zitiryo Hyogikai pada 28 Februari 1946, maka pada 1 Maret 1946 dibentuk Bestuurscommissie Kubu, terdiri dari Syarif Hasan bin Zain (Ketua merangkap anggota), Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus (anggota). Sejak 1 Juni 1946 ditempatkan pula seorang berkebangsaan Indonesia untuk kedudukan Onderafdeelingschef (OAC) sebagaimana dulunya controleur ataupun gezaghebber.
Seterusnya, Yusuf atas permintaan sendiri sejak 1 Maret 1949 pindah ke Pontianak dan bekerja pada kantor Polisi Umum. Dengan begitu, Bestuurcommissie Kubu tinggal seorang, Syarif Hasan Al Aydrus. Namun kemudian Hasan diberhentikan dari kedudukannya karena tersangkut masalah hukum. Dengan demikian, sejak itu pula kekuasaan Kerajaan Kubu ditangani oleh OAC. Dan dalam perkembangan kemudian, Kubu berstatus kewedanaan pada 1958, dan sejumlah onder distrik di dalamnya menjadi kecamatan, yang kemudiannya masuk dalam administratif Kabupaten Pontianak.
KERAJAAN AMBAWANG
Wafatnya Tuan Kubu pertama Syarif Idrus (1794) digantikan putranya Syarif Muhammad. Pada saat itu pula, saat Muhammad naik tahta, Kerajaan Ambawang ditabalkan. Raja pertamanya Syarif Alwi, ia mendirikan pusat kekuasaan di Kampung Pasir Putih, di kaki Gunung Ambawang, dibantu menteri kerajaan Sekh Ahmad Yamani. Penduduknya di saat berdiri tersebut sejumlah sekitar 2000 jiwa. Kebanyakan orang Bugis dan Melayu. Pada 4 Juni 1823, Belanda menyodorkan Korte Verklaring ke Ambawang, sebagaimana di Kubu.
Setelah 39 tahun bertahta, pada 1833 Alwi wafat. Ia kemudian digantikan putranya Syarif Khalid yang bertahta 1833—1837, dibantu menteri kerajaan Syarif Abdurrahman bin Alwi Al Aydrus. Di masa ini dibuka sejumlah kawasan pemukiman baru mulai dari Telok Penyengat yang dihuni orang Melayu dari Negeri Perak Malaysia dipimpin Enci’ Kedai. Belakangan kawasan ini dikenal dengan Telok Enci’ Kedai atau Telok Pakedai. Demikian pula Tanjung Kuala Selat Remis yang dibuka masyarakat dari Bugis. Di Selat Remis, dibuka perkampungan yang dipimpin Syarif Zain putra Syarif Khalid.
Begitu pula Pematang Mas yang dikepalai To’ Anduk hingga Pematang Mak Leha dan Pematang Al Haddad. Istana Kerajaan Ambawang di sebelah kanan Sungai Kapuas Ambawang yang sekarang dinamakan Pematang Wan Khalid. Putra Syarif Khalid yang bernama Syarif Ahmad memimpin Parit Langgar, sedangkan putranya Abdurrahman menetap di Pontianak. Dalam 1837 Khalid wafat di Betawi. Ia dimakamkan di Parit Makam Sungai Bemban. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Kerajaan Ambawang dan disatukan kembali ke Kubu
DIASPORA KAUM HADRAMI
Orang Hadramaut, sebagaimana juga cikal-bakal peletak dasar Negeri Kubu kemudian, mulai merantau dalam jumlah yang besar di akhir abad XVIII karena keadaan politik di Hadramaut yang semakin tidak menentu. Mereka pergi ke daerah-daerah di sekeliling samudera Hindia, India, di Gujarat, Deccan dan Malabar, Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Melayu dan Nusantara-Indonesia, serta kawasan pantai Afrika Timur. Perantauan ini membentuk sebuah diaspora. Arus perantauan ke daerah-daerah itu berlangsung sampai dengan pertengahan abad XX.
Pada umumnya orang Hadramaut masuk ke wilayah-wilayah di mana penduduknya memeluk agama Islam madzhab Shafii, sama seperti agama yang mereka anut. Hal itu terjadi hampir di semua wilayah Indonesia, tak terkecuali Kubu dan Pontianak (serta Matan) kemudian.
Kebanyakan orang Hadramaut itu aktif di dunia bisnis, Oleh karena itu mereka juga sering disebut trading atau entrepreneurial minority. Mereka cukup berhasil di bidang perdagangan, meskipun pemerintah kolonial Belanda mempunyai kebijakan yang diskriminatif terhadap keturunan Hadramaut ini. Mereka tidak diperbolehkan menetap di Nusantara, kecuali di pemukiman tertentu yang telah disediakan pemerintah kolonial, yaitu Kampung Arab. Selanjutnya, orang-orang perantau itu harus minta izin dari birokrat Belanda jika hendak meninggalkan kota tempat tinggalnya. Kebijakan itu kemudian dihapus pada 1919.
Masyarakat Hadramaut (baca: Hadrami) mempunyai stratifikasi sosial yang hirarkis. Meskipun ada variasi pada tingkat lokal di Hadramaut, pada umumnya kelompok sada (singular sayyid) menduduki posisi paling atas dalam masyarakat tersebut. Kaum sada sendiri bermigrasi dari Basra ke Hadramaut pada abad IX M. Mereka sering disebut Alawiyin atau Ba’ Alwi, terutama di Indonesia.
Hegemoni mereka didasarkan pada klaim genealogis bahwa mereka adalah keturunan Rasulullah Muhammad SAW. Para Alawiyin mempunyai sistem kekerabatan yang patrilinier, seperti orang Arab pada umumnya dan mereka mengenal endogami yang ketat, sehingga hanya laki-laki yang diizinkan untuk menikah ke luar kelompoknya. Meskipun pernikahan seperti ini dulunya juga tidak begitu dihargai.
Para tokoh Alawiyin yang juga disebut habib (jamak: habbaib), adalah orang terpelajar dan terpandang dalam hal keagamaan. Mereka berperan pula sebagai penengah apabila terjadi konflik antara suku-suku di Hadramaut. Makam para tokoh Alawiyin sering dijadikan tempat berziarah dan setahun sekali diadakan upacara haul, yaitu peringatan saat meninggalnya habib itu. Selain haul ada satu upacara keagamaan lain yang cukup penting bagi kaum Alawiyin yaitu maulid, peringatan hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW.
Ada beberapa tanda yang membedakan para Alawiyin dengan kelompok lain di Hadramaut. Dulu para Alawiyin menggunakan gelar sayyid di depan nama mereka. Selain itu orang Hadramaut dari kelompok lain diharapkan mencium tangan para Alawiyin sebagai tanda hormat ketika bersalaman. Singkat kata, uraian tentang kelompok Alawiyin tersebut di atas sudah menunjukkan, stratifikasi sosial di Hadramaut berakar pada dua hal, saling terkait yaitu genealogi dan agama..
Mulanya, hampir semua perantau adalah laki-laki yang biasanya menikah dengan perempuan sesama turunan Hadramaut di perantauan, atau dengan perempuan lokal, sebagian dari mereka bahkan menikah dengan putri keluarga feodal setempat. Meskipun terjadi pernikahan antaretnis, para keturunan Hadramaut tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang Arab dengan menikahkan anak-anak mereka, terutama anak perempuan, dengan sesama keturunan Hadramaut, baik yang sudah lama menetap di daerah maupun pendatang baru dari Hadramaut.
Dengan demikian, cukup banyak dari golongan ini yang melupakan bahasa Arabnya, meskipun identitas mereka sebagai orang Arab asal Hadramaut tidak hilang. Sebuah sumber menjelaskan: “… Hadhramis in the diaspora had for centuries married into East African, South Indian and Malay-Indonesian communities without loosing the sense of Hadhrami indentity, because such identity was neither national nor ethnic, but was based on kinship. The locus of Hadhrami identity was not so much language but nasab (lineage)”.
TIPOLOGI NEGERI KUBU
Tidak ada catatan yang pasti mengenai awal mula Kerajaan Kubu. Dari tradisi lisan diketahui bahwa kehidupan di muara Sungai Kubu (baca: Ola-ola Kubu) itu diawali oleh para pendatang yang kemudian menyebar ke beberapa tempat di sekitarnya. Pendatang tersebut berasal dari Negeri Arab. Ia yang belakangan dikenal sebagai Tuan Kubu Syarif Idrus Al Aydrus bersama kerabat dan keturunannya mendirikan (dan menjalankan) pemerintahan dalam bentuk kerajaan di sana.
Bertalian dengan keadaan alamnya yang berurat nadi pada aliran sungai, suatu tipologi yang trikotomi dapat diajukan. Tipologi itu adalah penguasa, perompak, dan orang sungai. Ketiga kelompok (varian) ini menggantungkan kehidupannya pada sungai dan jaringannya. Sungai tidak banyak memberikan sumber daya hayati sebagaimana laut, namun sungai memiliki arti (fungsi) penting dalam komunikasi, terutama antara hilir dan hulu atau pedalaman dan pesisir.
Pernah diajukan suatu model fungsional antara kedua kawasan itu dalam upaya menjelaskan naik turunnya suatu emporium—kerajaan pesisir yang bertumpu pada perdagangan dengan pihak pendatang atau luar—dengan daerah belakang penyokongnya. Itu mengisyaratkan suatu topografi wilayah yang memiliki banyak percabangan sungai membentang dari pesisir hingga ke pedalaman. Secara terbatas, kerangka ini pernah digunakan untuk menjelaskan tentang keadaan dan perkembangan ekonomi perdagangan Kerajaan Majapahit.
Sejalan dengan pemikiran Masyarakat Hidraulis, penguasaan atas muara dan aliran sungai menjadi penting dalam kehidupan masyarakat di pedalaman. Sedianya kelompok yang mengklaim daerah seperti itu sebagai batasan kekuasaannya menuntut kompensasi tertentu atas penggunaannya. Umumnya mereka mengenakan suatu pungutan (tol) terhadap penggunanya dan keharusan bertransaksi dengan mereka.
Kekuatan adalah tumpuan dari tindakan tersebut. Selanjutnya, dalam prosesnya, apabila klaim itu diakui oleh kelompok lainnya, akan muncul suatu penguasa sungai. Dengan legitimasi sacral dan cultural terbentuklah kemudian sebuah kerajaan sungai.
Meski Kerajaan Kubu berada terpencil dan sukar terjangkau oleh sarana transfortasi pada zaman itu, namun kolonial Belanda tak membiarkan otonom feodal lokal pada zamannya ini lepas dari cengkeramannya. Suatu ekspedisi yang dipimpin Tengku Akil dari Siak, di mana kelaknya Akil mengacaukan Sukadana dan berhasil mendirikan dinastinya sebagai penguasa di sana, mendatangi Kubu. Raja dan rakyat Kubu yang menentang dan menolak keras untuk tunduk kepada kolonial Belanda, melakukan perlawanan. Sekalipun dalam skala tak memadai.
Benteng pertahanan Kubu sukar ditembus. Namun, adanya pengkhianatan rakyat setempat, saat raja Kubu ini tengah shalat Subuh, pusat kerajaannya diserbu pasukan Tengku Akil. Dan dalam suatu perlawanan, Idrus menemui ajalnya tewas di tangan para penyerangnya. Musibah itu menggoncangkan jalannya pertumbuhan awal kerajaan ini dalam eksistensi selanjutnya.
DOKUMEN TEMPO DOELOE
Mengutip Hikayat Siak yang penulisannya dengan diberikan keterangan ”...Dan yang menyurat Sejarah Melayu (Hikayat Siak) ini, Tengku Said, disuruh Tuan Fandarwola, Esti Residen Komisi di dalam Sikudana (Sukadana), kepada tarikh 1272, kepada dua puluh tiga dari bulan Syafar, hari Ahad, bermula menyuratnya, adanya. Dan sudahnya, kepada delapan hari bulan Rabiulakhir, hari Isnin, tamatnya. Yang menyalin ini Muhammad Nuruddin Acheh, pada sebelas bulan Zulhijah, kepada hari Sabtu. Tamat pada Sanat 1310, Betawi” (24 Jun 1893)
Kutipan selengkapnya: ”...Syahdan, tersebutlah perkataan Yamtuan Muda, sampailah di Kubu, mendapatkan Tuan Besar Idrus dan Sayyid Muhammad. Dan baginda bicara, hendak mintak meriam kepada Datuk Demang, dan meriam itu Sayyid Ali yang punya. Akan Sayyid Muhammad, memberikan meriam itu, lalu diambil Yamtuan Muda, dinaikkan ke perahu. Dan Sayyid Husain pun mendapatkan Tuan Besar. Dan Tuan Besar marah, dan lalu mengumpulkan orang, mufakat, mengatakan, ”Tiada patut meriam itu diberikan kepada musuh Sayyid Ali, kerana malu kepada Tuan Besar”. Demikianlah kata Sayyid Husain, mengadu. Sebab itulah, maka Tuan Besar, setelah putuslah mufakat, hendak membuat Yamtuan Muda. Maka lalu dipanggil Tuan Besar akan baginda. Maka Yamtuan Muda pun naiklah ke darat. Lima orang yang mengikut, pertama si Mak Ulut, dan si Utus dan si Husain dan si Rasu. Dan serta naik, bertemu dengan Tuan Besar”.
”Maka Tuan Besar pun marah kepada baginda, ”Mengapa Raja Muda berani mengambil meriam, tiada memberitahu tuan!” Dan jawab baginda, ”Sebab maka sahaya berani mengambil, kerana sudah sahaya mintak kepada Abang Sayyid Muhammad, dia sudah memberi kepada sahaya”.
”Maka kata Tuan Besar, ”Muhammad, raja (Raja Muhammad) di dalam negeri Kubu ini. Dan mudikkan perahu itu, dan naikkan meriam itu”. Maka kata Yamtuan Muda, ”Jangan sahaya diberi malu, baiklah Abang Sayyid Muhammad (di)panggil ke mari”. Dan Tuan Besar pun marah, menyuruh memanggil Sayyid Muhammad. Dan Sayyid Husain berdiri, lalu mencabut tombak, menikam baginda, kena belakang baginda, tiada lut. Dan baginda pun mencabut keris, lalu mengamuk, dan Sayyid Husain terjun ke tanah. Dan orang pun datang menikam. Semuanya menikam baginda. Dan si Rasu pun mati, dan si Husain pun luka perut, dan lalu turun ke perahu. Dan Panglima Utus pun mati”.
”Dan Tuan Besar pun keluar, melarangkan jangan berkalhi. Dan Encik Amat pun hendak menikam Tuan Besar, tiada diberi oleh baginda. Dan Yamtuan Muda pun luka tangan. Maka tercampaklah keris baginda. Dan si Mak Ulut pun banyak lukanya, dan lalu ia naik ke rumah Tuan Besar, lalu masuk ke dalam bilik, menikam Tuan Besar. Maka Tuan Besar pun wafat. Dan si Mak Ulut pun ke perahu, dan kata Encik Amat, ”Baiklah tuanku di belakang patik”. Dan Encik Amat pun berteriakkan, ”Amuk!” Dan orang banyak pun lari. Dan kota Tuan Besar pun roboh, ditempuh orang yang lari itu. Bermula beramuk itu pukul delapan, sampai waktu zuhur”.
”Dan serta orang sudah lari, maka baginda pun mendapatkan perahu, mintak senjata. Lalu dipersembahkan senjata kepada baginda. Setelah baginda beroleh senjata, niat baginda hendak mengamuk kota Sayyid Muhammad, mengajak Encik Amat. Baginda pun berjalan, mendapatkan kota Sayyid Muhammad dan Encik Amat berdatang sembah, ”Hendak ke mana tuanku ini?” dan titah baginda, ”Aku hendak mengamuk kota Sayyid Muhammad”. Dan kata Encik Amat, ”Patik sudah luka tangan kaki, tiada boleh berkuat lagi, tuanku”. Maka titah baginda, ”Bagaimana kita hendak berbalik ke perahu? Orang sudah datang mengikut kita dari belakang” Dan baginda pun berenanglah mendapatkan perahu. Dan datanglah tikam orang dari seberang menyemberang. Maka kenalah tombak paha baginda, dan lalu luka paha baginda”.
Sebuah sumber Belanda, PJ Veth, menuliskan: ”In het jaar 1829 stierf ook de de Heer van Koeboe, Sjerief Mohammed, die, onder goedkeuring van het Gouvernement, door zijn zoon Sjerief Abdoerrahman werd opgevolgd. De overleden vorst liet Koeboe in bloeijenden toestand achter, doch de knevelarijen en afpersingen van zijn opvolger gaven welhaast aanleiding tot het verloopen der bevolking, die grootendeels naar Pontianak verhuisde. Het diirde echter tot 1837 eer het Gouvernement zich weder regtstreeks met de verwarde zaken in dit gedeelte van Borneo bemoeide (Aanteekeningen van den heer van de Velde (HS)”
STRUKTUR POLITIK KERAJAAN
Kekuasaan dalam Kerajaan Kubu berpusat pada raja dan keluarganya disebut juga sebagai bangsawan. Penguasa kerajaan menggunakan gelar Tuan Kubu (semacam Panembahan). Para bangsawan kerabatnya menyandang gelar syarif atau wan. Mereka mengisi lapisan sosial teratas di kerajaan itu, dengan kedudukan sebagai Mangkubumi, Raja Muda, Menteri Besar, Menteri Kerajaan, Kepala Parit, Penguasa Kuala atau Kepala Kampung, Penggawa dan Patih atau Juru Tulis Raja.
Pelapisan selanjutnya adalah orang Merdeka yang meliputi penduduk biasa yang tidak terikat pada bentuk penghambaan. Secara etnis mereka tergolong pada kelompok Melayu. Mereka adalah warga kerajaan dan menempati jabatan pemerintahan tertentu. Kebanyakan mereka menjabat kedudukan menteri yang berada di bawah seorang bangsawan. Gelar yang digunakan yang menonjol adalah Kepala Kampung. Kelompok etnis Melayu tinggal di perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh seorang kepala kampung ini, yang biasanya seorang bangsawan.
Kemudian adalah kedudukan Hamba. Mereka yang terikat pada suatu kewajiban-kewajiban tertentu terhadap seorang Tuan, terutama kepada raja atau panembahan atau Tuan Kubu dan bangsawan. Sebagian besar mereka adalah kawula kerajaan yang berasal dari kelompok Dayak. Pada etnis Dayak dikenal dua golongan penduduk, yaitu Orang Merdeka dan Budak. Golongan yang pertama terpilah menjadi dua pelapisan sebagai Temenggung dan Demong.
Temenggung adalah golongan tinggi, kaya dan dipandang sebagai bangsawan yang memiliki garis keturunan langsung dengan kosmis. Mereka memiliki perlambang atau pusaka-pusaka yang berbalut erat dengan unsur-unsur sakral, seperti tempayan, gong atau tombak dan senenan. Mereka adalah pemimpin dalam puak-puaknya. Kelompok kedua atau Demong adalah golongan bawahan atau kalangan bersahaja. Hanya segelintir dari mereka yang dapat menduduki jabatan sebagaimana dimiliki tersebut.
Dalam perkembangannya, penduduk Kerajaan Kubu mengenal kelompok pendatang lainnya seperti Cina, yang umumnya bergerak dalam penambangan emas dan perkebunan, Banjar dan Bugis yang menjalankan roda perdagangan, dan Arab. Mereka tinggal dalam perkampungan. Kelompok Banjar dan Bugis mulanya tidak tinggal menetap karena kegiatan perdagangannya. Jumlah mereka cukup banyak dan tersebar.
Mengutip sebuah sumber tempo doeloe, dijelaskan, di kalangan orang Bugis pula, termasuk yang datang dari Wajo dan orang yang datang dari Sumbawa, mereka tinggal di pesisir pantai, dan merekalah yang menguasai kebun ladang. Orang Bugis tinggal berkelompok sesama mereka, membuat kampung dengan susunan perumahan yang berlapis-lapis.
Bilangan mereka sangat banyak. Disebutkan mereka memenuhi jajahan laut, dan kalau terjadi peperangan, orang Bugis inilah yang lebih dulu berperang. Di rawa-rawa yang asalnya tumbuh nipah, bakau, api-api dan perepak, yang membentang dari Mempawah di barat laut hingga ke Padang Tikar di tenggara, semuanya sudah menjadi ladang kelapa orang Bugis. Hasil kelapa dari orang Bugis ini disebutkan sangat banyak, dan ini juga jadi hasil pungutan cukai untuk Tuan Kubu.
Seorang panembahan atau Tuan Kubu atau Raja dipilih berdasarkan musyawarah seluruh elit kerajaan. Biasanya suksesi dilaksanakan berdasarkan garis keturunan dan anak lelaki tertua (primogeniture). Apabila sang penguasa tidak memiliki putra (mahkota), maka saudara lelakinya akan naik tahta. Namun, kesemua itu berdasarkan pertemuan kerabat kerajaan.
Para bangsawan itu bertempat tinggal di muara sungai dan membangun suatu kekuasaan bersama kawulanya. Mereka mengenakan pungutan terhadap penduduk yang melintas aliran atau muara sungai yang berada di bawah kekuasaannya. Pada waktu-waktu tertentu mereka berkumpul di Kubu, sebagai pusat kendali politik untuk melaksanakan ritual kerajaan. Pada kesempatan itulah segala permasalahan yang timbul, baik yang berasal dari dalam atau di antara mereka maupun yang datang dari luar sebagai ancaman, diperbincangkan. Pada saat itu pula para bawahan kerajaan (kawula), yakni kelompok Dayak, menggelar seserahan (upeti) sebagai bukti atau tanda kesetiaannya dan imbalan atas perlindungan yang diberikan kerajaan.
Sumber konflik umumnya menyangkut masalah sumber daya ekonomi, perebutan cacah (kawula) Dayak, dan konsesi lainnya. Selain itu, perselisihan terkadang muncul dalam konteks pernikahan antarketurunan penguasa atau para bangsawan kerajaan. Mereka berperang di aliran sungai, menggunakan perahu-perahu, menyerang atau bertahan dari serbuan. Kemudian intervensi dari luar dengan kepentingan di abad ke 19 mengubah keadaan hingga memunculkan suatu gejolak, yang dikenal dalam penyebutan setempat sebagai Perang Kubu.
INTERVENSI KOLONIAL BELANDA
Sejarah awal Kubu sebelum kedatangan bangsa Arab (Islam) dan Barat (Belanda) tidak dapat disingkap dengan pasti. Sumber yang tersedia hanyalah berupa cerita rakyat dan silsilah. Dari sumber-sumber seperti itu muncul indikasi mengenai interaksi Kubu dengan pengaruh luar yang datang. Pemakaian gelar penguasa-penguasanya memperlihatkan adanya pengaruh Arab (Islam) atau Timur Tengah. Pengaruh Arab tampaknya berasal dari Timur Tengah (Hadramaut), antara lain ketika pengaruh dan persebaran Islam meluas ke pelosok Nusantara, sementara pengaruh Islam itu tiba bersama-sama dengan budaya Melayu.
Kekuatan Belanda datang ke Kubu melalui kroninya Tengku Akil dari Siak (yang kelaknya intervensi pula di Sukadana dan menjadi penguasa di sana). sebelumnya kekuasaanya Belanda telah merambah ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Pontianak di muara Sungai Kapuas pada pesisir Laut Cina Selatan. Kubu kerap muncul dalam perjanjian-perjanjian antara kedua kerajaan setempat itu dengan Belanda. Kubu mengakui kekuasaan Sultan Pontianak sebagai patronnya dalam nuansa hubungan patron dan klien (patronclient relationship).
Ketika kerajaan sedang diliputi awan kedukaan sehubungan mangkatnya sang penguasa dan Tuan Kubu pertama Syarif Idrus Alaydrus, delegasi Belanda pun tiba dari Pontianak. Mereka bersama sejumlah pasukan bersenjata, mereka sedang melakukan kunjungan peninjauan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di sepanjang Sungai kapuas di pedalaman Kalimantan Barat. Pihak Kerajaan Kubu menyambut kunjungan itu yang kemudian berakhir dengan disepakatinya suatu perjanjian sementara antara kedua belah pihak, korte verklaring, di mana Kubu diwakili Syarif Muhammad bin Idrus Alaydrus yang seketika menggantikan ayahnya.
Menurut sumber Belanda, perjanjian itu menyatakan pengakuan Kerajaan Kubu akan kekuasaan pemerintah Belanda: pernyataan tidak akan mengadakan perjanjian dengan kekuatan lainnya, campur tangan Belanda dalam mengangkat penguasa pengganti, dan penunjukkan seorang putra mahkota. Setelah itu, rombongan Belanda melanjutkan kembali perjalanan mereka.
Menelisik masa silamnya, kenyataan yang ada pada dua abad sebelum sekarang, ternyata Kubu (dalam hal ini melingkupi seluruh kawasan Kubu Raya sekarang), sudah sangat diperhitungkan oleh kolonial Belanda. Ini jelas lantaran potensi sumber daya yang dimilikinya. Sebagaimana termaktub dalam dokumen (terbatas) Belanda, dalam Borneo Wester Afdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch, PJ Veth, 1854 halaman: 7—12, menyangkut Kubu, antara kain menjelaskan:
” ... Al het overige wordt gerekend tot het rijk van Pontianak, van hetwelk zich echter de kleine staat van Koeboe onder een eigen hoofd heeft afgezonderd. Eenige Maleische en Arabische familien van Pontianak hebben namelijk eene negerie gesticht aan de rivier Terentang, waaraan zij den naam van Koeboe, d.i. vershansing, hebben gegeven, en vershaffen zich hier het levensonderhoud door landbouw, visscherij, kleinen handel, vooral met Pontianak, en het aanbouwen van vaartuigen. Hun opperhofd is een Sjerief, die met den Vorst van Pontianak door banden van bloedverwantschaap verbonden is. Deze ….. despot voert, volgens den heer van Lijnden, den scepter ….. 528 zielen, waaronder 25 Chinezen, terwijl zijne hoofdplaats niet minder dan 10 huizen telt.
Ik moet hierbij echter opmerken, dat deze opgave, gelijk doorgaans die van den heer van Lijnden, zeer laag gesteld is, en sommige schrijvers de bevolking van Koeboe tot wel 2000 zielen, waaronder 150 Chinezen, doen opklimmen. Onder deze bevolking behooren ook de visschers van Dapong, een verzameling van 8 of 9 huizen ten Noorden der Padang Tikar river. Een soortgelijk staatje als Koeboe was voormaals Membawang, meer noordwaarts, tusschen de Poenggoer en de Oelah, met eene negerie aan laatstgenoemde, gelegen, en de Sjerief, die daar in 1822 het gezag voerde, was een broeder van dien van Koeboe.
Sedert is deze staat van de kaarten verdwenen en naar het schijnt met dien van Koeboe versmolten, zoodat dit laatste gerekend wordt zich langs de kust over al de eilanden, door de mondingen de Kapoeas van de Poenggoer tot aan de Majah gevormd, uit te strekken. Ik merkte echter reeds op, dat Simpang zich het zuidelijk deel van dit gebied toeeigent, inderdaad is het niet wel mogelijken van weinig belang, door deze onbewoonde, met ondoordringbare vegetatie overdekte moerassen grenzen te trekken, en natuurlijk geldt dit ook ten volle van de grens, die Koeboe in het binnenland van Pontianak en Simpang scheidt.
De bovenlandsche vorsten rekenen de belangrijkheid van hun gebied niet naar de uitgestrektheid van het terrein, maar naar het aantal Dajaks, dat hun gehoorzaamt, en antwoorden op de vraag naar de hoegrootheid van hun rijk alleen door de opsomming der rivieren, welker oevers door Dajaks bewoond zijn. Daar nu in de geheele Delta naauw een honderdtal Dajaks, en nog wel in het gebied van Pontianak, woont, is het schier om het even of men met sommigen de Dawah, dan met anderen de Batoe Ampar en Simpang Lidah als oostelijke grens van Koeboe tegen Simpang aanneemt.
De kust is in het gebied van Koeboe overal met nipa en rhizophoren (kajoe api), hier en daar op zandige plekken ook met de casuarina litorea (arrau of roe boom) en de naga, eene soort van ijzerhout, omzoomd, de bosschen bevatten kajoe gahroe, kajoe lakka en een overvloed van ebbenhout, terwijl er zich nu en dan eenige zwervers vertoonen, die honig, was en rotan komen ingaren. Het strand is schier overal laag, ofschoon men hier en daar in de rigting van het Zuidoosten naar het Noordwesten kleine ophoogingen van den grond bespeurt, die vroeger eilandjes waren, maar door aanslibbing met den vasten wal vereenigd zijn.
Zulk een eiland was eenmal ook de heuvel Bawang of Membawang, nabij den riviermond van denzelfden naam, die zich in dezelfde rigting schier een uur ver uitstrekt. Hij verheft zich niet hooger dan omtrent 450 voet boven het waterpas der zee, doch daar hij in geheel vlak land ligt, is zijn voorste tafelvormige spits, waarachter men zich op sommige punten nog twee andere ziet verheffen, even kenbaar als schilderachting van voorkomen.”
Beberapa waktu kemudian, Kerajaan Kubu yang telah memilih penguasa pengganti kembali menerima kedatangan salah seorang anggota delegasi itu. Tamu Belanda itu ikut campur tangan dengan menuding Syarif Alwi bin Idrus Alaydrus pendamping dan juga saudara Tuan Kubu yang baru (Syarif Muhammad) sebagai orang yang membahayakan. Selanjutnya, suatu perjanjian tetap dicanangkan yang banyak merugikan pihak kerajaan seperti memperkuat isi perjanjian sebelumnya ditambah dengan rencana pendirian sebuah benteng pertahanan Belanda di daerah itu atas beban kerajaan dengan kawula Dayaknya, penetapan pemberlakuan alat pembayaran yang sama dengan di Pontianak, dan pembudidayaan sejumlah tanaman.
Di masa berikutnya sejumlah perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, terutama pembaruan perjanjian sehubungan bergantinya residen (pejabat kolonial) Belanda di Kalimantan Barat. Sampai tahun 1840-an, perhatian Belanda terhadap pedalaman dan pesisir Kapuas dan Kubu khususnya tidak terlalu menonjol. Bahkan, ketika benteng yang didirikan itu diserang, tidak ada tindakan lanjutannya, tetapi malahan kemudian benteng itu, sebagai perlambang hadirnya sebuah kekuatan kolonialisme di kawasan itu, ditinggalkan. Keadaan itu antara lain disebabkan pecahnya perlawanan Pangeran Doponegoro pada tahun 1825 yang menyita banyak perhatian dan sumber daya kolonial.
Perhatian dan campur tangan Belanda mulai meningkat ketika tiba seorang petualang dari Inggris, James Brooke, yang kemudian menjadi raja di Serawak (the White Rajah). Kegalauan akan ekspansi Brooke mendorong Belanda melakukan konsolidasi pengaruh dan kekuasaannya di sepanjang aliran Sungai Kapuas, dan Kubu yang dapat menjangkau Serawak lewat rimba belantara. Terlebih perlawanan terdahulu rakyat Kubu yang dipimpin Syarif Yasin Al Aydrus di Ambawang yang kemudian bersekutu dengan Inggris di Serawak. Oleh karena itu, Kerajaan Kubu mengalami pengaruh yang meningkat dari ekspansi kolonial.
Pada saat itu pula ketegangan di kawasan aliran sungai Kubu itu mulai meningkat. Persaingan dan peperangan antarkerajaan, di satu pihak Kubu berhadapan dengan Ambawang, meski dalam skala kecil, kerap terjadi sehingga situasi menjadi tidak aman dan di luar kendali. Salah satu akibatnya hubungan perdagangan antara kawasan pedalaman dan pesisir mulai terganggu. Sehubungan dengan itu, pihak kolonial Belanda di Pontianak mengambil ancang-ancang melancarkan tindakan memulihkan keadaan. Benteng militer di Kubu dibangun kembali dan diawasi oleh suatu garnisun militer.
Pihak Kerajaan Kubu menanggapi perubahan yang terjadi di wilayah selatan itu dengan membuka hubungan perdagangan. Sejumlah bangsawan menjalin niaga dengan James Brooke di Serawak, tentunya di bawah pengintaian dan pengawasan Belanda. Kecurigaan antara pihak Kubu dan Belanda mulai berkembang. Permasalahan suksesi membawa politik kerajaan ke arah pembuatan perjanjian yang baru dengan Belanda. Pada kesempatan ini Belanda mengambil alih semua kedaulatan politik kerajaan dan terutama yang kemudian menjadi pemicu sebuah perlawanan, akses ekonomi. Para bangsawan yang sedianya memiliki konsesi dan privilege ekonomi seperti terhadap hak berniaga, upeti dari kawula dan sebagainya mengalami kerugian yang amat sangat dengan dihapuskannya hak-hak tersebut. Struktur tradisional pemerintahan Kerajaan Kubu pun digantikan dengan sistem ala Belanda, di mana kemudian dibentuk wilayah onderafdeling dan onderdistrik serta distrik di sana.
Belanda secara sepihak kerap membentuk sebuah Bestur Komite, seraya mengesahkan pewaris penguasa terdahulu sebagai penguasa baru tanpa menghiraukan kebiasaan yang berlaku dan keinginan sejumlah pemuka kerajaan. Kemudian tuntutan sejumlah bangsawan yang tidak puas akan isi perjanjian yang dibuat dengan pihak Belanda itu agar diubah sesuai dengan keinginan mereka tidak mendapat tanggapan semestinya. Sehingga menimbulkan ketegangan dalam kerajaan. Akibatnya, pecah sebuah silang sengketa di antara elit kerajaan itu sendiri yang berlangsung hingga berakhirnya masa kekuasaan Belanda, dan berpindah tangan ke pemerintah pendudukan militer Jepang tahun 1941.
Pengalaman Kerajaan Kubu dengan tingkah laku dan tindakan Belanda di awal dan pertengahan abad ke 19 itu tidak jauh berbeda dengan kerajaan lainnya. Ketika itu Hindia Belanda sedang giat-giatnya melancarkan gerak maju ekspansi kolonialnya. Berbagai ekspedisi militer dikirim ke pelbagai tempat di Kepulauan Indonesia dengan tujuan penaklukan. Sebagaimana dengan corak imperialisme-kolonialisme di masa itu, perluasan kekuasaan atas wilayah merupakan sasaran utamanya.
Hingga hampir seluruh Kepulauan Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonialisme Hindia Belanda. Kemudian pada abad ke 20 setelah Perang Dunia II, suatu perkembangan yang sebaliknya berlangsung, yaitu dekolonisasi (decolonization). Imperialisme dan kolonialisme menjadi old-fashioned walaupun tidak sepenuhnya binasa.
Jumat, 02 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar