Sakit itu Sehat
* Gapai Hikmah di Balik Musibah
Oleh: Syafaruddin Usman MHD & Isnawita Din
Kesadaran Jernih
Derita penyakit yang kita rasakan tidak boleh hanya berhenti pada kesadaran jernih semata dalam melihat berjalannya roda waktu secara perlahan-lahan, melainkan harus bermuara pada pertanyaan introspektif kontemplatif: apakah aku telah mengukir waktu-waktuku sebelum ini dengan aneka kebajikan dan pengabdian atau justru dengan keburukan dan kedurhakaan? Apakah bentangan usia yang telah kulalui selama ini sudah aku renda dengan puspa ragam kearifan dan ketaatan atau malah aku rajut dengan berbagai kelalaian dan kemaksiatan?
Derita penyakit yang kita rasakan harus menghadirkan kegelisahan eksistensial semacam itu. Mengapa demikian? Karena umur manusia merupakan modal yang setiap saat selalu berkurang dan akan sia-sia bahkan membawa celaka apabila tidak diinvestasikan dalam pengabdian kepada Zat Yang Maha Memiliki Waktu. Waktu setahun atau sebulan, kegiatan sehari atau hanya beberapa jam, bahkan satu detik napas yang baru saja kita embuskan tidak akan pernah kembali lagi kepada kita. Kita tidak bisa menarik kembali momen itu untuk hadir sekarang.
Nestapa yang hadir melalui penyakit itu mengajak kita untuk menghargai kehadiran sang waktu. Waktu yang dulu tidak bernilai sedikit pun, kini menjadi begitu bermakna bagi kita. Bagaimana tidak sangat bermakna apabila dengan sejenak putaran waktu itu bisa mengantarkan kita meraih puncak kebahagiaan atau kesengsaraan abadi, menggenggam kemenangan hakikat hidup atau kekalahan mutlak, membawa kita sampai ke singgasana Tuhan atau membuat kita terperangkap dalam cengkeraman setan, menyebabkan kita memasuki istana surga atau malah menjerumuskan kita ke dalam lembah neraka kelak?
Karenanya, seandainya kita tidak mampu mensyukuri penyakit yang kita derita, bersabarlah bersamanya. Percayalah, penyakit itu akan mengajarkan kepada kita agar menghargai sang waktu dan mengukirnya dengan berbagai lukisan kebajikan, ketaatan, kearifan, dan pengabdian yang akan membuat Tuhan dan para malaikat Nya tersenyum bangga sehingga membuahkan kebahagiaan abadi.
Bersahabat dengan Penyakit
Sungguh seekor kuda lebih baik dipecut dengan keras sehingga menjadikannya kuat, gesit, tangkas, dan memenangkan perlombaan pacuan kuda, daripada dibelai terus menerus namun justru membunuh karakter dirinya sebagai hewan berpacu. Dengan alasan inilah kita yang tengah dirundung penyakit untuk tetap bersyukur, bukan mengeluh.
Kita yang tengah diselimuti kenestapaan hidup, penyakit, janganlah kita selalu mengeluhkan penyakit kita yang bisa mengantarkan satu detik kesengsaraan itu setara dengan seribu menit ibadah, serta bisa menyebabkan umur kita bertambah panjang. Karenanya, bersyukurlah atas anugerah penyakit yang Dia titipkan sejenak kepada kita.
Hadis riwayat Ahmad: Jika Allah menurunkan ujian kepada seorang hamba yang beriman dengan suatu ujian penyakit pada tubuhnya, maka Allah memerintahkan para malaikat Nya: Catatlah amal kebajikan untuknya. Jika Allah menyembuhkan hamba itu, maka Dia telah membersihkan dan menyucikan segala kesalahannya. Dan bila hamba itu sampai meningal dunia, maka Dia juga telah mengampuni dosa-dosanya dan memberikan rahmat kepadanya.
Hikmah Adanya Penyakit
Penyakit sengaja dihadirkan oleh Allah dalam kehidupan umat manusia untuk menyadarkan kita tentang ketidakabadian dunia. Kesadaran jernih itu hadir, terutama ketika kita sakit parah atau kronis. Allah sengaja kirimkan penyakit itu untuk menghancurkan seluruh hasrat palsu duniawi kita. Makanan dan minuman yang paling lezat kesukaan kita dulu, kini sudah tidak membuat kita berselara lagi. Semuadanya terasa hambar, hampa, atau pahit di lidah kita. Kecantikan paras wanita dan keseksian tubuhnya yang sebelumnya sangat menggoda nafsu kita, sekarang sudah tidak membuat kita bergairah sedikit pun.
Bahkan kemewahan, kekayaan, kesenangan, dan pangkat jabatan yang dulu begitu menjadi obsesi kita, hari ini menjadi hilang semua pesonanya. Penyakit itu membawa kita dari level pengetahuan menuju penghayatan, dari pemahaman menuju merasakan, dan dari pengertian memasuki wilayah pengalaman. Ternyata derita penyakit yang kita rasakan mampu mendidik kita untuk mencicipi secercah kearifan hidup.
Kita yang ditimpa penyakit hendaknya mengungkapkan pujian syukur kepada Nya sebab penyakit itu merupakan sebentuk kasih sayang Nya, walaupun secara jasmaniah terasa sangat menyakitkan. Apabila penyakit itu teramat memayahkan dan menyiksa kita hingga tak tertahankan, hendaklah kita untuk berlindung kepada Allah agar Dia berkenan mengaruniai benteng kesabaran. Akhirnya, bukankah lebih baik kita meminum beberapa butir obat yang terasa begitu pahit di tenggorokan namun akan menyebabkan tubuh kita kuat dan sehat, ketimbang kita menenggak sebotol sirup yang terasa sangat manis di lisan kita tetapi akan membuat tubuh kita ringkih, rentan, dan sakit?
Selalu Ingat Kematian
Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang lebih pasti daripada datangnya kematian. Ketika waktunya tiba, sang malaikat maut akan memburu sasarannya tanpa pilih kasih dan penundaan. Maut datang menjemput para penguasa di tengah-tengah tampuk kekuasaan mereka, sebagaimana maut datang menyambangi jutaan rakyat jelata di tengah-tengah penderitaan mereka. Maut mengunjungi kaum pria dan wanita, golongan kaya dan orang-orang tak punya, kaum tua dan anak-anak muda, bahkan tidak jarang dia melipat nyawa anak-anak balita.
Al Quran mengabarkan keniscayaan universal ini: Di mana saja engkau berada, kematian akan menjemput engkau, kendati pun engkau berada di dalam benteng yang tinggi lagi koko (QS Al-Nisa: 78). Al-Quran berulang-ulang mengingatkan tentang kepastian datangnya kematian tersebut.
Kematian merupakan salah satu kepastian yang aling kita lupakan. Walaupun hampir tiap hari kita menyaksikan wajah kematian di televisi, surat kabar-surat kabar, atau tetangga dan keluarga kita sendiri secara langsung, kita tidak pernah mengingat tentang kematian diri kita sendiri. Kematian tidak pernah kita jadikan obyek tafakur renungan kita. Seolah-olah kita akan hidup abadi dan kematian tidak akan mengunjungi hidup kita.
Penyakit hadir dalam kehidupan kita untuk mengingatkan sekaligus mempersiapkan datangnya kematian. Walaupun penyakit tidak pasti mengantarkan kita menuju pintu kematian. Inilah hikmah penyakit kali ini, yakni agar kita waspada dan bersiap-siap menyambut datangnya kematian.
Bekal Sebelum Dijemput Maut
Sesuatu yang paling sulit kita hindari dalam kehidupan ini kalau enggan berkata tidak mungkin adalah perbuatan dosa. Tak seorang pun di antara kita yang streil dengan yang namanya dosa. Entah kita melakukan dosa besar atau kecil, entah mengerjakan dosa dengan sadar atau tanpa kita sadari, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dosa-dosa lahiriah ataupun dosa-dosa ruhaniah, satu hal yang pasti kita tentu pernah terjebak dalam perbuatan yang mengundang murka Tuhan tersebut.
Tidak setiap orang mau dan mampu melakukan taubat atas dosa-dosa yang telah mereka kerjakan. Hampir setiap kita mempunyai dosa-dosa entah kita sadari atau tidak. Padahal dosa-dosa ini akan mendatangkan azab yang sangat mengerikan dari Allah di alam kubur, lebih-lebih di akhirat kelak. Kita semua tahu akibat yang amat dahsyat ini. Tapi biasanya kita enggan bertaubat atau kita menunda-nunda taubat kita. Kalaupun kita bertaubat, biasanya taubat kita tidak sepenuh hati, sehingga dosa-dosa kita belum terhapuskan juga.
Untuk itulah sebelum malaikat maut menjemput kita, dengan kasih sayang Nya Allah kirimkan penyakit kepada kita, sehingga ketika kita menghadap Nya kita sudah bersih dari segala dosa-dosa dan terbebaskan dari siksa Nya. Dengan menurunkan penyakit sejenak di dunia ini, Allah membebaskan kita dari azab Nya yang abadi di yaumul hisab kelak. Bukankah fakta tersebut merupakan sebentuk kasih sayang Nya yang indah kepada kita?
Tidak setiap orang terkena penyakit. Ini barangkali terdengar naif, tapi coba perhatikan fakta ini. Bukankah dalam kehidupan ini waktu sehat yang kita alami jauh lebih lama daripada masa sakitnya dan orang-orang yang sehat jauh lebih banyak ketimbang orang-orang yang sakit? Dan yang lebih menakjubkan lagi, bukankah sering kita saksikan orang-orang yang ahli maksiat tidak pernah tersentuh penyakit sedikit pun sampai sang maut menjemput napas kehidupan mereka?
Mengapa Allah Ciptakan Penyakit
Seringkali kita lihat dalam kehidupan ini orang yang sedang berada dalam puncak kesenangannya, menikmati puncak kemewahan dan kedudukannya, namun tiba-tiba maut datang menjemput mereka. Kematian datang seketika saat mereka lalai kepada Tuhanya. Ada yang mati secara mendadak karena kecelakaan, ada juga yang mati tanpa diketahui penyebabnya..
Mengapa Allah menciptakan sesuatu yang mengerikan, menyedihkan, dan menyakitkan di alam semesta ini di samping sesuatu yang menakjubkan, membahagiakan, dan menyenangkan? Secara spesifik, mengapa ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman hidup manusia diguncang oleh Allah dengan berbagai prahara penyakit? Dengan ungkaan yang agak filosofis, mengapa Dia menciptakan duri-duri yang menyakitkan di sekeliling keindahan bunga mawar yang memesona?
Allah menciptakan semesta jagat raya beserta isinya termasuk kehidupan manusia dengan segala pernak-pernik yang mewarnainya adalah untuk memanifestasikan Asma-asma Nya secara aktual. Jika kita melihat seluruh fenomena alam semesta dengan segala hal yang berada di dalamnya termasuk warna-warna kehidupan umat manusia melalui jernihnya kesadaran akal dan mata jiwa kita, niscaya kita akan menyaksikan stempel Asma-asma Allah terpahat pada setiap lembaran alam semesta dan kehidupan manusia secara transparan.
Melalui perantaraan penyakit, kita dibuat lemah tak berdaya agar kita merintih, bersimpuh, serta berlindung ke hadirat keagungan Asma Allah, Asy Syafii Sang Maha Penyembuh. Perlindungan itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam Al-Quran melalui lisan khalilullah Nabi Ibrahim as: Dan jika aku menderita sakit, maka hanya Dialah yang memberikan aku kesembuhan (QS Al-Syuara: 80)
Kita tidak berhak untuk mempertanyakan apalagi menggugat segala kebijakan yang telah Dia titahkan kepada kita. Bukankah dengan penyakit itu, walaupun sungguh menyakitkan, Allah telah mengnalkan kepada kita kesakralan Asma-asma Nya secara faktual?
Hikmah Prahara Kehidupan
Berbagai musibah yang terjadi merupakan peringatan Ilahi dan sarana Tuhan untuk menyadarkan kealpaan manusia. Penyakit pun merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaga kita dari segala macam kemaksiatan. Penyakit itu hadir justru untuk menyehatkan manusia. Sesungguhnya seringkali Allah memberi penyakit justru untuk menyembuhkan kita.
Dia lemparkan penyakit-penyakit jasmani untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ruhani kita. Dia lumpuhkan tubuh kita dengan aneka penderitaan demi mengusir penyakit-penyakit kalbu dalam jiwa kita. Dia hempaskan diri kita dalam kelemahan, ketidakberdayaan, dan kehinadinaan, dan kesombongan keluar dari perasaan, benak, batin, dan seluruh sendi kehidupan kita.
Cinta dan kasih sayang Tuhan acapkali menyapa hamba-hamba Nya di luar hasrat keinginan manusia. Tuhan memiliki cara yang tak terhingga dalam membentangkan busana cinta Nya kepada kita. Prahara kehidupan berupa kesulitan, kesengsaraan, kenestapaan, dan penyakit memang sering kali mengakhiri kesenangan, kegembiraan, ketenangan, dan kenikmatan hidup yang kita rasakan selama ini. Namun satu hal yang pasti, bukankah tidak jarang penyakit itu juga yang telah menyelamatkan hidup kita yang tak keruan, berantakan, dan tidak diridhai Tuhan sebelumnya?
Bila kita sudah mampu memahami fakta ini, kita akan dapat menangkap makna pesan orang-orang arif berikut: Sebagaimana di dalam kesenangan itulah letak kehidupan sekaligus kematian kita, maka di dalam nestapa penyakit itu pula hadirnya kematian sekaligus kehidupan kita. Matinya segala penyakit hati kita dan hidupnya akhlak ruhani kita. Sungguh tidak berlebihan bahwa penyakit merupakan sebuah karunia Ilahi bagi sebagian umat manusia, sekaligus hadiah terindah dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Percayalah, seandainya kita sedang sakit, maka penyakit itu merupakan hadiah terindah dari Tuhan Yang Maha Penyayang untuk menjaga kita dari segala macam bentuk perbuatan yang tidak diridhai Nya.
Psikologi Kematian
Dalam kehidupan ini, apakah sesuatu yang paling menakutkan bagi kebanyakan kita karena memutuskan dari segala bentuk kesenangan duniawi? Jawabnya adalah kematian. Dan apakah sesuatu yang paling dekat dalam mengantarkan kita menuju pintu kematian? Jawabnya adalah penyakit. Itulah sebabnya ketika penyakit menyambangi ketenangan hidup kita, kita akan mencari pengobatan ke mana pun.
Penyakit menjadi bumerang bagi kebanyakan kita karena ia menghadirkan bayangan maut ke hadapan kita. Akibatnya maut menjadi sesuatu yang sangat menggelisahkan, mengerikan, dan begitu mencekam. Di sini penyakit menyuguhi kita sebuah lensa yang keruh dalam menatap wajah kematian dan segala peristiwa di baliknya. Padahal, melalui cahaya keimanan dan keyakinan, penyakit menawarkan kita sebuah perspektif positif yang jernih dalam memandang kematian dan segala kejadian setelahnya.
Bagi orang yang beriman, kematian merupakan akhir dari beban tugas kehidupan duniawi. Ia adalah sebentuk pembebasan dari segala bentuk pengabdian yang berupa pengajaran dan latihan di atas panggung ujian duniawi. Ia adalah gerbang yang mengantarkan kita bisa berjumpa kembali dengan sembilan puluh sembilan kekasih dan orang-orang yang kita kasihi yang telah pergi menuju alam ukhrawi. Ia juga merupakan sarana yang membawa kita memasuki tanah air hakiki dan permadani yang kekal untuk menggapai kebahagiaan abadi.
Kita hijrah dari pengapnya penjara dunia menuju indahnya taman-taman surga. Dan kematian pun merupakan kesempatan yang paling membahagiakan untuk menerima ganjaran agung atas pengabdian yang telah kita tunaikan, ganjaran yang tercurah dari khazanah kasih sayang rahmat Allah Sang Pencipta Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Nabi kita juga mengingatkan bahwa seandainya melalui penyakit itu Allah memanggil kita untuk selama-lamanya, maka kita akan menghadap Nya dalam keadaan bersih dari noda-noda dosa dan suci laksana bayi yang baru lahir. Di sini penyakit bukan menjadi tragedi yang menakutkan dalam memandang wajah kematian, melainkan justru memberi solusi yang mencerahkan: kematian menjadi jembatan yang membebaskan kita dari segala bentuk pengabdian, dari puspa ragam penderitaan, kenestapaan, dan tangiosan menuju negeri keabadian yang tidak ada kehancuran padanya, mahkota kemuliaan yang tidak ternodai kehinaan, anugerah kesehatan yang tidak ada lagi sedikit pun kesakitan, mahligai kedamaian surgawi yang tak tersentuh kegelisahan, prasasti-prsasati keindahan yang tak tercemari keburukan, khazanah kekayaan di mana kemiskinan tidak mampu menjamahnya, dan istana kesempurnaan di mana kekurangan tidak dapat mendekatinya.
Sentuhan Lahir dan Batin
Apabila penyakit menyingkap hikmah kepada kita tentang berharganya kehadiran sang waktu dan melipatgandakan pahala. Apabila penyakit menyibak hikmah mengenai ketidakabadian dunia dan menjaga kita dari perbuatan-perbuatan maksiat. Apabila penyakit memperlihatkan kepada kita perwujudan Asma-asma Allah dan merupakan anugerah Ilahi untuk menghapuskan dosa-dosa kita. Dan jika penyakit mengantarkan kita bersimpuh secara tulus ke hadirat Ilahi dan membuat kita menjadi waspada dengan datangnya kematian.
Penyakit mampu menyentuh aspek lahir dan batin kita, bahkan mampu menelisik ke dalam perasaan, hati, jiwa, dan sukma kita, sehingga dalam beribadah kita mempunyai kesadaran yang utuh mengenai ibadah yang sedang kita kerjakan. Salat yang kita lakukan ketika sehat sangat berbeda sekali bobotnya dengan salat yang kita jalani di waktu sakit. Saat sakit kita bisa bergantung seutuhnya kepada Allah hingga di luar ibadah-ibadah mahdhah pun keadaan kita mempunyai nilai ganjaran ukhrawi di sisi Nya.
Begitu pula pengaduan, rintihan, doa, dan zikir yang kita ucapkan saat kita jatuh dalam kubangan kepapaan, penyakitan, dan ketidakberdayaan hari ini, sungguh berlainan getarannya dengan kidung-kidung puja-puji dan doa-doa yang kita haturkan tatkala kita bersama kekayaan, kesehatan da kekuatan hari kemarin. Dengan ungkapan lain, penyakit itu Tuhan lemparkan ke tengah-tengah kehidupan umat manusia untuk menyaring manusia-manusia pilihan yang berkesadaran dari kerumunan manusia kebanyakan yang berkelalaian.
Lagi-lagi perspektif hikmah akan mengklaim bahwa penyakit itu merupakan sebentuk kasih sayang Ilahi kepada kita. Sebab seandainya tidak ada rahasia kesempurnaan kasih sayang Allah dalam cobaan, mengapa Dia menguji para kekasih Nya dengan berbagai penderitaan yang mengguncangkan?
Jika dalam penyakit tidak tersimpan makna keindahan cinta Allah kepada hamba-hamba pilihan Nya, kenapa Dia menguji kekasih Nya, Nabi Ayyub as dengan sebuah penyakit yang tiada bandingannya? Bila dalam bala tidak tersembunyi lembutnya rahmat Ilahi kepada umat manusia, bagaimana kita manfsirkan ribuan bahkan jutaan wali-wali Nya yang kehidupan mereka tidak pernah sunyi dari bermacam-macam ujian, kepayahan, penyakitan, penderitaan, dan prahara kehidupan?
Dan apabila ujian tidak merefleksikan sempurnanya kecintaan Allah terhadap hamba-hamba Nya, mengapa Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba niscaya Dia mengujinya (HR Thabrani). Siapa pun yang telah mampu merasakan hikmah-hikmah tersebut, pasti dia akan menangkap maksud tersembunyi dalam ayat ini: Allah tidak hendak menyulitkan engkau, tetapi Dia hendak membersihkan engkau dan menyempurnakan nikmat Nya bagimu supaya engkau bersyukur (QS Al-Maidah: 5-6).
Keagungan Hikmah Penyakit
Secara psikologis, ketika dihadapkan dengan suatu pengalaman yang menyakitkan, memojokkan, atau mengecilkan hati, biasanya kebanyakan kita cenderung untuk berpandangan negatif. Saat prajara kehidupan, kegetiran, kesengsaraan, kekalahan, dan kepapaan menyentuh pengalaman hidup kita, tidak jarang kita akan menyalahkan tangan-tangan sang takdir. Dalam hal ini, hadirnya penyakit dalam kehidupan kita, bukanlah pengecualian. Umumnya kita akan berkeluh kesah. Bahkan terkadang kita suudzhan, berprasangka buruk kepada Allah. Sebagai manusia biasa yang memiliki jiwa dan perasaan, adalah wajar jika kita mengeluh secara positif, merintih ataupun berduka sewaktu penyakit menggerogoti tubuh kita.
Konon Nabi Ayyub a.s. yang sangat terkenal sebagai nabi yang paling istimewa dengan kesabaran, ternyata ketika berada di puncak penderitaannya, beliau pernah merintih kepada Allah. Yang terlarang adalah saat kita tidak mau menerima penyakit yang menimpa kita, lalu kita menggugat hiklah Ilahi, mengkritik rahmat Ilahi, serta memprotes Sang Pencipta penyakit Yang Maha Pengasih. Inilah yang dikhawatirkan sehingga kita tidak lagi mampu melihat hikmah di balik penyakit yang snagat agung, mulia, dan luhur. Dengan demikian, segala kegelisahan, keluhan, dan gugatan kita, justru akan menjadi penyakit bahkan menambah rasa sakit itu sendiri.
Kita yang tengah dirundung penyakit untuk berpikir positif, yakni tetap memandang keagungan hikmah yang tersembunyi di balik penyakit yang kita rasakan. Kalau kita mau berhenti sejenak saja dari kebisingan rutinitas kehidupan sehari-hari kita untuk bertafakkur sesaat saja, niscaya kita akan menemukan keanehan hikmah yang ditawarkan rasa sakit yang kita derita.
Penyakit tidak jarang melemparkan kita ke dalam situasi keheningan, namun bukan keheningan hampa. Keheningan ini akan membawa kita berdialog dengan segala eksistensi kehidupan, dengan semesta cakrawala ciptaan Tuhan, dengan Sang pencipta jagat raya, dan khususnya dengan diri kita sendiri. Keheningan itu menyuguhkan pergulatan-pergulatan eksistensial, sebenarnya untuk apa kita diciptakan di tengah-tengah jagat raya yang mahaakbar ini? Akan ke manakah akhir perjalanan hidup kita kelak? Apakah sesuatu yang paling penting dalam kehidupan ini? Dan apakah peran yang harus kita mainkan dalam pentas kehidupan yang hanya sesaat ini?
Makna di Balik Doa
Kapankah kidung rintihan doa-doa kita dikabulkan oleh Allah? Dengan kata lain, kapankah doa-doa yang kita panjatkan menjadi mustajab? Kebanyakan kita mungkin akan melihat pada momen-momen khusus, hari dan bulan-bulan istimewa. Kita akan merujuk pada malam Jumat sebagai sayyidul ayyam, penghulu hari, kepada bulan Rajab, Sya’ban, atau bahkan bulan agung Ramadhan sebagai bulan teristimewa.
Ada sebuah keadaan di mana doa-doa yang kita ucapkan menjadi sangat mustajab, yaitu saat kita menderita penyakit. Sabda Rasulullah S.a.w. menegaskan hal ini: “Mintalah doa kepada orang yang sakit sebab doanya mustajab” (HR Ibnu Majah). Pertanyaannya, mengapa doa orang-orang yang sedang sakit menjadi mustajab? Jelas hal itu merupakan karunia istimewa sebagai wujud kasih sayang Allah kepada orang-orang yang sakit. Namun setidaknya saat sakit umumnya kita benar-benar merasakan kefakiran, kelemahan, kehinaan, ketidakberdayaan, dan kebutuhan kita kepada Allah. Dalam kondisi yang sangat butuh tersebut, doa-doa yang kita panjatkan menjadi betul-betul makbul.
Apabila Allah Yang Mahabijak dan Penyayang memberikan kesembuhan, sesungguhnya itu semua berkat karunia dan kemurahan Nya. Sang pencipta Yang Mahabijak mengetahui apa yang terbaik buat kita sedangkan kita tidak mengetahuinya. Allah memberikan kepada kita apa yang terbaik dan paling bermanfaat untuk kita. Sering kali Allah menyimpan doa dan permintaan kita yang terkait dengan dunia untuk bisa dimanfaatkan di akhirat nanti.
Jadi benar, sewaktu sakit doa-doa kita menjadi sangat mustajab. Tapi boleh jadi kemustajaban itu bukan untuk permintaan kita hari ini dan di sini belaka, melainkan untuk kebaikan kita di akhirat kelak. Menurut riwayat, di akhirat nanti ada orang-orang yang ketika digiring ke hadapan mizanul amal, tempat pertimbangan amal-amal kebajikan dan keburukan, mereka kaget menyaksikan ganjaran-ganjaran pahala kebajikan yang sangat luar biasa banyaknya.
Kalau saat ini tengah diuji dengan berbagai penyakit atau berbagai cobaan lainnya, marilah kita gunakan saat-saat yang mulia itu untuk bersimpuh, memohon, dan berdoa kepada Allah. Percayalah, doa-doa yang kita panjatkan pasti didengar, diperhatikan, dan dikabulkan oleh Dia Yang Maha Mendengar doa hamba-hamba Nya yang merana. Dan seandainya doa-doa belum juga dikabulkan saat itu, percayalah, Dia telah menyimpan pahala yang sangat agung demi kebaikan dan kebahagiaan abadi kita di akhirat kelak, walaupun hari ini kita merintih kesakitan. Bukankah lebih baik kita menangis sejenak hari ini namun akan tersenyum selamanya di akhirat nanti, ketimbang kita tersenyum bangga hari ini namun akan menangis abadi di akhirat kelak.
Menjadi Jiwa yang Tenang
Kelemahan, keterlukaan, ketidakberdayaan dan penderitaan yang ditimbulkan penyakit ternyata membuat jiwa-jiwa kita menjadi dekat kepada orang-orang yang tidak berdaya dan terluka. Secara spesifik, penyakit datang dalam kehidupan kita agar benih-benih hikmah tumbuh dalam relung-relung jiwa kita. Secara khusus, penyakit itu dikirim Tuhan untuk mengguncangkan ranah kepalsuan dan ketenangan hidup kita, supaya benih-benih kearifan dengan mudah bisa bersemi dan mekar dalam taman jiwa kita.
Secara metaforik, penyakit itu laksana badai pawana yang menghancurkan bunga-bunga yang kering dan layu untuk menumbuhkan tunas-tunas baru yang indah menawan dan memesona. Atau bagaikan ratapan musim gugur yang menakutkan, menggelisahkan, dan mencerdaskan, numan di baliknya tersembunyi senyuman musim semi yang amat melegakan, menyenangkan, sekaligus menggairahkan.
Pada saat itulah, penyakit yang kita rasakan itu akan mengenalkan kita secara istimewa dengan Allah sebagai Al-Hakim, Tuhan Yang Mahabijaksana. Melalui terang cahaya Al-Hakim, Dia mentransfer secercah kebijaksanaan hidup kepada kita dengan perantaraan penyakit. Sungguh kita tidak akan pernah mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya hingga kita benar-benar diguncangkan dengan tantangan, kegetiran, penderitaan, kesulitan, dan prahara kehidupan yang salah satunya berupa penyakit. Kesenangan, kenyamanan, kelapangan, ketenangan, dan kedamaian hanya akan menjadikan fikiran, perasaan, kalbu dan jiwa kita tumpul, beku, tertidur nyenyak bahkan mati. Itulah sebabnya jika kebanyakan manusia menghindari ujian, maka orang-orang arif justru menyongsongnya.
Pengobatan suci yang snagat bermanfaat, serta obat segala penyakit yang mengandung kenikmatan hakiki, perkuatlah keimanan kita dan buatlah ia cemerlang. Dengan kata lain, teguklah pengobatan suci yang tercermin dalam keimanan disertai tobat, istighfar, salat dan ibadah. Penyakit-penyakit jasmanilah yang Allah hadirkan dalam kehidupan kita salah satu tujuannya adalah menghancurkan semua kecintaan kita kepada seluruh kesenangan duniawi yang fana dan mengarahkan cinta itu hanya kepada wajah Tuhan Yang Mahabaka. Namun karena kita sudah begitu lama dan begitu asyik bercengkerama dengan berbagai kenikmatan dunia, maka cinta palsu itu sudah sangat merasuk dalam jiwa kita sehingga berbagai penyakit yang kita alami tidak mampu menepiskan kecintaan tersebut secara tuntas.
Gejolak Hasrat Palsu Duniawi
Sewaktu bersama penyakit, boleh jadi terkadang hasrat-hasrat palsu duniawi itu pudar gejolak. Tetapi ketika tubuh kita sehat kembali, hasrat itu datang lagi mengajak kita memburu kesenangan-kesenangan semu disertai ketelodoran terhadap terhadap Tuhan kita. Ketika dorongan-dorongan syahwat dan keinginan-keinginan rendah kita menjadi lemah diterpa oleh penyakit, saat itu kita menyadari bahwa segala keindahan dunia yang fana memang tidak layak untuk dicintai hati kita. Tetapi saat dorongan-dorongan syahwat bergejolak dan nafsu-nafsu rendah kita bangkit kembali sewaktu sehat, kita menjadi terlena dan larut kembali dengan seluruh keindahan bunga-bunga duniawi. Kita tambatkan kembali hati kita di sini.
Dengan pengobatan suci melalui taubat dan istighfar, salat dan ibadah-ibadah lain, sebenarnya mendidik kita untuk beradab kepada Allah secara mulia dan bersikap rendah hati. Jadi, walaupun ketika sakit Dia menghapuskan dosa-dosa kita, sebaiknya kita tetap bertaubat saat itu. Meskipun Dia meleburkan segala kesalahan dan kelalaian-kelalaian kita di waktu sakit, seyogyanya kita masih beristighfar kepada Nya. Dan kendati pun Dia melipatgandakan pahala-pahala kebajikan kita tatkala sakit, alangkah indahnya jika kita masih senantiasa melaksanakan rukuk dan sujud, serta ibadah-ibadah lain yang dapat kita kerjakan untuk Nya saat itu.
Karena itu, kalau kita saat ini tengah dirundung suatu penyakit, mari kita melakukan pengobatan suci dengan memperteguh keyakinan kita melalui taubat dan istighfar, rukuk dan sujud, pembacaan tasbih dan zikir, serta ibadah-ibadah lain. Semoga Dia benar-benar memperkokoh keyakinan kita dengan melabuhkan cinta kepada Nya semata, serta mengobati segala penyakit yang kita derita, baik penyakit zahir maupun batin.
Rumi mengingatkan secara metaforik: “Sebatang lilin makin terang bersinar ketika perlahan habis terbakar!”, maka begitu pula manusia akan meraih pencerahan saat mereka dibakar dengan penderitaan, prahara dan kenestapaan hidup. Pembakaran sumbu jasmani itulah yang akan membuat terang lentera ruhani kita. Bahwa dalam penyakit itulah sebenarnya kasih sayang dan rahmat Tuhan merengkuh kita. Karenanya, marilah kita tetap tabah dan sabar dalam mengarungi segala kenestapaan hidup, serta berusaha memetik semesta hikmah yang tersembunyi di balik penyakit.
Jalan Menuju kematian
Berita tentang kedahsyatan hari kiamat yang diinformasikan Al-Quran ternyata dibenarkan oleh ilmu astronomi. Seorang ilmuwan Belanda memperkirakan bahwa dalam rentang ribuan tahun lagi, bumi ini akan memasuki suatu wilayah berkabut di luar tata surya yang berisi jutaan batu meteor. Wilayah yang sangat luas itu diberi nama Kabut Oort, sesuai dengan nama penemunya. Konon, hal ini telah pernah terjadi pada zaman Dinosaurus.
Ayat-ayat qauliyyah berupa firman Allah dalam kitab suci telah lama mengingatkan kita tentang pesan-pesan moral. Tapi, kita sering mengabaikannya, bahkan tak jarang mengingkarinya. Maka, ayat-ayat kauniyyah dalam berbagai peristiwa alam datang mengingatkan kita lagi. Kita pun tersentak ketika tiba-tiba banyak mayat bergelimpangan akibat bencana gempa, banjir, atau tsunami. Jika selama ini kematian kerabat atau tetangga tak menggugah hati kita, kematian secara massal akibat bencana itu akan menyentak kesadaran kita akan kemahakuasaan Nya.
Kematian adalh misteri kehidupan. Kematian ibarat jalan yang akan dilalui oleh setiap orang. Hanya saja, kapan peristiwa itu terjadi, tak ada yang tahu kecuali Sang Pemilik Kehidupan. Maka, pada saat ajal telah tiba, tak seorang pun mampu menunda atau bahkan menyegerakannya. Di sinilah kita disadarkan bahwa momen kmatian menjadi satu tanda bahwa setiap orang sesungguhnya tak mampu menguasai hidupnya sendiri sepenuhnya. Ada rahasia hidup yang kita tidak tahu dengan pasti. Ada misteri yang pikiran kita tak mampu menembusnya dengan serangkaian logika.
Kematian digambarkan Al-Quran sebagai momen kembali kepada Tuhan. Inna lillahi wa inaa ilaihi rajiun, kita milik Allah Swt dan pasti kembali kepada Nya. Kita sering terlena oleh keindahan dunia yang tak sebanding dengan keindahan dan kemegahan surga. Kita juga sering tak sadar bahwa umur kehidupan kita sangat singkat dibanding umur bumi yang kita tumpangi. Bahkan, juga lebih singkat dibanding pepohonan yang kita tanam. Lihatlah, pohon kelapa yang ditanam kakek kita dahulu masih berdiri kokoh dan berbuah, sementara sang kakek telah lama menyatu dengan tanah.
Kematian begitu dekat dengan kita, sedekat hidup yang kita nikmati sekarang. Tapi, kebanyakan kita tidak siap atau lebih tepatnya tidak pernah mempersiapkannya. Sebagian kita bahkan, dengan mati-matian, menumpuk kekayaan dengan sikat sana sikut sini, mendulang harta hingga lupa waktu dan lupa moral. Lantas, apa yang telah kita persiapkan untuk kematian kita?
Akhirnya, sepantasnya kita mengingat pesan Imam Al-Ghazali dalam karya utamanya Ihya’ Ulum Al-Din, sungguh, orang arif akan senantiasa mengingat mati. Baginya, kematian adalah saat berbahagia bersama Kekasihnya. Dan, seorang pencinta tak akan pernah melupakan janji pertemuan dengan Zat yang dicintainya.
Memahami Penyembuhan Hakiki
Sakit dan sehat adalah bagian dari ritme kehidupan. Tapi, kebanyakan orang lebih siap menerima kondisi sehat daripada sakit. Bertahun-tahun Tuhan menganugrahkan kita kesehatan, tapi kita sering luput menydarainya. Kita baru menyadari betapa mahal harga kesehatan ketika kita sakit. Nilai nikmat sehat baru kita sadari justru dalam kondisi sakit. Maka, sehat setahun begitu mudah dihapus dengan sakit sehari. Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa membesuk saudara, teman, atau tetangga yang sedang sakit merupakan kewajiban sesama Muslim. Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam, kata Nabi Saw sebagaimana diceritakan dari Abu Hurairah.
Kata Nabi Saw dalam HR Muslim, jika bertemu dengan sesama Muslim, ucapkanlah salam, jika diundangnya, penuhilah undangannya, jika ia meminta nasihat, berikanlah nasihat, jika ia mengucapkan alhamdulillah sewaktu bersin, sambutlah dengan doa yarhamukallah, semoga engkau dirahmati Allah, jika ia sakit, jenguklah, dan jika ia meninggal, usungkanlah jenazahnya.
Menghadapi kondisi sakit, orang seringkali merasa sendiri. Terlebih jika ia dirawat di rumah sakit. Kondisi lingkungan kamar, aroma obat, teman-teman senasib yang sedang sakit, dan lalu lalang perawat dan dokter bukan tidak mungkin akan menambah ketegangan baginya. Setiap saat ia hanya bisa memandangi infus, transfusi, mesin pemacu jantung, atau bahkan trakeostomi, barang-barang yang sangat jarang ia temui dalam kehidupan sehari-hari.
Di sinilah kita memahami bahwa penyembuh hakiki adalah kekuatan Allah yang ditancapkan di berbagai materi, bukan obat apalagi dokter. Dokter tidak lebih sebagai subjek yang memiliki pengetahuan untuk menyingkap dan menggali kekuatan-kekuatan penyembuh yang telah dianugerahkan Allah Swt di segala ciptaan Nya di jagat raya ini. Dan dedaunan menjadi obat semata-mata karena anugerah Tuhan. Dengan pemahaman ini, kita pun berdoa kepada Allah Swt, sumber kesembuhan, agar orang atau kita yang sakit segera sehat. Yakinlah bahwa Allah Swt telah menyediakan kekuatan penyembuhan di dalam ciptaan Nya. Kata Nabi Saw, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali Dia juga menurunkan penawarnya, karena itu, berobatlah.
Penyakit yang menimpa kita bisa jadi disebabkan oleh kecerobohan, berlebih-lebihan, dan ketidakteraturan kita dalam menjalani hidup. Berlebih-lebihan dalam mengonsumsi daging dan lemak, misalnya, bisa menyebabkan tubuh kita terserang penyakit darah tinggi. Sabaliknya, kekurangan zat atau vitamin tertentu menyebabkan kita mudah dijangkiti penyakit. Namun, penyakit juga bisa disebabkan oleh faktor keturunan seperti asma, dan penularan virus seperti flu.
Doa ketika sakit mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap beragam penyakit dan kejahatan yang ditimbulkannya. Kita pun pantas berlindung kepada Allah Yang Mahakuasa agar dihindarkan dari segala keburukan apa saja yang menimpa kita atau yang kita khawatirkan. Utsman bin Abi Al-Ash pernah mengadukan kepada Rasulullah tentang penyakit yang menimpanya. Letakkan tanganmu pada bagian tubuh yang terasa sakit, kata Nabi Saw, lalu ucapkan basmallah tiga kali dan tujuh kali lafal A’udzu bi’izzatillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru.
Terapi yang dicontohkan Nabi Saw ini merupakan terapi ruhaniah untuk menghilangkan rasa sakit yang kita alami, serta agar kita tabah dan sabar menghadapinya. Sebab, sakit yang kita derita, dalam satu kasus, bisa jadi merupakan ujian bagi kita dalam rangka meningkatkan kualitas keimanan kita. Melalui sakit, kesabaran dan keikhlasan kita sedang diuji.
Shalat dan Kebersihan
Tubuh merupakan organ yang memelihara hidup manusia. Oleh karena itu, manusia sangat memerhatikan kesehatan tubuh sama seperti mereka memerhatikan hidupnya. Kaidah-kaidah kesehatan hampir dikenal semua orang, dan yang paling penting adalah kebersihan, gizi seimbang, olahraga teratur, dan pemeliharaan kesehatan.kita akan membahas apakah shalat memiliki kaitan dengan kaidah-kaidah tersebut.
Syarat yang harus dilakukan untuk mendirikan shalat adalah bersuci dengan mandi bagi orang yang situasinya mengharuskan mandi. Allah S.w.t berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Ma’idah [5]: 6)
Mandi wajib dilaksanakan satu kali dalam satu minggu, yaitu pada hari Jumat sebelum shalat Jumat. Rasulullah S.a.w bersabda, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah baligj, juga bersiwak (menyikat gigi) dan mengenakan wewangian” (HR Muslim). Rasulullah S.a.w. juga bersabda, “Hari ini (Jumat) adalah hari yang ditetapkan Allah sebagai hari raya kaum Muslim. Siapa yang hendak shalat Jumat, hendaklah ia mandi {HR Ibn Majah}.
Syarat utama untuk mendirikan shalat adalah berwudhu hingga sempurna membasuh anggota-anggota tubuh untuk dibersihkan. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang dalam setiap wudhu. Pada gilirannya, anggota-anggota tubuh ini akan terus menerus bersih. Tangan orang-orang yang shalat akan bersih selamanya hingga tidak ada kotoran apa pun yang menempel baik yang terlihat maupun tidak. Begitu juga wajah, akan bersih selamanya, terutama kedua mata hingga keduanya tidak akan terkena berbagai penyakit, seperti radang mata. Begitu juga lubang hidung selamanya akan bersih, terutama dari virus ketika terkena dingin.
Mengenai mulut, berkumur-kumur dalam wudhu merupakan cara pembersihan mulut yang terus dilakukan dan mencuci rongga mulut yang penuh dengan mikroba. Para pakar kesehatan memberi nasihat untuk mencuci mulut dengan sikat gigi dan pasta gigi setelah makan, terutama dari berbagai bahan makanan yang bergula. Kalau sulit dilakukan, hendaknya mulut dicuci dengan air. Oleh karena itu, kumur-kumur dalam wudhu merupakan cara pembersihan mulut secara terus menerus. Dan telah terbukti bahwa mencuci mulut dengan air lebih dari dicuci dengan pasta gigi apa pun, kecuali yang mengandung unsur flouride yang dapat melindungi gigi dari kuman.
Dalam wudhu, dibersihkan juga kedua telinga, bagian belakang leher, rambut kepala, dan kedua kaki beserta jari-jarinya. Seandainya kita memerhatikan mandi, kita akan mendapatkan bahwa hal itu adalah kebersihan yang sempurna bagi seluruh anggota tubuh. Setiap celah tubuh mesti disentuh air. Demikianlah setiap anggota tubuh dibersihkan dengan air, bukan hanya diguyur banyak air, lalu selesai.
Ini adalah penyucian yang lengkap, pembersihan yang sempurna, serta kesabaran terhadap berbagai detail pelaksanaannya. Jika dalam setiap pekerjaan, kita bersabar terhadap berbagai detail yang kecil, kita telah menyempurnakan pelaksanaannya. Seandainya dalam setiap pekerjaan, kita bersabar terhadap berbagai detail pelaksanaannya tidak kacau, maka pekerjaan itu akan sempurna, seluruh bagian akan dikerjakan hingga pekerjaan kita tidak selesai dengan penuh kekurangan atau ketidaksempurnaan.
Tanpa kesabaran manusia ada dalam kerugian. Allah S.w.t. berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (QS Al Ashr [103]: 1-3).
Shalat dan Proses Pembentukan Gizi Seimbang
Shalat berpengaruh terhadap alat pencernaan manusia. Sebagai langkah awal, ia memelihara mulut menjadi selalu bersih dengan berkumur-kumur dalam aktivitas wudhu. Gigi pun dipelihara. Bersiwak, menggosok gigi, dan semisalnya tiada lain adalah bentuk pemeliharaan dan penjagaan gigi. Ruh shalat mesti terbawa ke dalam seluruh perbuatan manusia. Sebagaimana halnya shalat yang tidak benar kecuali jika disertai ketenangan dalam pelaksanaannya. Begitu juga makan. Seseorang tidak dianjurkan menelan makannya dengan cepat. Dia harus mengunyahnya menelan makanannya dengan cepat. Dia harus mengambilnya secara pelan-pelan. Hal ini sangat berguna untuk mengambil manfaat makanan bagi tubuh dan menjaga fungsi alat pencernaan.
Porsi makanan, jenis dan waktu memakannya juga dipengaruhi oleh shalat. Seandainya kita mengetahui bahwa ‘illat (alasan) pengharaman khamr dalam ayat Al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan {QS Al Nisa [4]: 43}, kita akan mendapatkan bahwa ‘illat yang menyebabkan keharaman khamr dalam ayat itu adalah lalainya akal karena pengaruh khamr. Akibatnya, orang yang shalat tidak memahami apa yang dibacanya ketika shalat.
Imam Al-Ghazali berkata, “Ada yang mengatakan bahwa mabuk terjadi karena banyak kecemasan, dan sebelumnya, karena mencintai dunia. Wahab ibn Munabbih berkata, yang dimaksud mabuk pada yat itu adalah mabuk zahir (karena minum khamr). Namun, di sana ada peringatan terhadap mabuk dunia. Sebab, ‘illatnya dijelaskan oleh Allah, Sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan. Banyak orang shalat yang tidak meminum khamr, tetapi tidak mengetahui apa yang dibacanya dalam shalat”.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa perbuatan apa pun yang dapat membuat akal menjadi lengah bertentangan dengan pelaksanaan shalat. Mengisi penuh perut dengan makanan akan membantu proses pencernaan makanan yang berat ini. Akibatnya, otak menjadi tidak terjaga. Ia akan cenderung mengantuk, malas, dan lemah. Hal ini bisa kita perhatikan secara lebih jelas selepas berbuka setelah seharian berpuasa. Ketika berbuka, biasanya porsi makan sangat besar sehingga orang-orang merasa mengantuk setelahnya. Oleh sebab itu, mengisi perut sampai penuh dengan makanan dalam sekali makan bertentangan dengan shalat yang benar.
Rasulullah S.a.w bersabda, “Tidak ada tempat lebih jelek yang diisi penuh oleh anak Adam daripada perutnya”. Rasulullah S.a.w juga bersabda, “Kami adalah kaum yang tidak akan makan sampai merasa lapar, dan apabila kami makan, tidak akan sampai kenyang”. Oleh karena itu, Allah S.w.t memerintahkan kita dalam Al-Quran untuk tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum. Allah S.w.t. berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-A’raf [7]: 31)
Seorang Muslim yang baik tidak memenuhi perutnya dengan makanan. Semestinya porsi makannya seimbang. Makanan seorang Muslim harus terdiri dari unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh tubuh sesuai dengan kemampuannya. Maka, persoalannya bukan pada kuantitas, melainkan pada kualitas.