Jumat, 02 Oktober 2009

NESTAPA PEKERJA INDONESIA DI NEGERI JIRAN

Pengumpul Devisa Pekerja “Romusha”
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pada Mulanya Sesuap Nasi
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia di sepanjang perjalanannya menjadi bangsa merdeka adalah masalah pengangguran. Keberadaan masalah tersebut menunjukkan bahwa di negeri gemah ripah loh jinawi ini, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung ledakan angkatan kerja. Akibatnya pengangguran menjadi fenome mengemuka sekaligus menjadi salah satu masalah serius dalam lingkaran persoalan nasional yang bernama kemiskinan. Oleh karena itu mengatasi masalah pengangguran menjadi agenda penting dalam kerangka pembangunan dan penanggulangan kemiskinan.

Upaya memisau persoalan pengangguran dalam kerangka pembangunan dan penanggulangan kemiskinan dari waktu ke waktu ditempuh melalui berbagai pendekatan. Kronisnya persoalan pengangguran, lebih-lebih setelah krisis ekonomi mulai terjadi pada 1997, jumlah pengangguran yang mula-mula sudah berangsur berkurang, tiba-tiba meningkat dengan tajam, diikuti membengkaknya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Belakangan, ketika Indonesia sudah beranjak menjauh dari titik balik krisis ekonomi dan menjalani era reformasi, persoalan pengangguran belum juga dapat diselesaikan, ditandai masih tingginya jumlah angkatan kerja yang belum mendapat pekerjaan.

Di saat rezim pemerintah belum sepenuhnya berhasil mencari jalan keluar atas persoalan pengangguran, fenomena tenaga kerja Indonesia (TKI) mengemuka. Fenomena ini tampil sebagai solusi alternatif yang banyak peminatnya, ditandai semangat menjadi TKI yang begitu menggelora di kalangan angkatan kerja. Kepergian para TKI, mula-mula didorong oleh keinginan sejumlah angkatan kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di manca negara sebab di negeri sendiri tidak tersedia. Keberhasilan sejumlah TKI pemula, yang ditandai gaji tinggi dan perolehan kekayaan menakjubkan untuk ukuran pekerja migran, menjadi daya tarik tersendiri bagi angkatan kerja Indonesia. Daya tarik inilah yang mendorong mereka untuk kemudian menyusul dan berbondong-bondong menjadi TKI. Fenomena ini berlangsung mulai 1980-an sampai belakangan terakhir, sehingga akhirnya keputusan menjadi TKI pun kini merupakan pilihan menarik bagi jutaan angkatan kerja di seluruh pelosok Indonesia.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sikap pemerintah untuk merestui keberangkatan TKI ke luar negeri, yang kata lainnya melegitimasi ekspor manusia, relevan dipandang sebagai upaya menelan pil pahit yang diharapkan dapat menjadi obat mujarab dalam menyembuhkan penyakit kronis yang disebut pengangguran. Meskipun di manca negara TKI hanya bisa bekerja sebagai pekerja kasar di sektor-sektor marjinal karena mereka tidak berbekal keahlian yang menjual (unskilled), pemerintah pun terpaksa merelakan walaupun disadari itu bukan keputusan yang membanggakan. Sikap mengijinkan keberangkatan TKI, disadari merupakan pilihan terbaik, di antara sekian pilihan yang tidak ideal, yang terpaksa dilakukan karena belum ada alternatif lebih baik yang dapat menggantikan.

Tidak dapat dipungkiri jika kemudian keberadaan TKI mengundang pro dan kontra sejalan dengan nasib TKI yang tidak pernah bisa diterka. Ada yang beranggapan TKI merendahkan martabat bangsa, sementara ada yang menyebut mereka pahlawan devisa. Ada TKI yang menjadi kayaraya, namun tidak sedikit TKI yang tetap hidup papa. Banyak TKI yang bergelimang bahagia, namun tidak jarang TKI hidup menderita, mendapat siksa, bahkan ada yang meninggal dunia di tempat kerja.

Keberadaan TKI merupakan bagian tak terpisah dari keberadaan bisnis ketenagakerjaan, baik yang dilakukan oleh pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) sebagai suatu lembaga yang mendapat ijin menempatkan TKI, maupun oleh sejumlah individu yang kemudian populer dengan nama calo TKI. Pada satu sisi, kedua pelaku bisnis tersebut berjasa dalam proses penempatan TKI, karena peran mereka sebagai mediator memang diperlukan. Namun disi lain ada kecenderungan mereka untuk mengedepankan kepentingan bisnis, sehingga mengabaikan peran sosial yang harus mereka emban. Sejumlah kasus malapraktik mereka misalnya bagaimana mereka menjalan skenario perburuan dan penyembelihan calon TKI denganjalan memanfaatkan ketidaktahuan mangsanya akan informasi.

Sebagian besar TKI tidak memiliki daya saing di pasar tenaga kerja tempat mereka bekerja karena mereka relatif tidak berkualitas. Ini dapat diukur dari profil TKI yang rata-rata tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai yang dibutuhkan jenis pekerjaannya, tidak memiliki kepribadian yang tangguh sehingga cenderung tidak dapat membawa diri, tidak memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan perundangan, setidaknya hukum dan peraturan perundangan yang menyangkut posisi dirinya sebagai tenaga migran. Mereka juga tidak memahami budaya di tempat mereka bekerja, tidak piawai menggunakan teknologi, misalnya peralatan elektronik yang sering digunakan di tempat mereka bekerja, tidak menguasai bahasa yang digunakan mitra kerjanya.

Profil demikian di samping disebabkan oleh rendahnya kualitas dasar calon TKI pada saat direkrut, juga disebabkan tidak dibekalinya mereka dengan pendidikan dan pelatihan yang berstandar, menuju standarisasi kualitas TKI pada saat akan ditempatkan. Selama ini, pendidikan dan latihan bagi calon TKI hanya dilakukan ala kadarnya, sekedar memenuhi prasarat administratif, bukan memenuhi prasyarat substantif sebagaimana diatur dalam undang undang. Aparat pemerintah diduga mengetahui fenomena ini, akan tetapi mereka menutup mata.

Rendahnya kualitas TKI tersebut sering menjadi pemicu lahirnya konflik antara TKI dan mitra kerjanya, disamping uga menjadi penyebab rendahnya posisi tawar mereka. Akibatnya di setiap konflik yang terjadi antara TKI dan mitra kerjanya, hampir pasti TKI berada dalam posisi yang lemah, kalah, dan tidak berdaya. Indonesia ternyata menjadi negara terbesar dalam kepemilikan tenaga migran ilegal. Terjerumusnya jutaan angkatan kerja Indonesia menjadi TKI ilegal ternyata dibingkai oleh sindikat yang kuat para pelaku bisnis bidang ini. Ketidaktahuan dan ketidakberdayaan calon TKI menjadi lahan empuk bagi maraknya praktek ini. Pada kasus TKI ilegal, pelaku bisnis dapat mengeruk keuntungan yang luar biasa besarnya dari setiap transaksi yang terjadi, di sisi lain TKI-lah yang harus menanggung resikonya, terutama resiko yang melekat pada posisi ilegalnya.

Pasang-Surut Indonesia-Malaysia
Faktor-faktor yang menjelaskan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia adalah rumit, tetapi ada satu unsur yang selalu diperhitungkan jika membicarakan isu tersebut. Indonesia memiliki kecenderungan bertindak sebagai saudara tua dan menginginkan diperlakukan seperti itu. Tentu saja, kepentingan ekonomi, budaya dan sistem politik yang berbeda adalah sama-sama penting, tetapi faktor-faktor tersebut saja tidak dapat untuk menerangkan beberapa tingkah laku politik luar negeri Indonesia terhadap Malaysia.

Ketika rezim penguasa Orde Lama Sukarno masih berkuasa, hubungan antara Jakarta dan Kuala Lumpur jauh dari hangat. Indonesia bersikap antikolonialis dan antiimperialis, yang berbeda dengan sikap Malaysia. Namun demikian, Sukarno tertarik dalam membentuk Maphilipindo, suatu organisasi embrio, yang diharapkan menjadi dunia Melayu (Malaysia-Filipina-Indonesia) bersama. Konse ini mungkin berasal dari ide nasionalis Indonesia mengenai Indonesia Raya. Karenanya sebelum kebelum kemerdekaan Indonesia, banyak pemimpin mengharapkan membangun negara Indonesia meluas di luar batas-batas Hindia Belanda. Tetapi Maphilindo ditinggalkan ketika Malaysia terbentuk dan Jakarta memperbarui lagi konfrontasi dengan Kuala Lumpur.

Setelah Pak Harto dengan rezim kekuasaan Orde Baru-nya memegang kekuasaan dan konfrontasi dengan Malaysia berakhir, hubungan sosial budaya antara kedua negara dipulihkan kembali. Banyak tenaga pendidik dan kalangan cendekia Indonesia dikirim ke Malaysia untuk mengajar di sekolah-sekolah Melayu di University Kebangsaan Malaysia yang baru didirikan. Pada 1972, bahasa Melayu dan Indonesia disatukan oleh suatu sistem ejaan yang sama, meskipun ada unifikasi beberapa perbedaan dalam pengucapan masih ada. Latihan militer bersama diadakan dalam rangka untuk menghancurkan kegiatan komunis di Sabah dan Sarawak, dan suatu perjanjian atas Selat Malaka ditandatangani oleh Indonesia, Singapura dan Malaysia. Sementara pandangan Indonesia dan Malaysia serupa sejauh menyangkut status Selat Malaka, masing-masing pihak memandang selat tersebut sebagai bagian dari jalan air dalam negeri mereka.

Ketika Tun Razak menjadi Perdana Menteri Malaysia, hubungan antara kedua negara agak membaik. Tun Razak mulai menata kembali politik luar negeri Malaysia untuk menganjurkan netralisasi dan pembentukan suatu Zona Perdamaian, Kemerdekaan dan Netralitas (Zopfan, Zone of Peace, Freedom and Neutrality), dan menentang kehadiran pangkalan militer asing di wilayah tersebut. Konsep ini pada akhirnya diambil Asean sebagai cita-cita Asean yang harus dicapai di masa-masa mendatang. Hubungan Jakarta-Kuala Lumpur bertambah baik ketika Hussein Onn menjadi Perdana Menteri Malaysia. Ini mungkin berkaitan dengan perkembangan internasional saat itu. Pada 1975, tiga negara Indocina menjadi komunis, dan pada awal 1976, para pemimpin Asean mengadakan pertemuan pertama Asean di Bali, di mana Pakta Kerukunan Asean dan Deklarasi Bali diberlakukan.

Persepsi Indonesia dan Malaysia atas ancaman asing hampir serupa. Meskipun Malaysia telah membina hubungan diplomatik dengan RRC di masa jabatan Tun Razak, 1974, hubungan Kuala Lumpur dengan Beijing kurang hangat. Cina masih dilihat sebagai suatu ancaman utama terhadap keamanan Malaysia karena dukungan Beijing kepada Partai Komunis Malaya. Indonesia di bawah rezim Soeharto juga memiliki kecurigaan terhadap Beijing dan memandang RRC sebagai ancaman serius terhadap keamanan karena dukungan Beijing terhadap KI. Tidak mengherankan kemudian RRC menginvasi Vietnam untuk memberikan pelajaran karena pendudukan Hanoi atas Kamboja, Jakarta memperkuat kerja sama keamanannya dengan Kuala Lumpur.

Pada Maret 1980, Soeharto bertemu Hussein Onn dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai Doktrin Kuantan. Doktrin ini menganggap bahwa Vietnam di bawah tekanan Cina dan, sebagai akibatnya, Vietnam akan lebih mendekati Uni Soviet dan ini akan membahayakan keamanan regional. Umumnya mereka percaya bahwa Vietnam pada dasarnya sangat nasionalistik dan, apabila Vietnam mempunyai suatu pilihan, misalnya jika bantuan akan datang dari negara-negara Asean, maka secara bertahap Vietnam akan menarik diri dari sekutunya yaitu Soviet. Karenanya, Doktrin Kuantan menawarkan bantuan kepada Vietnam. Tetapi Thailand merasa bahwa posisi politik ini mengorbankan kepentingan mereka. Prinsip Kuantan akhirnya menciptakan friksi di dalam Asean dan sebagai akibatnya, ditinggalkan dengan diam-diam.

Konsep Malaysia mengenai Zona Perdamaian, Kemerdekaan dan Netralitas, Zopfan, diterima oleh para Menteri Luar Negara Asean pada 1971. Ini menjadi doktrin Asean 1976 ketika ini diterima dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Asean. Sementara mendukung konsep Zopfan, Indonesia memperkenalkan doktrin lainnya di 1983, Zona Bebas Senjata Nuklir (Seanwfz, Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone), sebagai bagian dari Zopfan. Zona bebas senjata nuklir adalah cara untuk melengkapi, bukan mengganti, Zopfan. Indonesia berpendapat bahwa, sejak Zopfan tidak dapat tercapai, maka Zona Bebas Senjata Nuklir harus dijalankan terlebih dahulu. Sebetulnya Indonesia berpendapat bahwa jika Seanwfz dilaksanakan, Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir akan memberikan isi terhadap Deklarasi Kuala Lumpur 1971 mengenai konsep Zopfan. Ini merupakan refleksi hasrat Indonesia untuk memainkan suatu peranan yang aktif di panggung regional. Zona bebas senjata nuklir pada akhirnya dimasukkan ke dalam Deklarasi Manila 1987, tetapi pelaksanaan sesungguhnya merupakan masalah karena ketidaksetujuan Amerika.

Terdapat peningkatan kerja sama keamanan antara Jakarta dan Kuala Lumpur semenjak Soeharto berkuasa. Pada awalnya, kerja sama dibatasi pada Komite Perbatasan Bersama (JBC, Joint Border Committee), yang didirikan pada 1972 untuk menghadapi pemberontakan di sepanjang perbatasan Malaysia Timur. Kemudian berkembang meliputi area yang lain, termasuk pertukaran intelijen, latihan bersama dan pertukaran perwira untuk memasuki akademi militer. Pada 1984, aturan keamanan 1972 diperbarui dengan memasukkan patroli laut dan udara bersama sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia, dan Selat Malaka. Persetujuan awal dibatasi hanya berkaitan dengan komunis yang beroperasi di area sasaran, tetapi 1984 persetujuan diperbarui meliputi juga penyelundupan, perdagangan obat bius dan pemalsuan uang.

Ketika ancaman komunis memudar dan perang dingin berakhir, Indonesia menjadi percaya diri, baik dalam politik dalam negeri maupun masalah-masalah luar negeri. Hubungan Indonesia-Malaysia mulai bermasalah lagi, lima peristiwa terjadi di tahun 1990-an membuktikan hal ini. Pertama, adalah tawaran Jakarta atas fasilitas latihan militer yang digunakan oleh angkatan bersenjata Singapura. Pemerintah Malaysia pada awalnya mengkritik ini dan melihatnya sebagai suatu ancaman terhadap keamanan Malaysia. Tetapi Jakarta tidak sepakat dengan pandangan tersebut. Namun kemudian, juru bicara militer Malaysia menyatakan bahwa Malaysia sebetulnya tidak berpikir bahwa ini merupakan suatu ancaman.

Kedua, berkaitan dengan hukuman gantung Basrie Masse, seorang Indonesia, di Sabah karena perdagangan obat bius. Sebelum digantung, Jakarta tidak berhasil menyelamatkan terhukum di menit-menit terakhir. Eksekusi Basrie menimbulkan sejumlah protes di Jakarta sementara pemerintah Indonesia memperlihatkan kekecewaannya karena permintaan penundaan eksekusi telah ditolak. Menteri Luar Negeri Alatas berkomentar bahwa Indonesia diberitahu setlah hukuman Basrie dilaksanakan, tindakan lebih awal akan memberikan duta Indonesia di sana mengupayakan bantuan hukum. Alatas pada akhirnya menyatakan bahwa banyak orang Indonesia bekerja di Malaysia danpemberitahuan segera atas setiap penahanan tenaga kerja Indonesia akan membantu konsulat Indonesia melakukan tindakan yang dierlukan.

Ketiga, adalah pendatang ilegal Indonesia ke Malaysia. Telah banyak diketahui umum bahwa semenjak 1970, jumlah orang Indonesia yang bekerja di Semenanjung Malaysia meningkat. Banyak dari mereka masuk ke negeri jiran secara ilegal. Diperkirakan, di Johor saja, terdapat 100.000 pekerja Indonesia. Menurut perkiraan saat itu, 1990 terdapat lebih dari 500.000 pekerja Indonesia di Malaysia Barat. Jumlah keseluruhan imigrasi ilegal Indonesia mungkin mencapai 1,2 juta pada 1994. Kehadiran mereka yang tergolong ilegal ini telah menciptakan masalah, karena situasi ini memperburuk pengangguran di Malaysia. Hal ini juga menimbulkan amarah beberapa orang Malaysia karena timbulnya kegiatan kriminal dan penyakit di antara imigran Indonesia tergolong tinggi.

Karena masalah tersebut menjadi serius, Kuala Lumpur dan Jakarta bernegosiasi dan akhirnya mencapai suatu kesepakatan untuk menangani isu tersebut. Tetapi upaya pemerintah Malaysia untuk mengerem arus imigrasi ilegal tidak berhasil. Ada yang berpendapat bahwa pemerintah Indonesia kurang bekerja sama dalam menghentikan arus pekerja ilegal ke Malaysia. Pada September 1994, Mahathir mengunjungi Jakarta untuk membicarakan masalah buruh ilegal dan juga pulau-pulau yang disengketakan.tetapi Mahathir dikutip sebagai mengatakan bahwa Malaysia masih membutuhkan 17.000 buruh perkebunan dari Indonesia. Surat kabar harian militer Indonesia, Angkatan Bersenjata, menyatakan dalam tajuk rencananya bahwa upah di Malaysia tinggi dan banyak orang Indonesia yang tertarik untuk bekerja di sana, baik secara legal maupun ilegal.

Tajuk rencana 19 September 1994 itu antara lain menuliskan, “Mungkin di Malaysia masih terdapat banyak imigran ilegal. Jika ini benar, akan lebih baik orang-orang tersebut diterima dan diberikan status legal. Jika lebih banyak yang dibutuhkan, kemudian (Malaysia) dapat merekrutnya langsung dari Indonesia”. Militer Indonesia tidak melihat ada masalah dari imigran ilegal di Malaysia.

Keempat, melibatkan dua pulau kecil yang disengketakan, Sipadan dan Ligitan. Pada Juni 1994, Malaysia berusaha untuk mengembangkan dua pulau tersebut untuk tujuan wisata. Indonesia meminta Malaysia untuk menghentikan pengembangan pulau tersebut dan mengkritik Kuala Lumpur atas pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya, 1990, di mana kedua belah pihak sepakat untuk memelihara status-quo. Tetapi Malaysia tidak menghentikan pengembangan pulau tersebut dan sebagai balasan, Indonesia menahan kapal nelayan Malaysia berbobot 100 ton beserta 13 awak kapal. Akibatnya terjadi ketegangan, tetapi kedua belah pihak sepakat untuk melakukan negosiasi. Pada Juli 1991, Ghafar Baba bertemu Soeharto untuk membicarakan isu tersebut, dilanjutkan dngan pembentukan suatu komisi bersama.

Namun, kemajuannya sedikit, terbukti dengan terjadiunya ketidaksepakatan untuk memecahkan isu pulau yang disengketakan September 1994. Delegasi Malaysia ingin mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tinggi Internasional, sementara delegasi Indonesia bersikeras agar Dewan Tinggi Asean menangani masalah ini. Malaysia berpendapat bahwa Pengadilan Internasional tidak akan bisa, sementara Indonesia menegaskan bahwa baik Kuala Lumpur maupun Jakarta harus menyelesaikan isu ini dalam semengat Asean.

Pada Oktober 1994, Komisi I DPR RI menyatakan bahwa kementerian Indonesia harus berhubungan dengan pemerintah Malaysia untuk mempertanyakan sikap provokatifnya berkaitan dengan pulau-pulau yang disengketakan. Ditegaskan pada Januari 1994, Kuala Lumpur telah sepakat bahwa Malaysia tidak akan melanjutkan pengembangan pulau-pulau yang disengketakan sebagai tempat kunjungan wisatawan. Tetapi Kuala Lumpur tidak menepati janji dan secara sepihak mengembangkan kedua pulau tersebut. Kelihatannya militer Indonesia sangat tegas posisinya atas dua pulau tersebut. Tetapi Juni 1995, Abdullah Ahmad Badawi, ketika itu Menteri Luar Negeri Malaysia, berunding dengan mitra Indonesia-nya dan kemudian mengumumkan bahwa Malaysia tidak akan lagi mempertimbangkan usulan untuk mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tinggi Internasional. Ia mengatakan ketika itu, bahwa Kuala Lumpur ingin memperoleh penyelesaian damai dan cepat atas sengketa yang sudah berjalan laam itu. Namun, persengketaan tersebut akhirnya berakhir dengan dimilikinya kedua pulau ini oleh Malaysia.

Kelima, berkaitan dengan usulan Perdana Menteri Mahathir Mohammad dalam soal Pengelompokan Ekonomi Asia Timur (EAEG-East Asian Economic Grouping). Pertama kali ia menyatakan idenya Desember 1990 pada jamuan atas kunjungan Pimpinan Cina Li Peng dan diulanginya kembali pada konferensi di Bali awal Maret 1991. Sebelum konferensi tersebut, Mahathir mengunjungi Soeharto untuk membicarakan sejumlah isu, termasuk usulan EAEG. Dalam gaya Jawa-nya seperti biasa, Soeharto mengomentari bahwa usulan tersebut memerlukan kajian yang lebih jauh oleh para pejabat senior di kedua negara. Ini adalah cara halus untuk mengatakan bahwa Indonesia memiliki mkeberatan atas usulan tersebut.

Pada 3 Maret 1991, ketika pembukaan konferensi di Bali, Pak Harto memberikan sambutan dengan menekankan bahwa Indonesia tidak menginginkan suatu blok perdagangan yang tertutup. Tidak disebutkan mengenai usulan EAEG, tetapi jelas bahwa Pak Harto merujuk ke situ. Jakarta merasa bahwa jangan ada pengelompokan ekonomi lain yang akan merugikan kerja sama internasional yang dibutuhkan. Lagipula, Jakarta merasa bahwa Mahathir akan mengeluarkan Amerika Serikat dari kelompok ini dan Indonesia tidak ingin menimbulkan kemarahan Amerika Serikat di saat negara masih sangat membutuhkan bantuan Amerika dan investasi asing. Beberapa kalangan Indonesia menyatakan bahwa APEC akan lebih menguntungkan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya daripada EAEG. Karenanya Indonesia harus terlibat di APEC secara aktif dalam rangka mendorong investasi dan perdagangan. Indonesia juga ingin memanfaatkan amerika Serikat untuk mengimbangi dominasi ekonomi Jepang di Asia Tenggara.

Mungkin faktor yang tidak terucapkan dalam ketidaksepakatan adalah rivalitas antara Indonesia dan Malaysia untuk kepemimpinan bagi Dunia Melayu. Jakarta memandang dirinya sebagai pemimpin wajar, dan suatu kenyataan bahwa EAEG diusulkan oleh Malaysia tanpa persetujuan terlebih dulu dari Indonesia. Pada 4 Maret 1991, Mahathir menyamapikan pidato menyangkal bahwa usulannya bermaksud untuk membentuk suatu blok perdagangan. Kendatipun demikian, ia mencatat bahwa wilayah Asia Timur sangat aktif secara ekonomi dan karenanya negara-negara di kawasan ini harus bicara dengan satu suara.

Ia bersikeras dalam pembentukan EAEG, tetapi Jakarta tidak mau menyerah. Pihak Malaysia berupaya keras untuk mempengaruhi ASEAN agar menerima usulan tersebut. Setelah negosiasi yang cukup lama, usulan Malaysia akhirnya diterima dalam suatu Pertemuan Tingkat Menteri ekonomi pada Oktober 1991 sebagai salah satu dari berbagai usulan ASEAN. Ini terjadi setelah Malaysia menerima usulan Indonesia untuk mengganti istilah grouping menjadi caucus. Sekarang nama resminya adalah EAEC (East Asian Economic Caucus) dan ini lebih merupakan suatu forum daripada suatu blok ekonomi. Juga, ini bukan suatu unit yang independen, tetapi sebagai suatu kelompok kecil dalam organisasi yang lebih besar, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Ini bukan ide dari Malaysia. Isu ini masih jauh dari terealisasikan, karena sebelum pertemuan ASEAN di Singapura, Indonesia meminta usulan tersebut supaya direvisi. Mahathir terganggu dan mengemukakan isu ini sebelum pertemuan dengan tuntutan bahwa EAEC telah disetujui secara penuh oleh asean. Alatas dikutip sebagai mengatakan bahwa EAEC adalah topik yang sangat penting, tetapi banyak topi yang lebih penting. Mahathir dan Soeharto bertemu kembali selama pertemuan ASEAN, untuk membicarakan isu tersebut. Setelah pertemuan, alatas dilaporkan telah mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kesulitan dengan dasar-dasar EAEC.

Isu EAEC dibicarakan kembali selama kunjungan Pak Harto ke kuala Lumur pada Juli 1991. Tetapi Pak Harto bertahan pada posisi awal, yakni EAEC harus berada di bawah APEC. Indonesia akan menjadi ketua APEC pada 1994 dan menaruh perhatian terhadap kelancaran (effectiveness) pengelompokan ini. Dilaporkan bahwa tidak ada kesepakatan dan Soeharto memutuskan untuk memperpendek kunjungannya di Malaysia. Ketika Presiden Bill Clinton mengumumkan bahwa pertemuan APEC akan diadakan di Seattle Washington, Pak Harto sepakat untuk hadir, sementara Mahathir menolak.

Contoh-contoh ini memperlihatkan bahwa masih terdapat jurang komunikasi antara dua negara. Masing-masing negara tampaknya menganggap bahwa semuanya memang mesti begitu karena keduanya, baik Melayu Malaysia maupun pribumi Indonesia, berasal dari budaya Melayu dan keturunan etnis yang sama. Jakarta merasa bahwa Kuala Lumpur kadang-kadang lupa memberikan kehormatan yang semestinya. Di samping isu-isu bilateral yang disebutkan tadi, masih ada masalah-masalah bilateral yang harus diselesaikan yang dapat menjadi sumber pertentangan. Sebagai contoh, masalah penentuan perbatasan bersama di Kalimantan, pengakuan yang tumpang tindih atas dua pulau kecil di Laut Cina Selatan dan masalah hak-hak penangkapan ikan bagi Indonesia. Jelasnya, Indonesia dan Malaysia perlu memperbaiki saluran komunikasi mereka, dan Indonesia berniat untuk menjadi pemimpin.

Potret Kelam Bisnis Ketenagakerjaan
Sampai kapan pun pencari kerja yang menuju Sarawak tidak dapat dibendung. Persoalannya hanya satu, yakni begitu besarnya perbedaan upah pekerja di Indonesia dengan Sarawak. Di Indonesia, untuk pembantu rumah tanga (PRT) misalnya, hanya dihargai sekitar Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan. Tetapi di Sarawak, PRT digaji 150-200 ringgit Malaysia atau kurang lebih Rp 270.000-Rp 350.000 per bulan. Gaji sebesar itu tentu saja sangat menggiurkan, dan niat pencari kerja untuk menuju Sarawak pasti akan sulit dibendung. Apalagi saat yang sama di daerahnya tidak tersedia lapangan kerja serta rendahnya pendapatan keluarga. Makanya, risiko yang bakal dihadapi tidak lagi dipedulikan, sebab hanya satu hal yang terbayang dalam benak, yakni di sana mereka akan mendapatkan upah yang tinggi.

Akibatnya, segala cara akan dimanfaatkan supaya dapat masuk ke negeri jiran itu. Maka, ketika para agen tenaga kerja wanita (TKW) mendatangi rumahnya, serta menawarkan peluang kerja di Sarawak, langsung disahuti, dan didukung orangtua. Bahkan, usia pencari kerja yang sebenarnya masih di bawah 17 tahun, namun dalam kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran dan buku paspor ditingkatkan menjadi 25 tahun. Manipulasi ini dilakukan karena persyaratan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia, pencari kerja asing yang bekerja di negara itu minimal berusia 25 tahun.

Akan tetapi, ketika persyaratan formal pun diperketat, pencari kerja bersama agennya mengambil jalan pintas. Mereka masuk Sarawak melalui jalan-jalan kecil. Namun demikian, jumlah pekerja ilegal selalu berubah setiap hari. Karena, banyak pula yang ditangkap polisi, lalu dijebloskan ke dalam penara. Ada pula yang dideportasikan melalui Pos Lintas Batas (PLB) Entikong-Tebedu, Kalimantan Barat. Melihat kecenderungan mobilisasi pencari kerja ke Sarawak terus meningkat, tidak ada pilihan lain bagi pemerint harus segera turun tangan. Mulai dari penertiban agen ilegal, penyadaran hukum, serta menghidupkan lembaga penyalur PRT yang resmi. Sebab, suka atau tidak, senang atau tak senang, sebagian besar TKWI memilih bekerja sebagai PRT.

Kasus perkosaan terhadap TKW Indonesia di Sarawak telah berkali-kali terjadi. Kantor Penghubung KJRI di Kuching bersama korban selalu mengadukan kasus tersebut kepada kepolisian setempat, tetapi hasilnya nihil. Satu hal pasti, nasib buruk tersebut juga akibat ulah agen tenaga kerja Indonesia. Mereka mendapat iming-iming begitu rupa sehingga lupa memperhitungkan bahwa tenaga yang direkrut bisa diperlakukan tidak manusiawi. Yang mereka ingat cuma setiap pekerja yang diserahkan kepada agen di Sarawak akan dibayar berkisar 1.500-2.000 RM. Inilah kejahatan kemanusiaan yang tak pernah disentuh hukum Indonesia.

Bagi TKW asal Indonesia, pilihan menggeluti profesi sebagai wanita panggilan di Malaysia sangat bervariasi. Ada yang karena dipaksa majikan, tetapi ada pula yang dengan sadar menerjunkan diri dalam dunia hitam tersebut. Mereka yang masuk kategori kelompok kedua umumnya dipicu rasa frustrasi dan kecewa dengan perceraian orangtua, atau perselingkuhan suami dan tekanan ekonomi di daerah asa.

Penipuan dalam perekrutan TKW bukan baru sekali. Kasus ini sudah sering terjadi. Penyebab utama adalah maraknya pasar gelap dalam pengiriman TKI ke luar negeri. Tarif yang diberlakukan di Malaysia pun cukup tinggi, yakni 400-500 ringgit atau Rp 900.000-Rp 1,1 juta per kepala. Peluang itu akhirnya mendorong pembentukan jaringan kerja melibatkan berbagai pihak yang ingin meraih keuntungan, lalu diteruskan oleh orang khusus lagi untuk diserahkan kepada mereka yang selalu bertugas di pintu keluar negara, seperti Nunukan, Entikong, serta Tanjung Pinang. Segala cara digunakan dalam mendapatkan seorang calon pekerja untuk dikirim ke luar negeri, terutama Malaysia.
Mereka yang bertugas di pintu keluar negara biasanya menjalin hubungan khusus dengan aparat instansi teknis terkait. Dengan demikian, setiap kali dilakukan pengiriman TKI tidak dilakukan pemeriksaan yang ketat. Pembentukan jaringan ini bukan baru, tapi telah berlangsung lama, dan semua pihak yang terlibat selalu saling melindungi. Melihat kenyataan ini, maka siapa yang bersalah. Sepintas dapat dikatakan para TKI yang salah, sebab sekalipun berstatus ilegal, tetap ia bersedia dikirim ke luar negeri. Tetapi, yang paling bersalah adalah aparat instansi terkait yang tidak pernah serius dalam bertindak, sehingga memungkinkan TKW untuk menoreh noda di negeri jiran.

Inilah akar masalah paling serius yang belum tertuntaskan juga dalam zaman reformasi. Sejauh ini belum diketahui pasti tenaga kerja wanita Indonesia (TKWI) yang bekerja sebagai wanita penghibur. Namun sesuai pengakuan dari sejumlah warga Indonesia, jumlah TKWI yang menjadi pekerja seks di Kota Kinabalu ditaksir berkisar 180 sampai 200 orang. Usia mereka rata-rata 16-28 tahun. Lokasi yang menampung pekerja seks asal Indonesia mendapatkan pengamanan sangat ketat. Lokasi tersebut seperti rumah toko (ruko) yang rata-rata berlantai tiga. Lebar tangganya hanya sekitar 50 sentimeter. Pintu masuk pada setiap lantai terbuat dari jeruji besi yang selalu dijaga dua sampai tiga samseng. Setiap lantai terdapat 15 sampai 20 kamar dengan luas 12 meter persegi. Setiap kamar dilengkapi dengan ruang mandi dan kamar kecil dan menggunakan mesin pendingin.

Para wanita bernasib malang yang berpraktik dalam kamar itu diwajibkan membayar sewa kamar yang sangat bervariasi. Bagi mereka yang telah mengabdi pada germo minimal setahun, diberlakukan harga sewa kamar berkisar 45 sampai 75 ringgit per hari. Untuk pendatang baru, umumnya dikenakan biaya sewa kamar cukup mahal, yakni 79 sampai 90 ringgit per hari. Pemakaian kamar hotel hanya selama pukul 9 sampai pukul 24.

Sistem penyewaan seperti itu secara tidak langsung mengharuskan setiap wanita melayani minimal lima lelaki selama sehari. Dengan demikian, dia mampu melunasi sewa kamar sehari. Apabila pembayaran sewa kamar dalam hari tersebut kurang dari yang ditentukan, otomatis wanita panggilan yang bersangkutan pun terjerat utang pada germo atau majikan. Kekurangan pembayaran hari itu langsung dibebankan untuk pembayaran hari berikutnya. Seandainya hari berikutnya mereka tidak mampu melunasi utang itu, terjeratlah wanita malang ini dalam utang yang terus bertumpuk-tumpuk. Beban utang dengan germo semakin bertumpuk lagi, sebab setiap bulan mereka pun harus membayar biaya pemondokan serta untuk makan. Belum lagi biaya keamanan untuk samseng.

Bagi wanita yang telah terperangkap dalam mata rantai jaringan prostitusi semakin sulit keluar. Dari waktu ke waktu, ruang gerak mereka sangat dibatasi. Jaringan tersebut begitu kuat dan agak sulit dilawan oleh TKWI. Jika dilawan, risikonya yakni kehilangan nyawa. Satu-satunya pilihan untuk bebas adalah melarikan diri. Tetapi, hal itu pun tidak mudah dilakukan, sebab ruang gerak mereka dibatasi samseng. Paspor pun ditahan germo. Bahkan samseng dan germo pun selalu menakuti bahwa jika ditangkap polisi Malaysia akan dimasukkan dalam penjara selama berbulan-bulan. Inilah yang membuat nyali para wanita malang ini pun ciut.

Selain itu, ada TKWI yang meminta perlindungan di kantor Konjen RI di Kinabalu dengan kondisi tubuh yang babak belur dihajar germo dan tukang pukul pemilik rumah bordil. Itu gara-gara mereka menolak melayani lelaki hidung belang. Kisah pahit seperti ini sungguh sangat pedih dan menyakitkan. Tetapi, anehnya sindikat yang telah merusak masa depan TKWI tidak juga ditertibkan dan ditindak tegas.

KBRI Kuala Lumpur di Jalan Tun Razak hampir setiap hari selalu didatangi TKW yang bermasalah yang melarikan diri dari majikan. Ada yang datang sendiri, ada pula yang diantar polisi atau masyarakat Malaysia yang bersimpati dengan penderitaan yang dialami. Masalah yang dihadapi sangat bervariasi, mulai dari gaji tidak dibayar, dianiaya majikan, diperkosa, hingga mencoba bunuh diri tapi berhasil digagalkan. Sesuai ketentuan, pihak yang seharusnya mengurusi TKI yang melarikan diri adalah agen di Malaysia selaku distributor. Akan tetapi, TKW sendiri menjadi sangat trauma, dan berprasangka negatif terhadap agen, sehingga KBRI dianggap sebagai tempat yang nyaman. Ketika pertama kali tiba, ada yang dalam kondisi stres berat, sakit serius. Mereka langsung diantarkan ke rumah sakit untuk diobati secara intensif, diberikan pula terapi psikologi guna pemulihan mental dan kepercayaan diri.

Selain itu, Atase Ketenagakerjaan juga menginventarisasi masalah, tempat kerja dan alamat majikan. Jika terkait dengan gaji yang belum dibayar langsung dilakukan pendekatan dengan majikan untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagi majikan yang menyadari kesalahan, serta tidak ingin persoalan itu berlarut, biasanya dalam tempo paling lambat tiga bulan, kewajiban itu sudah dituntaskan. Namun, ada majikan yang menginginkan penyelesaian kasus tersebut melalui pengadilan. Untuk proses penyelesaian seperti ini selalu memakan waktu minimal setahun.

Hasilnya, ada yang semua tuntutan TKI yang dapat dikabulkan hakim. Ada pula yang nilainya lebih rendah. Bahkan, tidak sedikit pula yang gagal. Semuanya itu dibutuhkan kegigihan dan kesabaran, sebab majikan pun selalu menggunakan berbagai cara guna lolos dari jeratan hukum. Bagi TKW yang ingin segera dipulangkan ke daerah asalnya tanpa mempedulikan lagi gaji, maka yang bersangkutan diwajibkan membuat pernyataan tertulis. Ini penting guna menghindari kemungkinan adanya gugatan lagi di kemudian hari. Setelah itu, TKW yang bersangkutan langsung dipulangkan atas biaya KBRI.

Impian Suram di Tanah Jiran
TKI yang dipenjarakan di berbagai penjara di Negara Bagian Sarawak, kurang lebih 45 persen di antaranya adalah PRT. Hukuman yang dijalani bervariasi, berkisar satu hingga dua tahun. Korban ummnya mereka yang datang ke Sarawak dikirim oleh agen perseorangan di Indonesia yang bekerja sama secara tidak resmi dengan perusahaan pengerah tenaga kerja di Kuching. Prinsip yang dihidupkan bukan membantu memberdayakan ekonomi pekerja, melainkan mendapatkan keuntungan besar dari perekrutan dan pendistribusian pekerja.

Dalam bisnis ini, agen di Indonesia selalu dibayar 1.500-2.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 2,7 juta-Rp 3,8 juta per pekerja oleh agen di Sarawak. Setelah itu agen Sarawak memasarkan pekerja kepada majikan yang membutuhkan. Kepadanya, majikan harus membayar 3.000 ringgit sampai 4.000 ringgit atau kurang lebih Rp 5,4 juta-Rp 7,2 juta per orang. Menyedihkan lagi, sudah diperdagangkan agen, nasib pekerja pun tak dihiraukan. Bahkan, antara agen, pekerja dengan majikan pun tak membuat kontrak kerja. Misalnya, soal gaji, jam kerja serta hak dan kewajiban masing-masing. Akibatnya, ketika timbul masalah terhadap pekerja selalu sulit dituntaskan. Majikan dan agen menghilang dengan membawa paspor milik pekerja.

Kalau saja pemerintah Jakarta mau melakukan upaya diplomasi dengan Kuala Lumpur, serta serius menertibkan calo atau agen TKWI ilegal, kasus-kasus penyiksaan dan pemerkosaan perlahan-lahan bisa diminimalisasi. Benarkah begitu banyak TKI yang masuk dan bekerja di Malaysia tanpa melengkapi paspor dan dokumen penting lainnya. Jawabannya tidak. Jika ditelusuri lebih mendalam, sebetulnya kenyataanya tak seperti yang dituduhkan. Mereka umumnya telah melengkapi diri dengan paspor dan dokumen lainnya. Apalagi, masyarakat Malaysia baik secara perorangan maupun lembaga mensyaratkan adanya paspor dan izin kerja bagi semua pekerja asing. Tanpa adanya kelengkapan dokumen itu pasti ditolak. Bahkan, mereka pun khawatir dituduh pemerintah Malaysia sebagai penampung pendatang haram.

Lantas, mengapa ada TKI ilegal di Malaysia. Mereka sebetulnya mengantungi paspor. Hanya saa, buku paspor, dan dokumen penting itu umumnya ditahan majikan. Alasannya, agar TKI tidak melarikan diri. Namun, saat TKI itu sedang berbelanja di pasar, toko, terminal atau tempat keramaian lainnya langsung dirazia polisi. Pada saat diperiksa tidak mampu menunjukkan paspor, mereka dituduh oleh polisi sebagai pendatang haram. Padahal, sudah diyakinkan bahwa paspor disimpan majikan. Lebih menyedihkan lagi, polisi setempat pun umumnya tidak melakukan klarifikasi kepada majikan TKI. Akan tetapi, korban langsung ditahan dan diseret ke pengadilan lalu dipenjarakan. Sementara majikan dan agen pun membiarkan pekerjanya menghadapi ketidakadilan.

Praktik ketidakadilan tersebut umumnya menimpa TKWI yang datang ke Malaysia melalui agen perorangan atau calo di Indonesia. Mereka menjalin kerja sama tidak resmi yang rapi, serta saling menguntungkan dengan pengusaha pengerah TKWI di Negeri Jiran. Prinsip yang selalu dihidupkan bukan ikut membantu memberdayakan ekonomi TKWI, atau ikut meninkatkan harkat dan martabat pekerja. Akan tetapi, mendapatkan keuntungan dari perekrutan dan pendistribusian TKWI.

Di Indonesia, mereka yang terlibat dalam bisnis TKI ini sangat banyak, dan berlapis. Barisan terdepan adalah para perekrut. Tugas petugas di garis depan adalah beroperasi dari desa ke desa membujuk rayu perempuan setempat, agar bersedia bekerja di Malaysia. Supaya mudah menggaetnya, umumnya para buser berpenampilan menarik, gagah, dan dilengkapi berbagai jenis perhiasan yang mengesankan mereka orang sukses. Tawaran yang mereka ajukan, langsung disergap oleh para calon TKWI sebagai impian masa depan, yang diyakini akan mengubah jalan hidup mereka dari belitan kemiskinan.

Caranya, kepada para calon pekerja perempuan yang tengah diincar diyakinkan, perhiasan dan pakaian yang menarik tersebut dapat dimiliki setelah bekerja di Malaysia. Di Negeri Jiran, gaji pertama yang akan diterima seorang pembantu rumah tangga (PRT) minimal Rp 400.000 per bulan, pelayan restoran dan penjaga toko sedikitnya Rp 700.000 per bulannya. Membayangkan upah PRT di Indonesia yang maksimal Rp 200.000 per bulan, maka janji calo itu sungguh sangat menggiurkan. Di benak mereka yang muncul cuma satu harapan, setelah tiba di Malaysia seluruh penderitaan yang mereka hadapi selama ini bakal berakhir. Apalagi, upah yang akan diterima setara dengan gaji pokok seorang sarjana yang bekerja pada perusahaan swasta di Indonesia.

Supaya lebih cepat menjaring mangsanya, perekrut itu meyakinkan bahwa semua biaya transportasi dari desa asalnya, hingga tiba rumah atau tempat usaha majikan di Malaysia, pengurusan paspor, fiskal, dan sebagainya ditanggung agen. Kontan tawaran itu pun langsung disambarnya. Alhasil, TKWI itu pun diserahkan kepada calo lain yang berdomisili di ibukota kabupaten terdekat. Kemudian, perekrut atau yang umum disebut masyarakat sebagai calo mendapat imbalan jasa sebesar Rp 100.000-Rp 150.000 per calon TKWI. Setelah itu, calon pekerja didrop ke agen.

Babak baru penderitaan mulai dimainkan. Selama berada di tangan para calo dan agen, para pekerja itu diamankan di rumah atau kamar khusus yang telah disiapkan. Makan dan minum ditanggung agen. Bahkan, di tempat penampungan itu pun ditempatkan petugas keamanan yang selalu memantau gerak-gerik ekerja. Mereka baru bisa keluar rumah, jika hendak mengurus KTP dan paspor. Sejak meninggalkan rumah hingga proses mendapatkan buku paspor, TKWI tersebut menghabiskan waktu sekitar satu bulan.

Setelah mengantungi paspor, para pekerja Indonesia tersebut diberangkatkan ke Malaysia. Bagi yang keluar melalui Kalimantan Barat, begitu tiba di PLB Entikong langsung diserahkan kepada agen perorangan di negara itu. Saat yang sama calo yang dari Indonesia juga menyerahkan buku paspor milik pekerja kepada calo yang ada di Malaysia. Sebagai imbalan atas kerja tersebut, calo asal Malaysia itu menyerahkan uang berkisar 1.500 sampai 2.000 ringgit atau sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5,4 juta per orang.

Di Malaysia, para pekerja migran asal Indonesia itu tidak langsung didistribusikan kepada pihak yang membutuhkan. Agen setempat umumnya menampung dulu pada tempat yang disediakan. Saat berada di tempat penampungan sementara inilah, para TKWI mendapatkan perlakuan yang memprihatinkan. Mereka disekap dalam ruang tertutup mirip penjara, sempit, dan hanya diberi tikar tanpa bantal sebagai alas tidur. Mereka dibiarkan tidur berhimpit, bahkan nyaris bertumpuk seperti indang. Perlakuan yang diberikan kepada mereka jauh dari sikap manusiwi.

Bahkan, untuk urusan makan dan mandi pun hanya diberi kesempatan sekali dalam sehari. Itu pun kondisinya makanan umumnya sudah setengah basi. Sebagai penawar rasa haus dan agar tidak tersedak diberi minum segelas air putih ukuran sedang. Demi menjaga rasa aman, setelah seluruh makanan didistribusikan kepada para TKWI yang diberlakukan seperti pesakitan ini, kamar pun kembali dikunci rapat. Kuncinya langsung diamankan agen atau satuan pengaman (satpam) yang ditugaskan agen. Pintu kamar itu baru bisa dibuka kembali, jika TKWI sudah waktunya mandi. Biasanya pada saat itu, para TKWI memanfaatkan kesempatan untuk buang air kecil atau besar.

Setelah mendapatkan orang atau perusahaan yang membutuhkan TKI, barulah pekerja Indonesia itu diserahkan. Dan, penerima diwajibkan membayar imbalan kepada agen uang berkisar 3.500-4.000 ringgit per pekerja. Penyerahan itu tanpa disertai perjanjian kerja, dan paspor milik mereka pun langsung ditahan majikan. Penahanan paspor ini dengan tujuan, agar pekerja tak melarikan diri. Karena selama beberapa bulan, gaji TKWI itu takkan dibayar. Uang tersebut dipotong majikan untuk menutup biaya yang telah dibayarkan kepada agen. Tiap hari, TKWI itu juga diyakinkan bahwa jika tertangkap polisi Malaysia pasti dipenjarakan bertahun-tahun, sebab dituduh sebagai pendatang haram.

Jika ada yang memiliki gelagat untuk melarikan diri, majikan langsung mengadukan ke agen. Saat itu pun TKWI ini menjadi orang buronan, seperti di film-film mafia. Begitu tertangkap kembali, tak ampun lagi. TKWI itu pun dijadikan bulan-bulanan orang suruhan agen itu hingga babak belur. Tindakan sadis itu dilakukan, sebagai pelajaran bagi yang lain ika coba-coba melarikan diri. Perlakuan yang tidak manusiawi juga sering diperlihatkan agen. TKWI yang ada diamankan di hotel atau tempat tertentu, guna melayani kebutuhan biologis agen, orang suruhan, bahkan rekan-rekan agen tersebut. Jika keinginan itu ditolak, maka TKWI yang bersangkutan dipukul dan disiksa. Mereka dibuat pingsan, bahkan yaris mati. Tidak sanggup lagi menahan siksaan tersebut, para TKWI itu akhirnya memilih jalan nekat. Bunuh diri melompat dari ruang atas tempat penyekapan.

Keringat Perih di Negeri Jiran
Melihat upah minimun buruh di Indonesia yang masih rendah, maka sampai kapan pun minat masyarakat desa, baik lelaki maupun perempuan untuk menjadi buruh migran tetap tinggi. Segala macam cara akan mereka tempuh, agar bisa masuk, serta bekerja di Malaysia. Pengalaman pahit yang terkuak, dibalik janji manis, gaji yang besar, dan bekerja di luar negeri tak pernah mampu menjadi tembok tebal untuk menahan laju para TKWI tersebut. Semangat bekerja di Negeri Jiran, tetap membara, walaupun risiko cedera, diperkosa, atau dituduh sebagai pendatang haram tetap terus mengintai hidup mereka. Lepas dari kenekatan itu, mereka adalah pahlawan yang mampu mengurangi beban pemerintah soal pengangguran yang terus membengkak. Bukan hanya itu, mereka juga telah memberikan kontribusi devisa untuk kepentingan ekonomi nasional.

Maraknya TKI ilegal yang bekerja di Malaysia tak terlepas dari kontribusi berbagai komponen yang ada di Indonesia. Mereka meliputi agen perorangan, serta Pengerah Jasa tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) liar yang dibiarkan bebas beroperasi di daerah asal TKI dan tempat transit, seperti di Pontianak, Nunukan, Tarakan, Entikong, Batam, Balai Karangan, dan Dumai. Mereka juga memiliki calo yang tersebar di desa yang bertugas merekrut calon TKI.

Di Malaysia, ada sejumlah masalah yang selalu menyebabkan seorang TKI dikategorikan pekerja ilegal. Pertama, TKI yang datang di Malaysia tanpa melengkapi diri dengan paspor dan dokumen penting lainnya. Mereka biasanya masuk melalui jalan-jalan kecil yang tersebar di sepanjang perbatasan darat Sarawak dan sabah dengan Kalimantan Indonesia. Masuknya mereka juga diantar agen perorangan atau petugas PJTKI liar. Kedua, TKI yang mengantungi paspor, tetapi tidak menggunakan visa kerja, melainkan visa lawatan atau kunjungan yang masa berlakunya paling lama tiga bulan. Penyalahgunaan visa memposisikan pekerja bersangkutan menjadi ilegal. Apalagi setelah masa berlaku selesai, tidak dilakukan perbaruan visa.

Ketiga, mereka yang dikirim perusahaan PJTKI. Saat datang dilengkapi semua dokumen resmi, dan dipekerjakan di perusahaan yang membutuhkan. Namun, setelah masa kontrak kerja berakhir, izin kerja tak diperpanjang, atau diperbarui majikan. Maka, TKI yang bersangkutan otomatis menjadi ilegal. Ada lagi TKI ilegal yang bekerja di perusahaan tertentu, tetapi sebelum habis masa kontrak telah berpindah ke perusahaan, atau majikan lain karena ditawari gaji yang lebih besar. Begitu pindah kerja, TKI yang bersangkutan otomatis menjadi pekerja ilegal. Sebab, dalam surat izin kerja, yang bersangkutan hanya diketahui bekerja di perusahaan, atau rumah majikan pertama. Surat izin itu baru bisa diperbarui jika masa kontrak kerja sebelumnya sudah berakhir.

Surat izin kerja di Malaysia diterbitkan imigrasi serta Jabatan Perburuan setempat atas permintaan atau usulan PJTKI serta majikan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, kewajiban itu sering dengan sengaja dilalaikan, sebab ongkos yang harus dikeluarkan terlalu mahal. Biaya besar itulah yang selalu menjadi alasan bagi para majikan di Malaysia untuk tidak mengurus surat izin kerja bagi TKI. Kalau satu atau dua orang, mungkin tidak ada masalah, tetapi jika pekerja asing yang direkrut mencapai ratusan atau ribuan orang, maka majikan pun berpikir seribu kali untuk mengeluarkan biaya mencapai jutaan ringgit. Inilah masalahnya.

Majikan di Malaysia juga nakal. Posisi ilegal yang disandang TKI dianggap lebih menguntungkan. Gaji yang seharusnya 500 ringgit per bulan, umpamanya, ditekan menjadi 150 sampai 200 ringgit per bulan. Lebih menyakitkan lagi, pembayarannya tidak tepat waktu. Jika hal tersebut dipersoalkan ekerja, majikan mengancam akan melaporkan keberadaan TKI ilegal kepada polisi. Ancaman itu membuat ciut nyali TKI dan akhirnya Cuma pasrah menerima perlakuan yang tidak adil dari majikan. Jika sudah tidak tahan lagi menghadapi kenyataan pahit, pekerja akhirnya melarikan diri, atau pindah kerja ke majikan lain.

Paspor tetap ditahan majikan sebelumnya. Padahal, sesuai ketentuan internasional, paspor tidak boleh ditahan karena paspor adalah jiwa bagi setiap warga asing. Apabila paspo ditahan, pemiliknya otomatis menjadi budak yang begitu mudah dipermainkan majikan, aparat polisi, petugas keimigrasian, dan pihak manapun. Terlepas dari berbagai upaya pembelaan terhadap hak-hak dasar TKI di Malaysia, sebetulnya posisi KBRI dan KJRI di negara itu sangat dilematis, khususnya dalam menghadapi TKI ilegal. Berdasarkan ketentuan hukum Malaysia, setiap orang atau lembaga yang berada di wilayah tersebut dilarang melindungi pekerja atau pendatang ilegal.

Harus diakui, persoalan TKI ilegal, khususnya di Malaysia telah menyerupai lingkaran setan. Kenyataan itu menjadi sangat menyakitkan karena sampai saat ini belum ada pemikiran dan tindakan yang melihat masalah TKI dengan pendekatan yang lebih humanis. Bahkan, ketika berbagai dampak dari komoditasi tenaga kerja telah begitu meluas. Dalam berbagai solusi normatif yang dilakukan pun masih belum tampak kebijakan yang menyentuh aspek perlindungan TKI. Yang dominan adalah penempatan dan pembinaan. Kebijakan itu merupakan bagian dari strategi menekan pengangguran dan meningkatkan pemasukan devisa bagi pertumbuhan ekonomi.

Memang, fakta telah membuktikan TKI memiliki posisi kunci dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Malaysia. Artinya, antara TKI dan masyarakat malaysia saling membutuhkan, mengisi dan melengkapi. Hubungan keduanya telah menyerupai dua sisi mata uang yang sangat sulit dipisahkan. Akan tetapi, mengapa jumlah TKI ilegal yang bekerja di malaysia bisa mencapai ratusan ribu orang. Benarkah sejak pertama kali masuk ke negara itu, mereka tidak melengkapi diri dengan dokumen seperti disyaratkan bagi seorang pekerja asing di negara itu.

Harus diakui, ada TKI yang datang di Malaysia tanpa melengkapi diri dengan paspor dan dokumen penting lainnya. Masuknya mereka juga diantar agen perorangan, atau petugas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) liar. Namun demikian, jumlahnya tak lebih dari dua persen. Yang paling banyak adalah TKI yang mengantungi paspor, tetapi tidak menggunakan visa kerja, melainkan visa kunjungan yang masa berlakunya Cuma tiga bulan. Penyalahgunaan visa memosisikan pekerja bersangkutan menjadi ilegal. Majikan di malaysia juga nakal. Posisi ilegal yang disandang TKI dianggap lebih menguntungkan. Gaji yang seharusnya 500 ringgit per bulan, umpamanya, ditekan menjadi 150 sampai 200 ringgit per bulan. Lebih menyakitkan lagi, pembayarannya tidak tepat waktu.

Majikan bertanggung jawab untuk mendapatkan kad (kartu) pekerja asing dari Jabatan Imigresen malaysia dan kad ini hendaklah disimpan oleh pekerja sendiri dan ditunjukkan kepada pihak penguatkuasa apabila diminta dan menjadi pengenalan diri pekerja semasa berada di Malaysia. Namun, pengakuan sejumlah TKI, ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh semua majikan di Malaysia.

TKI yang dibebani utang adalah mereka yang pulang ke Indonesia, menyusul adanya pencarian, penangkapan, dan penahanan pekerja asing ilegal oleh aparat kepolisian Malaysia. Langkah itu dimaksudkan, setelah tiba di Nunukan Kalimantan Timur, TKI tak pulang ke daerah asal. Melainkan mengurus paspor, lalu secepatnya masuk kembali ke Malaysia dan bekerja di perusahaan tempat si majikan yang mengeluarkan biaya tadi. Untuk penerbitan paspor, konsumsi, serta penginapan selama di Nunukan, majikan bekerja sama dengan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) setempat. Atas jasanya, PJTKI akan diberi imbalan berkisar 350-500 ringgit per orang. Uang itu diterima saat TKI tiba di Tawau.

Prahara Pekerja Indonesia
Mendapat perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi sepertinya telah menjadi bagian dari kehidupan TKI. Di Indonesia, praktik semacam itu diperoleh sejak perekrutan. Oleh calo yang menjadi kaki tangan PJTKI dan agen perorangan yang beroperasi dari desa ke desa merayu supaya bersedia bekerja di Malaysia. Calo mengatakan, untuk pembantu rumah tangga (PRT) digaji minimal 500 ringgit per bulan atau setara dengan Rp 1.150.000, penjaga toko 750 ringgit atau setara dengan Rp 1.725.000, buruh tani 600 ringgit atau setara Rp 1.380.000, dan buruh bangunan 650 ringgit per bulan atau setara dengan Rp 1.495.000. Gaji sebesar itu sungguh menggiurkan, sebab sudah melampaui gaji pokok sarjana di Indonesia.

Iming-iming itu lantas membuat TKI atau TKW tergiur. Mereka tak lagi melakukan pengecekan apakah benar janji itu. Lebih parah lagi, TKI atau TKW pun tidak peduli lagi mengenai kelengkapan dokumen seperti disyaratkan bagi pekerja asing di Malaysia. Dalam benak mereka cuma satu keinginan, yakni secepatnya masuk dan bekerja di Malaysia. Agen di Malaysia pun tidak mengecek kelengkapan dokumen para TKI dan TKW. Pekerja asal Indonesia langsung diangkut menuju tempat penampungan sementara atau ke berbagai pihak yang membutuhkan pekerja asal Indonesia.

Inilah awal dari malapetaka yang akan dialami pekerja Indonesia. Karena dokumen yang dikantungi pekerja hanya paspor sebagai satu-satunya jati diri mereka. Ironisnya identitas diri itu ditahan oleh majikan saat mereka diterima sebagai pekerja. Sedikitnya empat masalah yang menyebabkan TKI yang bekerja di Malaysia dikategorikan pendatang ilegal. Pertama, TKI yang datang sama sekali tidak melengkapi diri dengan paspor dan visa kerja. Mereka biasanya masuk melalui sejumlah gerbang liar darat dan laut yang tersebar di sepanjang perbatasan Kalimantan dan Sabah-Sarawak. Saat masuk selalu ditemani agen atau calo TKI dan langsung dijemput agen yang sama di Malaysia, tanpa mengalami suatu kesulitan sama sekali.

Kedua, TKI yang cuma mengantungi paspor, tapi tidak memiliki visa kerja. TKI itu hanya memiliki visa kunjungan dari Imigrasi Malaysia yang masa berlakunya satu bulan. Visa ini kemudian dipakai sebagai visa kerja, sehingga ketika masa berlakunya habis menempatkan mereka dalam status TKI ilegal. Ketiga, TKI yang dikirim PJTKI yang dilengkapi paspor dan visa kerja, serta kontrak kerja dengan perusahaan yang membutuhkan. Masa kontrak kerja berlaku dua tahun. Namun sebelum selesai masa kontrak, TKI yang bersangkutan sudah pindah kerja ke perusahaan atau majikan lain. Saat pindah kerja itu, yang bersangkutan dikategorikan sebagai pekerja asing ilegal. Apalagi, paspor masih ditahan majikan pertama. Keempat, TKI yang kontrak kerjanya tidak diperpanjang majikan, sehingga yang bersangkutan langsung menjadi pekerja asing ilegal.

Memang, paspor adalah dokumen resmi bagi seorang warga asing saat berada di luar negaranya. Akan tetapi, dalam kaitan ketenagakerjaan pekerja yang bersangkutan pantas dituduh sebagai pendatang ilegal, sebab tanpa memiliki visa kerja.

Persoalan legalitas sebagai pekerja asing di Malaysia nyaris tidak tersentuh dan dibenahi total. Terbukti, pada saat yang sama di Nunukan tetap dilayani penerbitan paspor bagi TKI tetap dilayani. Bahkan, TKI yang tanpa dilengkapi visa kerja, kontrak kerja dan surat panggilan kerja dengan perusahaan yang membutuhkan pun tetap dibolehkan masuk ke Malaysia. Padahal, status mereka telah benar-benar sebagai pekerja asing ilegal. Anehnya lagi, pengurusan semua dokumen mulai dari kartu keluarga, kartu tanda penduduk (KTP) sampai dengan paspor berlangsung sangat singkat, yakni satu hari sudah kelar. Khusus proses penerbitan paspor kala tersebut dalam dua kategori. Pertama, menggunakan map warna biru yang menandakan buku paspor diurus PJTKI. Perusahaan tersebut juga bertanggung jawab terhadap pengiriman. Atas jasanya itu, PJTKI iberi imbalan berkisar 350-500 ringgit per orang. Uang itu diberikan perusahaan jasa tenaga kerja asing di Malaysia saat menerima TKI di Tawau.

Kedua, yang menggunakan map berwarna kuning menunjukkan paspor ditangani peroranga. Mereka yang masuk dalam kelompok ini umumnya TKI yang bertahan di rumah penduduk yang pengurusannya melalui pemilik rumah. Oleh pemilik rumah, pekerjaan itu kemudian dipercayakan kepada calo. Biaya pengurusan paspor dan tiket perjalanan menuju Malaysia biasanya tidak langsung dipenuhi TKI. Uang tersebut ditanggung PJTKI atau mereka yang mengurus dokumen, dan nantinya diperhitungkan setelah TKI yang bersangkutan mulai bekerja di Malaysia untuk dipotong gajinya selama beberapa bulan oleh majikan.

Jika ditelusuri secara detail, ada cukup banyak keganjilan dalam pengiriman TKI ke Malaysia yang memicu lahirnya ilegal. Pertama, perekrutan jarang dilakukan secara formal, melainkan melalui informal. Pengarah tenaga kerja biasanya menyebarkan calo dari desa ke desa merayu warga setempat agar bersedia bekerja di Malaysia dengan janji gaji yang besar. Setelah berhasil dijaring, calon TKI itu diserahkan kepada calo lainnya di tingkat kecamatan, kemudian diover lagi ke perusahaan pengerah TKI di kabupaten. Saat diberangkatkan dari daerah asal sama sekali tidak dibekali paspor dan dokumen sebagai pekerja asing di luar negeri.

Kedua, bagi TKI asal Nusa Tenggara, misalnya, oleh PJTKI setempat, mereka dikirim ke Surabaya melalui kapal laut. Lalu, diteruskan lagi perjalanan ke Jakarta. Dari kota ini, TKI dikirim ke Malaysia melalui beberapa pintu. Jika diberangkatkan menuju Dumai, Batam, atau kota lain di Sumatera bagian utara, berarti TKI yang bersangkutan bakal bekerja di wilayah Semenanjung, seperti Johor, Kuala Lumpur, Malaka, dan kawasan sekitarnya. Ketiga, di kalangan PJTKI biasanya telah terjalin hubungan yang erat dan saling melengkapi dan menguntungkan. PJTKI yang beroperasi di kabupaten asal TKI semata-mata bertugas merekrut, sedangkan PJTKI yang berada di sejumlah kota kabupaten menampung TKI yang baru datang dari daerah asal. Setelah itu, menangani pengiriman ke sejumlah kota di perbatasan. Keempat, TKI yang dikirim ke Malaysia rata-rata tanpa terlebih dahulu diberikan sejumlah keterampilan seperti disyaratkan undang undang.

Dibandingkan dengan Surabaya, makassar, Jakarta, Bontang, Balikpapan, dan Samarinda, Nunukan memang jauh tertinggal. Mungkin takkan masuk hitungan politis dan ekonomis. Maklum, kota itu hanya sebuah kawasan kecil di ujung utara Kalimantan Timur yang belum berapa lama menjadi kabupaten dengan lima kecamatan asal masing-masing Nunukan, Sebatik, Sabakung, Lumbis, dan Kerayan. Namun, bagi mayarakat di kawasan timur Indonesia dan Pulau Jawa, Nunukan adalah wilayah paling strategis di republik ini. Masalahnya, melalui kota itu mereka dengan mudah masuk dan bekerja di Malaysia, terutama Negara Bagian Sabah, sekalipun tanpa mengantungi paspor dan dokumen penting lain seperti disyaratkan bagi pekerja asing. Calon TKI berdatangan ke Nunukan, ada yang menaiki kapal penumpang milik Pelni langsung menuju kota itu, ada pula yang terpaksa estafet dari kapal ke kapal.

Dalam perjalanan itu mereka didampingi agen atau calo tenaga kerja Indonesia (TKI) yang telah menjadi kaki tangan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Nunukan. Kehadiran para calon TKI ini oleh masyarakat Nunukan dianggap rezeki. Selain menyediakan makan, penginapan, dan kebutuhan lainnya, saat itu juga pemilik rumah mengurusi KTP dan paspor. Bahkan, kalau pengurusan dokumen itu belum tuntas dan diketahui ada agen pekerja asing di tawau sedang membutuhkan TKI, calon TKI yang ada langsung dikirim ke negeri jiran. Pengiriman itu melalui sejumlah pintu tidak resmi yang telah disepakati antara agen pekerja di Tawau dan pengemudi perahu motor. Pemberangkatan dari Nunukan biasanya malam hari.

Dalam perjalanan dari Nunukan ke Tawau, lima pos Polisi Laut Malaysia harus dilewati. Di etiap pos, petugas biasanya memungut 10 RM per TKI. Tarif ini sudah berlaku umum. Begitu tiba, TKI langsung dijemput agen menggunakan kendaraan khusus. Pada hari yang sama, TKI dikirim ke sejumlah majikan yang membutuhkan. Untuk pengemudi, agen memberikan uang sesuai dengan jumlah TKI yang diangkut.

Tidak diketahui pasti kapan Pulau Nunukan mulai menjadi kawasan transit TKI. Sebelum 1938, pulau seluas 21.450 hektar itu masih berupa kampung kecil yang hanya dihuni belasan keluarga. Mereka adalah masyarakat Tidung, penduduk asli pulau itu. Pada dasawarsa 1950-an ratusan tenaga kerja dari Flores dan Sulawesi datang. Mereka dikonbtrak tiga tahun serta digaji dengan mata uang Inggris. Sehabis masa kontrak, setiap pekerja mengantungi jutaan rupiah yang sebagian mereka gunakan untuk membeli tanah dan bangun rumah di kampung halaman masing-masing. Sebagian lagi memilih uang itu dipakai di Nunukan sebagai tempat menetap untuk modal usaha memasarkan barang dari Indonesia ke Tawau atau sebaliknya.

Melihat sukses sesama yang pernah bekerja di Sabah, maka sejak dekade 1960-an banyak orang dari kawasan timur Indonesia menuju Tawao. Tiap tahun paling sedikit 500 orang. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan semakin terbatasnya lapangan kerja di desa asal dan Indonesia pada umumnya. Setelah beberapa tahun bekerja di Malaysia, warga Indonesia itu sebagian kembali ke daerahnya, sebagian menetap di Nunukan. Di situ mereka membuka berbagai jenis usaha seperti angkutan laut, darat, toko, penginapan, rumah makan, dan jasa pengiriman TKI. Inilah yang membuat Nunukan layak disebut sebagai pulau para mantan TKI dari beragam etnis. Persoalan yang dihadapi Nunukan agaknya makin rumit. Sementara kondisi pemerintahan di pintu gerbang RI-Malaysia ini belum tertata baik. Katakanlah di sektor kepenudukan.

Tak Belah Cermin Karena Buruk Muka
Menjadi pengembara di Malaysia bagi TKI ilegal sungguh sangat menyakitkan. Pemerintah dan rakyat Malaysia belakangan semakin tidak menyenangi TKI ilegal. Padahal, dulu mereka tutup mata dengan TKI ilegal. Bahkan, sempat beberapa kali dilakukan pemutihan. Sepertinya mentalitas telah menjadi masalah sangat serius yang secepatnya harus dibenahi karena terkesan kuat prinsip hidup yang dianut para pendahulu, yakni di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung semakin jauh dari perilaku sejumlah TKI selama berdomisili di Malaysia. Jadi, ketika legalitas sebagai pekerja asing mulai dipersoalkan, mereka yang tidak bersalah pun harus menanggung semua akibatnya.

Berdasarkan pengakuan sejumlah TKI, ada beberapa tipe majikan nakal. Pertama, mereka yang ingin memanfaatkan masa pemulangan guna membebaskan diri dari kewajiban membayar gaji pekerja asing ilegal. Caranya adalah selalu mengulur waktu pembayaran gaji hingga digelar operasi penertiban secara besar-besaran. Saat operasi itu digelar, majikan itulah yang akan melaporkan keberadaan pekerja asing tanpa izin untuk digebrek dan ditangkap polisi.

Kedua, majikan yang takut usahanya hancur akibat pemulangan TKI ilegal secara besar-besaran. Tipe majikan seperti ini biasanya hanya bersedia membayar separoh dari gaji pekerja. Tujuannya agar pekerja yang bersangkutan begitu tiba di Indonesia langsung mengurus dokumen, lalu masuk kembali ke Malaysia dan bekerja padanya. Demi mendapatkan haknya itu sekaligus menghindari incaran petugas, TKI ilegal pun secara berkelompok memilih menjauhkan diri ke wilayah yang agak terpencil jauh dari jangkauan aparat kepolisian. Di sana mereka umumnya menyewa rumah atau gubuk milik penduduk setempat. Makan pun seadanya yang penting bisa bertahan hidup.

Siang hari, beberapa orang di antara mereka diutus mendatangi majikan menagih gaji yang belum dibayar. Sementara yang lainnya terus memantau situasi di kota terdekat terhadap kemungkinan dilakukan operasi perburuan dan penangkapan terhadap pekerja asing tanpa izin. Pemantauan yang sama juga dilakukan sepanjang malam hari secara bergantian.. persoalannya sekarang adalah hanya sedikit TKI ilegal di Malaysia yang tidak kehilangan akal di saat posisinya sedang terjepit. Mereka hanya memasrahkan diri kepada kesadaran majikan untuk melaksanakan kewajiban.

Menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) yang legal di Malaysia jauh lebih baik. Jumlah gaji yang diterima sesuai dengan kontrak kerja, jika berprestasi selalu ada kenaikan gaji pada bulan keenam atau setahun setelah bekerja, selama bekerja pun lebih tenang karena tidak khawatir diburu aparat keamanan. Lebih penting lagi selalu diperlakukan lebih manusiawi. Apabila majikan melanggar dengan mudah dituntut, dan polisi selalu bersedia membantu menyelesaikan persoalan.

PJTKI selaku perekrut dan pengirim cenderung melepaskan tanggung jawab saat TKI diterima majikan. Tidak ada lagi kontrol terhadap perkembangan dan kondisi pekerja yang telah dikirim di negara tujuan, baik menyangkut kinerja, gaji, kesehatan dan lain semacamnya. Penyebabnya adalah tidak semua PJTKI yang merekrut TKI memiliki jaringan kerja sama dengan perusahaan sejenis selaku penerima di negara tujuan. Ada PJTKI yang semata-mata merekrut, lalu menyerahkan kepada perusahaan lain untuk mengirim para pekerja itu ke luar negeri atau ke kawasan perbatasan, seperti Nunukan, Pontianak atau Dumai. Di sana, diurus penerbitan paspor dan dokumen lainnya oleh PJTKI setempat, lalu diangkut ke perbatasan negara untuk diserahkan kepada perusahaan penerima TKI di Malaysia.

Kehadiran dan keberadaan TKI di luar negeri pun sama sekali tidak diketahui KBRI, atau perwakilan Indonesia di negara tersebut. Akibatnya, nasib TKI pun seperti anak ayam tanpa induk. Ketika menghadapi persoalan dengan majikan, mereka terpaksa berjuang sendiri. Saat posisi semakin tidak berdaya barulah minta perlindungan pada KBRI atau perwakilan Indonesia.

Berdasarkan Undang Undang Imigrasi Malaysia Nomor 1154 Tahun 2002, majikan yang terbukri mempekerjakan pekerja asing ilegal satu sampai lima orang diancam hukuman denda 10.000 ringgit per orang atau hukuman penjara maksimal 12 bulan. Majikan yang menggaji lebih dari lima orang diancam hukuman penjara enam bulan sampai lima tahun atau dicambuk. Akan tetapi, hukum tersebut sepertinya hanya di atas kertas. Dalam prakteknya, aturan tersebut nyaris tidak pernah ditegakkan.
Selama ini telah banyak TKI ilegal yang menggugat majikan dengan tuduhan tidak membayar gaji. Namun, baru pada awal pemeriksaan saja, gugatan itu sudah dimentahkan penyidik. Alasannya, penggugat adalah pekerja asing tanpa izin, sehingga tidak bisa dilindungi oleh hukum Malaysia. Berbeda kalau TKI ilegal disiksa majikan. Maka, kasus tersebut selalu diproses ke pengadilan dengan tuduhan penganiayaan, sedangkan gaji korban yang tidak pernah dibayar majikan selalu digugurkan penyidik. Karena dasar hukum yang dipakai penyidik adalah kontrak kerja. Bagi yang tidak memiliki kontrak kerja antara majikan dan pekerja asing dinilai tidak berhak meminta perlindungan hukum Malaysia.

Ketiadaan kontrak kerja merupakan awal kegagalan TKI ilegal dalam menuntut perlindungan hukum di Malaysia. Semua itu aalah kesalahan pemerintah Indonesia yang selama ini tidak pernah serius menangani serta mengawasi pengiriman dan penempatan TKI di luar negeri secara ketat dan konferensif. Sedikitnya ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai pekerja asing tanpa izin di Malaysia. Pertama, pekerja yang datang hanya mengantongi paspor dengan dilengkapi visa lawatan yang berlaku paling lama tiga bulan.

Kedua, saat masuk pekerja memiliki visa kerja yang dilengkapi kontrak kerja dengan perusahaan tertentu di negara itu untuk jangka waktu dua tahun. Namun, sebelum selesai masa kontrak, pekerja yang bersangkutan pindah kerja. Pemindahan tersebut otomatis menjadikan dia sebagai pekerja asing tanpa izin. Ketiga, pekerja asing yang datang sama sekali tidak melengkapi diri dengan satu dokumen pun. Mereka biasanya masuk ke Malaysia melalui berbagai jalan tikus yang tersebar di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, baik darat maupun laut memanfaatkan jasa calo yang umumnya telah memiliki jaringan kerja dengan sejumlah orang penerima TKI ilegal di Malaysia.

Secara ekonomis, kehadiran TKI ilegal sangat menguntungkan majikan, sebab gaji yang diberikan tidak besar, yakni berkisar 300-400 ringgit per bulan. Padahal, upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Malaysia rata-rata minimal 1.000 ringgit per bulan. Selain itu, tidak disertai kontrak kerja, sehingga upah bisa ditekan dan majikan pun terbebaskan sejumlah kewajiban lainnya, seperti asuransi.

Sepertinya, KBRI hanya menerima sampah dari keseluruhan persoalan TKI ilegal. Alasannya, 80 persen dari persoalan yang memicu adanya TKI ilegal di Malaysia tersebar di Indonesia, mulai dari proses perekrutan di desa asal hingga di pos-pos pemberangkatan ke luar negeri. KBRI, Konsulat Jenderal dan kantor perwakilan RI di Malaysia pun sama sekali tidak memiliki data jumlah TKI yang bekerja di negara itu, termasuk lokasi penempatan. Mereka baru mengetahui setelah dilaporkan ada TKI yang meninggal dunia, dianiaya, bunuh diri, ditangkap polisi dan lain sebagainya.

Apabila penegakkan hukum itu serius digalakkan, peluang masuknya TKI ilegal ke Malaysia pun takkan terjadi. Itu berarti, menutup peluang majikan menerima pekerja asing tanpa izin. Keuntungannya adalah posisi tawar TKI, terutama menyangkut gaji menjadi lebih tinggi, bekerja lebih tenang, dan diperlakukan lebih manusiawi. Dengan demikian, Indonesia pun tidak terperangkap dalam pepatah, buruk muka cermin dibelah.

Nestapa Bangsa Serumpun
Sabah atau Malaysia pada umumnya, memang memiliki begitu banyak kesempatan kerja. Selain maraknya pembangunan gedung, jalan raya dan infrastruktur lain, juga perkembangan perkebunan dan industri kelapa sawit, pertanian serta industri kayu yang sangat pesat. Kondisi itu ditunjang lagi dengan pemberian upah yang cukup tinggi. Sabah, dan malaysia secara umum, sebetulnya bukan tempat baru bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sejak awal abad ke 19, sudah ada warga Indonesia, khususnya dari Bugis memasuki wilayah itu untuk berdagang. Setelah beberapa kali berdagang dan dinilai memiliki prospek, ada sebagian mereka memilih menetap, serta menjadi warga negara Malaysia.

Di mata pengusaha Malaysia, etos, disiplin, tanggung jawab dan semangat kerja TKI cukup luar biasa. Hasil kerja pun sesuai harapan dan keinginan majikan atau pengelola perusahaan. Berdasarkan pengakuan sejumlah pengusaha Malaysia, posisi TKI, khususnya di sektor perkebunan, rumah tangga dan pertanian, agaknya sulit digantikan pekerja dari negara mana pun. Alasannya, terlalu banyak kesamaan baik budaya maupun bahasa, sehingga komunikasi para pekerja dengan majikan tidak mengalami hambatan yang berarti. Lagi pula Indonesia dan malaysia pun masih serumpun.

Sebetulnya, telah terjadi saling ketergantungan antara Indonesia dan Malaysia. TKI membutuhkan lapangan kerja yang didukung upah yang relatif besar. Sedangkan, majikan dan pengusaha Malaysia membutuhkan pekerja, seperti TKI yang diakui memiliki etos kerja yang baik. Kendati dalam posisi saling membutuhkan, kenyataan selama ini membuktikan perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak adil sering dialami TKI. Mereka sering didera, disiksa, dianiaya, gaji pun tidak dibayar dan tindakan negatif lainnya. Pengalaman membuktikan, kontrak kerja yang dibuat antara TKI dan PJTKI tidak diakui majikan atau perusahaan di luar negeri yang menerima TKI. Mereka beralasan, perjanjian itu dibuat di Indonesia, sehingga tidak mengikat penerima TKI di luar negeri. Akibatnya, banyak TKI yang bekerja tanpa terikat dalam kontrak kerja, sehingga begitu mudah dipermainkan majikan. Inilah masalah serius yang patut diselesaikan pemerintah. Jika tidak tertuntaskan, persoalannya menjadi lebih runyam serta semakin memperburuk citra bangsa dan memperburuk martabat manusia Indonesia.

Menjadi TKI ilegal sungguh sangat menyakitkan. Gaji pun jarang dibayar majikan. Kalau diminta, majikan selalu mengancam akan melaporkan kepada polisi. Takut ditangkap polisi dan dimasukkan dalam penjara, mereka pun hanya bisa pasrah. Posisi TKI, khususnya yang ilegal, selama lebih kurang setahun terakhir makin terjepit. Operasi pencarian, pengejaran, serta penangkapan terhadap pekerja dan pendatang ilegal dilakukan secara besar-besaran oleh aparat polisi Malaysia. Ruang gerak pun semakin dibatasi, terlebih lagi majikan tempat mereka bekerja mulai lepas angan. Mereka takut ancaman berat yang diberlakukan pemerintah kepada para penampung. Sanksinya tidak saja denda, tetapi juga kurungan penjara.

Selain itu, pemerintah juga gencar menggusur sejumlah lokasi yang menjadi pusat permukiman para pekerja ilegal yang umumnya berada di tepi kiri dan kanan sungai. Alasan pemerintah Malaysia, penggusuran tersebut lebih didasarkan pada upaya penertiban terhadap pemukiman kumuh dan rumah liar. Akan tetapi, yang menimbulkan pertanyaan mengapa penggusuran itu baru dilakukan belakangan ini, bersama-sama dengan razia atas pekerja dan pendatang ilegal.

Menjadi pekerja ilegal termasuk pelanggaran. Akan tetapi, tindakan pemerintah Malaysia terhadap TKI sudah menyerupai habis manis sepah dibuang. Para TKI pun punya sikap, mereka segera memilih pulang ke Indonesia. Pertimbangan mereka untuk membandingkan siapa yang paling banyak menderita kerugian, TKI ataukah pengusaha Malaysia. Sejumlah TKI ilegal di Kinabalu pun mengingatkan bahwa mereka juga akan angkat kaki dari Malaysia apabila aparat polisi setempat masih terus menerus melancarkan operasi yang sudah melampaui norma kemanusiaan.

Sukses Malaysia tentu tidak bisa dipisahkan dari kontribusi TKI. Mereka menjadi satu-satunya pekerja asing yang rela dan sanggup menetap selama bertahun-tahun di kawasan perkebunan yang jauh dari keramaian. Mereka juga dikenal telaten, rajin, ulet, gigih dan sabar dalam memelihara serta merawat tanaman kelapa sawit dan tanaman lain yang dibudidayakan majikan. Oleh karena itu, pemulangan TKI secara besar-besaran dari Malaysia dengan tuduhan sebagai pekerja asing ilegal beberapa waktu lalu benar-benar telah memukul dunia usaa di negara tersebut. Akibatnya kelumpuhan kegiatan proses produksi terasa di mana-mana. Memang benar, tanpa TKI, aktivitas dunia usaha khususnya pada sektor riil di Malaysia nyaris tak berdaya. Akan tetapi, kondisi itu kurang dimanfaatkan pekerja dan pemerintah Indonesia. Terbukti, tidak sedikit TKI yanbg diperlakukan secara tidak manusiawi.

Dalam status sebagai pekerja ilegal itu posisi mereka semakin tidak berdaya. Pembayaran gaji ditunda beberapa bulan. Jumlahnya pun mulai dikurangi. Ketika dituntut, majikan pun mengancam melaporkan ke polisi terdekat untuk ditangkap dengan tuduhan sebagai pendatang ilegal. Bukan itu saja. Masih ada pemotongan uang paspor dan izin kerja untuk membiayai proses perpanjangan kedua dokumen itu, agar pekerja bersangkutan terhindarkan dari status sebagai pendatang ilegal. Akan tetapi, perpanjangan paspor dan izin kerja pun tak pernah dilakukan majikan. Lebih sadisnya lagi, ketika TKI yang bersangkutan minta waktu untuk memperpanjang paspor juga tidak diizinkan majikan. Bahkan, diancam takkan dipekerjakan lagi.

Kedudukan strategis para TKI bagi perkembangan dunia usaha di Malaysia semestinya menaikkan posisi tawar Indonesia. Berbagai bentuk penderitaan yang dialami TKI atas perlakuan majikan harus dijadikan bahan evaluasi, pengkaian dan penilaian guna merumuskan perjanjian bilateral ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi. Entah itu menyangkut jumlah gaji, perlindungan terhadap keselamatan pekerja atau hal-hal lain. Dengan demikian, nasib para TKI yang bekerja di Malaysia pasca pemberlakuan UU Imigrasi yang baru itu menjadi lebih terhormat, dan bukan seperti pengalaman selama ini yang habis manis sepah dibuang.

Lokasi permukiman untuk TKI yang bekerja sebagai buruh bangunan umumnya terkonsentrasi di tepi kiri dan kanan sungai yang mengalir di Kota Kuala Lumpur. Sebagian lagi lebih memilih berdomisili di pinggir kota. Daerah yang dihuni itu adalah kawasan kumuh sebab rumah yang dibangun memiliki luas maksimal 20 meter persegi, tinggi 2,5 meter, dinding rumah diambil dari papan bekas pengepakan barang, serta beratap genteng bekas. Jarak antara pemukiman dan tempat kerja jauh dan umumnya lokasi pembangunan gedung-gedung baru belum dilayani bus kota. Satu-satunya sarana transportasi yang harus digunakan para buruh bangunan tersebut adalh taksi. Untuk menghemat biaya, setiap taksi biasanya ditumpangi lima sampai enam orang dan ogkosnya ditanggung bersama.

Seperti yang dialami buruh lainnya, keberadaan TKI ilegal juga sama sekali tidak dipedulikan sebagai besar masyarakat Kuala Lumpur. Mereka menganggap TKI ilegal ini sebagai pengusik ketenteraman dan ketenangan hidup penduduk setempat. Sekalipun, tak semua anggapan dan tuduhan itu benar. Khusus di perkebunana kelapa sawit, sekitar 95 persen pekerjanya adalah TKI. Pekerja untuk konstruksi lebih kurang 60 persen berasalk dari Indonesia. Kini, sebagian besar TKI yang bekerja di kedua sektor tersebut telah dipulangkan ke Indonesia. TKI yang masih bertahan di Malaysia umumnya masih menunggu pembayaran gaji dari majikan. Kalau mereka pun pulang, aktivitas produksi kelapa sawit, jasa konstruksi, dan kayu lapis pasti lumpuh total.