DARI KOUBOU KE KUBURAYA:
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Tidak ada catatan yang pasti mengenai awal mula Kerajaan Kubu. Dari tradisi lisan diketahui bahwa kehidupan di muara Sungai Kubu (baca: Ola-ola Kubu) itu diawali oleh para pendatang yang kemudian menyebar ke beberapa tempat di sekitarnya. Pendatang tersebut berasal dari Negeri Arab. Ia yang belakangan dikenal sebagai Tuan Kubu Syarif Idrus Alaydrus bersama keturunannya mendirikan (dan menjalankan) pemerintahan dalam bentuk kerajaan di sana.
Penguasa itu diidentikan sebagai bangsa Arab, pendatang di tempat itu. Secara etnis, dua kelompok terbesar yang mendiami pedalaman dan pesisir Kalimantan Barat, dan hampir di seluruh Pulau Kalimantan (ketika itu Borneo), adalah Melayu dan Dayak. Pada tahapan semula mereka berinteraksi dengan pendatang Jawa, kemudian Arab serta berbauran pula dengan Cina yang datang kemudian. Kedua etnis ini, Dayak dan Melayu, memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda. Namun serupa dalam beberapa hal. Umumnya kelompok yang belakangan dinamakan Melayu mendiami daerah pesisir atau di muara sungai, sementara kelompok Dayak lebih di kawasan pedalaman dengan pola hidup tidak menetap (berpindah) sebagaimana mata pencaharian hidupnya yang berpindah.
Bertalian dengan keadaan alamnya yang berurat nadi pada aliran sungai, suatu tipologi yang trikotomi dapat diajukan. Tipologi itu adalah penguasa, perompak, dan orang sungai. Ketiga kelompok (varian) ini menggantungkan kehidupannya pada sungai dan jaringannya. Sungai tidak banyak memberikan sumber daya hayati sebagaimana laut, namun sungai memiliki arti (fungsi) penting dalam komunikasi, terutama antara hilir dan hulu atau pedalaman dan pesisir.
Bronson (1977) pernah mengajukan suatu model fungsional antara kedua kawasan itu dalam upaya menjelaskan naik turunnya suatu emporium—kerajaan pesisir yang bertumpu pada perdagangan dengan pihak pendatang atau luar—dengan daerah belakang penyokongnya. Bronson mengisyaratkan suatu topografi wilayah yang memiliki banyak percabangan sungai membentang dari pesisir hingga ke pedalaman. Secara terbatas, kerangka Bronson ini pernah digunakan oleh Kenneth R Hall untuk menjelaskan tentang keadaan dan perkembangan ekonomi perdagangan Kerajaan Majapahit.
Sejalan dengan pemikiran Masyarakat Hidraulis (hydraulic society) dari K Wittfogel, penguasaan atas muara dan aliran sungai menjadi penting dalam kehidupan masyarakat di pedalaman. Sedianya kelompok yang mengklaim daerah seperti itu sebagai batasan kekuasaannya menuntut kompensasi tertentu atas penggunaannya. Umumnya mereka mengenakan suatu pungutan (tol) terhadap penggunanya dan keharusan bertransaksi dengan mereka.
Kekuatan adalah tumpuan dari tindakan tersebut. Selanjutnya, dalam prosesnya, apabila klaim itu diakui oleh kelompok lainnya, akan muncul suatu penguasa sungai. Dengan legitimasi sacral dan cultural terbentuklah kemudian sebuah kerajaan sungai. Kawula mereka biasanya adalah para orang sungai.. di lain pihak, kelompok perompak sungai adalah mereka yang dipandang tidak memiliki suatu dasar klaim dalam melancarkan suatu tuntutan. Tindakan mereka adalah suatu perampasan dan pemaksaan. Dalam catatan kolonialisme Belanda, tindakan perompakan sungai sering muncul dalam laporan-laporan resminya, termasuk mengenai penguasa-penguasa setempat. Ukurannya tentu berlandaskan sudut pandang kekuasaan dan hukumnya (Politieke Aantekeeningen, Baron van Lijnden & O van Kessel).
AWAL MULA KERAJAAN KUBU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kerajaan Kubu didirikan oleh dinasti Al Idrus (ada yang menuliskan Alaydrus) yang juga berasal dari Trim Hadralmaut di Yaman Selatan dalam Jazirah Arab. Pendiri kerajaan ini adalah Syarif Idrus bin Syarif Abdurrahman Al Idrus. Sampai saat ini belum ada kepastian, kapan kerajaan ini berdiri. Namun ada beberapa sumber berbeda yang memberikan penjelasan dengan didukung argumen masing-masing. Ada pendapat meneyebutkan kerajaan ini resmi hadir sejak 1720 (Lontaan, 1975) ditandai kedatangan Idrus dan rekan-rekannya, kemudian ada yang menjelaskan tanggal 7 Juni 1768 saat mulai berkuasanya Tuan Kubu pertama ini, dan ada pula yang menuliskan pada 1775. dalam perbedaan angka tahun tersebut, yang pasti seluruh sumber menuturkan, bahwa yang pertama membuka Kerajaan Kubu adalah Tuan Kubu Syarif Idrus bin Syarif Abdurrahman Al Idrus, yang kelaknya setelah wafat digantikan oleh salah seorang putranya yang bernama Syarif Muhammad bin Idrus Al Idrus. Memang seharusnya yang menggantikan Idrus adalah Syarif Alwi bin Idrus Al Idrus, yang telah dipersiapkan sebagai calon penggantinya. Namun karena situasi dan kondisi politik kolonial, tampuk kekuasaan jatuh di tangan saudaranya, Muhammad.
Idrus dibesarkan dan memperoleh didikan orang tuanya secara Islam hingga usia remaja. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum lainnya kepada seorang sayyid di salah satu kota di Yaman Selatan. Dengan begitu sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan dan menggabungkan diri dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai barat Afrika.
Dari pengalamannya tersebut, Idrus muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur di mana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginan Idrus, atau ditulis juga Idrus Alaydrus, diperkuat oleh rekan mudanya yang lain. Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka. Tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam dengan menjadi mubaligh dan penyebar Islam.
Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, adalah bahwa mereka datang ke Nusantara tanpa membawa perempuan. Kebanyakan mereka perjaka. Sesampai di kawasan Nusantara mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, menyebut penduduk setempat pribumi atau bumi putera, sebagai akhwal atau saudara dari ibu mereka, dan kemudian mereka berperan di sektor perdagangan, sektor lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran Islam.
Sesuai dengan petunjuk sayyid mereka agar mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Idrus Alaydrus meninggalkan tanah kelahirannya. Mulanya dari beberapa tempat di Pulau Jawa yang disinggahinya, mereka kemudian menuju Kerajaan Matan.
Kemudian dari Matan mereka meneruskan lagi pelayarannya dengan mengarungi Sungai Kapuas Kecil, Idrus Alaydrus dan rombongan kecilnya menyinggahi suatu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Suka Pinang. Kawasan ini merupakan muara pertemuan dua sungai besar yang dipandang sangat strategis dan layak dijadikan pemukiman. Di percabangan Sungai Rasau dan Suka Pinang inilah Idrus Alaydrus kemudian menjejakkan kaki dan memimpin rombongannya membuka kawasan tersebut untuk dijadikan daerah hunian.
Sebelumnya sewaktu berada di Batavia, Idrus Alaydrus sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu itulah ia memutuskan untuk sedikit waktu menetap di Semarang. Beberapa waktu kemudian, Idrus masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh sayyid mereka untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya, kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau. Belakangan, kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceritakan oleh para mubaligh Arab yang berada di sana dan telah sempat mengunjungi daerah itu, yaitu Matan.
Dengan dukungan moril dan material dari dan ditunjang oleh beberapa rekannya, antara lain Habib Umar bin Huseein Alsaggaf dan Sayid Usman bin Syahabuddin yang kemudian keduanya menetap di Siak Sri Indrapura, sampailah Idrus di Matan. Dari Matan inilah Idrus kemudian meneruskan perjalanannya disertai beberapa orang rekan mudanya, antara lain Syarif Abdurrahman Alsaggaf, Sayid Hamzah Barakbah, Syekh Ahmad Falugah, dan Sayid Ali bin Syahabuddin.
Di muara pertemuan dua sungai besar Rasau dan Ola-ola Suka Pinang, Idrus dan rombongannya terus bergerak mengolah daerah temuannya. Pemukiman baru di Suka Pinang tersebut kemudian menjadi kawasan hunian yang menarik perhatian banyak orang, khususnya penduduk pehuluan dan pedalaman, yang ternyata telah lebih dulu menginjakkan kaki dan menghuni sekitar kawasan baru tersebut. Mereka yang belakangan dinamakan Suku Dayak tersebut, dari hari ke hari berdatangan dan membaurkan diri dengan penduduk baru di Suka Pinang serta kemudian memilih memeluk agama Islam yang dibawa rombongan tersebut. Maka, asimilasi Arab dan Dayak tersebut, sebagian besar mereka kemudian menyebut dirinya sebagai Melayu dan beragama Islam.
Mengingat semakin ramainya penghuni kawasan baru tersebut, Idrus Alaydrus kemudian mengalihkan pusat hunian tersebut ke suatu kawasan baru yang masih dalam lingkungan semula yang belakangan dinamakan dengan Kubu. Asal mulanya nama tersebut adalah saat dibangunnya suatu benteng atau kubu pertahanan yang memagari untuk perlindungan dari serangan bajak laut atau perompak lanun yang berkeliaran di kawasan perairan setempat.
Pembangunan pusat pemukiman, yang akhirnya menjadi pusat pemerintahan sebuah kerajaan, dilindungi sebuah benteng pertahanan yang kukuh terbuat dari kayu dan galian tanah atau saluran yang dinamakan parit. Begitu pula di muara Sungai Rasau dan Ola Ola Kubu dilindungi dengan benteng pertahanan yang tegap. Maka kemudian kota dengan benteng yang kuat ini dizamannya disebut Kota Kubu Pertahanan dan itulah awal kehadiran Kerajaan Kubu. Selanjutnya, Idrus Alaydrus pada tanggal 7 Juni 1768 dinobatkan sebagai raja kerajaan yang dirintisnya itu dengan gelar Tuan Kubu Syarif Idrus bin Syarif Abdurrahman Alaydrus.
Meski Kerajaan Kubu berada terpencil dan sukar terjangkau oleh sarana transfortasi pada zaman itu, namun kolonial Belanda tak membiarkankerajaan ini lepas dari cengkeramannya. Suatu ekspedisi yang dipimpin Tengku Akil dari Siak, di mana kelaknya Akil mengacaukan Sukadana dan berhasil mendirikan dinastinya sebagai penguasa di sana, mendatangi Kubu. Raja dan rakyat Kubu yang menentang dan menolak keras untuk tunduk kepada kolonial belanda, melakukan perlawanan.
Benteng pertahanan Kubu sukar ditembus. Namun, adanya pengkhianatan rakyat setempat, saat raja Kubu ini tengah shalat Subuh, pusat kerajaannya diserbu pasukan Tengku Akil. Dan dalam suatu perlawanan, Idrus menemui ajalnya tewas di tangan para penyerangnya. Musibah itu menggoncangkan jalannya pertumbuhan awal kerajaan ini dalam eksistensi selanjutnya.
Mengutip Hikayat Siak yang penulisannya dengan diberikan keterangan ”...Dan yang menyurat Sejarah Melayu (Hikayat Siak) ini, Tengku Said, disuruh Tuan Fandarwola, Esti Residen Komisi di dalam Sikudana (Sukadana), kepada tarikh 1272, kepada dua puluh tiga dari bulan Syafar, hari Ahad, bermula menyuratnya, adanya. Dan sudahnya, kepada delapan hari bulan Rabiulakhir, hari Isnin, tamatnya. Yang menyalin ini Muhammad Nuruddin Acheh, pada sebelas bulan Zulhijah, kepada hari Sabtu. Tamat pada Sanat 1310, Betawi” (24 Jun 1893)
Kutipan selengkapnya: ”...Syahdan, tersebutlah perkataan Yamtuan Muda, sampailah di Kubu, mendapatkan Tuan Besar Idrus dan Sayyid Muhammad. Dan baginda bicara, hendak mintak meriam kepada Datuk Demang, dan meriam itu Sayyid Ali yang punya. Akan Sayyid Muhammad, memberikan meriam itu, lalu diambil Yamtuan Muda, dinaikkan ke perahu. Dan Sayyid Husain pun mendapatkan Tuan Besar. Dan Tuan Besar marah, dan lalu mengumpulkan orang, mufakat, mengatakan, ”Tiada patut meriam itu diberikan kepada musuh Sayyid Ali, kerana malu kepada Tuan Besar”. Demikianlah kata Sayyid Husain, mengadu. Sebab itulah, maka Tuan Besar, setelah putuslah mufakat, hendak membuat Yamtuan Muda. Maka lalu dipanggil Tuan Besar akan baginda. Maka Yamtuan Muda pun naiklah ke darat. Lima orang yang mengikut, pertama si Mak Ulut, dan si Utus dan si Husain dan si Rasu. Dan serta naik, bertemu dengan Tuan Besar”.
”Maka Tuan Besar pun marah kepada baginda, ”Mengapa Raja Muda berani mengambil meriam, tiada memberitahu tuan!” Dan jawab baginda, ”Sebab maka sahaya berani mengambil, kerana sudah sahaya mintak kepada Abang Sayyid Muhammad, dia sudah memberi kepada sahaya”.
”Maka kata Tuan Besar, ”Muhammad, raja (Raja Muhammad) di dalam negeri Kubu ini. Dan mudikkan perahu itu, dan naikkan meriam itu”. Maka kata Yamtuan Muda, ”Jangan sahaya diberi malu, baiklah Abang Sayyid Muhammad (di)panggil ke mari”. Dan Tuan Besar pun marah, menyuruh memanggil Sayyid Muhammad. Dan Sayyid Husain berdiri, lalu mencabut tombak, menikam baginda, kena belakang baginda, tiada lut. Dan baginda pun mencabut keris, lalu mengamuk, dan Sayyid Husain terjun ke tanah. Dan orang pun datang menikam. Semuanya menikam baginda. Dan si Rasu pun mati, dan si Husain pun luka perut, dan lalu turun ke perahu. Dan Panglima Utus pun mati”.
”Dan Tuan Besar pun keluar, melarangkan jangan berkalhi. Dan Encik Amat pun hendak menikam Tuan Besar, tiada diberi oleh baginda. Dan Yamtuan Muda pun luka tangan. Maka tercampaklah keris baginda. Dan si Mak Ulut pun banyak lukanya, dan lalu ia naik ke rumah Tuan Besar, lalu masuk ke dalam bilik, menikam Tuan Besar. Maka Tuan Besar pun wafat. Dan si Mak Ulut pun ke perahu, dan kata Encik Amat, ”Baiklah tuanku di belakang patik”. Dan Encik Amat pun berteriakkan, ”Amuk!” Dan orang banyak pun lari. Dan kota Tuan Besar pun roboh, ditempuh orang yang lari itu. Bermula beramuk itu pukul delapan, sampai waktu zuhur”.
”Dan serta orang sudah lari, maka baginda pun mendapatkan perahu, mintak senjata. Lalu dipersembahkan senjata kepada baginda. Setelah baginda beroleh senjata, niat baginda hendak mengamuk kota Sayyid Muhammad, mengajak Encik Amat. Baginda pun berjalan, mendapatkan kota Sayyid Muhammad dan Encik Amat berdatang sembah, ”Hendak ke mana tuanku ini?” dan titah baginda, ”Aku hendak mengamuk kota Sayyid Muhammad”. Dan kata Encik Amat, ”Patik sudah luka tangan kaki, tiada boleh berkuat lagi, tuanku”. Maka titah baginda, ”Bagaimana kita hendak berbalik ke perahu? Orang sudah datang mengikut kita dari belakang” Dan baginda pun berenanglah mendapatkan perahu. Dan datanglah tikam orang dari seberang menyemberang. Maka kenalah tombak paha baginda, dan lalu luka paha baginda”.
Sebuah sumber Belanda, PJ Veth, menuliskan: ”In het jaar 1829 stierf ook de de Heer van Koeboe, Sjerief Mohammed, die, onder goedkeuring van het Gouvernement, door zijn zoon Sjerief Abdoerrahman werd opgevolgd. De overleden vorst liet Koeboe in bloeijenden toestand achter, doch de knevelarijen en afpersingen van zijn opvolger gaven welhaast aanleiding tot het verloopen der bevolking, die grootendeels naar Pontianak verhuisde. Het diirde echter tot 1837 eer het Gouvernement zich weder regtstreeks met de verwarde zaken in dit gedeelte van Borneo bemoeide (Aanteekeningen van den heer van de Velde (HS)”
Dicatatkan, kehadiran Kerajaan Kubu di Kalimantan Barat adalah sebagai berhimpunnya satu kesatuan yang bangkit bergolak menentang kolonial Belanda. Wafatnya Syarif Idrus Alaydrus yang juga diperkenalkan sebagai Syarif Idrus bin Abdurrahman bin Ali bin Hasan bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Husin bin Abdullah Alaydrus, kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad. Muhammad menduduki tahta kerajaan menggantikan ayahnya yang tewas dalam serbuah Tengku Akil sejak 7 Juni 1823.
Di masa awal pemerintahannya, ia dengan terpaksa harus menandatangani Korte Verklaring yang disodorkan Belanda. Muhammad tak berdaya menghadapi tekanan tersebut. Namun saudaranya, Syarif Alwi bin Idrus Alaydrus menentang keras apa yang dilakukan saudaranya tersebut. Ia kemudian memimpin rakyat Kubu melakukan perlawanan dengan bersekutu dengan Inggris.
Belanda kemudian memburu Alwi hingga melarikan diri ke Sarawak dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Sebelumnya ia dan rakyatnya bertahan di hutan rimba sekitar Kubu, kemudian ke Gunung Ambawang dan terakhir di Tanjung Bunga. Alwi juga mendaulat dirinya sebagai pewaris Kubu dengan mendirikan pusat kekuasaannya di Ambawang didampingi Syekh Ahmad Yamani dan kemudian dialihkan ke Pasir Putih. Turun temurun Syarif Alwi Alaydrus menetap di Sarawak. Salah seorang cucunya, Syarif Abdullah Alaydrus bergelar Tun Datuk Haji Bujang Abdullah pernah menjabat sebagai Yang Dipertuan Agung Gubernur Sarawak Malaysia.
Untuk sedikit waktu, Alwi sempat mendirikan suatu kerajaan yang dinamakan Ambawang Kubu. Dari Pasir Putih wilayahnya melingkupi juga Tanjung Bunga hingga Padang Tikar. Setelah mangkat ia digantikan putranya yang bernama Syarif Khalid bin Alwi Alaydrus. Khalid kemudian mengalihkan kekuasaanya di Pematang, suatu daerah yang sekarang dinamakan dengan Pematang Wan Khalid. Khalid kemudian digantikan saudara yang lain yaitu Syarif Abdurrahman Alaydrus yang mengalihkan kekuasaan di Teluk Penyekat lalu ke Teluk Encik Kedai atau Teluk Pak Kedai dan terakhir di Tanjung Pasir Kuala Selat Remis. Penguasa terakhir turunan dari Syarif Alwi ini adalah Syarif Ahmad Alaydrus yang memusatkan kekuasaannya di Sungai Langgar.
Tercatat, Syarif Abdurrahman Al Idrus, salah seorang putra Tuan Kubu Syarif Idrus Alaydrus pula (dari istrinya Syecha Alawah Bachtem), sebagaimana saudara-saudaranya yang menentang kolonial Belanda, ia memilih meninggalkan Negeri Kubu. Abdurrahman mengarung laut lepas beserta para pengikutnya, yang akhirnya memilih menetap di Sabamban di tepi Sungai Barito. Putranya yang bernama Syarif Muhammad Ali Alaydrus diangkat oleh rakyat setempat menjadi penguasa Negeri Sabamban dan bergelar Tuan Sabamban. Masa pemerintahannya hampir bersamaan dengan Tuan Kubu Syarif Abdurrahman bin Syarif Muhammad Alaydrus yang menduduki tahta sejak 7 Juni 1837 di Kubu.
Turun temurunnya kemudian menyebar di banyak tempat, antara lain Angsana, Banjarmasin, Pudi, Kotabaru, Kotawaringin dan Kandangan, semuanya di Kalimantan Selatan. Sedangkan putranya yang bernama Syarif Hamid Alaydrus menjadi penguasa di Batulicin. Keturunan lainnya di antaranya Syarif Hasan, Syarif Saleh, Syarif Osman, Syarif Omar, Syarif Tahir, Syarif Muhammad, Syarif Abdurrahman, Syarif Husein, Syarif Abubakar, Syarif Achmad, Syarif Mustafa dan Syarif Thaha.
Setelah Syarif Muhammad Alaydrus mangkat, ia kemudian digantikan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Alaydrus yang menduduki tahta sejak 7 Juni 1837. Ia kemudian digantikan oleh putranya Syarif Hasan Alaydrus sejak 7 Agustus 1866. kemudian setelah Hasan wafat digantikan putranya yang bernama Syarif Abas Alaydrus yang memerintah sejak 8 Nopember 1900.
Dikarenakan Abas menolak tunduk pada aturan kolonial Belanda, menentang Korte Verklaring yang di dalamnya memaksa kerajaan memungut pajak atau blasting dari rakyat, ia kemudian mengundurkan diri dari tahta Kubu. Sebagai pengisi kekosongan tahta yang ditinggalkannya, kemudian diangkatlah saudara sepupunya yang bernama Syarif Zaen bin Syarif Ismail bin Abdurrahman Alaydrus sejak 26 September 1911. Zaen kemudian digantikan Syarif Saleh Alaydrus sejak 13 Oktober 1919.
Sebelumnya, di masa pemerintahan Zaen, oleh Belanda dibentuk suatu Bestuur Komite. Sebagai ketua diangkat Syarif Kasimin yang juga Kepala Distrik Teluk Pak Kedai dan Tanjung Bunga didampingi Syarif Yahya yang juga Kepala Distrik Padang Tikar. Pada masa pemerintahan Zaen ini pula ibukota kerajaan dialihkan dari Suka Pinang ke Kerta Mulia. Wafatnya Zaen, putranya yang bernama Syarif Agil Alaydrus yang akan menggantikannya kelak masih belum dewasa, maka diangkatlah saudaranya yang bernama Syarif Saleh Alaydrus. Agil sendiri kemudiannya tidak sempat menduduki tahta meneruskan warisan kekuasaan orang tuanya.
Di masa pendudukan militer balatentara Jepang, 1944, Syarif Saleh Alaydrus Panembahan Kerajaan Kubu termasuk salah seorang yang menjadi korban kebiadaban Jepang di Kalimantan Barat. Atau dinamakan juga sebagai Korban Penyungkupan.
Sampai saat kevakuman kerajaan, putra mahkota Syarif Agil masih belum mencukupi usianya untuk dinobatkan. Maka pihak Jepang membentuk Majlis Kerajaan atau Zitiryo Hyogikai Kubu yang dipimpin Syarif Yusuf bin Syarif Said Al Qadrie selaku Guntyo Kubu. Ia kemudian digantikan Syarif Hasan bin Zaen selaku Raja Kubu, seakan menyambung keterputusan mata rantai penguasa kerajaan ini. Hasan menduduki tahta dan merangkap sebagai Ketua Bestuur Komite hingga dihapuskan sistem pemerintahan swapraja di Indonesia dalam tahun 1958. Ia didampingi dua orang anggota, masing-masing Syarif Yusuf bin Syarif Husin dan Anang Dardi. Dengan begitu, berakhirlah masa keemasan Kerajaan Kubu di Kalimantan Barat.
SILSILAH FEODAL LOKAL KUBU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sebagai perbandingan, ada sumber lain mengenai silsilah raja-raja Kubu, dikutip dari naskah tulisan Syarif Husin bin Usman bin Agil bin Zain Alaydrus, yang di dalamnya menjelaskan bahwa Syarif Idrus Alaydrus menikah dengan Syecha Alawah Al Bahfem anak dari Syech Achmad Al Bahfem dikaruniai empat orang anak. Masing-masing Syarif Muhammad Alaydrus, Syarifah Zubaidah, Syarif Abdurrachman Alaydrus (yang kemudian merantau ke Kalimantan Selatan dan Timur) dan Syarifah Aisyah. Ketika melahirkan anak mereka yang ke lima, Syecha Alawah Al Bahfem meninggal. Maka kemudian Idrus menikah lagi dengan Syarifah Aluyah Al Qadrie, salah seorang kerabat Al Qadrie. Ia kemudian bersama istri dan sejumlah pengikutnya menyeberangi Sungai Kapuas, meninggalkan Negeri Sebukit (Mempawah Lama). Sampailah ia di suatu tempat yang sekarang dinamakan Sungai Serok. Dari sinilah kemudian Idrus beserta pengikutnya membuka lahan yang masih lebat.
Di perkampungan baru itu, ia kemudian menetapkan tapal batas dengan penguasa Tayan. Oleh Panembahan Tayan dan Idrus disepakati batas dua wilayah itu masing-masing Buntut Limbung sampai hutan Sungai Labai, Simpang Aur, hingga jajaran perkampungan Tanjung Saleh, Tanjung Intan dan Sungai Serok. Untuk membuka hutan lebat dijadikan sebagai pusat hunian, Idrus dibantu tenaga dari rakyat atas suruhan Panembahan Tayan.
Perkampungan itu kaya akan karet. Hasil karet yang diusahakan itu ditampung di suatu tempat bernama Olak Olak Pinang. Para bajak laut, perompak atau lanun pun mendatangi kawasan itu. Mereka bermaksud menjarah hasil alam yang dikumpulkan Idrus beserta penduduknya. Menghindari gangguan tersebut, mereka pun pindah ke percabangan aliran Sungai Terentang. Di sini dibangun sebuah benteng atau kubu pertahanan.
Namun benteng pertahanan itu dipandang Idrus penting untuk dikembangkan. Maka perkampungan tempat dibangunnya kubu pertahanan tersebut pun berkembang. Seterusnya dinamakan dengan Negeri Kubu. Oleh Kerajaan Tayan, dihibahkanlah sejumlah rakyatnya, khususnya orang Dayak dan sebagian Melayu, untuk mendukung Idrus dan menjadi anak negeri di Kubu. Maka kemudian, Idrus pun mendirikan kekuasannya dan mendapatkan pengakuan dari Tayan.
Syarif Alwi bin Idrus Alaydrus adalah putra pertama Idrus dari istrinya yang bernama Syarifah Aluyah Al Qadrie. Beberapa orang saudara seibunya yang lain yaitu Syarifah Maznah, Syarifah Khuzaimah, Syarifah Aisyah dan yang bungsu meninggal di waktu bayi. Alwi menikah pertama dengan gadis Melayu asal Kampar Kuantan Riau. Kemudian menikah lagi dengan dua orang perempuan Melayu lainnya. Seluruhnya dikaruniai tujuh orang anak, antara lain Syarif Abdullah, Syarif Alep, Syarif Daud, Syarif Hasan, Syarif Abdurrachman dan Syarifah Syifah.
Ia membuka Negeri Ambawang setelah perselisihan dengan saudaranya Muhammad. Alwi merasa dilecehkan, karena semasa ayahnya hidup, ia telah dinobat sebagai putra mahkota, dipersiapkan sebagai calon pemegang tampuk kekuasaan Kubu. Namun Belanda tidak merstuinya untuk menjadi raja. Dalam persengketaan itu, saudara kandung Alwi yaitu Syarifah Khuzaimah meninggal sebagai korban perkelahian dengan Syarif Muhammad. Amanah adiknya itu sebelum meninggal agar abangnya Alwi tidak lagi berkemauan bertahta di Kubu. Alwi pun mengalah dan meninggalkan Kubu.
Di sanalah Alwi membuat pusat pemerintahan sendiri. Datang utusan Muhammad saudaranya membujuk agar ia kembali ke Kubu. Namun ia menolak tegas kedatangan utusan Kubu disertai delegasi kolonial Belanda itu. Karenanya Belanda gusar dan menjadikan Alwi musuh berbuyutan. Beberapa waktu Alwi menghindar dari gangguan garnizun Belanda, akhirnya ia memutuskan merantau ke Serawak. Di sana ia bersekutu dengan Inggris.
Sepeninggal Alwi, pemerintahan dilanjutkan putranya yang bernama Syarif Abdullah bin Alwi bin Idrus Alaydrus. Namun tak berapa lama kemudian, Abdullah meletakkan tahta merantau ke Betawi dan menetap di Luar Batang Jakarta. Ia dengan tegas menolak intervensi kolonial Belanda pada kedaulatan kerajaan yang dipimpinnya. Maka kemudian tahta dilanjutkan putranya yang bernama Syarif Husin bin Abdullah. Bersama saudaranya Syarif Aleb, ia membuka lahan Ambawang hingga merintis daerah Teluk Penyengat dan Kuala Kandang Bunga, Kuala Sungai Pulau yang terakhir disebut Teluk Pakkedai.
Di masa Syarif Hasan memerintah Kubu, ia mengutus menteri kerajaan untuk mengadakan kerjasama dalam penglolaan lahan kebun dan menyatukan wilayah itu di bawah kuasa Syarif Said di Tanjung Bunga. Maka akhirnya berakhirlah kuasa kerajaan kecil Ambawang ini tahun 1911. Syarif Husin penguasa terakhir Ambawang diangkat sebagai Menteri Kerajaan di Kuala Karang atau Seruat.
Adapun Syarif Alwi selama di Serawak kemudian berkeluarga di sana dan memperoleh keturunan yaitu Syarif Muhsin bin Alwi bin Idrus Alaydrus. Muhsin beranakkan Syarif Usman bin Muhsin bin Alwi bin Idrus Alaydrus, Usman beranakkan Syarif Abdullah yang menjabat sebagai Yang Dipertuan Agung Gubernur Serawak bergelar Tuan Datuk H Bujang Abdullah.
Semasa Muhammad menjadi raja, atau sebagai Tuan Kubu, kerap terjadi perlawanan. Terbesar dipimpin Alwi yang kemudian dari Gunung Ambawang berpindah ke Serawak dan menetap di sana turun temurun. Wafatnya Muhammad, naik tahtalah putranya, Syarif Abdurrachman bin Muhammad Alaydrus. Ia mulai menjalankan tahta ditandai dengan penandatanganan korte verklaring 7 Juni 1839. Abdurrachman dikenal juga dengan sebutan Panembahan Tua.
Abdurrachman wafat digantikan putranya, Syarif Ismail bin Abdurrachman Alaydrus sejak 28 Mei 1841. Namun ia menolak tegas menandatangani korte verklaring, dan membangkitkan perlawanan rakyat kepada Belanda. Ia pun dihalau dari tahta dan negerinya. Ismail kemudian mengembara hingga ke Belitung dan Kampar. Ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar. Karena kekosongan tahta sejak Ismail menolak meneruskan memerintah, Belanda menjinakkan dan mengangkat saudara Ismail sendiri, Syarif Hasan bin Abdurrachman Alaydrus.
Hasan selama dua puluh tahun berkuasa didahului penandatangani korte verklaring 27 Juni 1871. Sejak Hasan memerintah, sistem pemerintahan tradisional Kubu mengalami perubahan. Belanda jauh dalam terlibat mengatur segala kebiasaan kerajaan. Maka sejak itu pula, Hasan menjadikan anak-anak dan menantunya sebagai pegawai di lingkungan kerajaan. Hasan sendiri oleh Belanda ditetakan sebagai seorang pegawai (bestuur) tetap Belanda, sedangkan putranya Syarif Abas bin Hasan Alaydrus diberi gelar Raja Muda, menantunya Syarif Abdullah sebagai Menteri Besar, Syarif Said bin Syarif Ismail (suami Syarifah Maznah bt Syarif Hasan Alaydrus) bergelar Mangkubumi sebagai Penguasa Tanjung, mulai dari Tanjung Bunga hingga Tanjung Burung di sebelah selatan, Teluk Penyengat, Sungai Bemban hingga Sungai Selamat. Sedangkan Syarif Kasim bin Syarif Ali (suami Syarifah Zaenab bt Syarif Hasan) diberi jabatan Kepala Parit Pasir Putih, Syarif Yasin bin Syarif Hasan Kepala Parit Tuan-tuan, Syarif Abubakar bin Syarif Abdullah (suami Syarifah Syifah bt Syarif Hasan) sebagai Penguasa Kuala Balai kemudian sebagai Kepala Kampung Hulu atau Teluk Pakkedai Hulu sekarang. Syarif Zain bin Syarif Ismail suami dari Syarifah Mastura bt Syarif Hasan diberi hak Padang Tikar, kemudian diberi pangkat sebagai Kepala Onderdistrik Batu Ampar. Ia dikenal juga sebagai Raja Padang Tikar. Syarif Zain bin Syarif Ismail mempunyai anak Syarif Mustafa, Syarif Agil di Tanjung Bunga menjadi menantu Syarif Said bin Syarif Ismail, Syarif Yahya bin Syarif Zaen menjadi menantu Syarif Said dikenal dengan Wan Kuyung.
Adalah Syarif Saleh bin Syarif Idrus beristrikan Syarifah Talaha bt Syarif Hasan diberi pangkat Kepala Onder Afdeling. Syarif Hasan bin Abdurrachman wafat, anaknya yang bernama Syarif Abas bin Sy Hasan naik tahta. Ia menandatangani korte verklaring 8 Nopember 1900. Ia kemudian berhenti dari tahtanya tahun 1910, karena menentang korte verklaring Belanda. Semula ia masih menjalankan roda pemerintahan, namun Belanda mengimbanginya dengan membentuk Bestur Komite. Bestur Komite terdiri dari Syarif Kasim sebagai ketua, dengan anggota terdiri dari Syarif Saleh, Syarif Umar yang seluruhnya berjumlah sepuluh orang. Karena itu dinamakan Komite Sepuluh.
Berhentinya Abas, Komite Sepuluh mengusulkan tahta dilanjutkan Syarif Zain. Zain saat itu dibawa menghadap Residen di Pontianak, maka di saat itulah ia nobatkan pada 1911. Pada saat yang sama, Belanda mengangkat sejumlah kerabat Kubu menduduki sejumlah jabatan. Syarif Agil sebagai kepala Onderdistrik Teluk Pakkedai, Syarif Yahya Kepala Onderdistrik Padang Tikar, Syarif Saleh sebagai Patih atau Juru Tulis Kerajaan.
Usai pelantikan mereka di Pontianak, di Kubu kedatangan mereka ditolak dan ditentang keras oleh Syarif Abas, mantan penguasa sebelumnya. Didukung Belanda tidak menghiraukan tantangan dan protes Abas beserta sedikit pengikutnya, Zain mengalihkan pusat kerajaan Kubu ke Pematang Hadad, untuk kemudian mendirikan istana dan kantor raja di Kertamulya.
Dalam tahun 1913, calon pengganti Zain, Syarif Agil bin Zain bin Ismail Alaydrus berlayar ke Batavia atas suruhan sang ayah untuk mencari dana mendirikan keraton permanen. Di saat itulah, sepeninggal Agil, melalui Menteri Syarif Kasimin dibuat surat pernyataan yang isinya menyatakan Agil mundur dari jabatannya. Agil sendiri yang masih sangat belia usianya ditambah juga belum bisa baca tulis Latin dengan fasih, menandatangani surat tersebut setelah terkesan dikibuli banyak pihak kerajaan. Maka tahun 1917 utusan Residen pun datang ke Kartamulya. Rakyat Kubu menyambut kedatangan delegasi itu untuk meresmikan istana yang baru, sekaligus untuk melantik Syarif Agil sebagai penerus tahta. Namun, kenyataannya adalah dengan serta merta delegasi utusan Residen di Pontianak itu menyatakan Agil tidak bersedia menduduki atau dilantik meneruskan tahta. Alasannya, itu diungkapkan delegasi tersebut adalah atas pernyataan tertulis Agil sendiri.
Maka terjadi keksongan tahta. Tak ada pilihan lain, maka tahun 1919 Syarif Zain, panembahan yang sudah menapak usia lanjut akhirnya menetapkan Syarif Saleh bin Idrus Alaydrus menantu Syarif Hasan bin Abdurrachman Alaydrus penguasa terdahulu, sebagai Wakil Raja Kubu. Ia dinyatakan sebagai Pejabat Kerajaan yang mewakili Panembahan Syarif Zain. Ibaratnya Saleh adalah pelaksana harian dari jabatan Zain. Namun perkembangan berikut, Syarif Saleh beserta perangkatnya menjadikan Keraton Kertamulya sebagai pusat administrasi pemerintahan. Zain sendiri mulai ditingalkan dan seakan tidak mendapat pengakuan sebagai seorang raja. Dan Saleh diperkenankan sebagai seorang Panembahan Kubu.
Saleh kemudian mengangkat adiknya bernama Syarif Abdullah bin Idrus Alaydrus sebagai Patih. Syarif Saleh menduduki jabatan sebagai panembahan, atau Dokoh Kubu, hingga diciduk Jepang tahun 1944. Sepeninggal Saleh, terjadi keksongan tahta. Kelaknya, setelah Belanda kembali berkuasa untuk sedikit waktu, Syarif Hasan bin Syarif Zain Alaydrus ditetapkan sebagai Self Bestuur Kubu antara 1949-1958. Oleh Hasan bersama Syarif Abdullah bin Idrus, tahun 1958 sepenuhnya kekuasaan Kubu diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia dan mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri ketika itu.
Abdullah wafat setahun kemudian, 1959. Ia meninggalkan seorang istri Syarifah Zahara bt Syarif Agil. Mertuanya Agil adalah calon penerus tahta yang tak sempat berkuasa resmi sebagai Tuan Kubu. Abdullah dan Saleh (panembahan yang disungkup balatentara Jepang) adalah anak dari Syarifah Syidah bt Syarif Said pewaris Tanjung Bunga. Abdullah meninggalkan anak yaitu Syarifah Halimatusadiyah yang menikah dengan Syarif Usman bin Syarif Agil. Usman mendapatkan empat orang anak, yaitu Syarif Husin, Syarifah Rusnah, Syarif Umar dan Syarif Hamid.
Secara garis besar, para penguasa atau Tuan Kubu, sejak berdiri hingga hapusnya kekuasaan kerajaan ini, berturut-turut diperintah oleh Syarif Idrus bin Abdurrachman Alaydrus, kemudian Syarif Muhammad bin Idrus, lalu Panembahan Tua Tuan Kubu Syarif Abdurrachman bin Muhammad Alaydrus, selanjutnya Syarif Ismail bin Abdurrachman. Ia menentang korte verklaring, kemudian mengundurkan diri, digantikan Syarif Hasan bin Abdurrachman Alaydrus, kemudian diteruskan Syarif Abas bin Hasan Alaydrus. Hasan juga menentang korte verklaring ia kemudian mengundurkan diri bersamaan dibentuknya Bestuur Komite atau Komite 10 Kubu. Kemudian diteruskan Syarif Zain bin Syarif Ismail yang juga menantu Syarif Hasan, selanjutnya Syarif Saleh bin Idrus Alaydrus (menantu Syarif Hasan) dan terakhir Syarif Hasan bin Zain (menantu Syarif Agil yang tidak sempat menduduki tahta).
STRUKTUR POLITIK KERAJAAN KUBU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Kekuasaan dalam Kerajaan Kubu berpusat pada raja dan keluarganya disebut juga sebagai bangsawan. Penguasa kerajaan menggunakan gelar Panembahan atau Tuan Kubu. Para bangsawan kerabatnya menyandang gelar syarif atau wan. Mereka mengisi lapisan sosial teratas di kerajaan itu, dengan kedudukan sebagai Mangkubumi, Raja Muda, Menteri Besar, Menteri Kerajaan, Kepala Parit, Penguasa Kuala atau Kepala Kampung dan Patih atau Juru Tulis Raja.
Pelapisan selanjutnya adalah orang Merdeka yang meliputi penduduk biasa yang tidak terikat pada bentuk penghambaan. Secara etnis mereka tergolong pada kelompok Melayu. Mereka adalah warga kerajaan dan menempati jabatan pemerintahan tertentu. Kebanyakan mereka menjabat kedudukan menteri yang berada di bawah seorang bangsawan. Gelar yang digunakan yang menonjol adalah Kepala Kampung. Kelompok etnis Melayu tinggal di perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh seorang kepala kampung ini, yang biasanya seorang bangsawan.
Kemudian adalah kedudukan Hamba. Mereka yang terikat pada suatu kewajiban-kewajiban tertentu terhadap seorang Tuan, terutama kepada raja atau panembahan atau Tuan Kubu dan bangsawan. Sebagian besar mereka adalah kawula kerajaan yang berasal dari kelompok Dayak. Pada etnis Dayak dikenal dua golongan penduduk, yaitu Orang Merdeka dan Budak. Golongan yang pertama terpilah menjadi dua pelapisan sebagai Temenggung dan Demong.
Temenggung adalah golongan tinggi, kaya dan dipandang sebagai bangsawan yang memiliki garis keturunan langsung dengan kosmis. Mereka memiliki perlambang atau pusaka-pusaka yang berbalut erat dengan unsur-unsur sakral, seperti tempayan, gong atau tombak dan senenan. Mereka adalah pemimpin dalam puak-puaknya. Kelompok kedua atau Demong adalah golongan bawahan atau kalangan bersahaja. Hanya segelintir dari mereka yang dapat menduduki jabatan sebagaimana dimiliki tersebut.
Selanjutnya adalah kelompok Budak, yang terbagi atas budak milik turun temurun sang majikan. Sementara yang lainnya adalah budak yang tidak mampu membayar utang sehingga harus mengabdi pada seseorang. Dalam literatur kolonial dikenal sebutan Slaaf dan Pandeling.
Dalam perkembangannya, penduduk Kerajaan Kubu mengenal kelompok pendatang lainnya seperti Cina, yang umumnya bergerak dalam penambangan emas dan perkebunan, Banjar dan Bugis yang menjalankan roda perdagangan, dan Arab. Mereka tinggal dalam perkampungan. Kelompok Banjar dan Bugis tidak tinggal menetap karena kegiatan perdagangannya. Jumlah mereka cukup banyak dan tersebar.
Mengutip sebuah sumber tempo doeloe, dijelaskan, di kalangan orang Bugis pula, termasuk yang datang dari Wajo dan orang yang datang dari Sumbawa, mereka tinggal di pesisir pantai, dan merekalah yang menguasai kebun ladang. Orang Bugis tinggal berkelompok sesama mereka, membuat kampung dengan susunan perumahan yang berlapis-lapis. Bilangan mereka sangat banyak. Disebutkan mereka memenuhi jajahan laut, dan kalau terjadi peperangan, orang Bugis inilah yang lebih dulu berperang. Di rawa-rawa yang asalnya tumbuh nipah, bakau, api-api dan perepak, yang membentang dari Mempawah di barat laut hingga ke Padang Tikar di tenggara, semuanya sudah menjadi ladang kelapa orang Bugis. Hasil kelapa dari orang Bugis ini disebutkan sangat banyak, dan ini juga jadi hasil pungutan cukai untuk Tuan Kubu.
Seorang panembahan atau Tuan Kubu atau Raja dipilih berdasarkan musyawarah seluruh elit kerajaan. Biasanya suksesi dilaksanakan berdasarkan garis keturunan dan anak lelaki tertua (primogeniture). Apabila sang penguasa tidak memiliki putra (mahkota), maka saudara lelakinya akan naik tahta. Namun, kesemua itu berdasarkan pertemuan kerabat kerajaan.
Para bangsawan itu bertempat tinggal di muara sungai dan membangun suatu kekuasaan bersama kawulanya. Mereka mengenakan pungutan terhadap penduduk yang melintas aliran atau muara sungai yang berada di bawah kekuasaannya. Pada waktu-waktu tertentu mereka berkumpul di Kubu, sebagai pusat kendali politik untuk melaksanakan ritual kerajaan. Pada kesempatan itulah segala permasalahan yang timbul, baik yang berasal dari dalam atau di antara mereka maupun yang datang dari luar sebagai ancaman, diperbincangkan. Pada saat itu pula para bawahan kerajaan (kawula), yakni kelompok Dayak, menggelar seserahan (upeti) sebagai bukti atau tanda kesetiaannya dan imbalan atas perlindungan yang diberikan kerajaan.
Sumber konflik umumnya menyangkut masalah sumber daya ekonomi, perebutan cacah (kawula) Dayak, dan konsesi lainnya. Selain itu, perselisihan terkadang muncul dalam konteks pernikahan antarketurunan penguasa atau para bangsawan kerajaan. Mereka berperang di aliran sungai, menggunakan perahu-perahu, menyerang atau bertahan dari serbuan. Kemudian intervensi dari luar dengan kepentingan di abad ke 19 mengubah keadaan hingga memunculkan suatu gejolak, yang dikenal dalam penyebutan setempat sebagai Perang Kubu.
INTERVENSI KOLONIALISME BELANDA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Sejarah awal Kubu sebelum kedatangan bangsa Arab (Islam) dan Barat (Belanda) tidak dapat disingkap dengan pasti. Sumber yang tersedia hanyalah berupa cerita rakyat dan silsilah. Dari sumber-sumber seperti itu muncul indikasi mengenai interaksi Kubu dengan pengaruh luar yang datang. Pemakaian gelar penguasa-penguasanya memperlihatkan adanya pengaruh Arab (Islam) atau Timur Tengah. Pengaruh Arab tampaknya berasal dari Timur Tengah (Hadramaut), antara lain ketika pengaruh dan persebaran Islam meluas ke pelosok Nusantara, sementara pengaruh Islam itu tiba bersama-sama dengan budaya Melayu.
Kekuatan Belanda datang ke Kubu melalui kroninya Tengku Akil dari Siak (yang kelaknya intervensi pula di Sukadana dan menjadi penguasa di sana). sebelumnya kekuasaanya Belanda telah merambah ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Pontianak di muara Sungai Kapuas pada pesisir Laut Cina Selatan. Kubu kerap muncul dalam perjanjian-perjanjian antara kedua kerajaan setempat itu dengan Belanda. Kubu mengakui kekuasaan Sultan Pontianak sebagai patronnya dalam nuansa hubungan patron dan klien (patronclient relationship).
Ketika kerajaan sedang diliputi awan kedukaan sehubungan mangkatnya sang penguasa dan Tuan Kubu pertama Syarif Idrus Alaydrus, delegasi Belanda pun tiba dari Pontianak. Mereka bersama sejumlah pasukan bersenjata, mereka sedang melakukan kunjungan peninjauan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di sepanjang Sungai kapuas di pedalaman Kalimantan Barat. Pihak Kerajaan Kubu menyambut kunjungan itu yang kemudian berakhir dengan disepakatinya suatu perjanjian sementara antara kedua belah pihak, korte verklaring, di mana Kubu diwakili Syarif Muhammad bin Idrus Alaydrus yang seketika menggantikan ayahnya.
Menurut sumber Belanda, perjanjian itu menyatakan pengakuan Kerajaan Kubu akan kekuasaan pemerintah Belanda: pernyataan tidak akan mengadakan perjanjian dengan kekuatan lainnya, campur tangan Belanda dalam mengangkat penguasa pengganti, dan penunjukkan seorang putra mahkota. Setelah itu, rombongan Belanda melanjutkan kembali perjalanan mereka.
Menelisik masa silamnya, kenyataan yang ada pada dua abad sebelum sekarang, ternyata Kubu (dalam hal ini melingkupi seluruh kawasan Kubu Raya sekarang), sudah sangat diperhitungkan oleh kolonial Belanda. Ini jelas lantaran potensi sumber daya yang dimilikinya. Sebagaimana termaktub dalam dokumen (terbatas) Belanda, dalam Borneo Wester Afdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch, PJ Veth, 1854 halaman: 7—12, menyangkut Kubu, antara kain menjelaskan:
” ... Al het overige wordt gerekend tot het rijk van Pontianak, van hetwelk zich echter de kleine staat van Koeboe onder een eigen hoofd heeft afgezonderd. Eenige Maleische en Arabische familien van Pontianak hebben namelijk eene negerie gesticht aan de rivier Terentang, waaraan zij den naam van Koeboe, d.i. vershansing, hebben gegeven, en vershaffen zich hier het levensonderhoud door landbouw, visscherij, kleinen handel, vooral met Pontianak, en het aanbouwen van vaartuigen. Hun opperhofd is een Sjerief, die met den Vorst van Pontianak door banden van bloedverwantschaap verbonden is. Deze ….. despot voert, volgens den heer van Lijnden, den scepter ….. 528 zielen, waaronder 25 Chinezen, terwijl zijne hoofdplaats niet minder dan 10 huizen telt.
Ik moet hierbij echter opmerken, dat deze opgave, gelijk doorgaans die van den heer van Lijnden, zeer laag gesteld is, en sommige schrijvers de bevolking van Koeboe tot wel 2000 zielen, waaronder 150 Chinezen, doen opklimmen. Onder deze bevolking behooren ook de visschers van Dapong, een verzameling van 8 of 9 huizen ten Noorden der Padang Tikar river. Een soortgelijk staatje als Koeboe was voormaals Membawang, meer noordwaarts, tusschen de Poenggoer en de Oelah, met eene negerie aan laatstgenoemde, gelegen, en de Sjerief, die daar in 1822 het gezag voerde, was een broeder van dien van Koeboe.
Sedert is deze staat van de kaarten verdwenen en naar het schijnt met dien van Koeboe versmolten, zoodat dit laatste gerekend wordt zich langs de kust over al de eilanden, door de mondingen de Kapoeas van de Poenggoer tot aan de Majah gevormd, uit te strekken. Ik merkte echter reeds op, dat Simpang zich het zuidelijk deel van dit gebied toeeigent, inderdaad is het niet wel mogelijken van weinig belang, door deze onbewoonde, met ondoordringbare vegetatie overdekte moerassen grenzen te trekken, en natuurlijk geldt dit ook ten volle van de grens, die Koeboe in het binnenland van Pontianak en Simpang scheidt.
De bovenlandsche vorsten rekenen de belangrijkheid van hun gebied niet naar de uitgestrektheid van het terrein, maar naar het aantal Dajaks, dat hun gehoorzaamt, en antwoorden op de vraag naar de hoegrootheid van hun rijk alleen door de opsomming der rivieren, welker oevers door Dajaks bewoond zijn. Daar nu in de geheele Delta naauw een honderdtal Dajaks, en nog wel in het gebied van Pontianak, woont, is het schier om het even of men met sommigen de Dawah, dan met anderen de Batoe Ampar en Simpang Lidah als oostelijke grens van Koeboe tegen Simpang aanneemt.
De kust is in het gebied van Koeboe overal met nipa en rhizophoren (kajoe api), hier en daar op zandige plekken ook met de casuarina litorea (arrau of roe boom) en de naga, eene soort van ijzerhout, omzoomd, de bosschen bevatten kajoe gahroe, kajoe lakka en een overvloed van ebbenhout, terwijl er zich nu en dan eenige zwervers vertoonen, die honig, was en rotan komen ingaren. Het strand is schier overal laag, ofschoon men hier en daar in de rigting van het Zuidoosten naar het Noordwesten kleine ophoogingen van den grond bespeurt, die vroeger eilandjes waren, maar door aanslibbing met den vasten wal vereenigd zijn.
Zulk een eiland was eenmal ook de heuvel Bawang of Membawang, nabij den riviermond van denzelfden naam, die zich in dezelfde rigting schier een uur ver uitstrekt. Hij verheft zich niet hooger dan omtrent 450 voet boven het waterpas der zee, doch daar hij in geheel vlak land ligt, is zijn voorste tafelvormige spits, waarachter men zich op sommige punten nog twee andere ziet verheffen, even kenbaar als schilderachting van voorkomen.”
Beberapa waktu kemudian, Kerajaan Kubu yang telah memilih penguasa pengganti kembali menerima kedatangan salah seorang anggota delegasi itu. Tamu Belanda itu ikut campur tangan dengan menuding Syarif Alwi bin Idrus Alaydrus pendamping dan juga saudara Tuan Kubu yang baru (Syarif Muhammad) sebagai orang yang membahayakan. Selanjutnya, suatu perjanjian tetap dicanangkan yang banyak merugikan pihak kerajaan seperti memperkuat isi perjanjian sebelumnya ditambah dengan rencana pendirian sebuah benteng pertahanan Belanda di daerah itu atas beban kerajaan dengan kawula Dayaknya, penetapan pemberlakuan alat pembayaran yang sama dengan di Pontianak, dan pembudidayaan sejumlah tanaman. Di masa berikutnya sejumlah perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, terutama pembaruan perjanjian sehubungan bergantinya residen (pejabat kolonial) Belanda di Kalimantan Barat (Baron van Lijnden & Groll 1851; van den Dungen-Gronovius 1849)
Sampai tahun 1840-an (di masa pemerintahan Panembahan Tua Tuan Kubu Syarif Abdurrahman bin Muhammad Alaydrus) perhatian Belanda terhadap pedalaman dan pesisir Kapuas dan Kubu khususnya tidak terlalu menonjol. Bahkan, ketika benteng yang didirikan itu diserang, tidak ada tindakan lanjutannya, tetapi malahan kemudian benteng itu, sebagai perlambang hadirnya sebuah kekuatan kolonialisme di kawasan itu, ditinggalkan. Keadaan itu antara lain disebabkan pecahnya perlawanan Pangeran Doponegoro pada tahun 1825 yang menyita banyak perhatian dan sumber daya kolonial.
Perhatian dan campur tangan Belanda mulai meningkat ketika tiba seorang petualang dari Inggris, James Brooke, yang kemudian menjadi raja di Serawak (the White Rajah). Kegalauan akan ekspansi Brooke mendorong Belanda melakukan konsolidasi pengaruh dan kekuasaannya di sepanjang aliran Sungai Kapuas, dan Kubu yang dapat menjangkau Serawak lewat rimba belantara. Terlebih perlawanan terdahulu rakyat Kubu yang dipimpin Syarif Alwi bin Idrus Alaydrus di Ambawang yang kemudian bersekutu dengan Inggris di Serawak. Oleh karena itu, Kerajaan Kubu mengalami pengaruh yang meningkat dari ekspansi kolonial.
Pada saat itu pula ketegangan di kawasan aliran sungai Kubu itu mulai meningkat. Persaingan dan peperangan antarkerajaan, di satu pihak Kubu berhadapan dengan Ambawang, meski dalam skala kecil, kerap terjadi sehingga situasi menjadi tidak aman dan di luar kendali. Salah satu akibatnya hubungan perdagangan antara kawasan pedalaman dan pesisir mulai terganggu. Sehubungan dengan itu, pihak kolonial Belanda di Pontianak mengambil ancang-ancang melancarkan tindakan memulihkan keadaan. Benteng militer di Kubu dibangun kembali dan diawasi oleh suatu garnisun militer.
Pihak Kerajaan Kubu menanggapi perubahan yang terjadi di wilayah selatan itu dengan membuka hubungan perdagangan. Sejumlah bangsawan menjalin niaga dengan James Brooke di Serawak, tentunya di bawah pengintaian dan pengawasan Belanda. Kecurigaan antara pihak Kubu dan Belanda mulai berkembang. Hingga kemudian mencapai puncaknya ketika Tuan Kubu Syarif Ismail bin Abdurrachman Alaydrus menyatakan mengundurkan diri dan diganti oleh saudaranya yaitu Syarif Hasan bin Abdurrachman Alaydrus.
Permasalahan suksesi itu membawa politik kerajaan ke arah pembuatan perjanjian yang baru dengan Belanda. Pada kesempatan ini Belanda mengambil alih semua kedaulatan politik kerajaan dan terutama yang kemudian menjadi pemicu sebuah perlawanan, akses ekonomi. Para bangsawan yang sedianya memiliki konsesi dan privilege ekonomi seperti terhadap hak berniaga, upeti dari kawula dan sebagainya mengalami kerugian yang amat sangat dengan dihapuskannya hak-hak tersebut. Struktur tradisional pemerintahan Kerajaan Kubu pun digantikan dengan sistem ala Belanda, di mana kemudian dibentuk wilayah onderafdeling dan onderdistrik serta distrik di sana.
Belanda secara sepihak membentuk sebuah Bestur Komite di masa Syarif Abas bin Hasan bin Abdurrachman Alaydrus seraya mengesahkan pewaris penguasa terdahulu, Syarif Zain bin Ismail yang juga menantu Syarif Hasan bin Abdurrachman Alaydrus sebagai penguasa baru tanpa menghiraukan kebiasaan yang berlaku dan keinginan sejumlah pemuka kerajaan. Bestuur Komite ini diketuai Syarif Kasimin kepala Distrik Teluk Pakedai dengan anggota Syarif Yahya Kepala Distrik Padang Tikar yang kemudian digantikan Syarif Saleh, Syarif Umar dan tujuh anggota lainnya. Bestur Komite ini dikenal juga dengan sebutan Komite 10 Kubu.
Kemudian tuntutan sejumlah bangsawan yang tidak puas akan isi perjanjian yang dibuat dengan pihak Belanda itu agar diubah sesuai dengan keinginan mereka tidak mendapat tanggapan semestinya. Sehingga menimbulkan ketegangan dalam kerajaan. Akibatnya, pecah sebuah silang sengketa di antara elit kerajaan itu sendiri yang berlangsung hingga berakhirnya masa kekuasaan Belanda, dan berpindah tangan ke pemerintah pendudukan militer Jepang tahun 1941.
Pengalaman Kerajaan Kubu dengan tingkah laku dan tindakan Belanda di awal dan pertengahan abad ke 19 itu tidak jauh berbeda dengan kerajaan lainnya. Ketika itu Hindia Belanda sedang giat-giatnya melancarkan gerak maju ekspansi kolonialnya. Berbagai ekspedisi militer dikirim ke pelbagai tempat di Kepulauan Indonesia dengan tujuan penaklukan. Sebagaimana dengan corak imperialisme-kolonialisme di masa itu, perluasan kekuasaan atas wilayah merupakan sasaran utamanya.
Hingga hampir seluruh Kepulauan Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonialisme Hindia Belanda. Kemudian pada abad ke 20 setelah Perang Dunia II, suatu perkembangan yang sebaliknya berlangsung, yaitu dekolonisasi (decolonization). Imperialisme dan kolonialisme menjadi old-fashioned walaupun tidak sepenuhnya binasa. (Dinosman: dinis45@yahoo.co.id)***
Sabtu, 03 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar