Sejarah Terbentuknya Kabupaten Kubu Raya
oleh: Syafaruddin Usman MHD
Selasa 17 Juli 2007. Momentum yang paling bersejarah bagi masyarakat desa-desa pesisir Kalimantan Barat. Pada hari itu, Kabupaten Kubu Raya, disahkan. Pengesahan itu menandai akan dibentuknya sebuah pemerintahan baru. Selanjutnya, dengan sedikit proses, masyarakat desa-desa pesisir itu akan dapat merasakan pelayanan publik yang lebih mudah. Momentum itu juga mengingatkan, bahwa bukan kali itu saja Kabupaten Pontianak mekar. Sebelumnya, kabupaten ini telah merelakan kehilangan separuh atau 55 persen wilayah bagian timurnya untuk berdiri sendiri menjadi Kabupaten Landak pada 1999. Maka pada hari itu, Kabupaten Pontianak kembali kehilangan 73 persen wilayahnya yang tersisa seluas 6985,2 km di bagian selatan yang mekar dengan nama Kabupaten Kubu Raya.
Kabupaten baru dengan nama Kubu Raya ini terdiri dari sembilan kecamatan meliputi Sungai Ambawang, Kuala Mandor B, Terentang, Kubu, Batu Ampar, Sungai Raya, Rasau Jaya, Sungai Kakap dan Teluk Pakedai, dengan ibukotanya Sungai Raya. Terdiri pula dari 106 desa dengan minimalnya 370 dusun.
Pemekaran Kubu Raya diperjuangkan karena alasan peningkatan jumlah penduduk, wilayah yang luas, tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, dan pelaksanaan pembangunan yang lebih merata, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pemisahan itu diharapkan rentang kendali pemerintahan yang terlampau panjang dapat dipotong.
Memang salah satu alasan pemekaran atau pemisahan Kubu Raya dari Kabupaten Pontianak adalah jauhnya jangkauan. Rentang antara pusat Kabupaten Pontianak, Mempawah, bagi masyarakat wilayah pantai selatan terlalu jauh. Dari ujung Kubu ke Mempawah memerlukan waktu yang panjang. Tidak cukup satu hari kalau hendak berurusan. Biaya yang diperlukan juga tidak sedikit. Masyarakat memang kerap mengeluh karena itu.
Selain itu, keluhan juga muncul karena ada anggapan wilayah pantai selatan ini kurang mendapat perhatian. Kesan yang pernah muncul pembangunan wilayah selatan tidak maksimal. Tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah yang berkuasa di Mempawah. Masyarakat juga maklum terlalu luasnya daerah, perhatian tentu akan payah. Banyak juga hal yang harus ditangani. Bagi-bagi pun juga akan lebih banyak.
Ketika wilayah administrasi bisa lebih dekat mereka berharap pusat pembangunan juga akan lebih dekat. Pelayanan publik seperti yang memang diharapkan dari kedekatan itu diharapkan akan lebih baik. Harapan itu belakangan lebih banyak terpulang kepada orang-orang Kubu Raya. Sejak pembentukan wilayah disahkan, kini tanggung jawab itu ada pada pundak semua orang di sana. Empat dari sembilan kecamatan, terutama yang berada di sisi selatan kabupaten baru ini, hanya dapat dijangkau dengan sarana transportasi air karena keterbatasan jalan raya. Jumlah desa yang sulit diakses oleh sarana kesehatan pun lebih banyak berada di daerah baru ini.
Orang-orang Kubu Raya harus berpikir bahwa rentang yang dekat bukan tujuan akhir pemekaran. Tujuan akhir pemekaran adalah bagaimana pelayanan bisa diberikan dengan lebih maksimal. Bagaimana pelayanan kepada masyarakat bisa lebih baik dari yang diperoleh sebelumnya. Dan pada gilirannya masyarakat mendapatkan kemudahan, rakyat adil makmur dan sejahtera. Bagi Kabupaten Kubu Raya, modal untuk mewujudkan hal itu ada. Kubu Raya cukup punya potensi untuk itu. Kualitas SDM Kubu Raya pasti jauh lebih Kesempatan mengenyam pendidikan sudah terbuka sejak dulu. Bahkan di Kubu sendiri, sejak masa kolonial Belanda sudah ada Volkschool di sana.
Dari hitung-hitungan di atas kertas, semula, cikal bakal Kabupaten Kubu Raya sangat mendominasi kegiatan perekonomian kabupaten induk. Berdasarkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2004, sumbangan sembilan kecamatan yang kemudian menjadi kabupaten baru ini terhadap kegiatan ekonomi kabupaten induk mencapai 68 persen. Industri kayu yang mayoritas berada di Kecamatan Sungai Raya, yang sekarang ibukota kabupaten termuda di Kalbar ini, selama ini menjadi kontributor utama dalam industri pengolahan sekaligus perekonomian keseluruhan di Kabupaten Pontianak. Dengan kata lain, sektor sekunder pengolahan kayu menjadi lokomotif perekonomian Kabupaten Pontianak.
Dari sisi demografi, penduduk yang melimpah menjadi modal tersendiri. Dengan resminya kabupaten ini, maka 69 persen atau 477.167 jiwa berubah status menjadi penduduk Kubu Raya. Jika seluruh penduduk di golongan usia produktif memiliki keterampilan dan pendidikan untuk dapat mengembangkan usahanya masing-masing, tentu akan menjadi kekuatan tersendiri bagi Kubu Raya. Apalagi jika nanti penduduk berusia sekolah bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas sebagai bekal masa mendatang mengingat lebih banyak fasilitas pendidikan berada di daerah baru.
Mayoritas penduduk kabupaten baru ini berdomisili di ibukota, Kecamatan Sungai Raya. Pada saat industri kayu masih beroperasi dengan lancar dan menjadi penggerak utama perekonomian, pabrik-pabrik pengelolaan kayu membutuhkan pekerja dalam jumlah besar dan terus mengundang pencari kerja untuk datang dan membangun hidup di kecamatan ini. Tak mengherankan, kepadatan penduduk kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak ini adalah paling tinggi. Tak kurang 211 jiwa/km2. Juga mempunyai laju pertumbuhan penduduk paling cepat, yakni 3,38 persen (2004) dibandingkan dengan kecamatan lain, baik di Kabupaten Pontianak maupun di Kubu Raya sendiri kemudiannya.
Sumber Daya Manusia di Kubu Raya inilah yang akan menjadi penggerak pembangunan wilayah. SDM inilah yang kemudian akan membuat Kubu Raya menjadi maju mengejar kabupaten lain. SDM inilah yang akan membuat sistem baru diciptakan di sana. Sekalipun mungkin di sana-sini sistem lama birokrasi akan terbawa juga. Dengan mekarnya Kubu Raya, ini pula di tahap awal yang merupakan tugas sulit untuk pemerintahan baru: merealisasikan pergeseran sektor pertanian, perkebunan dan kelautan menjadi pengganti industri kayu yang selama ini menjadi primadona atau tumpuan kegiatan perekonomian serta mencari cara untuk dapat memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang berlimpah agar tidak terjadi pengangguran hebat. Sementara itu, pekerjaan rumah Kabupaten Pontianak adalah bagaimana untuk bertahan hidup meskipun sumber utama perekonomian daerah sudah hilang.
Banyak kalangan yang optimis kemungkinan itu bisa diwujudkan bagi Kubu Raya. Asalkan para pendiri, perintis, para elit di Kubu Raya mau memperhatikan hal itu. Sebagai daerah otonom baru (bahkan terbaru), penciptaan sistem kerja tersendiri yang terbaik sangat mungkin diwujudkan. Susah, tetapi jelas bisa dilakukan. Terlebih jika motivasi untuk mewujudkan hal itu kuat, sekuat semangat membentuk kabupaten ini dulunya. Apalagi jika motivasi itu juga diperlihatkan seperti mereka perlihatkan ketika mengkritik sistem briokrasi yang diterapkan selama ini yang tidak memuaskan.
Hadirnya Kabupaten Kubu Raya (2007), sebagaimana juga Kabupaten Landak (1999), tak terlepas dari Kabupaten Pontianak (1958) dalam lintasan sejarahnya. Kabupaten Pontianak lahir dari tiga kewedanaan atau swapraja atau onder afdeeling, dalam tahun 1958. Masing-masing Mempawah, Landak dan Kubu. Ibukota kala itu berkedudukan di Kotapraja Pontianak. Pertimbangan, secara administratif berada di wilayah Ibukota Propinsi Kalimantan Barat itu, maka ibukota kabupaten ini harus dipindahkan. Saat itu, mengemuka banyak aspirasi. Sehingga ada empat calon ibukota yang diajukan. Masing-masing Mempawah, Ngabang Landak, Kubu dan Anjongan. Musyawarah I Front Nasional Kabupaten Pontianak kemudian melakukan semacam survey. Keputusan terakhir, Mempawah ditetapkan sebagai ibukota kabupaten tersebut (1962). Pertimbangan mendasar, Mempawah dapat mengakomodir wilayah timur (Landak) dan selatan (Kubu dan sekitarnya).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Swapraja Tingkat II atau DPR Daswati II Pontianak periode pertama, merupakan analog dari hasil Pemilu 1955 untuk wilayah yang kemudian sebagai Kabupaten Pontianak. Keanggotaan masing-masing dari Persatuan Dayak (PD) 12 orang, terdiri dari H Sazali Osman, Amin Kawi, Seleng Muda, Datjing Tadjim, Safei Sahuddin, Amin Amer, Saebar Asam, Sinjor Mantar, Armaja Joesef Serail, J Djantan, P Daros dan Ibrahim Bodjek. Partai Masyumi 7 orang: Daeng M Noor Gelindong, Ab Razak, M Joesoef Alie, H Alie, Ja’ Moendit, Kiman Ab Kusno, dan, A Rachman Tani. PNI 4 orang: Abi Hurairah Fattah, Gusti Mochtaruddin Amar, Kadaruddin B. Mundit dan Atmo Omar. NU 3 orang: Abubakar Salman, Zainuddin dan Matlias Atjan. PKI Daud Kasim, PSI Sjarief Alwi AMS, dan IPKI Mohammad Saie Jasin.
Saat mengemukanya aspirasi pemindahan ibukota, mereka yang berupaya agar ibukota berkedudukan di Ngabang terdiri dari, selanjutnya sebagai Pendukung Pertama, masing-masing J Djantan (PD Air Besar), Sinjor Mantar (PD Menyuke), Armaja Joesef Serail (PD Ngabang), Amin Amer (PD Sengah Temila), Kadaruddin B Mundit (PNI Ngabang), Saebar Asam (PD Sengah Temila), Ja’ Moendit (Masyumi Ngabang) dan Seleng Muda (PD Toho). Seleng Muda ditetapkan sebagai Juru Bicara Pendukung Pertama dari kelompok ini.
Menelisik ke belakang, pembentukan Kabupaten Kubu Raya memiliki sejarah dan perjuangan yang cukup panjang. Kini sudah terwujud dengan Keputusan DPR RI yang menerima dan menyetujui RUU Pembentukan Daerah Otonom Kubu Raya menjadi UU dalam Sidang Paripurna 17 Juli 2007 silam. Gedung Nusantara II DPR/MPR RI di Senayan Jakarta menjadi saksi bisu. Pada hari itu penuh sesak. Ribuan pasang mata menyaksikan dan seksama menyimak Wakil Ketua Komisi II DPR RI H Fachruddin membacakan laporan komisinya, yang kemudian ditanggapi 10 fraksi melalui juru bicaranya masing-masing dalam tanggapan akhir fraksi mereka, tentang pembentukan daerah otonom baru. Hari itu dilangsungkan Sidang Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno.
Suasana yang cukup tegang semula. Dari 16 kabupaten/kota yang diusulkan, hanya delapan, salah satunya Kubu Raya, yang resmi disahkan. Maka, hari itu merupakan hari yang amat bersejarah bagi masyarakat Kubu Raya khususnya. Wacana pemekaran yang mulai kembali diwacanakan sosok muda, Muda Mahendrawan SH, dan digiring melalui Forum Desa (semula Forum Kepala Desa) pada 2004, telah berhasil nyata dan terwujud. Ini merupakan buah penuh perjoangan dan kebersamaan dalam kebersamaan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan.
Hari paling bersejarah bagi masyarakat Kubu Raya itu pun telah tiba. Setelah berhari-hari, pekan dan bulan merangkai tahun saling adu argumentasi untuk mewujudkan pondasi nan kukuh bagi desentralisasi dan otonomi nyata bagi terwujudnya Kabupaten Kubu Raya, sekitar pukul 14.00, 17 Juli 2007, H Fachruddin naik ke podium. Di hadapan sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, dia menyampaikan laporan Panitia Khusus tentang hasil pembahasan Rancangan Undang Undang, termasuk di dalamnya Kabupaten Kubu Raya. Laporan ia paparkan secara sistematis, sehingga berjalan mulus dan bagus.
Setelah itu, masing-masing fraksi menyampaikan pendapat akhir tanda persetujuan RUU tersebut disahkan menjadi Undang Undang. Hampir tiga jam berselang, Soetardjo mengetuk palu tanda pengesahan, dan ungkapan syukur tanda kegembiraan, bahkan histeris, pun membahana berkumandang dari segenap peserta sidang. Juga sejumlah tokoh masyarakat Kubu Raya, Pemkab dan pimpinan DPRD Kabupaten Pontianak, serta tentunya sang maestro Muda, semuanya larut dalam gembira dan haru. Di antara mereka saling bersalaman, berpelukan, dengan mata sebagian di antaranya tampak berkaca-kaca. Lebih dari itu, spontan mereka merangkul dan mengelu-elukan Muda sebagai luapan kegembiraan atas hasil jerih payah rintisan sang penggagas awal yang berhasil mempersembahkan bukti nyata di hadapan ratusan pasang mata yang menyaksikan kejadian bersejarah itu saat tersebut.
Tak kurang, Gubernur Kalimantan Barat H Usman Jafar menyatakan rasa syukurnya bahwa RUU Pembentukan Kabupaten Kubu Raya akhirnya selesai dan disahkan. Mengenai adanya elemen masyarakat, bahkan segelintir elit, yang terkesan menolak, ia melihat hal itu wajar karena bagian dari demokrasi. Ia menegaskan bahwa yang menolak hanya sedikit dan sebagian besar menerima dengan penuh rasa syukur.
Adalah tokoh sepuh M Sood Djafar berharap, pembangunan di Kubu Raya yang selama masih berada dalam kandungan kabupaten induknya terkesan kurang optimal diperhatikan, segera bisa bergulir. Kehadiran UU Pembentukan Kabupaten Kubu Raya, kata dia, seyogyanya mampu mempercepat pembangunan di Propinsi yang juga tengah mengupayakan pemekaran diri menuju Propinsi Kapuas Raya itu. Ke depan, harap Tok Alang sapaan akrabnya, Kubu Raya bisa membangun seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Sebab, Kubu Raya punya tak sedikit alasan untuk maju. Antara lain karena sumber daya alamnya yang melimpah. Jika itu bisa dikelola dengan baik, ujarnya, mereka yakin Kubu Raya akan tumbuh menjadi wilayah yang maju, papar saksi sejarah itu kepada Penulis. Dia pun menaruh harapan, tak ada kelompok yang mementingkan diri sendiri. Pikirkan kepentingan rakyat banyak, sarannya.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, desentralisasi telah menjadi masalah antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam tahun 1903, rezim penjajah menerbitkan UU Desentralisasi dikenal luas dengan nama Decentralisatie Wet, guna memenuhi tuntutan daerah agar dapat mengurus diri mereka sendiri. UU itu diikuti oleh peraturan berikutnya, Decentralisatie Besluit (S.1905/137) serta Local Ordonantie (S.1905/181).
Seperangkat aturan tersebut dianggap belum memadai. Oleh karena hanya sebagian kecil saja hak pengelolaan keuangan yang diserahkan kepada daerah. Selain kewenangan lainnya, juga masih terbatas. Oleh sebab itu daerah menuntut kewenangan yang lebih luas. Tuntutan akan desentralisasi yang lebih luas tersebut dijawab oleh pemerintah pusat pada 1922 dengan dikeluarkannya UU Reorganisasi Daerah atau Wet Op Bestuurshervorming Wet (S.1922/216). UU ini memungkinkan pembentukan daerah-daerah otonom yang lebih besar dari bentuk Gewes menjadi Province atau Propinsi, serta memungkinkan dibentuknya daerah atau wilayah administratif. Berdasarkan UU itu pula dikeluarkan peraturan atau Ordonantie Nomor 216 Tahun 1922, mengenai pembentukan pemerintahan daerah meliputi Sumatera, Borneo (Kalimantan) dan wilayah Bagian Timur yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan keputusannya Nomor 352 dalam Staatsblad 1938 menetapkan Borneo Gouvernement atau Propinsi Administratif Borneo dengan ibukotanya di Banjarmasin. Wilayah ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Karesidenan Selatan dengan ibukota Banjarmasin, dan Karesidenan Barat dengan ibukota Pontianak. Kedua wilayah itu masing-masing dipimpin seorang residen. Oleh sebab itu sejak 1 Juli 1938 Kalimantan Barat berstatus sebagai karesidenan atau residentie sebagai bagian dari pemerintahan Propinsi Borneo.
Dalam perkembangan selanjutnya, pasca Perang Dunia II, masa transisional di Kalimantan Barat, daerah ini menyandang status sebagai Daerah Bagian, dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat. DIKB ini merupakan federasi dari 12 swapraja dan 3 neoswapraja. Di antaranya terdapat Swapraja atau Onder Afdeling van Mempawah, Landak dan Koubou. Kemudian, atas tuntutan rakyat Kalimantan Barat, Dewan Kalimantan Barat menyerahkan semua hak dan kekuasaannya kepada pemerintah RIS 7 Mei 1950 melalui Surat Keputusan Nomor 234/R dan Nomor 235/R.
Dengan demikian, maka Kalimantan Barat yang sebelumnya memiliki status sebagai Daerah Istimewa yang ditetapkan melalui Beginselenverordening Nomor 179/DW tanggal 22 September 1947, dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 10 Mei 1950. Perkembangan ini membuat Menteri Dalam Negeri RIS mengeluarkan Surat Keputusan Nomor BZ-17/2/47 tanggal 24 Mei 1950 yang menetapkan segala hak dan kewajiban yang sudah tak dapat dijalankan lagi oleh Pemerintah Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan semua kelengkapannya dijalankan untuk sementara oleh seorang residen (R Boediardjo) yang berkedudukan di Pontianak. Melewati kurun delapan bulan menjadi daerah bagian dalam lingkungan negara federal, Kalimantan Barat kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan Nomor Pem/20/6/10 tanggal 8 September 1951 membagi wilayah Kalimantan Barat menjadi enam Kabupaten Administratif, salah satunya adalah Kabupaten Pontianak. Pada 1962, seluruh swapraja atau onder afdeeling di daerah Kalimantan Barat dinyatakan hapus, oleh karena Wedana yang ditunjuk sebagai Kepala Swapraja masing-masing (Mempawah, Landak dan Kubu) telah menyerahkan seluruh hak dan kewajibannya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili para Bupati Kepala Daerah di masing-masing kabupaten. Dan sejak saat itu seluruh onder afdeling atau swapraja atau kewedanaan dinyatakan tidak ada lagi. Dan Kabupaten Pontianak masih beribukota di Kotapraja Pontianak, karena itu kabupaten ini dinamakan dengan Kabupaten Pontianak sebagai penjelmaan dari tiga bekas swapraja: Mempawah, Landak dan Kubu.
Para tokoh yang pernah menduduki posisi penting sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pontianak sejak 1951 hingga sekarang, masing-masing:
1. Wibowo Kepala Daerah 1951—1953
2. R. Soedjarwo Kepala Daerah 1953—1954
3. RPN Loemban Tobing Kepala Daerah 1954—1956
4. Raden Koesno Kepala Daerah 1956—1960
5. A. Djelani Bupati Kepala Daerah Tk II 1960—1968
6. Gusti Usman Idris Bupati Kepala Daerah Tk II 1968—1973—1978
7. H. Moch. Atta Subrata Bupati Kepala Daerah Tk II 1978—1983
8. Drs. H. Muchali Taufiek Bupati Kepala Daerah Tk II 1983—1988
9. Drs. H. Djawari Bupati Kepala Daerah Tk II 1988—1993
10. Drs H Henri Usman Msi Bupati Kepala Daerah Tk II 1993—1998
11. Drs Cornelius Kimha Msi Bupati Kepala Daerah Tk II 1998—2004
12. Drs H Agus Salim MM Bupati Kepala Daerah 2004—2009
Pada 24—25 September 1962 di Pontianak dilangsungkan Musyawarah Kerja I Front Nasional Daswati II Pontianak yang hasilnya disampaikan ke DPRD-GR untuk selanjutnya diteruskan ke Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah di Jakarta. Selanjutnya dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 51/I/9—11 tanggal 5 Februari 1963 diadakan peninjauan kembali letak ibukota Kabupaten Pontianak di Pontianak dan selanjutnya dipindahkan ke Mempawah, setelah menyisihkan calon ibukota lainnya Ngabang, Kubu dan Anjongan.
Perjalanan kurun waktu panjang antara 1963—1998, akhirnya terbit Keputusan Politik DPRD Kabupaten Pontianak Nomor 9 Tahun 1998 tentang menerima dan menyetujui pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak dalam rangka pembentukan calon Kabupaten Daerah Tingkat II Mempawah, Landak dan Kubu. Akan tetapi, pasca itu, nyaris tak terdengar lagi upaya lebih serius untuk mewujudkan terbentuknya masing-masing tiga calon kabupaten tersebut secara serius.
Dalam perjalanan kemudian, secara geografis wilayah Kabupaten Pontianak terbilang luas. Di sisi demografis, memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar. Karena itu, awal 1990-an kembali digemakan keinginan untuk pemekaran kabupaten ini. Dan paling awal, masyarakat Landak berkeinginan agar berkabupaten sendiri atau pisah dari kabupaten induknya.
Keinginan atau aspirasi rakyat tersebut, pada 1998, oleh DPRD Kabupaten Pontianak diakomodir dengan keputusan, Kabupaten Pontianak akan dimekarkan dalam tiga kabupaten. Ketika itu, masing-masing Kabupaten Pontianak di Mempawah, Landak di Ngabang dan Kubu di Kubu. Namun yang terjadi, Landak lebih dulu terbentuk dan resmi memisahkan diri dari kabupaten induknya pada 1999 pasca reformasi.
Kubu, satu dari tiga kabupaten yang direncanakan, mengalami penundaan. Keengganan kalangan elit di kabupaten induk, mengingat potensi wilayah selatan ini merupakan lumbung kehidupan kabupaten induk sendiri. Mengingat Landak telah memisah, harapan besar tergantung di wilayah selatan. Potensi alam dengan aktifitas perkayuan di wilayah ini, merupakan sumber penghasilan yang sangat menjanjikan. Ditunjang SDA lainnya dari kawasan ini.
Dibandingkan dengan Kecamatan Sungai Raya di Kubu Raya sekarang, misalnya, Kota Mempawah yang sekarang terletak di Kecamatan Mempawah Hilir ini jauh ketinggalan. Mempawah yang menjadi ibukota kabupaten sejak 5 Februari 1963 ini, belakangan semakin sunyi. Sungai Raya berkembang pesat sebagai sentra perdagangan dan peindustrian. Hal ini dimungkinkan karena secara geografis kecamatan yang sejak 17 Juli 2007 resmi sebagai ibukota Kabupaten Kubu Raya ini lebih strategis. Perjalanan darat dari Kota Pontianak ke Kabupaten Kubu Raya jauh lebih dekat, dan berbagai kecamatan di Kubu Raya mudah menjangkaunya bila dibandingkan harus ke Mempawah.
Demikian pula perjalanan darat dari Ibukota Propinsi Kalimantan Barat ke kawasan tenggara dan timurnya di Kabupaten Landak, Sanggau, Sintang, Sekadau dan Kapuas Hulu pasti melewati Sungai Ambawang, melalui jalan trans-Kalimantan. Begitupun untuk menuju ke pantai selatan Propinsi Kalimantan Barat di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, pasti melewati Rasau Jaya. Melihat kenyataan ini, tak urung Kabupaten Kubu Raya oleh sebagian masyarakat sejak semula dikatakan lebih layak menjadi ibukota Kabupaten Pontianak, ketimbang Mempawah dulunya.
Sejak semula Kecamatan Sungai Raya yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak, telah mengalami perkembangan begitu pesat. Wilayah kecamatan ini dulunya merupakan pusat industri pengolahan yang berbasis bahan baku dan hasil hutan lainnya, serta hasil pertanian. Komoditas yang berbahan baku kayu dan karet menjadi andalan Kabupaten Pontianak dulunya berasal dari daerah-daerah calon Kubu Raya sekarang.
Ke depan, sedikitnya perekonomian Kabupaten Kubu Raya akan ditopang oleh empat hal, yaitu industri pengolahan nonmigas, hasil hutan, hasil laut dan sungai, serta perdagangan besar dan eceran. Industri pengolahan di kabupaten ini yang berbasis bahan baku kayu dan hasil hutan untuk menepis kendala yang dialaminya selama merosotnya sektor ini, menurut Muda sang konseptor, akan dilakukan upaya produktif agar tak menggantungkan nasibnya dari kabupaten lain di Propinsi Kalimantan Barat dan propinsi lain di Pulau Kalimantan yang masih kaya sumber daya alam hutannya.
Sebagai perbandingan, katanya suatu ketika, besarnya kegiatan ekonomi di sektor industri pengolahan ini, itulah dulu yang mendapat perhatian cukup serius dari kabupaten induk. Oleh karena industri pengolahan berhubungan erat dengan distribusi, transportasi dan sebagainya, inilah yang memanjakan kabupaten induk seakan mengabaikan penggalian potensi lain yang dimilikinya.
Pasca terbentuknya daerah otonom Kabupaten Landak di Ngabang, 1999, wacana atau tuntutan pembentukan Kabupaten Kubu nyaris tak terdengar. Sesayup sampai masih ada disuarakan, namun kemudian menghilang begitu saja dari belantika perpolitikan daerah saat itu. Memang tak dipungkiri, dalam tahun 2003, ada semacam booming yang dinamakan wacana Sukaraya. Namun, karena pengusungannya tak mengakar ke bawah, lagi-lagi wacana ini mengalami kesunyian dari kesendiriannya. Maka, pupus kembali harapan untuk menjadi kabupaten sendiri bagi Kubu saat itu.
Saksi sejarah perjalanan Kabupaten Kubu Raya, M Sood Djafar (86 tahun), sedikitnya mencatat pra terbentuknya KKR 17 Juli 2007, ada empat kali upaya untuk itu. Semuanya kandas di tengah jalan. Semuanya seakan tidak mengakar dan tak menyentuh ke lapisan akar rumput, yang justru memiliki legitimasi cukup kuat. Secara politis, keengganan lagi-lagi dari kalangan elit di kabupaten induk, sangat kentara. Mereka seakan belum rela melepaskan wilayah selatan yang sangat menjanjikan ini. Atau, wilayah yang dimaksudkan Tuan Kubu Syarif Idrus al Idrus peletak dasar Negeri Koubou (baca: Kubu) dalam 1720 sebagai Negeri bawah Angin yang Hijau Subur dan Makmur.
Adalah sosok muda, Muda Mahendrawan, yang dalam 2004 menggelindingkan sebuah pemikiran melalui artikelnya. Muda yang kesehariannya sebagai praktisi notaris, yang saban saatnya setiap hari berkecimpung dengan aneka persoalan masyarakat di wilayah kerjanya di daerah yang sekarang bernama Kubu Raya, mafhum betul, apa keinginan rakyat setempat sesungguhnya.
Muda seakan tak membiarkan kenyataan demikian terus berlanjut. Dua opsi yang ditawarkannya, meski dengan nada datar namun begitu menukik hingga ke ulu hati kebijakan politik ketika itu: pemindahan kembali posisi ibukota, atau pemekaran dengan segera! ”Bisa jadi, karena selama ini terlalu manja dan dimanjakan dengan sumber daya alam dan manusia serta potensi wilayah selatan, sehingga lemah kreatifitas para elit di kabupaten induk untuk menggali potensi yang ada di kabupaten induk”, alasan Muda.
Pendiri dan ketua dari Lembaga Studi Pengembangan dan Pemberdayaan Wilayah Kalbar (LSPPW-KB) itu berpikiran, bahwa selain berbagai aspek politik, yang paling urgen adalah landasan Acces to Justice. ”Ini penting. Kenapa? Karena ibukota kabupaten Pontianak (Mempawah) nyatanya berada di wilayah ujung utara kabupaten. Beda ketika Landak masih gabung”, ungkapnya. Secara geografis ada sembilan kecamatan di wilayah selatan. Menurut perhitungan, sedikitnya 68 persen penduduk Kabupaten Pontianak menetap tersebar di wilayah selatan ini. Demikian halnya PAD. ”PAD sangat besar berasal dari eksploitasi di wilayah selatan”, jelas Muda. Namun nyatanya, terjadi kesenjangan pengelolaan PAD untuk pembangunan. Sebaliknya yang mendapatkan prioritas pembangunan justru lebih banyak di utara, ungkapnya.
Apa yang diungkapnya itu memberikan kesan, Kabupaten Induk dengan segala kelemahannya di wilayah utara, untuk menghidupi diri menjadi ”mentereng” lebih menyedot potensi wilayah selatan. Sementara, selatan sendiri seakan terabaikan. Tak terlampau dihiraukan, begitulah kesan yang ditangkap dari garis bawah pemikirannya. Dan yang paling penting pula, adalah rentang kendali pemerintahan. Sangat jauh bagi wilayah selatan, sehingga pelayanan publik seakan tak adil dan kurang merata. ”Harusnya pusat pemerintahan berada di wilayah yang secara geografis dan demografis lebih luas dan banyak”, jelas Muda beberapa waktu lalu.
Jika keinginan masyarakat eks Swapraja Landak melalui pemukanya di tahun 1960-an awal berpisah dengan kabupaten induk karena faktor keadilan atas SDM dan SDA mereka, maka kenyataan itu terulang pula, sebagai salah satu entri poin alasan, manakala kabupaten yang kemudian dinamakan Kubu Raya diperjuangkan kembali. Memang, mulanya wacana pemekaran bukan menjadi alternatif atau pilihan terbaik bagi masyarakat di selatan.
Mengapa demikian? Alasannya, wacana pemekaran masih sulit diterima oleh elit politik kabupaten induk. Maka, tawaran yang menohok itu, yang diusulkan adalah reposisi ibukota kabupaten dengan berbagai pertimbangan teknis di lapangan. Ditambah, keterwakilan politik. Juga secara sosial ekonomi masa depan investasi dan lain sebagainya, adalah kerangka acuan yang semakin mengkristal. Di sudut perekonomian, investasi ekonomi paling besar ada di wilayah selatan. Sedangkan secara administratif mereka harus berurusan di Mempawah dengan menyita tak sedikit waktu dan juga biaya mahal.
Apa yang ada di lapangan, kenyataan itulah yang dipertajam Muda dengan ujung penanya menuliskan dua opsi yang disebutkan tadi. Tentunya tak habis di situ saja. Bukan sebatas melempar bola. Namun, Muda lebih jauh mengawal bagaimana menggolkan bola secara optimal. Maka, di sinilah bedanya dengan upaya-upaya terdahulu untuk mempersembahkan kabupaten termuda di Kalimantan Barat pra Pemilu 2009 ini.
Belajar dari kegagalan. Belajar menghayati semuanya sebagai sejarah. Dan menarik benang merah kesemuanya sebagai suatu simpul pengikat erat keberhasilan. Kira-kira begitulah yang ada di benak Muda. Muda berkeyaninan, untuk bisa meraih tujuan yang selama ini, sejak 1960-an awal selalu kandas, harus menyentuh seluruh lapisan yang ada. Paling utama, adalah rakyat sebagai pemilik sah legitimasi yang kuat. Dan tentu, melalui pemberdayaan pada potensi yang ada (baca: para kepala desa).
Agar lebih legitimate maka kemudian atas skenario yang dirancang Muda sebagai penggagas dan pengusung awal, dan diakuinya itu semua hasil pergulatan batinnya, dibentuklah apa yang kemudian dinamakan Forum Desa. Semulanya, wadah berhimpun 101 kepala desa yang dipilih rakyatnya di wilayah selatan ini bernama Forum Kepala Desa. Dan melalui kekuatan akar rumput (baca: rakyat) di selatan inilah dalam forum tersebut satu-satunya agenda yang dikerjakan adalah mewujudkan sebuah kabupaten yang dicita-citakan sejak semula. Forum Desa ini lahir sebagai embrio atau kepompong dari kupu-kupu otonom Kabupaten Kubu Raya dari sebuah pertemuan pada 14 Desember 2004.
Pertemuan yang digagas Muda itu, adalah untuk menyikapi tanggapan berbagai pihak atas dua opsi yang digelindingkannya semula. Materi yang dibicarakan pada pertemuan bersejarah itu adalah: ” ... membicarakan banyaknya aspirasi dari masyarakat wilayah selatan untuk memekarkan Kabupaten Pontianak dengan membentuk kabupaten baru di wilayah selatan yang terdiri dari 101 Desa dari 9 Kecamatan ... ” (Catatan Harian Muda Mahendrawan)
Menyikapi hal tersebut, agaknya setelah mendengar saran-saran dari peserta rapat, termasuk dari sesepuh setempat M Sood Djafar (86 tahun) seorang tua yang sudah bergelut dengan berbagai dinamika di Kubu sejak zaman Kerajaan Tuan Kubu hingga antara 1964—1990 sebagai Kepala Kampung (sebutan Kepala Desa waktu itu) Kubu. Maka, terbentuklah wadah ”perjoangan” dari para kepala desa, yaitu Forum Kepala Desa Wilayah Selatan Kabupaten Pontianak. Salah satu tugasnya adalah menampung aspirasi masyarakat di desanya masing-masing.
Pertemuan itu selain melahirkan Forum Kepala Desa, aklamasi mempercayai Muhammad A Wahab Kepala Desa Limbung Kecamatan Sungai Raya sebagai Ketua Forum Kepala Desa, dan M Hadi Achmad Kepala Desa Kubu selaku sekretaris forum ini. Mulanya keinginan audien meminta Muda mengetuai forum ini. Pentingnya pemberdayaan pada forsi yang selayaknya, kata Muda menjawab Penulis, dia menolak dijadikan ketua. Dan menurutnya, lebih tepat bila forum ini dipimpin oleh salah seorang dari 101 Kepala Desa itu sendiri. ”Inikan lebih legitimate”, jawabnya suatu ketika.
Dalam menampung aspirasi masyarakatnya, para kades di bawah koordinasi ketua forum, melakukan semacam propaganda atau tourne ke wilayahnya masing-masing. Bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan dari pemekaran yang tengah diperjuangkan itu. Seiring perjalanan waktu, pertemuan 2 Januari 2005 menetapkan untuk melakukan dialog dengan elit Kabupaten Pontianak pada 5 Januari 2005 di Mempawah. Sampai saat itu, aspirasi yang terserap sudah sedemikian pesatnya, terutama dari desa-desa di Kecamatan Sungai Raya, Sungai Kakap, Rasau Jaya dan Kubu sendiri.
Kondisi di lapangan kian mengkristal. Setelah melalui pertemuan tahap pertama dengan para elit di Mempawah, dilanjutkan pertemuan tahap kedua. Kali ini pada 12 Januari 2005. Maka selanjutnya, 22 Januari 2005 dilakukan evaluasi melihat kemajuan yang dicapai setelah dua kali menyampaikan aspirasi. Dan pada pertemuan kali ini dicatatkan, bahwa aspirasi yang disampaikan melalui Forum Kepala Desa, mendapat respon para elit. Dengan tambahan: Lagi-lagi ditanggapi dengan janji muluk untuk memperhatikan wilayah selatan. Seakan mulai susut kesabaran politik untuk hal klasik itu, pada 29 April 2005, forum melakukan pertemuan dengan berketetapan hati untuk terus mengawal tanggapan kalangan elit, terutama pembentukan Tim Pemekaran Kabupaten Wilayah Selatan. Tim ini di dalamnya akhirnya melibatkan pula Forum Kepala Desa bersama berbagai kalangan yang utuh berpendirian bahwa mereka sangat menginginkan sesegeranya pemekaran dilaksanakan.
Dengan demikian, sejarah lahirnya Kabupaten Kubu Raya, sangat berbeda dengan kelahiran sejumlah kabupaten lainnya sampai ketika itu. Dan untuk pelahiran kabupaten baru selanjutnya, banyak yang menjadikan kehadiran Kubu Raya sebagai kiat untuk memekarkan diri dari induknya. Tak terkecuali pula, hasyrat dan keinginan menyala untuk memekarkan Propinsi Kalimantan Barat menuju Propinsi Kapuas Raya, sedikit banyak, langsung ataukah tidak, menjadikan ”kasus” Kubu Raya sebagai percontohan dalam rangka menuju sentralisasi dan otonomi sejati yang bermula dari desa.
Kepada Penulis, Muda pernah menceritakan, ide nama Kubu Raya itu betul-betul tercetus darinya. Pertimbangannya, ada banyak nama yang diusulkan. Sebagai seorang yang selalu mengingat petuah Bapak Bangsa Bung Karno, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah, Muda berkesimpulan nama kabupaten yang diperjuangkan itu harus ditempeli nama Kubu, sebagai cikal bakal sejarah daerah itu sendiri. Sedangkan Raya mengandung konotasi Besar atau Luas. Tak berarti atau menjurus ke Sungai Raya semata, meski kemudian Sungai Raya dibulatkan sebagai ibukota kabupaten ini. Atau dapat diilustrasikan nama Kubu Raya diberikan untuk kabupaten baru dengan mengakomodir sejarah dan harapan. Sejarah, karena Kubu (dulunya ditulis Koubou) adalah nama wilayah pertahanan, benteng. Di benteng pinggiran Laut Cina Selatan itu berdiri Kerajaan Kubu. Ada Tuan Kubu Syarif Saleh al Idrus yang berkuasa di sana. Sedangkan Raya mencerminkan juga harapan yang besar. Harapan untuk kemajuan.
Tentang pada akhirnya Kabupaten Kubu Raya sukses dipersembahkan (17 Juli 2007), dapat dicatat beberapa hal penting sebagai ”indeks” pentingnya. Pertama, diusung secara ilmiah (melalui pemikiran kritis berupa dua opsi dari Muda Mahendrawan). Kedua, respon dari kalangan bawah dan seluruh lapisan masyarakat, dengan prakarsa Muda membentuk Forum Kepala Desa dengan pertimbangan agar lebih legitimate. Ketiga, upaya yang ada yang membedakan dengan wacana pemekaran sebelumnya di mana lebih massif. Karena isu yang dibangun bersentuhan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri. Disadari (atau tidak, namun demikian kenyataannya khususnya), Kubu Raya dihasilkan bukan dibangun oleh elit politik. Melainkan kekuatan masyarakat arus bawah (baca: bottom up). Dan kelima, wacana pemekaran ini demi perubahan sosial yang diinginkan benar-benar lahir dari representasi akar rumput, yaitu Forum (Kepala) Desa.
Dapat ditelusuri lebih ke dalam, sesungguhnya gagasan pembentukan kabupaten baru Kubu Raya ini, yang merupakan pemekaran Kabupaten Pontianak, disadari sebetulnya sudah bergaung lama. Namun, sejarah mencatatkan kemudian, gagasan yang kian mencuat pasca reformasi itu bergulir semakin cepat sejak Forum Kepala Desa yang dibidani Muda melalui para kepala desa di penghujung tahun 2004.
Diakui perjuangan forum yang berangkat dari aspirasi di tingkat desa, tempat di mana sesungguhnya demokrasi dan otonomi bersemi, ini bisa dikatakan merupakan cerminan upaya pemekaran wilayah yang berasal dari bawah, bottom up. Dan tentu, ada tangan dingin yang menggerakkannya semula. Maka di sinilah, seperti kesaksian M Sood Djafar, yang kerap disapa dengan Tok Alang itu, peran penting yang dimainkan seorang anak muda yang bernama Muda Mahendrawan tadi.
Telah disinggung, Forum Desa yang semula bernama Forum Kepala Desa, lahir atas inisiatif dari Muda melalui para kepala desa, yang juga melibatkan badan Perwakilan Desa dan para tokoh masyarakat desa di wilayah calon Kabupaten Kubu Raya. Saat pembentukan forum itu, yang bermula dari rumah kediaman Muda di Jalan Tanjung Sari (atau juga Jalan Tanjung Permai) 169 Pontianak, melibatkan sedikitnya 70 persen dari kepala desa, BPD dan tokoh masyarakat dari 101 desa di sembilan kecamatan. Sejak dilahirkan, forum ini secara tegas hanya mengusung pemekaran wilayah Kabupaten Kubu Raya sebgai satu-satunya target perjuangan bersama. Elit politik di Kabupaten Pontianak, terkesan alot, pada kesudahannya akhirnya menyetujui gagasan pemekaran tersebut.
Bisa dikatakan keberadaan Forum Desa telah menaikkan posisi tawar dalam mengangkat gagasan pemekaran. Sejumlah alasan, jarak desa yang berada di wilayah calon Kabupaten Kubu Raya dengan ibukota kabupaten di Mempawah cukup jauh. Sehingga sejumlah kepala desa di Kecamatan Batu Ampar harus berangkat sehari sebelumnya bila menghadiri atau memenuhi tugas ke ibukota kabupaten. Ilustrasi, Batu Ampar ke Mempawah menempuh jarak 306 km, atau satu setengah kali jarak Semarang—Yogyakarta. Selain waktu tempuh lama, biaya yang harus dikeluarkan juga bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Tak jarang, untuk sebuah urusan dengan kepala dinas tertentu, aparat desa harus menginap beberapa hari karena pejabat yang akan ditemui kadang tak berada di tempat, misalnya. Itu tentu saja perlu biaya dan waktu lebih. Selain juga, sulitnya koordinasi itu menyebabkan rentang kendali pemerintahan kabupaten maupun pelayanan publik berjalan kurang efektif. Akibatnya, kinerja pemerintahan, upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat, maupun pemberian akses informasi kepada masyarakat tidak berjalan optimal.
Jarak yang terlalu jauh antara ibukota kabupaten dan sejumlah daerah di wilayah selatan memengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, menurut Muda sejak awal, pemekaran perlu dan mendesak dilakukan. Persoalan jarak, pelayanan publik yang tidak efisien, tidak optimalnya pengelolaan potensi daerah, maupun kesejahteraan masyarakat yang tidak merata, bisa jadi merupakan alasan klasik untuk melakukan pemekaran wilayah dan itu terjadi di mana-mana. Akan tetapi, pemekaran bottom up ala Kubu Raya itu menjadi sesuatu yang unik sekaligus bisa menjadi model pembangunan selanjutnya. Model bottom up itu bisa digunakan untuk menggerakkan perubahan-perubahan lain.
Daerah otonom Kubu Raya yang resmi berdiri sejak 17 Juli 2007 itu langsung memiliki salah satu infrastruktur terpenting dan vital dalam regional Kalimantan Barat, yakni Bandara Supadio yang selama ini berada di wilayah Kabupaten Pontianak. Selain itu juga ada terminal antarnegara Pontianak—Kuching di Sungai Ambawang, sarana transportasi trans-Kalimantan di Sungai Ambawang yang telah dihubungkan melalui Jembatan Kapuas II di Sungai Raya.
Selain itu, luas wilayah, jumlah penduduk, pendapatan domestik regional bruto (PDRB), penerimaan daerah, jumlah lembaga keuangan bukan bank, pertokoan, jumlah kendaraan, jumlah infrastruktur sekolah dan kesehatan, serta ketersediaan lahan pertanian, justru lebih besar dimiliki calon Kabupaten Kubu Raya saat itu dibanding Kabupaten Pontianak yang merupakan kabupaten induknya. Kondisi demikian memang telah memberikan peluang besar bagi Kubu Raya ke depan untuk berkembang maju dan menghidupi dirinya sendiri. Sebaliknya bagi kabupaten induk, menepis anggapan kelangsungan kabupaten induk pasca pemekaran akan mengalami kematian, Muda Mahendrawan mengatakan pemekaran itu dulu justru membangkitkan kreativitas Kabupaten Pontianak untuk menggali potensinya secara optimal dan maksimal.
Orang-orang di Kubu Raya dengan sistem yang kuat, pasti akan menjadi modal besar untuk menggerakkan potensi sumber daya alam yang ada. Kubu Raya sangat potensial. Daerah-daerah ini sebagiannya adalah ladang produksi dan penyangga untuk Kota Pontianak. Sayur mayur, jagung, kelapa, kacang, termasuk ikan dan terutama padi (beras) dan lain-lain. Belum lagi kemungkinan hasil laut dan isi bumi. Di Kubu Raya juga berdiri banyak pabrik yang produksinya untuk suplai kebutuhan masyarakat Kota Pontianak. Keluasan lahan yang masih tersisa jelas akan menjadi potensi yang luar biasa bagi kabupaten ini.
Jika mau jujur, sebetulnya perikanan merupakan salah satu sektor unggulan untuk kabupaten induk semula. Sebagian besar dari sumber itu berada di kawasan pesisir selatan yang kini menjadi pilar penyangga Kubu Raya. Bahkan, cukup banyak pula masyarakat yang berdomisili di tepi sungai-sungai besar, seperti Sungai Kapuas dan Sungai Landak khususnya daerah Ambawang dan Kuala Mandor B. Mereka tak hanya dapat menangkap sumber daya ikan di laut, tetapi juga membudidayakan ikan air tawar dengan sistem keramba.
Akan tetapi, dalam perjalanan pembangunan selama kawasan itu berada dalam pangkuan kabupaten induk dahulu, sektor perikanan nyaris terabaikan. Karena fokus utama elit pemerintah seeakan lebih tertuju kepada industri perkayuan, pengolahan karet, upaya perkebunan kelapa sawit (semasa Landak masih bergabung), dan kegiatan lain sejenis. Sektor inilah sesungguhnya merupakan andalan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Nasib malang juga dialami petani kelapa. Pengolahan komoditas dan pengelolaannya sebetulnya dapat pula menghasilkan sabut untuk bahan baku pembuatan jok mobil, sofa dan sebagainya, serta arang kelapa sebagai bahan baku pembuatan baterai, tinta komputer, tinta mesin ketik dan sebagainya.
Kini, di Kubu Raya, kelapa dibudidayakan petani di sejumlah kecamatan, antara lain Batu Ampar, Sungai Kakap. Jumlah tanaman pohon kelapa diperkirakan mencapai kurang lebih dua juta pohon. Jika potensi kelapa ini dikelola secara baik, diyakini devisa yang diperoleh dari serabut kelapa sekitar Rp 12 milyar dan tempurung Rp 9 milyar tiap tahunnya.
Seakan melengkapi alasan masyarakat kawasan pantai selatan dulunya secara bootom up untuk memisahkan diri dari kabupaten induknya, di mana selama dalam genggaman Kabupaten Pontianak, pemkab atau pemda dulunya, lebih tergoda mengurusi sektor kehutanan dan kayu. Hal ini bukan karena sektor itu lebih nyata menghasilkan devisa, alasannya, namun juga industri kayu yang ada mampu mempekerjakan puluhan ribu tenaga kerja dengan tingkat kemampuan yang bervariasi. Jika, salah satu industri terganggu, maka ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dan menimbulkan persoalan sosial yang lebih rumit.
Kenyataan, pemerintah kabupaten induk lebih terobsesi ke sana, maka potensial lainnya yang nyata dimiliki sebagaian terbesar di kawasan wilayah pantai selatan, terabaikan. Belakangan masyarakat sadar, dan menuntut haknya. Dengan pilihan terakhirnya: berotonomi sendiri. Dan inilah yang melalui liku-liku sejarahnya mengantarkan terbentuknya Kabupaten Kubu Raya sekarang.
Tentunya merupakan ”pekerjaan rumah” bagi elit baru di kabupaten baru ini nantinya. Adalah, kepastian untuk menggali kembali potensi yang selama ini terabaikan, serta mengoptimalkan potensi yang telah ada. Bersamaan dengan itu, seluruh elit terkait tentunya dituntut memberikan dukungan dan mengaktualisasikan makna otonomi dan desentralisasi bagi daerahnya.
Jika selama ini (baca: selama dalam rangkulan kabupaten induk) yang didapatkan masyarakat pesisir selatan (Kubu Raya sekarang) adalah ”angin segar” yang sedikit sekali dapat dijadikan pegangan. Maka bagi elit yang ada sekarang, harus merubah paradigma usang tersebut. Menempatkan diri sebagai pengabdi masyarakat. Haruslah ditepis kesan keperluan jangka pendek begitu mendominasi sehingga dapat mengalahkan kepentingan masyarakat banyak.
Maka, adalah sangat jelas, bahwa pemekaran Kabupaten Pontianak dan pembentukan Kabupaten Kubu Raya sebagai suatu upaya memperpendek rentang kendali (spant of control) kegiatan pemerintahan sehingga tercapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta dapat mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Selain itu juga untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pengembangan sumber daya yang ada di daerah, meningkatkan kualitas penyebaran dan percepatan pembangunan daerah yang mampu membuka peluang dan mengembangkan partisipasi masyarakat serta dunia usaha dalam membangun daerah yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemekaran ini juga untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi sehingga masyarakat ikut memiliki rasa tanggung jawab melalui daya kreatif dan inovatif untuk peran serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan guna kemajuan daerah serta masyarakat. Di samping itu, pemekaran ini juga dalam rangka meningktkan akuntabilitas pemerintahan daerah terutama dalam konteks peran dan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator pemberdayaan masyarakat. Maka aspek pengendalian dan pengawasan menjadi salah satu indikator penting bagi tertib pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Hal itu dipandang penting karena mengingat kondisi geografis serta luas wilayah kabupaten induk yang belum seluruhnya dapat dijangkau melalui transportasi darat sehingga dapat menimbulkan inefisiensi serta efektifitas dalam penyelenggaraa pemerintahan dan pembangunan.
Keadaan inilah yang membuat pelbagai kalangan optimis bahwa Kubu Raya akan menjadi kabupaten yang maju suatu hari nanti.
Sabtu, 03 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar