JEJAK KESAKSIAN MUDA MUHENDRAWAN SANG MAESTRO
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Anda katakan, Pemekaran Kabupaten Pontianak untuk kepentingan bersama. Maksudnya?
Begini. Sebelumnya patut untuk diungkapkan. Bahwa keberhasilan meyakinkan Pemerintah Pusat terhadap pembentukan Kabupaten Kubu Raya (KKR) beberapa waktu lalu dalam acara dengar pendapat (ekspose pemekaran) di Komisi II DPR-RI Jakarta oleh sejumlah elemen masyarakat Kalbar yang menghimpun diri di dalam Forum Desa, harus dilihat sebagai keberhasilan seluruh masyarakat Kalbar yang diusung melalui Forum Desa.
Demikian halnya, sebab aspirasi tersebut merupakan hasil perjuangan dari wakil-wakil masyarakat Kalbar yang digerakkan dan disentuh oleh Forum Desa ini. Hal itu antara lainnya dapat pula dilihat dari representatif perwakilan masyarakat Kalbar yang hadir dalam acara dengar pendapat tersebut. Hal ini terlihat dari adanya keterwakilan dari unsur eksekutif dan legislatif baik dari Pemerintah Kabupaten Pontianak maupun dari Pemerintah Provinsi Kalbar, unsur para penggagas dan tokoh-tokoh masyarakat desa serta didampingi oleh DPD maupun dari anggota DPR RI asal pemilihan Kalimantan Barat.
Bagaimana prosesinya hingga demikian?
Bahwa keberhasilan tersebut ditunjukkan dengan adanya respon positif dari Komisi II DPR RI dan Depdagri di Jakarta. Di mana, dalam hal ini DPR RI nantinya menggunakan Hak Inisiatifnya untuk mengajukan RUU Pembentukan Kabupaten Kubu Raya pada Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa 18 Juli 2006. Selanjutnya pada masa reses Tim DPR-RI melakukan peninjauan langsung ke Kabupaten Pontianak. Sementara itu, Depdagri membentuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), bersama-sama dengan Tim Peneliti dari UI yang juga melakukan penelitian lapangan. Setelah rangkaian proses tersebut selesai dilakukan maka RUU Pembentukan Kabupaten Kubu Raya segera dapat disahkan menjadi UU.
Mengapa Pemekaran Kabupaten Pontianak Sepertinya Sebagai Sebuah Keharusan?
Begini masalahnya. Jika dikaji dengan objektif, baik dilihat dari aspek geografis dan demografis, pemekaran Kabupaten Pontianak sebenarnya adalah sebuah keharusan dan sekaligus menjadi sebuah kebutuhan. Sebab dengan adanya pemekaran daerah pendesentralisasian kekuasaan Pemerintahan Daerah akan terpolarisasi sedemikian rupa sehingga pemerintahan yang terbentuk menjadi lebih efektif, karena penyelenggaraan pemerintahan akan lebih terfokus.
Bagaimana Sentuhannya ke Lapisan Masyarakat?
Di samping itu dengan adanya pemekaran Kabupaten Pontianak, sebetulnya akan semakin memberdayakan rakyat khususnya dalam hal pengambilan kebijakan di tingkat lokal. Dan kondisi ini akan mendorong terwujudnya kemandirian desa. Oleh sebab itu pemekaran daerah juga sebagai bahagian dari upaya mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Sebab Pemekaran Kabupaten Pontianak juga akan membawa dampak krusial dalam perkembangan ekonomi regional yang berbasis pada ekonomi kerakyatan. Kondisi tersebut terwujud karena posisi Kabupaten Kubu Raya secara geografis menjadi terminal bagi daerah-daerah lain di Kalimantan Barat. Sehingga tidaklah heran jika Kabupaten Kubu Raya diposisikan sebagai Penyangga Ibu Kota Propinsi.
Bagaimana Untuk Merealisasikan Keinginan Tersebut?
Nah, dalam proses ini, partisipasi masyarakat sangat diperlukan, agar masyarakat tidak apatis. Bahwa inisiasi pembentukan Kabupaten Kubu Raya bukanlah sebuah ambisi politik sesaat. Namun pembentukan kabupaten baru ini sebenarnya merupakan sebuah titik temu aspirasi antara masyarakat dengan Para Pemimpinnya. Untuk dipahami bersama bahwa pemekaran daerah ini dilakukan dengan tidak asal mekar. Akan tetapi Pemekaran Daerah ini lebih mengutamakan proses yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sehingga pemekaran ini akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan otonomi di tanah air khususnya di Kalimantan Barat. Dan hal ini akan menjadi sebuah modal sosial bagi cikal bakal terselenggaraanya pemerintahan otonom yang mandiri.
Anda Jauh Hari Pernah Melontarkan Wacana Reposisi Ibukota Kabupaten Pontianak. Bisa Diceritakan?
Ya. Jadi begini, berulang kali wacana reposisi ibukota Kabupaten Pontianak dalam delapan pekan terakhir antara September hingga Oktober tahun 2004 yang saya lontarkan telah menghiasi berbagai media lokal. Dengan sendirinya, telah begitu banyak argumentasi yang muncul ke permukaan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya di kawasan pantai selatan Kabupaten Pontianak, yang setuju dan mendukung gagasan yang saya kemukakan tersebut.
Demikian pula argumentasi yang menolak atau kontra dengan gagasan ini. Terutama datang dari wilayah utara. Jika bisa melihatnya lebih mendalam, sebenarnya inilah wujud suatu demokrasi yang riil. Tanpa disadari bahwasannya proses demokrasi tengah berjalan untuk menuju kepada suatu format yang tepat tentang masa depan Kabupaten Pontianak ini sendiri.
Terhadap Kontra Pendapat atas Gagasan Anda tersebut, Bagaimana Anda Melihatnya?
Kan di dalam suatu negara demokrasi adalah hal yang lumrah dan merupakan suatu yang sangat wajar terjadinya pro dan kontra terhadap suatu langkah dalam kerangka mencari format yang terbaik. Sehingga mesti dipahami oleh berbagai elemen masyarakat selaku stake holder, bahwa sepanjang argumentasi dukungan maupun penolakan itu diutarakan secara wajar dan obyektif untuk menghindari kesan tendensius dan emosional serta menjauhkan diri untuk terjebak dalam sudut pandang yang agak sempit, maka justru akan menjadi sumber yang baik untuk proses pencerahan publik sebagai modal yang kokoh untuk membentuk suatu tatanan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Maksudnya?
Ya. Bukankah dengan sendirinya hal itu agar proses interaksi antara LEM (Legislatif, Eksekutif, Masyarakat) cenderung berjalan seimbang dan transparan atau keterbukaan. Oleh karena itu, kalaupun seandainya dukungan terhadap wacana itu kemudian mengalir sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi aspirasi secara formal, dan disalurkan melalui mekanisme sesuai aturan main yang benar dengan lebih mengedepankan dan mengutamakan jalan diplomasi, maka alangkah baiknya jika penolakan juga disalurkan melalui modus yang sama. Tentunya diikuti pula dengan argumentasi yang rasional dan obyektif.
Dikatakan, Pemekaran Ini sebagai Upaya Meretas Langkah Baru Kesejahteraan yang Berkeadilan. Bisa Dijelaskan Maksudnya?
Begini ya. Berulangkali wacana pemekaran Kabupaten Pontianak tampil di media lokal. Berulangkali pula wacana penggabungan ke ibukota propinsi (Kota Pontianak) muncul dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak yang muncul menjadi kontraversi yang kemudian mengakibatkan pada polemik yang tidak kondusif bagi penyelesaian masalah.
Pada dasarnya wacana-wacana itu muncul dari sebuah kebutuhan yang sama, yakni keinginan agar pelayanan publik semakin dekat dan mudah dijangkau oleh masyarakat dan agar Kue Pembangunan dapat terbagi secara proporsional, sehingga menyentuh daerah-daerah di wilayah selatan Kabupaten Pontianak yang notabene berpenduduk lebih besar jumlahnya.
Bagaimana Komposisi Penduduknya?
Berdasar data dari Biro Pusat Statistik Tahun 2002, bahwa kurang lebih 68 persen atau sekitar 448.606 jiwa warga Kabupaten Pontianak berada di wilayah yang cukup jauh dari pusat tata pemerintahan. Sebut saja wilayah selatan Kabupaten Pontianak yang meliputi Kecamatan Sungai Raya, Terentang, Rasau Jaya, Kubu, Sungai Kakap, Teluk Pakedai, Sungai Ambawang dan Kuala Mandor B
Sementara, jumlah penduduk total Kabupaten Pontianak 658.722 jiwa Dengan demikian gejolak itu secara alami muncul dari wilayah-wilayah yang selama ini merasa jauh dari pusat pemerintahan (Mempawah) yang berarti jauh dari akses pelayanan publik. Fasilitas-fasilitas pelayanan umum selama ini lebih terpusat di kota yang sebenarnya hanya bisa dijangkau secara realistis oleh kurang lebih 32 persen saja penduduk Kabupaten Pontianak.
Kaitannya Dengan Wacana Reposisi Ibukota Kabupaten Itu Sendiri?
Nah, begini masalahnya. Bahwa kemunculan keinginan terhadap pemekaran kabupaten maupun penggabungan ke wilayah ibukota propinsi ini akan selalu menjadi sesuatu yang dilematis untuk disikapi oleh Pemerintah Kabupaten Pontianak ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berpotensi muncul jika salah satu atau kedua hal tersebut terwujudkan, dan yang selama ini menjadi kekhawatiran utama tentunya berkaitan dengan kemampuan daerah induk yang ditinggalkan untuk mengurus urusannya sendiri (pasca pemekaran) dan hilangnya aset-aset yang sangat berpotensi sebagai pemasuk PAD (pasca penggabungan beberapa daerah ke Kota Pontianak). Di lain pihak kehendak dan aspirasi sebagian besar warga masyarakat di wilayah selatan Kabupaten Pontianak yang merupakan bagian proses demokratisasi ini tentunya tidak pula dapat diabaikan begitu saja.
Anda Tentunya Memperhatikan Aspek Historis Terbentuknya Kabupaten Induk. Bisa Dijelaskan.
Ya. Kan begini. Pada tahun 1964, ibukota Kabupaten Pontianak yang dulunya berada di Kota Pontianak dipindahkan ke Mempawah. Keputusan itu sebenarnya juga berangkat dari hasil Musyawarah Kerja I Front Nasional Tingkat II Pontianak, pada 24-25 September 1962, yang kemudian disampaikan kepada DPRD-Gotong Royong. Akhirnya aspirasi itu diteruskan ke Menteri Pemerintahan Umum Otonomi Daerah dan keluarlah Surat Keputusan Menteri No. Des 52/9—11 Tanggal 5 Februari 1963.
Pada saat itu, asumsi perpindahan salah satunya untuk mendekatkan pelayanan pemerintah ke masyarakat. Karena Mempawah dianggap sebagai titik tengah antara wilayah timur yang sekarang ini masuk ke wilayah Kabupaten Landak dan wilayah Selatan.
Asumsi itu bukan tidak berdasar, karena kala itu sebagian daerah Landak dan Bengkayang masuk dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Bahkan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat maka dibentuklah Organisasi Pembantu Bupati Wilayah Ngabang. Dengan demikian, logika pemilihan Mempawah sebagai pusat tata pemerintahan juga sebenarnya sebangun dengan gagasan untuk melakukan reposisi ibu kota Kabupaten Pontianak. Karena pasca pemekaran dengan Kabupaten Landak, maka tentu harus kembali merefleksikan apakah secara geografis Mempawah masih dapat dianggap sebagai titik yang representatif sebagai ibu kota Kabupaten Pontianak?
Apakah Ini Dimaksudkan untuk benar-benar Memisahkan Diri dari Kabupaten Induk Semula?
Tentu saja tidak. Dan bukan demikian maksudnya. Sebab gagasan ini bukan berarti dan bermaksud untuk meninggalkan Mempawah begitu saja, tanpa reserved' yang selama ini didapatnya sebagai pusat tata pemerintahan. Meski kemudian, reserved seperti apa yang didapat selama ini? Bukankah ada laporan dari salah satu media pusat menyebutkan Kota Mempawah sebagai kota yang sepi. Betapa tidak, sebagai sebuah kota, denyut keramaian kota harus menurun drastis ketika sore hari, di mana kurang lebih 50 persen jumlah aparatur pemerintah harus pulang ke Pontianak. Atau betapa lengangnya jalan utama dari kendaraan yang hanya melintas tiga buah setiap menitnya.
Bagaimana Anda Melihat Hal Tersebut?
Terlepas dari kinerja aparaturnya, namun kondisi ini jelas tidak kondusif bagi aparatur untuk dapat memberikan pelayanan publik secara optimal sehingga terlihat menjadi kurang produktif. Reposisi tentu akan mengembalikan dan menempatkan Mempawah pada track yang sebenarnya selama ini sudah dapat dilihat. Festival budaya dan pariwisata, even-even keagamaan yang kerap diadakan di sana serta tata kota yang asri, memberikan kesimpulan bahwa track yang ideal bagi Mempawah adalah sebagai kota budaya, pariwisata dan religius. Sebuah citra yang selama ini agak tertutupi oleh dinamika kepemerintahan sebagai konsekuensi dari sebuah pusat pemerintahan.
Bahkan dengan konsep reposisi ibukota kabupaten ini maka keberadaan Keraton Mempawah sendiri akan lebih dapat teraktualisasi dengan menegaskan perannya sebagai penjaga spirit kebudayaan bagi masyarakat Kabupaten Pontianak.
Peninggalan-peninggalan bersejarah, ritual-ritual keagamaan, maraknya even kesenian tradisional adalah potensi yang bisa menegaskan ruang aktualisasi fungsi keraton sebagai pusat kebudayaan. Sehingga peran dan kewibawaan Kerajaan Mempawah justru tetap terjaga.
Mengapa Menurut Anda Langkah Reposisi Itu Sangat Penting?
Jelas. Karena ada banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa reposisi ibukota Kabupaten Pontianak menjadi signifikan untuk segera dilakukan. Dalam aspek pelayanan publik misalnya, Sebagai daerah yang memiliki jumlah penduduk 68 persen, jelas pusat tata pemerintahan haruslah berada di sebuah wilayah yang mudah dijangkau oleh mayoritas masyarakatnya. Dan itu jelas berdampak pada efisiensi birokrasi yang cukup signifikan.
Karena itu upaya reposisi ini dalam konteks rencana tata ruang wilayah, haruslah berada pada titik pusat bertemunya tiga pintu besar yang selama ini dilalui oleh mayoritas warga (khususnya di wilayah selatan Kabupaten Pontianak) untuk mengakses ke pusat tata pemerintahan. Pintu yang pertama adalah Sungai Raya, sebagai pintu masuk warga yang berasal dari Kecamatan Terentang, Sungai Ambawang, dan Kuala Mandor B. Asumsi ini jelas diperkuat dengan keberadaan pembangunan jembatan Kapuas 2, yang direncanakan akan selesai pada 2007 mendatang. Pintu yang kedua adalah Rasau Jaya sebagai pintu yang menjembatani warga Kecamatan Kubu, Batu Ampar, dan sebagian warga di Tecamatan Teluk Pakedai. Pintu terakhir adalah Kecamatan Sungai Kakap yang selama ini sebagai pintu masuk sebagian Warga Teluk Pakedai.
Bagaimana dengan Aset-aset Pemerintahan yang Ada di Mempawah?
Aset itu tentu tetap akan difungsikan untuk memenuhi fungsi pelayanan
publik yang statusnya lebih sebagai fungsi pembantu (semacam kantor perwakilan). Karena secara faktual, komposisi penduduk yang akan dicakupnya relatif lebih kecil (32 persen ). Tentunya, rasio kebutuhan aparatur Pemkab pun akhirnya harus selaras dengan jumlah penduduk yang akan dilayaninya.
Melihat fakta itu, tentu akan terasa aneh dan kontra faktual, jika digagas sebaliknya yang menghendaki dibangunnya infrastruktur pemerintahan (kantor-kantor) di wilayah selatan yang akan difungsikan menjadi kantor perwakilan.
Apakah Anda Juga Melirik Sisi Investasinya?
Tentu. Dengan gagasan reposisi (pemindahan) ibukota kabupaten ke wilayah selatan ini, diharapkan mampu merangsang minat investor baik lokal Kalbar, nasional maupun asing untuk menanamkan modalnya di sektor pertanian, peternakan, perikananan, perkebunan, atau industri pengolahan.
Belum lagi jika memperhatikan akan berkembangnya zona-zona pertumbuhan sektor pertanian. Luasnya lahan tidur yang tersebar di delapan kecamatan, di wilayah selatan Kabupaten Pontianak, mencapai 83 persen dari jumlah lahan tidur yang ada atau 14 persen dari lahan yang ada, menjadi potensi yang luar biasa, khususnya dalam sektor agribisnis, perkebunan, maupun industri peternakan. Iklim investasi itu jelas akan terangsang sedemikian rupa jika akses ke pusat tata pemerintahan menjadi lebih mudah. Tentu dengan asumsi bahwa kemudahan perizinan dan urusan yang terkait dengan birokrasi tersebut harus sehat dan kondusif.
Bagaimana Menyangkut Infrastrukturnya Nanti?
Infrastruktur transportasi di wilayah selatan sebenarnya juga telah cukup mendukung terbangunnya sirkulasi pasar yang dinamis. Dengan demikian, secara ekonomis gagasan ini akan menjadikan daerah Kabupaten Pontianak sebagai Economic Buffer Zone (Kawasan penyangga ekonomi), bagi ibukota propinsi. Terlebih lagi jika kemudian dibuka Jalan Ahmad Yani 3, yang gagasannya kini tengah dikawal oleh Pemerintah Kota dan Propinsi.
Dengan kata lain, bahwa pemindahan ibu kota Kabupaten Pontianak ini jelas akan membuat efek domino yang sangat luas, terutama bagi peningkatan taraf hidup masyarakat Kalbar, khususnya masyarakat Kabupaten Pontianak, yang memang selama ini tingkat kemiskinannya cukup tinggi.
Apa Sisi Positif dari Reposisi Itu Sendiri?
Solusi pemindahan ibu kota Kabupaten Pontianak, jelas juga dapat menjadi jawaban dari ancaman gelombang PHK besar-besaran pasca tutupnya industri perkayuan di Kalbar. Mengingat keberadaan industri perkayuan dan para pekerjanya justru berada di wilayah selatan.
Sejalan dengan ancaman itu, jaminan keamanan menjadi penting untuk terkosentrasi di wilayah ini. Hal ini juga akan memberikan dampak positif bagi iklim investasi. Karena jaminan keamanan kamtibmas jelas menjadi tolok ukur utama bagi para calon investor.
Bagaimana Jika Ditinjau Dari Sudut Pandang Politik?
Nah, dalam hal dinamika politik lokal, rekruitmen politik menjadi terbuka dan proporsional, karena pusat pemerintahan berada di satu kawasan yang memang mewakili 68 persen penduduknya, yaitu dengan alokasi 32 kursi dari total 45 anggota DPRD Kabupaten Pontianak. Dengan demikian, kedekatan wakil rakyat dengan konstituennya lebih terjaga, dan komunikasi politik dalam konteks mekanisme check and balances dapat lebih optimal. Terlebih lagi, sistem pemilu kita telah berbasiskan pada daerah pemilihan, yang memang mendorong agar wakil rakyat untuk menjadi saluran aspirasi bagi warga pemilihnya. Itu berarti kemungkinan partisipasi publik dalam mengontrol kinerja baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif menjadi lebih terbuka.
Gagasan ini menjadi siginifikan karena didukung dengan lahirnya UU Pemerintahan Daerah yang baru (pengganti UU No 22/1999 ). Khusus pada pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa penetapan pemindahan ibukota sebuah daerah tanpa mengakibatkan penghapusan suatu daerah hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Ini berarti 'ongkos' politiknya menjadi relatif lebih ringan dibanding harus ditetapkan melalui Undang-undang.
Lantas Bagaimana Langkah Awal Mewujudkannya?
Di sinilah saya kira, bahwa gagasan ini harus terlebih dulu dikomunikasikan secara efektif dengan khalayak luas dan stakeholder terkait. Agar keinginan itu bukan muncul dari sebuah keinginan segelintir orang, namun melainkan muncul dari sebuah kebutuhan dan kehendak masyarakat.
Bukankah dalam sejarah, bahwa pemilihan Mempawah sebagai ibukota ketika itu, juga melalui mekanisme musyawarah terlebih dulu? Nah, saya kira, gagasan ini sebenarnya juga sebagai upaya mencari jalan tengah dari polemik yang berkembang saat ini. Dengan harapan dapat menjadi win-win solution untuk seluruh stakeholder di Kabupaten Pontianak.
Karena itu terbuka luas, agar gagasan ini dapat digali lebih dalam dengan berbagai sudut pandang yang obyektif, bijak dan berkeadilan, serta ekspektasi dari banyak pihak. Untuk kemudian selanjutnya diformulasikan hingga menemukan sebuah jalan keluar yang konkrit yang dapat direalisasikan, melalui mekanisme demokrasi yang sehat, partisipatif dan akuntabel.
Jujur saja, perlu ditegaskan, gagasan yang saya lontarkan melalui tulisan saya di salah satu media lokal itu hadir, mulanya tak lebih hanya sebagai sumbang saran awal untuk menyikapi berbagai fenomena dinamika yang berkembang.
Lontaran Ide Anda Mengenai Reposisi Seakan Menjadi Inspirasi Terbentuknya Kabupaten Kubu Raya. Sekadar Kilas Balik, Bisa Anda Ungkapkan.
Ya. Jika menilik perjalanan dimulai dengan Rencana Pemekaran Kabupaten Pontianak, serangkaian itu saya kira sebagai suatu Refleksi Kritis Hakikat Otonomi Daerah.
Jagi begini. Ada sesuatu agenda besar yang berproses di Kabupaten Pontianak dalam Oktober 2004 silam. Itu dengan adanya lontaran saya mengenai reposisi tadi. Dalam suatu tulisan bersambung saya di salah satu media lokal di mana ketika itu saya melontarkan gagasan pemindahan (reposisi) Ibukota Kabupaten Pontianak. Ternyata kehendak itu bergerak, kian lama kian membesar menyuarakan kerinduan yang telah lama didambakan akan masa depan yang lebih berkeadilan. Sebuah masa depan, di mana makna pembangunan dan pelayanan publik tidak lagi hanya terfokus pada wilayah sekitar pusat pemerintahan yang selama ini terasa jauh dari jangkauan publik.
Kekuatan ini bergerak dengan keadilan sebagai ruhnya dan tegaknya demokrasi sebagai konsep dasarnya. Hingga menembus batas-batas formalitas dan relatif meruntuhkan mitos feodalisme yang kerap hadir. Bahkan pada perkembangan terakhir, sebagaimana diberitakan via media cetak dan televisi, 13 Juni 2005 telah terjadi konsensus bersama di gedung wakil rakyat antara elemen masyarakat selatan, legislatif dan eksekutif untuk segera melanjutkan proses pemekaran (yang ternyata sudah cukup lama dinantikan realisasinya) hingga memperoleh putusan finalnya di tingkat pusat, dengan langkah konkrit awal membentuk Tim Kajian Pemekaran Bersama, dapat saja kita sebut ini dengan Konsensus 13 Juni.
Itu Semua Berproses Setelah Lontaran Ide Anda. Bisa Anda Jelaskan, Bagaimana Perkembangan Kemudiannya?
Melihat realitas tersebut, kehadiran artikel yang saya tulis selanjutnya lebih ditujukan untuk menanggapi dan sebagai upaya untuk mengajak semua pihak merefleksikan kembali lebih jauh dan mendalam dinamika perjalanan pemekaran ini dalam konteks hakikat dari otonomi daerah. Dengan harapan bahwa proses demokratisasi ini dapat dilihat sebagai upaya menuju perubahan yang lebih baik bagi seluruh elemen masyarakat kabupaten pontianak, baik di wilayah calon kabupaten hasil pemekaran maupun calon kabupaten induk.
Dalam gagasan yang saya tuliskan Oktober 2004 itu, bahwa gagasan pemindahan ibu kota, sebetulnya adalah sebagai upaya peningkatan peran penyelenggara pemerintahan dalam memenuhi hak-hak warganya, untuk terlibat lebih merata dan menikmati kue pembangunan yang lebih berkeadilan. Dan pemikiran itu sebetulnya lahir dari kebutuhan yang sama, yaitu keinginan masyarakat agar terciptanya akses publik yang relatif sama dengan penyelenggara pemerintahan.
Tentang Hal Itu, Bagaimana Kondisi di Lapangan Sebetulnya?
Nah, realitas di lapangan justru menunjukkan progressifitas. Format pemekaran ternyata tetap menjadi pilihan publik yang kelihatan sudah tidak bisa ditawar-tawar, dibanding dengan reposisi ibu kota. Meskipun secara mendasar, aspirasi ini pada dasarnya berakar dari faktor yang sama yakni faktor akan tatanan pembangunan yang lebih adil dan mandiri.
Tentu saja perjuangan ini adalah perjuangan politik yang masing-masing memiliki resiko politiknya, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Ongkos Politik pemekaran yang dianggap lebih mahal dibanding pemindahan ibu kota, ternyata tak juga mampu membendung gelombang aspirasi masyarakat wilayah selatan, untuk terus menerus memperjuangkan pemekaran sebagai pilihan format ideal bagi perubahan yang dikehendaki.
Anda Menyebutkan Adanya Akumulasi Kerinduan. Maksudnya?
Betul. Memang ada hal lain yang juga bisa menjelaskan mengapa aspirasi pemekaran terus menggelembung adalah akumulasi kerinduan akan pusat pemerintahan yang hadir di tengah-tengah mayoritas warga Kabupaten Pontianak. Kenyataan perjuangan warga selatan Kabupaten Pontianak ini sebenarnya telah cukup lama diusung namun telah berulang kali pula kandas alias mengalami kegagalan di perjalanannya.
Inikah yang Menjadi Landasan Anda Kemudian Menggagas Forum Desa?
Saya kira begini memahaminya. Kata kunci yang ingin saya kedepankan, bahwa Forum Desa adalah sebagai Garda Terdepan. Maksudnya, bukanlah tanpa alasan pergeseran wacana ini terjadi, para kepala desa, sebagai pemegang mandat langsung dari rakyat yang mengusung aspirasi ini melalui sebuah forum, ternyata memiliki alasan yang kuat.
Forum ini hadir karena ada rasa kebersamaan atau common sense, yang bukan hanya dirasakan oleh masyarakat umum, namun juga oleh para pemimpin formal di tingkat desa, sedari tingkatan Dusun, RW, RT, dan lain-lainnya. Nah, di sinilah letak menariknya untuk menjadikan bahan refleksi semua pihak agar melihat lebih jauh substansi dan makna yang terkandung dalam perjuangan ini dalam konteks hakikat otonomi daerah.
Lebih Konkritnya Bagaimana?
Ya. Terlebih lagi prasyarat politik yang tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Pontianak No.08/1998, Tentang Pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi tiga wilayah. Maka jelas menjadi modal politik utama dan sebuah keniscayaan bahwa proses pemekaran ini, mau tidak mau, suka tidak suka mesti dilanjutkan, dengan tanpa harus kembali ke titik nol lagi.
Kalau saja kita mau menilik dan melihat lebih jauh, saat gencar-gencarnya pemekaran kabupaten dan kota di berbagai wilayah relatif lebih banyak yang hanya dimotori oleh segelintir elit-elit politik yang seringkali cenderung hanya mengatasnamakan rakyat. Maka yang terjadi sebenarnya adalah proses transformasi kekuasaan belaka, yang kemudian akhirnya lebih cenderung bermuara pada transformasi KKN dari penguasa yang lama ke penguasa yang baru.
Jadi, dalam konteks inilah, kehadiran Forum Kepala Desa Wilayah Selatan di Kabupaten Pontianak berikut perangkat elemen ke bawahnya mulai dari Dusun, RW, RT, dan lain-lain, yang menempatkan dan memerankan dirinya selaku garda terdepan dalam proses perubahan melalui agenda pemekaran ini (agent of change, Pen) sejatinya merupakan sebuah proses demokratisasi. Melalui sebuah forum yang jelas memiliki derajat legitimasi yang kuat dan riil ini, suatu perjuangan untuk perubahan yang berproses dan terjadi di masyarakat tentu lebih mencerminkan demokrasi yang sesungguhnya melalui mekanisme ‘bottom up’.
Maka dalam konteks perjuangan pemekaran ini setidaknya menjadi refleksi kita semua bahwa perjuangan mewujudkan pemekaran ini lebih mengedepankan kepentingan aspek ‘sosial ekonomi’ masyarakat banyak ketimbang kepentingan ‘politis’ atau ‘sesaat’ dari segelintir elit saja. Dapat diibaratkan mungkin inilah ‘puncak’ perjuangan pemekaran oleh publik di selatan.
Apa Ada Sisi Lain dari Apa yang Telah Anda Kemukakan Tadi?
Begini saya kira. Bahwa selain menggerakkan kesadaran perubahan di tingkat publik akar rumput, perjuangan suatu perubahan melalui wadah ini akan menjadi modal aset yang cukup penting sebagai bagian dari mekanisme check and balances, di mana kesadaran itu akan menggerakkan rakyat untuk mengontrol kekuasaan lebih efektif. Bahkan melalui forum ini, proses pembangunan kesadaran kolektif warga Kabupaten Pontianak di wilayah selatan dapat terbangun secara massif.
Di mana kesadaran sesama warga di kabupaten yang baru untuk dapat saling berbagi dan bekerjasama dalam mengolah dan menikmati kue pembangunan, khususnya antar wilayah, sebagai modal sosial utama.
Bagaimana Anda Melihatnya Ditinjau dari Sudut Euforia Otonomi Daerah?
Ya. Dalam kerangka otonomi daerah, bangunan forum semacam ini jelas sebagai bagian dari kekuatan civil society, yang dapat menjadi alat untuk mengurangi gap pemahaman atau proses berpikir antara struktur kekuasaan di tingkat elit dengan aspirasi dan keinginan di tingkat akar rumput. Sesuatu pemandangan yang agak jarang terjadi.
Kehadiran forum ini sebaiknya tidak hanya untuk misi mewujudkan kehendak pemekaran saja. Namun lebih jauh dari itu eksistensinya dapat pula menjadi kekuatan permanen yang mampu memerankan dirinya sebagai salah satu penyeimbang terhadap kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak oleh struktur kekuasaan sebagai penyelenggara pemerintahan pasca terwujudnya pemekaran nantinya.
Ringkasnya bangunan forum semacam ini jika terus menerus solid dan permanen akan sangat bermanfaat dalam mempersiapkan tatanan publik yang lebih positif ke depannya. Inilah yang kemudian dibuktikan dengan betul-betul terwujudnya Kabupaten Kubu Raya sekarang.
Anda Mengatakan, Prakarsa Anda untuk Hadirnya Kabupaten Kubu Raya, di Mana Substansi Kajian sebagai Alat. Bisa Anda Jelaskan?
Maksud saya itu begini. Bahwa di sisi lain, kehendak dan sikap politik penyelenggara pemerintahan untuk membiayai proses pengkajian pemekaran wilayah dalam APBD 2005 ketika itu, adalah sebuah langkah awal yang perlu mendapat apresiasi. Namun tetap harus terus dikawal dan dilanjutkan dengan kerja-kerja konkrit.
Tetapi, jika kita mengeksplornya lebih dalam mengapa dan apa dasar aspirasi ini muncul, sebenarnya kegiatan kajian hanya sebagai salah satu alat. Kegiatan kajian atau penelitian awal sebagaimana dipersyaratkan dalam UU Pemda No.32 Tahun 2004 dan PP 129/2000 sebenarnya lebih sebagai faktor pendukung untuk mencari dan melihat gambaran bagaimana potensi dan pola pembangunan dapat dikembangkan ke depan. Maka hasil kajian ini menjadi sangat penting sebagai bahan utama (pasca pemekaran kemudian) baik bagi penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) maupun bagi seluruh stake holder sampai ke tingkat bawah baik daerah hasil pemekaran maupun daerah kabupaten induk agar mampu mempersiapkan, mempetakan, dan menggali lebih optimal segala potensi SDA dan SDM yang dimiliki masing-masing wilayah dalam menyelenggarakan otonomi daerahnya.
Mengapa Demikian?
Ya, jelas. Sebab, pemekaran praktis menimbulkan konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan mendasar di kedua wilayah dengan berbagai efeknya. Dalam kaitan ini pula kajian oleh eksekutif sebagaimana disyaratkan dalam UU dan PP tersebut juga akan berperan penting terhadap kebijakan berapa besarnya dan berapa lama. Dalam hal ini, kan paling lama lima tahun, di mana daerah kabupaten baru hasil pemekaran ini akan dibantu pembiayaannya melalui APBD kabupaten induk nantinya, dan keputusan ini akan tertuang dalam UU Pemekaran atau Pembentukan kabupaten baru tersebut.
Menurut Anda, Lebih Konkritnya Bagaimana?
Jadi begini saya kira. Dari sisi prosesnya, kajian tersebut sebenarnya hanyalah lanjutan dan penyesuaian saja dari kajian yang cukup komprehensif yang pernah dilakukan Tim Eksekutif pada 1997 sebelumnya. Karena basis datanya lebih bersifat kuantitatif. Hanya saja secara metodologis perlu menyesuaikan dengan kriteria, indikator dan sub indikator sesuai ketentuan PP 129/2000 sebagai sandarannya.
Jadi, yang terpenting disini, bukanlah proses kajiannya tapi yang menentukan pemekaran atau tidak adalah pertemuan kehendak politik para elit dengan aspirasi masyarakatnya. Di sinilah letak sensifitas para pemimpin politik dituntut.
Menurut Anda, Apa Sebetulnya Hakikat Otonomi Daerah Itu Sendiri?
Saya kira, kalau saja hakekat otonomi dipahami sebagai ruang di mana kreativitas sebuah daerah untuk mampu menghidupi dirinya, maka kekhawatiran akan terancamnya daerah kabupaten induk untuk menyelenggarakan otonomi daerah, pasca pemekaran, pada dasarnya tidak cukup beralasan.
Saya melihatnya dalam beberapa sudut pandang. Pertama, karena daerah calon kabupaten induk yang selama ini sebagai ibukota kabupaten secara faktual telah siap dan terbangun infrastruktur atau sarana prasarana pemerintahan maupun pusat pelayanan publiknya di berbagai bidang, di samping itu mesti dipahami bersama bahwa sistem keuangan seperti yang tercantum dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pada dasarnya telah menjamin proses desentralisasi itu sendiri, karena alokasi pembiayaan terutama melalui DAU yang rumus bakunya tertuang dalam PP 104/2004 tidak mempengaruhi alokasi pembiayaan secara mendasar terhadap kabupaten yang dimekarkan karena mendasarkan pada Kebutuhan Daerah Otonom bersangkutan yang dihitung berdasarkan empat indikator utama, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks tingkat kemiskinan, dan, indeks rata-rata harga-harga yang berlaku di daerah otonom itu.
Dengan sistem keuangan ini memberikan jaminan daerah yang PAD- nya sangat minus sekalipun, akan tetap mampu terselenggaranya otonomi daerah sesuai kebutuhan daerahnya. Contoh nyata saja, data mengatakan, pembiayaan pembangunan di berbagai kabupaten termasuk Kabupaten Pontianak ketika itu masih sangat ditopang atau bergantung pada alokasi DAU dan DAK, rata-rata rasio PAD terhadap total APBD hanya berkisar 3—4 persen. Sedangkan 96 persennya masih bersumber dari DAU.
Apa Sebetulnya yang Dimaukan Teori yang Disebutkan Tadi?
Yang jelas digariskan. Bahwa, kebutuhan pembiayaan terhadap suatu daerah otonom bagaimanapun tetap akan berbanding lurus dengan kondisi daerah otonom bersangkutan. Mesti diingat, bahwa, semakin kecil jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemiskinan, indeks harga maka semakin kecil pula kebutuhan daerah yang bersangkutan dalam penyelenggaraan otonomi daerahnya.
Dampaknya Bagi Pemekaran Daerah?
Justru pemekaran akan berdampak positif bagi masyarakat di kedua wilayah. Baik calon kabupaten hasil pemekaran maupun kabupaten induk, dikarenakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dapat lebih efektif dan efisien karena rentang kendalinya lebih terjangkau, sehingga masyarakat akan lebih terurus dan terperhatikan dengan lebih baik karena konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan akan lebih terfokus dan maksimal.
Dan yang tidak kalah pentingnya, multi efek dari hakikat otonomi daerah itu sendiri agar baik penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif, Pen) maupun seluruh stake holder di daerah otonom bersangkutan termotivasi untuk lebih kreatif memanfaatkan secara lebih optimal segala potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing yang bermuara pada peningkatan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan lebih baik.
Karenanya, pemekaran sebagai jalan menuju perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik, hendaknya pula dimaknai sebagai format ideal dan bersifat win-win solution.