Sabtu, 03 Oktober 2009

JEJAK SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN KUBU RAYA (II)

KUBU RAYA: PERGULATAN BATIN SEORANG MUDA MAHENDRAWAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Bisa Anda Jelaskan, Bagaimana Psikologis—Historis Pembentukan Kabupaten Kubu Raya Ini?
Baik. Saya kira begini. Sebetunya tuntutan pemekaran Kabupaten Pontianak sudah sejak lama digagas oleh warga di kawasan pantai selatan dari kabupatehn tersebut. Namun belum terwujud akibat berbagai kendala strategis. Terutama berkaitan dengan kemauan politik dan kerelaan dari eksekutif maupun para elit politik lainnya untuk memisahkan atau melepaskan wilayah selatan yang terdiri dari sembilan kecamatan menjadi kabupaten sendiri yang otonom.

Faktor utamanya adalah karena selama ini wilayah selatan sudah menjadi andalan sumber penghasilan daerah. Dan karakeristik inilah yang membedakan Kabupaten Pontianak dengan kabupaten lainnya di Kalimantan Barat. Sebagai catatan saya kira, tidak sebagaimana Kabupaten Sanggau yang memekarkan diri dengan terbentuknya Kabupaten Sekadau, atau Sintang memekarkan diri dengan terbentuknya Melawi. Adalah beda. Sebab, wilayah selatan di Kabupaten Pontianak, yang menuntut pemekaran justru menjadi sumber penghasil terbesar dan memiliki potensi sumber daya alam (lahan produktif dan tidur, Pen) yang luas (84 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Pontianak, Pen), di samping faktor-faktor kendala strategis lainnya seperti perjuangan mengusung pemekaran oleh berbagai elemen masyarakat dari pantai selatan dari dulu seringkali patah di tengah jalan ataupun tidak menutup kemungkinan dipatahkan yang juga sebetulnya adalah imbas dari ketidakrelaan baik Pemkab maupun para elit politik serta para stake holder lainnya di kawasan utara kabupaten ini.
Saya melihat, faktor utamanya selama ini lebih pada persoalan sumber pendapatan yang praktis akan sangat mempengaruhi Anggaran Pembangunan (APBD) tiap tahunnya. setidaknya tentu menimbulkan kekhawatiran bagi Pemkab maupun para elit politik maupun stake holder di sana. Situasi paling menonjol yang menghambat perjuangan mengusung pemekaran ini selama ini karena ketika berbagai elemen masyarakat sudah mulai mengusung perjuangan pemekaran, maka ketika itu pula akan berkembang opini dan isu yang dahsyat bahwa kehendak itu bukanlah aspirasi murni dari masyarakat melainkan kepentingan politis segelintir atau sekelompok masyarakat. Dalam hal itu ditudingkan elit politik, tokoh masyarakat, pemuda, LSM-LSM maupun stake holder lainnya, yang berambisi terhadap jabatan-jabatan politis maupun struktural pemerintahan.

Tentang Pandangan Seperti Itu, Bagaimana Anda Melihatnya?
Begini ya. Memang disadari bahwa tuntutan pemekaran memang sangat rentan dengan aspek politis seperti itu. Karena konsekuensi dari pemekaran tentunya memang melahirkan suatu pemerintahan otonom baru. Situasi seperti inilah yang akan selalu menciptakan benturan-benturan di antara elemen masyarakat sendiri, sehingga gerakan perjuangan akan stagnan.Kondisi seperti ini akan selalu merugikan masyarakat sendiri yang berada di akar rumput yang sudah cukup lama sangat berharap dan mendambakan terselenggaranya pemerintahan yang lebih efisien sehingga dapat memberikan kemudahan dalam pelayanan, kemudahan akses untuk berpartisipasi secara aktif melakukan kontrol publik agar kebijakan anggaran pembangunan dan kebijakan lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak relatif transparan, merata, dan berkeadilan. Padahal sebenarnya perjuangan pemekaran kabupaten dari sejak dulu bukanlah kehendak yang mengedepankan muara politis, melainkan memang merupakan kebutuhan yang sudah cukup lama sangat diharapkan dan didambakan masyarakat pantai selatan sehingga perjuangan ini lebih mengedepankan muara ekonomi, sosial, hankamnas,

Konkritnya?
Jadi saya kira, sangat perlu ditegaskan dan digarisbawahi kembali bahwa munculnya gagasan dan wacana pemindahan ibukota yang saya kemukakan itu yang kemudian mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat di pantai selatan harus kita tangkap pesan dan makna yang mendalam di balik itu bahwasannya berbagai elemen masyarakat pantai selatan telah membuktikan dengan dukungannya baik kepada Pemkab maupun seluruh stake holder masyarakat di wilayah utara serta Kalimantan Barat dan daerah lainnya di Indonesia ini tentunya bahwa perjuangan yang selama ini diusung semata-mata merupakan kebutuhan dan aspirasi murni dari masyarakat di akar rumput yang lebih bermuara ekonomi dan sosial untuk mencapai kesejahteraan dan bukanlah kehendak segelintir atau kelompok tertentu saja yang berkepentingan secara politis.

Anda Memandangnya Demikian. Menurut Anda Mengapa?
Sebab bagaimanapun konsekuensi dari pemindahan ibukota jelas tidak merubah ataupun membentuk suatu pemerintahan otonom baru, yang berubah hanyalah teknis dan tempat pelaksanaan penyelenggaraan pusat pemerintahan saja. Dalam kiasan sederhana tak dapat rotan akar pun jadi, asalkan dapat mencapai tujuan kesejahteraan dan keadilan masyarakat demi kepentingan bersama.

Jadi inilah pesan dan makna mendalam yang sebenarnya perlu ditangkap secara obyektif dan bijak baik oleh eksekutif, legislatif, maupun seluruh stake holder masyarakat Kabupaten Pontianak, terutama yang berada di wilayah utara, agar dapat memahami lebih jauh dan mendalam, maka adalah persepsi yang sangat keliru jika memandang wacana yang mendapat dukungan luas dari pantai selatan ini ditanggapi secara dangkal seolah warga masyarakat pantai selatan tidak menghargai atau menghormati suatu nilai historis terkait daerah eks swapraja atau dulunya kerajaan, apalagi sangat disayangkan kalau sampai terjebak dalam sudut pandang yang sempit. Di sinilah perlunya kita memahami wacana ini secara lebih holistik atau secara luas

Wacana yang Anda Paparkan Itu Kemudian Mengkristal. Bisa Dijelaskan Kemudiannya?
Ya. Jadi, tegasnya, wacana ini muncul dan kemudian mengkristal sedemikian rupa sebenarnya karena sulitnya mewujudkan harapan dan aspirasi masyarakat untuk memperjuangkan pemekaran yang berulang kali telah berakhir dalam kegagalan yang disebabkan selama ini bahkan dari sejak dulu, terutama eksekutif masih terkesan setengah hati bahkan kurang merespon secara positif kehendak dan aspirasi masyarakat yang sebenarnya sudah lama menuntut pemekaran.

Saya melihat, bagaimana pun proses pemekaran kabupaten sebenarnya tidaklah menjadi terlalu sulit jika baik legislatif maupun eksekutif secara bersama-sama merespon positif dan mempunyai kemauan politik dengan membuktikan langkah konkrit untuk mewujudkan aspirasi pemekaran ini. Sebaliknya jika kemauan politik hanya ditunjukkan dari legislatif saja sekalipun eksekutif mau tidak mau, rela tidak rela juga harus menjalankan keputusan politik, misalnya, rekomendasi persetujuan prinsip yang dikeluarkan oleh legislatif baik secara musyawarah mufakat ataupun voting.

Namun, jika demikian kondisinya maka proses perjuangan mewujudkan pemekaran tentu akan memerlukan suatu energi dan daya upaya yang cukup berat untuk mewujudkannya. Ibarat sepasang suami istri akan bercerai, jika salah satu keberatan karena orang tua atau sanak famili tidak setuju untuk bercerai, maka keputusan perceraian itu tidaklah semudah jika pasangan itu maupun orang tua mereka telah saling setuju dan sepakat secara baik-baik itu sebenarnya mutlak tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan perjuangan pemekaran bahkan justru gagasan ini selaras

Atas Opsi dari Artikel Kritis yang Anda Paparkan Itu, Ketika Itu Bagaimana Reaksi Pemkab Pontianak Sendiri?
Ya. Ketika itu, menanggapi pemikiran kritis yang dilontarkan dan kemudian mengkristal sebagai pemikiran yang ditunjang berbagai elemen masyarakat, khususnya masyarakat Pantai Selatan Kabupaten Pontianak, menjadilah sebuah statmen yang utuh. Pemkab Pontianak belakangan mengundang komponen masyarakat tersebut untuk suatu pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat dan LSM dengan Bupati Pontianak di Mempawah

Dalam pertemuan itu antara lain diungkapkan bahwa dari beberapa opsi yang diwacanakan membutuhkan kajian mendalam, dan dari pertemuan yang terjadi dapat ditangkap kesan yang muncul ke permukaan bahwa tuntutan pemekaran maupun pemindahan ibukota dari masyarakat pantai selatan dipandang dan diartikan oleh para peserta pertemuan yang hadir maupun bupati seolah-olah hanyalah terkesan sebagai sebuah bargaining dari masyarakat pantai selatan untuk minta diperhatikan oleh pusat pemerintahan karena tidak meratanya pembangunan sehingga menimbulkan kecemburuan dari pantai selatan, sehingga jalan keluar yang ditawarkan dari pertemuan itu mengarah hanya kepada pembentukan UPT. Dan statmen Bupati yang menyatakan dan berjanji akan memperhatikan kebijakan anggaran pembangunan ke depannya.

Anda Sebagai Pengkritis Semula Opsi Tersebut. Bagaimana Tanggapan Anda atas Tanggapan Pemkab Pontianak Ketika Itu?
Bersama elemen masyarakat lainnya, saya atau dalam hal ini kami, menyambut baik statmen bupati dalam pertemuan tersebut yang menyatakan bahwa secara pribadi maupun selaku bupati bukannya menolak opsi-opsi tersebut, namun perlu kajian mendalam. Akan tetapi justru lebih baik bupati membuktikan statmennya jika ingin menunjukkan memang punya itikad baik untuk merespon tuntutan masyarakat pantai selatan tersebut dengan langsung mengarah kepada langkah konkrit atau nyata saja, kalau untuk menentukan pilihan dari dua opsi tersebut, pemekaran atau pemindahan ibukota, sudah ditetapkan oleh Dewan maupun Bupati, maka selanjutnya kenapa tidak memulainya dari sekarang,

Bukankah setidaknya pihak yang akan mengkaji atau meneliti adalah pihak independen dari ilmuwan di Perguruan Tinggi yang ada di Kalbar sudah dapat dihubungi untuk menjalin kerja sama pengkajian ini. Dan sudah tentu karena pengkajian ini pasti memerlukan dana, maka setelah disepakati besarnya dana pengkajian yang diperlukan selanjutnya Bupati selaku eksekutif tentu dapat mengusulkannya ke dalam draft RAPBD Tahun Anggaran 2005 yang akan datang untuk dibahas bersama-sama dan disahkan oleh legislatif menjadi pos di APBD Tahun 2005 ketika itu.

Jadi?
Ya, bahwa penting dan perlu digarisbawahi bahwa masyarakat pantai selatan sangat memahami proses baik itu pemekaran ataupun pemindahan memerlukan waktu yang wajar dua hingga tiga dan pembiayaan, namun setidaknya bupati maupun legislatif harus membuktikan komitmennya dengan langkah nyata. Jadi tidak hanya sebatas mengomentari dan mengeluarkan statmen yang bersifat hanya untuk lips service saja lalu menunda-nunda langkah awal proses baik itu pemekaran ataupun pemindahan ibukota.

Bagaimanapun kondisi riil kehendak dan aspirasi di masyarakat sudah tidak bisa terelakkan lagi. Sehingga jika memang ternyata kemudian aspirasi masyarakat sudah sedemikian rupa menghendakinya maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, rela ataupun tidak rela, baik Dewan maupun Bupati semestinya segera menunjukkan bukti, setidaknya dengan langkah atau tahapan pertama yaitu Pengkajian dan Penelitian.

Bagaimana Anda Melihat Kondisi Demikian Pada Ketika Itu?
Begini. Jadi sebenarnya pilihan itu saat tersebut sudah sangat jelas. Tinggal Pemkab bersama legislatif membahas dan memberikan suatu keputusan politik berupa persetujuan atau rekomendasi atas salah satu dari kedua opsi yang ditawarkan oleh masyarakat pantai selatan tersebut dan ditindaklanjuti segera dengan langkah konkrit sesuai tahapan proses berdasarkan aturan yang berlaku.

Maka barulah muncul pula ide atau usulan pemindahan ibukota sebagai alternatifnya. Jadi tuntutan pemekaran ataupun pemindahan ibukota ini bersandarkan pada kondisi yang sangat realistis di mana yang diinginkan masyarakat pantai selatan adalah terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang efisien agar meringankan beban masyarakat maupun pemerintah sehingga dengan sendirinya berdampak pada percepatan dan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat oleh karena wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar sudah tentu bagaimanapun sangat berat untuk menciptakan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan akan selalu pada kondisi stagnasi dan sangat sulit untuk dapat meningkatkan perekonomian rakyat.
Maka, sekali lagi saya katakana, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, rela ataupun tidak rela tidak ada jalan lain, baik legislatif maupun eksekutif mesti dapat mengambil suatu keputusan politik untuk menentukan apakah akan dimekarkan ataukah cukup dipindahkan saja ibukotanya ke daerah yang lebih strategis. Mengingat pula bahwa baik pemekaran maupun pemindahan ibukota sama-sama punya konsekwensi perlu waktu yang wajar dalam waktu dua atau tiga tahun, juga pembiayaan. Namun bukan berarti harus ditunda lagi prosesnya, kalau tidak dimulai dari sekarang lalu kapan lagi tuntutan ini akan terwujud. Begitulah keadaan dan kenyataannya ketika itu

Tentang Statemen Pemkab Saat Itu. Bagaimana Anda Melihatnya?
Begini. Menyangkut statmen bupati yang pada ketika itu lagi-lagi berjanji akan memperhatikan untuk ke depannya jangan lantas diartikan ibarat pemadam kebakaran yang lalu dimaksudkan untuk sekedar meredam (sementara) tuntutan masyarakat ini. Bagaimana pun persoalan membangun itu memang sudah menjadi kewajiban Bupati selaku eksekutif dan sebaliknya memang sudah menjadi haknya masyarakat untuk mendapatkan sentuhan pembangunan.

Jadi tidak ada korelasinya antara tekad bupati yang katanya mau mulai memperhatikan pantai selatan dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat baik pemekaran ataupun pemindahan ibukota. Tidak ada artinya menunda-nunda semakin lama, yang justru akan menambah kondisi perikehidupan menjadi semakin terpuruk ke depannya. Jadi, bagaimanapun mutlak diambil jalan yang lebih tuntas. Bukannya mencari jalan keluar hanya sementara yang dikemudian hari justru dapat menimbulkan persoalan yang lebih berat bagi masyarakat.

Bagaimana Tegasnya Menurut Anda Pada Saat Itu ?
Saya kira begini. Jika memang aspirasi masyarakat pantai selatan sudah sedemikian rupa, maka tidak ada alasan bagi Pemkab untuk menunda prosesnya. Setidaknya dibuktikan dulu itikad baiknya dengan langkah awal berupa Penelitian atau Pengkajian dari salah satu yang diopsikan, Pemekaran atau Pemindahan tadi, berdasarkan pembahasan di Dewan, sehingga dapat dibahas bersamaan dengan pembahasan RAPBD 2005 ketika itu, yang pada saat itu tidak lama kemudian akan dibahas bersama.

Jadi, di sinilah masyarakat pantai selatan juga ingin melihat bagaimana dan sejauh mana komitmen para wakil mereka yang sekarang duduk manis di Dewan apakah menepati janji-janji politiknya pada waktu menjelang Pemilu (saat kampanye dulu, pen). Atau malah ingkar setelah keenakan duduk, lalu hanya memikirkan dirinya sendiri dan lupa terhadap kepentingan hajat hidup orang banyak yang notabene juga adalah konstituen mereka sendiri.

Dikatakan, Kajian Pemekaran Sebetulnya Bukanlah Hal Sukar. Maksudnya?
Ya. Begini. Bahwa tuntutan pemekaran oleh warga masyarakat selatan saat itu sudah semakin menunjukkan arah titik terang cukup positif. Hal ini terkait dengan hasil konsensus pada saat audiensi antara Forum Desa dan Tim Pemekaran dengan Dewan dan Bupati Pontianak. Ketika itu ditandai dengan dibentuknya Tim Kajian dari unsur eksekutif dengan melibatkan unsur Tim Pemekaran pula.

Kajian untuk pemekaran wilayah selatan ini sebetulnya tidaklah perlu terlampau dikesankan sangat rumit sekali. Sebab bagaimanapun menurut hemat saya ketika itu dan sesuai fakta-fakta yang riil sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan bagaimana nantinya kondisi kabupaten induk di wilayah utara pasca terjadinya pemekaran wilayah selatan.

Mengapa Anda Beralasan Demikian?
Begini, saya kira. Sebab bagaimanapun kondisi di wilayah induk jelas dan bahkan telah lebih siap untuk terselenggaranya otonomi daerah dan jauh dari kondisi terancam kesulitan. Kalau misalnya kemudian pemekaran wilayah selatan terwujud, dan memang betul-betul terwujud kemudiannya, ini kan berarti kabupaten induk seolah juga turut menjelma menjadi sebuah kabupaten baru lagi.

Hal itu karena konsekuensi pemekaran jelas akan mengalami perubahan cukup signifikan di kabupaten induk. Baik terhadap segala tatanan pemerintahan, jumlah penduduk, luas wilayah dan sebagainya. Nah, jika demikian kalau berangkat dari pemikiran ini, tentunya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana pun kondisi di wilayah induk sekarang telah siap dan terbangun segala infrastruktur penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publiknya. Seperti rumah sakit, PDAM, dan lain sebagainya. Bahkan sumber pemasukan daerah sendiri pun (PAD) jumlahnya sudah cukup menunjang.

Bisa Berikan Gambaran Mengenai PAD Dimaksudkan?
Begini. Kalaulah kita hitung ketika itu total PAD Kabupaten Pontianak sekitar Rp 9 Milyaran, maka jika misalnya diasumsikan wilayah calon kabupaten induk ini memperoleh 35 hingga 40 persennya, maka PAD masih berkisar 3 sampai 4 Milyar. Jumlah ini jelas sudah cukup, tinggal bagaimana penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif berupaya meningkatkannya saja secara kreatif.

Kalau mau dibandingkan dengan beberapa daerah kabupaten yang baru berdiri hasil pemekaran PAD-nya masih minim, dengan kondisi infrastruktur pemerintah maupun pelayanan publik yang belum siap dan belum terbangun secara layak saja ternyata buktinya tetap mampu menjalankan roda pemerintahan secara otonom dan cukup stabil. Bahkan sudah mulai menampakkan kecenderungan semakin berkembang cukup baik.

Mungkin Anda Punya Pandangan Tersendiri Menyangkut PAD Kabupaten Pontianak Selama Ini?
Saya kira beginilah. Kan harus kita akui dan sadari pula bahwa memang kenyataanya sumber penerimaan Kabupaten Pontianak melalui APBD selama ini lebih mengandalkan dan menggantungkan dari DAU dan DAK. Jika kita hitung rasio PAD tidak sampai 3 persennya dari jumlah DAU yang dialokasikan dari Pusat. Dan sesuai UU Tentang Dana Perimbangan Pusat dan Daerah dan Peraturan Pelaksanaanya terhadap Sistem Desentralisasi Keuangan Daerah, bagaimanapun sistem DAU ini justru menjamin bahwa alokasi keuangan kepada tiap-tiap daerah tetap akan terpenuhi sesuai dengan kebutuhan daerah otonom itu sendiri.

Hal itu karena rumus baku untuk penghitungan kebutuhan suatu daerah otonom tetap diambil dari 4 indikator, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks tingkat kemiskinan, dan indeks harga rata-rata di daerah otonom tersebut.

Jadi di Situ Anda Melihat Ada Suatu yang Memang Harus Dikritisi?
Nah, dalam konteks calon kabupaten induk ini maka bagaimanapun berkurangnya jumlah penduduk, luas wilayah dan tingkat kemiskinan logikanya akan langsung berpengaruh pada jumlah kebutuhan daerah calon kabupaten induk ini pula. Apalagi dengan luas wilayah semakin kecil yang berarti rentang kendali semakin dekat dan jumlah penduduk semakin sedikit. Maka akan semakin berkurang pula kebutuhan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan karena yang diurus semakin kecil dan sedikit. Justru penggunaan anggaran akan semakin efektif dan efisien karena tidak perlu lagi terlalu besar dialokasikan untuk belanja rutin dan aparatur sehingga persentase alokasi anggaran untuk membiayai pembangunan yang langsung ke masyarakat semakin menjadi besar .

Saya lihat, selama ini dengan wilayah yang sangat luas sekali mencapai 10 Ribuan Km dan jumlah penduduk yang sangat besar hampir 700 Ribu Penduduk dengan tingkat kemiskinan yang cenderung berbanding lurus, jelas sangat tidak efektif dan efisien di mana persentase beban anggaran untuk belanja rutin dan aparatur menjadi sangat besar sehingga untuk alokasi belanja pembangunan menjadi relatif kecil.

Lantas, Apakah Hal Itu Memiliki pengaruh yang Dominan?
Oleh sebab itulah saya melihat, bahwa pemekaran inipun justru menjadi positif bagi masyarakat di kedua wilayah. Baik calon kabupaten induk maupun kabupaten di selatan. Karena semakin kecil luas dan jumlah penduduk maka rakyat akan semakin diurus dan terurus dengan lebih baik lagi.

Jadi argumentasi dan kekhawatiran bahwa calon kabupaten induk di utara nantinya (Kabupaten Pontianak Setelah Pemekaran Kabupaten Kubu Raya, Pen) akan mengalami kesulitan menjalankan penyelenggaraan otonomi daerahnya, sama sekali tidak berdasar. Dan saya kira itu jelas terlalu berlebihan dan terkesan mengada-ada saja. Maka Tim Kajian ini pun sebetulnya dalam menjalankan salah satu mekanisme pemekaran tidaklah terlalu rumit sekali. Oleh sebab itu telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan jangka waktu yang tidak lama.

Jika Demikian, Apakah Publik ataukah Elit di Kabupaten Induk yang Kurang Berkenan terhadap Wacana Pemekaran dan Dua Opsi yang Dikemukakan itu?
Saya kira begini. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin memberikan beberapa argumen dari kajian saya. Begini. Bahwa pemekaran kabupaten ataupun pemindahan ibukota, dua opsi yang saya gelindingkan itu, tujuannya adalah untuk mencapai akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah itu sendiri. Wilayah pemekaran maksudnya.

Saya melihat, latar belakang lahirnya dua opsi tersebut merupakan suatu pergulatan batin yang saya alami dan rasakan, sebagaimana juga dirasakan masyarakat di kawasan selatan ini. Pertama sekali, jumlah penduduk di Kabupaten Pontianak, sangat besar. Sementara, wilayahnya sangat luas, maka dengan sendirinya berpengaruh pada rentang kendali pemerintahan. Ini lebih dirasakan dengan sangat jauhnya jarak antara satu kecamatan ke kecamatan lain menuju ibukota kabupaten atau pusat pemerintahan.

Maka dari gamabaran itu, dengan sendirinya keadilan dalam pelayanan masyarakat jelas menjadi fokus yang patut dikritisi. Sebab, akses kadilan dalam kebijakan Anggaran Pembangunan, nyata sangat tidak merata.

Anda Menyebutkan Masalah Akses Keadilan. Lantas Bagaimana dengan Efisiensi Birokrasinya?
Nah, menyangkut efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, saya melihatnya begini. Opsi itu memberikan jalan tengah untuk menghindari ekonomi biaya tinggi pada masyarakat, selain tentunya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna aset-aset yang ada. Memang harus diakui, kenyataan yang ada DSA dan SDM belum diberdayakan dengan optimal.
Dengan kedua opsi itu, salah satunya saya kira, maka akan jelas terwujudnya kontrol masyarakat yang kuat terhadap penyelenggeraan pemerintahan, dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif.

Mungkin Bisa Dijelaskan, Saat Opsi Itu Anda Wacanakan, Apa Sebetulnya Faktor Penting Fokus Perhatian Anda Sebelumnya?
Saya kira, ada beberapa aspek yang memang menjadi perhatian saya ketika itu, sehingga lahirnya wacana opsi tersebut. Pertama jelas, adalah aspek fundamental. Di dalamnya terdapat aspek-aspek penting, antaranya aspek historis. Bukankah dari sudut pandang ini memberikan suatu peluang, baik untuk pemekaran ataukah pemindahan ibukota.

Kemudian, aspek geografis dan demografisnya.faktor ekonomis, sosial budaya. Dan aspek hankamnas. Di samping itu kita juga menempatkan faktor politis sebagai penunjang yang cukup penting. Bukankah representasi politik masyarakat sudah memungkinkan dengan wakil rakyatnya hampir 70 persen. Dengan begitu komunikasi politik masyarakat akan lebih optimal dan luas, sehingga akses dan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik lebih luas dan berkeadilan.

Apa Asumsi yang Ada dari Wacana Itu Sendiri?
Jelas yang menjadi asumsi utama adalah melihat kepada pemberian akses kemudahan pelayanan masyarakat, efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan birokrasi. Di sisi penting lainnya, memberikan peluang menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan investasi, atau katakanlah membuka usaha, baik bidang perdagangan ataukah jasa.

Pada sisi lain, opsi ini akan memberikan asumsi pula terhadap pengurangan jumlah pengangguran akibat PHK, misalnya. Juga untuk meningkatkan pemasukan daerah atau PAD. Dan yang pasti, adalah kebijakan anggaran pembangun lebih adil dan merata. Itu kan yang diharapkan dan dituntut masyarakat di wilayah selatan selama ini.

Ketika Wacana Pemekaran Semakin Mengkristal. Saat Itu Anda Sempat Cemas. Ada Apa dengan Itu Sebetulnya Saat Tersebut?
Cemas mungkin tidak. Tetapi, secara psikologis jelas kita terus mengkritisi. Masalahnya kan begini. Pemerintah tidak bisa secara serta merta membuat kebijakan untuk menunda seluruh RUU tentang Pemekaran Daerah. Mengingat tidak semua daerah yang akan dimekarkan berpotensi menimbulkan masalah. Sebab selama ini rencana pemekaran daerah dilakukan sudah sesuai dengan perangkat hukum dan prosedur yang berlaku. Dengan demikian, jika proses itu dilakukan dengan benar, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melakukan penundaan.

Di samping itu, pemerintah juga harus menghormati dan menghargai jerih payah masyarakat, yang selama bertahun-tahun memperjuangkan pemekaran. (Upaya pemekaran Kabupaten Kubu Raya sendiri sebetulnya sejak tahun 2000. Namun, upaya yang sangat serius, dan kemudian membuahkan hasil, adalah sejak diprakarsai oleh Muda Mehendrawan dalam tahun 2003, pen). Pemerintah seharusnya mengoptimalkan peran dan fungsi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dalam melakukan penilaian terhadap calon daerah yang akan dimekarkan. Dalam hal ini adalah Depdagri.

Nah, terkait dengan rencana pemerintah untuk melakukan penundaan terhadap pengajuan RUU Pemekaran, saya kemudian ketika itu menyurati Presiden untuk meminta klarifikasi terhadap kebijakan itu. Bahwa ada beberapa daerah hasil pemekaran bermasalah, namun persoalan tidak bisa digeneralisir. Sebab, tidak semua daerah akan mengalami nasib yang serupa. Di samping itu, persoalan tersebut bukanlah persoalan yang substantif.

Terhadap Hal Tersebut, Bagaimana Penilaian Anda?
Saya menilai bahwa perangkat hukum tentang pemekaran dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 ketika itu sangatlah memadai. Hanya saja aparat yang melaksanakannya kurang kompeten dan konsekuen. Sebab, dalam peraturan itu telah mempertimbangkan seluruh aspek yang dibutuhkan, seperti aspek geografis, demografis, strategi politik untuk menjamin integrasi NKRI, dan kelayakan ekonomi dari daerah yang akan dimekarkan.

Saya melihat bahwa prosedur pengajuan pemekaran daerah tidak hanya memperhatikan syarat tekhnis formal saja. Akan tetapi juga melibatkan kondisi objektif (aspek empiris) daerah yang akan dimekarkan. Untuk itu, harusnya Depdagri melalui DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) dan Tim Peneliti Independen benar-benar dan penuh tanggung jawab dalam melakukan penelitian lapangan dalam rangka melihat secara langsung kesiapan daerah yang bersangkutan.

Jadi Itu yang Anda Cemaskan Saat Itu?
(Pada bagian ini, Muda Mahendrawan menjawab disertai senyum khas yang seakan mengungkapkan suatu kenangan indah yang membayang hingga kecemasannya ketika itu tertepiskan, Pen). Begini saya melihatnya. Berdasarkan pertimbangan yang saya sebutkan tadi, dirasakan tidak tepat jika pemerintah melakukan penundaan atau moratorium pengajuan RUU Pemekaran Daerah. Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memaksimalkan fungsi lembaga terkait dalam membidani pemekaran daerah. Jika prosedur dilakukan secara benar, maka kekhawatirkan akan kegagalan pemekaran adalah sangat tidak beralasan.
Anda Tidak Setuju Pendapat Pemekaran Jadi beban APBN. Bisa Dijelaskan?
Begini. Saya gariskan, justeru dengan adanya pemekaran, keuangan negara akan dapat diringankan. Sebab tujuan dari pemekaran adalah untuk mencapai kemandirian ekonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam daerah yang produktif. Dengan demikian, daerah hasil pemekaran secara mandiri akan membiayai daerah sendiri. Namun, tujuan ini tidak bisa diwujudkan seketika tanpa mempertimbangkan proses. Masalahnya adalah bukan karena uang tidak cukup. Melainkan karena kemauan dan kemampuan mengurus negara secara baik yang kurang.

Sebagai perbandingan. Buktinya setelah Pemekaran Tapanuli Selatan kemajuan Mandailing Natal berlangsung lebih cepat. Begitu juga Tapanuli Utara, setelah dimekarkan kemajuan di Tobasa ternyata lebih baik. Bukti lainnya mengenai keberhasilan daerah pemekaran adalah daerah di Propinisi Kalimantan Selatan. Setelah Pemekaran Kabupaten Tanah Bumbu yang berhasil mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Rp 13 Milyar menjadi Rp 260 Miliar pertahunnya. Inikan bukti konkrit.

Mungkin Bisa Dijelaskan Secara Terperinci Menyangkut Hal Itu?
Ya. Di samping itu tadi, jika kita telaah lebih jauh, ekspose Depdagri mengenai evaluasi terhadap 104 daerah hasil pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2004 ketika itu, di mana 76 di antaranya masih bermasalah. Jika ditelaah lebih jauh, 76 daerah yang bermasalah itu bukan disebabkan semata karena daerah hasil pemekaran. Melainkan lebih banyak yang justru disebabkan karena kurang komit dan konsistennya kabupaten induk terhadap penyerahan aset-aset, pemberian bantuan dana, personalia kepegawaian, di samping lemahnya supervisi dari kabupaten induk, propinsi, maupun pusat.
Ada kesan dan kecenderungan setelah berhasil terbentuk dan mekar, kabupaten baru tersebut tidak lagi perlu diperhatikan dan dibina, sehingga seolah diabaikan begitu saja. Makanya menjadi sulit berkembang. Sebab permasalah itu lebih berpusat pada pada persoalan-persoalan teknis administratif. Di mana persoalan-persoalan tersebut sebenarnya dapat diselesaikan tanpa mempengaruhi tujuan utama dari pemekaran yang dilakukan. Di samping itu gagalnya pemekaran lebih disebabkan oleh buruknya kinerja dari Tim Pemerintah yang melakukan penilaian terhadap calon daerah yang akan dimekarkan. Yakni, pemekaran dilakukan lebih karena alasan politis ketimbang kondisi objektif suatu daerah.

Terhadap Kenyataan Itu, Apa yang Diharapkan kepada Pemerintah?
Belajar dari kenyataan itu semua, diharapkan pemerintah jangan mencari kambing hitam dari keteledorannya mengelola daerah. Yang harus dipahami adalah bahwa segala sesuatunya merupakan sebuah proses yang harus dilalui. Dan diharapkan pemerintah jangan menyia-nyiakan upaya daerah yang menginginkan memperoleh kesempatan yang sama untuk memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakatnya. Itu yang terpenting saya kira.

Anda Menggagas Pemekaran atau Pemindahan Ibukota. Opsi yang Diwacanakan Itu, Bupati Pontianak Memberikan Tanggapannya. Apa Komentar Anda?
Baik. Yang harus disadari adalah bahwa rakyat inginkan bukti atau action. Bukan sekedar statmen atau lips service. Itu yang harus disadari. Menanggapi komentar Bupati Pontianak (Drs H Agus Salim MM) pada saat pertemuan tokoh masyarakat dengan Bupati di Aula Kantor Bupati ketika itu, saya mengomentarinya antara lain begini.
Dengan adanya dua opsi tadi, pemekaran kabupaten atau pemindahan ibukota, mengalirkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Terutama dari pantai selatan. Masyarakat pantai selatan dari sejak tuntutan atas dua opsi ini digulirkan, juga sangat memahami bahwa realisasi baik itu pemekaran ataupun pemindahan ibukota bukanlah harus dilakukan sesegera mungkin. Sebagaimana prosedurnya, pemekaran harus melalui berbagai proses tahapan untuk sampai pada suatu keputusan politik dalam bentuk UU oleh Pemerintah Pusat bersama DPR RI. Dan setidaknya proses itu memakan waktu dua atau tiga tahun lamanya.

Demikian pula jika pilihannya berdasarkan keputusan DPRD maupun Pemkab sendiri, adalah pemindahan ibukota, jadi justru itu kalau tidak mulai ketika itu, lalu kapan lagi baru bisa terwujud. Itu yang saya ingatkan ketika itu. Memang bukan suatu yang bersifat mendesak. Tetapi saya gariskan itu adalah suatu keharusan.

Terhadap Legislatif, Apa Komentar Anda?
Perlu digarisbawahi, bahwa masyarakat pantai selatan pun memahami baik pemekaran ataupun pemindahan butuh proses waktu yang wajar. Sebab bagaimanapun kedua pilihan itu sama-sama membutuhkan biaya dan waktu. Namun perlu saya kemukakan, komentar ini juga saya sampaikan ketika itu sekaligus menanggapi dan setuju dengan statemen Muhammad Tawik Amd (Anggota DPRD Kabupaten Pontianak dari PKB, pen). Dikatakan, jelas proses itu sudah harus dimulai sejak saat itu. Pemikiran saya, jika memang kemudiannya aspirasi dari masyarakat pantai selatan sudah sedemikian rupa dan disampaikan secara formal kepada para wakil rakyat, maka saya rasa tidak ada alasan bagi pihak legislatif (DPRD Kabupaten Pontianak, Pen) untuk tidak mengagendakan pembahasan terhadap aspirasi ini bersamaan dengan pembahasan RAPBD Tahun 2005 ketika itu.

Alasan Anda?
Sebab di sini akan menjadi bukti nyata, apakah memang ada itikad baik dan kemauan politik baik dari DPRD maupun Pemkab untuk mewujudkan aspirasi ini. Tidak hanya sebatas statemen atau janji saja dari para wakil rakyatnya maupun pemkab agar apa yang menjadi harapan masyarakat tidak terombang ambing. Dan sekaligus menunjukkan adanya suatu kepastian, jangan hanya untuk konsumsi politik menjelang pemilu saja para wakil rakyat yang duduk di Dewan. Terutama mereka yang berasal dari daerah pemilihan pantai selatan ini, untuk berani dan bersemangat menjanjikan akan memperjuangkan pemekaran kepada masyarakat. Namun setelah duduk lantas lupa dengan komitmen politiknya.

Demikian pula untuk pihak pemkab. Dalam hal ini Bupati Pontianak. Sebab kondisi masyarakat di akar rumput saat itu sudah semakin sulit. Dan ke depan akan semakin bertambah sulit apalagi gelombang ancaman PHK sudah semakin terlihat yang berarti akan menambah jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan masyarakat. Maka mau tidak mau, suka atau tidak suka para wakil rakyat maupun bupati harusnya dapat mengambil suatu kebijakan yang diimplementasikan ke dalam suatu keputusan politik. Sehingga memberikan kepastian kepada masyarakat.

Saya kira, itupun jika para wakil rakyat maupun eksekutif tidak ingin hilang kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat di pantai selatan yang telah lama mendambakan keputusan politik itu.

Pernyataan Bupati Pontianak Tersebut Bisa Anda Yakini?
Saya dan kawan-kawan sangat menyambut baik statemen Bupati Pontianak saat itu. Bahwa opsi pemekaran ataupun pemindahan membutuhkan kajian mendalam. Namun, saya harap statemen tersebut jangan justru dijadikan alasan untuk menunda prosesnya. Sebab, sudah jelas bahwa aspirasi dan kehendak utama yang sudah lama diinginkan masyarakat pantai selatan sebenarnya adalah pemekaran. Sedangkan usulan pemindahan ibukota hanyalah sebuah tawaran alternatif kedua jika baik eksekutif, legislatif ataupun masyarakat di wilayah utara kurang mau merelakan wilayah selatan untuk memisahkan diri menjadi kabupaten sendiri yang otonom.

Tanggapan Anda?
Nah, menanggapi tentang komentar Bupati berkaitan dengan faktor pembiayaan terhadap pemindahan ibukota, saya kira gambaran yang disampaikan ketika itu oleh Bupati Pontianak, agak berlebihan. Bupati memperkirakan anggaran pembebasan tanah sekitar Rp 45 Milyar, karena setahu saya, banyak tanah milik pemerintah kabupaten yang terdapat di wilayah Sungai Raya yang cukup luas, khususnya di ruas Jalan Adi Sucipto yang tidak semuanya digunakan. Maupun di Rasau Jaya, sehingga tidak perlu harus membebaskan atau membeli tanah-tanah lain. Juga di sungai Kakap, yang sudah ada digunakan saja untuk membangun perkantoran sehingga anggaran hanya digunakan untuk pembangunan fisik kantor maupun fasilitasnya.

Maksudnya?
Begini. Kan, lagi pula standar harga ketika itu yang diumpamakan bupati terlampau tinggi, untuk Jalan Adisucipto saja kalaupun masih harus ada yang dibebaskan harga standar hanya berkisar Rp 40 sampai Rp 60 Ribu saja per meternya. Lain halnya di Jalan Ahmad Yani II. Namun, tidak perlu dibangun di jalur ini karena jalur ini lebih cocok untuk daerah bisnis, pergudangan, perumahan atau pemukiman dan kurang cocok untuk daerah perkantoran. Lagi pula lebih baik konsep perkantoran bersifat menyebar ke beberapa kecamatan yang berdampingan dengan Sungai Raya. Misalnya, untuk Dinas Perhubungan lebih cocok berada di daerah Desa Kapur oleh karena dibuat Jembatan Kapuas II dan dihubungkan dari jalan Trans Kalimantan serta terminal terpadu di Sungai Ambawang sehingga fungsinya akan lebih maksimal.

Demikian pula untuk Dinas Ketenagakerjaan akan lebih cocok berada di daerah antara Desa Limbung dan Desa Kuala Dua, mengingat konsentrasi pekerja lebih banyak di wilayah ini. Sedangkan yang terpusat menjadi satu cukup Kantor Bupati, Kantor Bappeda, Kimpraswil, Gedung DPRD, Kantor Diknas. Ini misalnya.

(Tanggapan Muda Mahendrawan ketika itu didukung oleh beberapa elemen aktifis masyarakat di kawasan pantai selatan. Antaranya, Iqbal Asraruddin SE dari Lembaga Studi Pembangunan Ekonomi Pedesaan, Fazri Lopa Iskandar SP dari Lembaga Pemantau Kebijakan Publik Daerah Otonom, dan Drs Dede Junaidi dari Lembaga Pemantau Daerah—LPPD Kabupaten Pontianak, Pen).

Sejak Kapan Sebetulnya Keseriusan Mengusung Kabupaten?
Sebetulnya dalam tahun 1997 untuk pemekaran Kabupaten Pontianak sudah pernah dikaji secara komperehensif oleh sebuah Tim yang dibentuk Pemda Kabupaten, waktu itu yang otomatis telah pula membebani anggaran APBD periode itu, dan hasilnya jelas dan tegas telah merangkum dan merekomendasikan untuk melaksanakan pembentukan tiga kabupaten sekaligus. Masing-masing Kabupaten Mempawah ibukotanya di Mempawah, Kabupaten Landak ibukotanya di Ngabang, dan Kabupaten Kubu ibukotanya di Rasau Jaya.
Pada waktu itu DPRD Kabupaten Pontianak juga membentuk Tim Pansus yang meneliti dan mengevaluasi pemekaran. Hasil rekomendasi inilah yang menjadi dasar pertimbangan DPRD kala itu melalui mekanisme Sidang Paripurna pada 1 Juni 1998 mengeluarkan sebuah Keputusan Politik Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Menyetujui dan Menerima Pemekaran Kabupaten Pontianak menjadi tiga kabupaten tersebut.

Maka ini berarti kajian yang dilakukan saat kemudian itu hanyalah sebuah kajian lanjutan untuk penyesuaian dan pemutakhiran data dalam kurun waktu sejak 1997 hingga saat 2005. Dengan begitu, sehingga tidak terlalu perlu biaya yang besar dan jangka waktu yang terlalu lama.

Mereview Kembali Pemaparan Kritis Anda Tentang Dua Opsi Terdahulu. Sepertinya Itu Menjadi Pokok-pangkal Kemudian Diseriusinya Pembentukan Kabupaten Kubu Raya Ini. Bisa Diceritakan?
Dulu saat saya merenungkan, kemudian menghasilkan wacana dua opsi tersebut, yang melatarbelakangi perlunya dua opsi itu, sebagaimana telah saya jelaskan sebelum ini, adalah akses keadilan publik. Multi efek di segala bidang kehidupan, apakah itu ekonomi, sosial, budaya, hankam, politik dan hukum.

Akan tetapi, terpikirkan oleh saya. Kenapa sudah berulang kali diperjuangkan untuk dua opsi itu oleh para penggagas dan gagasan sebelum yang saya wacanakan ini, selalu gagal. Maka kemudian saya mempunyai pemikiran begini, bahwa dalam mengusung perjuangan selalu cenderung dititipkan kepada elit politik menengah ke atas, katakanlah kaum terpelajar di perkotaan saja. Sehingga selalu dijadikan alat bargaining kepada struktur kekuasaan untuk kepentingan sesaat. Atau dengan kata lain, tidak dilibatkannya secara luas, langsung dan aktif, para pemimpin formal yang memiliki derajat legitimasi kuat dan riil. Jadi, bukan yang sekedar mengatasnamakan rakyat belaka dalam perjuangan itu.

Akibat kondisi inilah, sehingga proses penguatan publik dan kekuatan sosialisasi minim dan mudah dipatahkan serta dibenturkan antar elemen masyarakat dengan cara isu-isu tudingan klasik untuk kepentingan politik seseorang dan kelompok tertentu saja.

Nah, ketidakrelaan para pengambil kebijakan atau struktur kekuasaan maupun para elit politik dan kroni kekuasaan di kabupaten induk untuk melepaskan wilayah pantai selatan, mengakibatkan gerakan sosialisasi dan penguatan publik terhadap perspektif pemekaran wilayah ini menjadi sangat sulit dan mudah dipatahkan dengan isu yang tak lagi populer.

Lalu Konkritnya Bagaimana?
Saya melihatnya begini, ya. Pembodohan dan penyesatan berpikir elemen masyarakat di akar rumput, misalnya, menjanjikan pembagunan secara muluk-muluk dan berbagai cara lainnya yang bersifat pembohongan publik secara besar-besaran. Misalnya, isu bahwa pemekaran justru akan menghambat pembangunan karena Anggaran Dana APBD akan disedot habis untuk proses pemekaran dan membangun kantor-kantor saja, sedangkan masyarakat tidak akan mendapatkan apa-apa.

Contoh lebih ekstrem lagi saya kira, mengarah kepada sentimen kesukuan dan bersifat feodalistik. Misalnya dengan kerajaan dan sebagainya.

Beranjak Dari Itu, Bagaimana Konsep Perjuangan yang Diusung?
Maka untuk itu, adalah dengan memberdayakan para pemimpin formal di akar rumput yang mempunyai derajat legitimasi ril dan jelas, mereka kan sebagai garda terdepan yang terlibat secara luas, langsung dan aktif. Ini maksudnya antara lain menghindari terlampau banyak pemain-pemain, dengan mengedepankan demokratisasi yang sebenarnya.

Maka untuk itulah, kita mengupayakan kosep perjuangan yang lebih bersifat kolektif dan kesejajaran. Ini semata keinginan kuat dan bersama dalam melawan ketidakadilan dan pembodohan yang dialami dan terjadi selama ini. Bukan perlawanan frontal maksudnya. Namun, semangat yang dinyalakan adalah semata untuk memperbaiki tingkatan taraf hidup masyarakat akibat tidak seimbang dan meratanya akses publik dengan struktur kekuasaan.
Itu saya kira.

Sampai Sejauh Itu, Bagaimana Perjalanan yang Ditempuh dalam Memperjuangkan Dimekarkannya Kembali Kabupaten Pontianak. Kan Sebelumnya Sudah Dimekarkan, dan Terbentuknya Kabupaten Landak.
Harus diakui jujur. Bahwa sudah sejak dulu, puluhan tahun saya hitung, perjuangan yang dilakukan selalu kandas. Gagal. Kenyataan ini lantaran perjuangan ke arah itu diusung secara terkotak. Dan bahkan dalam tidak satu gerakan kolektif. Maka dengan mudah dimentahkan. Bahkan, katakanlah bahasa indahnya sebagai suatu yang layu sebelum berkembang.

Faktor itu ditunjang pula dengan faktor lainnya, baik infiltrasi dari luar yang sengaja menghambat, maupun faktor lain yang secara alamiah terjadi.

Lebih kentara, kegagalan itu disebabkan di mana dalam mengusung perjuangan selalu cenderung dititipkan kepada elit politik menengah ke atas, misalnya kaum terdidik di perkotaan. Sehingga selalu dijadikan alat bargaining sebagaimana terdahulu saya kemukakan. Dan itu bersentuhan kepada struktur kekuasaan saja, yang jelas untuk kepentingan sesaat. Atau dengan kata lain, tidak dilibatkannya secara luas, langsung dan aktif para pemimpin formal yang jelas-jelas mempunyai derajat legitimasi kuat dan ril. Artinya, bukan mereka yang sekedar mengatasnamakan rakyat belaka di dalam gerakan itu.

Maka, dengan cara demikian, sehingga proses penguatan publik dan kekuatan sosialisasi minim sehingga gampang dipatahkan dan dibenturkan antar elemen masyarakat dengan isu tudingan klasik dan murahan, kepentingan politik orang tertentu dan kelompok tertentu saja.

Bagaimana Anda Melihat Posisi Stake Holder di Kabupaten Induk Semula dengan Keadaan yang Demikian?
Jadi jelas. Ketidakrelaan para pengambil kebijakan dalam hal ini struktur kekuasaan maupun para elit politik dan kroni kekuasaan di kabupaten induk untuk melepaskan wilayah pantai selatan terasa gerakan sosialisasi dan penguatan publik terhadap perspektif pemekaran wilayah ini menjadi sangat sulit dan mudah dipatahkan. Inilah yang saya maksudkan dengan pembodohan dan penyesatan berpikir elemen masyarakat di akar rumput tadi.

Kan untuk menanggapi itu semua yang diumbar adalah janji muluk untuk memberikan perhatian secara maksimal kepada daerah selatan ini.

Saat Itu Anda Seakan Tengah Berhadapan dalam Suatu Dinamika kebijakan Pemekaran Wilayah. Bisa Dijelaskan Kondisi Demikian?
Ya. Ini kan terkait Revisi PP 129/2000. saat itu, dalam beberapa pesan terakhir, terutama setelah penyampaian pidato Presiden SBY di hadapan seluruh anggota DPD-RI tentang kebijakan berkaitan pemekaran wilayah, cukup membuat keresahan dan kegelisahan banyak kalangan di masyarakat. Terutama di wilayah-wilayah, baik di Kalbar maupun seluruh Indonesia, yang saat itu sedang menjalankan agenda pemekaran. Terlebih prosesi Kubu Raya ini.

Nah, Pak SBY sebagaimana pidato tersebut, menyampaikan beberapa hal krusial. Di antaranya akan menata ulang kebijakan pemekaran wilayah karena dipandang banyak daerah otonom baru hasil pemekaran, terutama pemekaran kabupaten, belum menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang berarti dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu Pak SBY melontarkan wacana tentang penundaan pembahasan terhadap sepuluh daerah yang sudah diusulkan melalui RUU-Usul Inisiatif DPR-RI beberapa waktu sebelumnya, baik di Pulau Sulawesi, Sumatera, Jawa Barat, dan beberapa kawasan timur Indonesia.

Maka ketika itu, jika wacana tersebut disepakati dan disetujui, konsekuensinya seluruh proses pemekaran daerah yang telah diusulkan ke pusat akan terpending. Bahkan terhenti sampai waktu yang belum ditentukan. Maka juga sangat jelas ini akan mengganggu dan menghambat agenda pemekaran di berbagai daerah, termasuk di Kalbar dengan Kubu Raya ini.

Bagaimana Anda Menanggapinya?
Sebenarnya apa yang dikemukakan SBY dalam pidato tersebut barulah sebatas pada wacana kebijakan, belum pada implementasi, dan terbukti hampir sebagian besar kalangan baik di DPR-RI maupun berbagai kalangan di daerah-daerah keberatan dan mengkritik wacana kebijakan yang disampaikan Presiden tersebut. Termasuk beberapa pimpinan DPR-RI pun dengan tegas menyatakan kebijakan itu sangat tidak tepat. Sebagian kalangan DPR lainnya bahkan memberikan statemen yang lebih keras, dan menilai bahwa pemerintah tidak bisa melakukan penghentian dan penundaan tersebut karena berbagai argumen mendasar.

Akhirnya terbukti tak lama berselang muncul statemen dari sekjen depdagri yang tegas menyatakan bahwa pembahasan usulan pemekaran RUU-Usul Inisiatif atas 10 daerah yang telah disetujui tetap dilanjutkan prosesnya, dengan beberapa persyaratan tambahan sebagai penyempurnaan dan langkah selektif pemekaran.

Dengan Demikian, Bagaimana Anda Memahaminya Kemudian?
Jadi jelas, agar seluruh masyarakat luas memahaminya termasuk kita di Kalimantan Barat, bahwa tidak benar proses pemekaran daerah dipending atau dihentikan. Melainkan hanya ditata dan diperketat dengan penambahan beberapa persyaratan. Itu semua dengan maksud agar tidak terjadi lagi hal-hal yang berpotensi menimbulkan berbagai persoalan pasca pemekaran daerah. Misalnya, tentang batas-batas wilayah, penyerahan aset dari Induk ke kabupaten baru, bantuan dana dari kabupaten induk dan propinsi, dan beberapa hal krusial lainnya.

Penataan ini dilakukan mengacu pada hasil evaluasi yang dilakukan Depdagri terhadap 2 Propinsi, 40 kabupaten, dan 15 kota hasil pemekaran antara tahun 1999 hingga 2004.

Himbauan Anda kepada Komponen Masyarakat yang Sudah Begitu Antusias untuk Pemekaran Itu Sendiri?
Maka ketika itu, kepada seluruh elemen masyarakat saya katakana kita tak perlu resah, bimbang dan gusar. Karena ini cuma proses normal sebagai langkah perbaikan atau penyempurnaan prosedur formal dari proses pemekaran saja. Dan khusus di Kalimantan Barat ini, seperti saat itu Calon Kabupaten Kayong Utara yang ketika itu telah disetujui diajukan RUU Inisiatif, juga Calon Kabupaten Kubu Raya yang telah selesai di tingkat lokal dan saat itu masih menunggu Tim DPR-RI serta Tim DPOD untuk proses survey, serta yang kemudian berproses di tingkat lokal yaitu Kabupaten Sambas Utara, Kapuas Hulu atau lainnya. Bahkan usulan pemekaran Provinsi Kapuas Melawi Raya yang mulai diusung 5 kabupaten di sana.

Penataan ini terkait pula penerbitan PP baru Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembentukan Daerah untuk mengganti PP 129/2000, karena dipandang ada beberapa aturan di dalamnya yang harus sudah direvisi dan disesuaikan untuk meminimalisir potensi persoalan pemekaran ke depan.

Bisa Dijelaskan Beberapa Materi Pengaturan Persyaratan Baru Itu?
Yang saya ketahui, antara lain, bahwa dalam UU Pemekaran daerah Otonom Baru harus melampirkan pula peta batas-batas wilayah. Jadi dimaksudkan mewajibkan untuk menyelesaikan tata ruang wilayah dulu. Kemudian, juga diatur lebih ketat tentang dana bantuan atau hibah dari kabupaten atau provinsi induk terhadap kabupaten atau provinsi baru selama minimal 2 hingga 3 tahun yang besarnya dari DAU, agar konsisten dan tidak menyulitkan dalam implementasinya pasca pemekaran seperti masa-masa yang lalu.

Dengan begitu, maka ke depan kemudiannya diatur dan tercantum dalam setiap UU Pemekaran Daerah bahwa apabila setelah pemekaran daerah kabupaten induk maupun propinsi tidak konsisten menyerahkan bantuan dana dari DAU-nya, maka untuk tahun berikutnya dapat langsung dipotong oleh pemerintah pusat sebesar 5 persen sesuai ketentuan untuk diserahkan kepada kabupaten baru hasil pemekaran.

Bagaimana Anda Menilai Hal Itu?
Hal ini tentu lebih baik untuk menjamin kelangsungan dan kelancaran proses penataan daerah kabupaten baru. Selain itu bukankah diatur pula tentang penyerahan aset-aset daerah maupun personal kepegawaian dari induk ke kabupaten baru yang lebih memberikan jaminan dalam implementasinya pasca pemekaran.

Sejauh Itu, Anda Katakan ”Bukan Mutlak Salah Daerah Otonom Baru” dalam Kerangka Penyelenggaraan Kemudian. Maksudnya?
Begini. Dengan demikian, dapat dicermati bersama bahwa pada kenyataanya apa yang menjadi latar belakang tidak berkembangnya daerah kabupaten baru, ini berdasarkan hasil evaluasi Depdagri, umumnya lebih banyak bukan disebabkan oleh kabupaten baru itu sendiri. Melainkan justru penyebabnya lebih besar datang dari kabupaten induk yang kurang konsisten dan terkesan mempersulit kelancaran kabupaten baru untuk mengembangkan daerahnya, sehingga menghambat pula kreativitas kabupaten baru untuk menggali segala potensi daerah baik SDA maupun SDM yang dimiliki.

Bahkan dengan hal tersebut, yang patut dipertanyakan adalah sejauhmana supervisi yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun propinsi terkait dalam membina daerah baru tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undangnya. Ada kesan dan kecenderungan setelah berhasil terbentuk dan mekar, kabupaten baru tersebut tidak lagi perlu diperhatikan dan dibina, sehingga seolah diabaikan begitu saja. Makanya menjadi sulit berkembang. Dan, permasalahan itu lebih berpusat pada pada persoalan-persoalan teknis administratif, di mana persoalan-persoalan tersebut sebenarnya dapatlah diselesaikan tanpa mempengaruhi tujuan utama dari pemekaran yang dilakukan. Ada kesan Pemekaran dilakukan lebih karena alasan politis ketimbang kondisi objektif.

Bagaimana Menurut Anda?
Berdasarkan pertimbangan tadi, saya menilainya adalah sangat tidak tepat jika dilakukan penundaan atau moratorium pengajuan RUU Pemekaran Daerah. Bukankah, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memaksimalkan fungsi lembaga terkait, dalam hal ini DPOD, dalam membidani pemekaran daerah. Jika prosedur dilakukan secara benar maka kekhawatirkan akan kegagalan pemekaran adalah sangat tidak beralasan.

Maka, diharapkan pemerintah tak perlu mencari kambing hitam dari keteledorannya mengelola daerah. Yang harus dipahami bahwa segala sesuatunya adalah sebuah proses yang harus dilalui dan diharapkan pemerintah jangan menyia-nyiakan upaya daerah yang menginginkan memperoleh kesempatan yang sama untuk memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakatnya.

Oleh sebab itu tidaklah bijak memang jika Pemerintah Pusat saat itu berencana menghentikan sementara atau penundaan proses pemekaran daerah. Belum lagi secara substansi, kebijakan seperti itu bertentangan dengan semangat desentralisasi dan demokrasi sesuai amanat UUD 45 dan UU Pemda 32/2004 dan Prinsip-prinsip Hukum Positif yang berlaku. Kan, bagaimana mungkin Hukum Positif sesuai UU 32/2004 dan PP 129/2000 yang masih dan sedang berlaku harus terhenti, meskipun sementar, berlakunya dengan pidato presiden, secara formal dan materil tentu tidak bisa terjadi sebelum dikeluarkan aturan yang setingkatnya baik dalam bentuk UU atau PP

Anda Menilai, Rentang Waktu Penilaian Kurang Proporsional dan Wajar. Maksudnya?
Saya melihatnya begini. Selain itu pula, adalah kurang berkeadilan dan proporsional jika Pempus mengambil kebijakan penghentian sementara proses pemekaran hanya dengan mendasarkan hasil evaluasi yang mengambil sampel 40 kabupaten, 2 propinsi, dan 15 kota tersebut. Sebab, bagaimana pun disadari daerah otonom baru hasil pemekaran yang dievaluasi itu semuanya baru berjalan lebih kurang 4—5 tahun masa pemerintahan. Tentu bukanlah rentang waktu yang proporsional dan wajar untuk menyimpulkan berhasil atau gagalnya daerah kabupaten baru tersebut untuk menjalankan otonomi daerahnya.

Dengan begitu sehingga vonis kegagalan daerah otonom baru itu jelas terlalu prematur. Setidaknya butuh waktu minimal 15 tahun barulah proporsional untuk dinilai dan disimpulkan berhasil tidaknya tujuan pemekaran itu.

Jadi, Menurut Anda?
Ya. Bagaimanapun daerah kabupaten baru harus dibebankan untuk mulai menata dari masyarakatnya, birokrasinya, dan sarana prasarana infrastruktur mendasarnya. Ditambah lagi memang kondisi perekonomian indonesia secara umum masih sangat terpuruk akibat krisis yang masih berkepanjangan. Sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran meningkat drastis.

Jelas sangat sulit sekali untuk mengembangkan potensi daerahnya dalam kondisi seperti ini. Jadi logis saja kalau daerah baru sulit berkembang dengan waktu relatif singkat, sehingga wajar saja jika ada penilaian daerah baru belum menunjukkan perkembangan sebagaimana yang diperoleh dari hasil evaluasi pemakaran wilayah itu

Menyangkut Beban Keuangan Negara, Bagaimana?
Masih dalam paparan yang diutarakan Presiden SBY tadi, ya. Kita tentu berharap hasil evaluasi tersebut bukannya dijadikan justifikasi bagi pemerintah pusat (presiden) untuk menghambat proses pemekaran daerah. Apalagi kalau salah satu alasannya dianggap pembentukan daerah otonom baru membebani keuangan negara.

Jelas suatu pendapat yang selain tidak tepat juga dirasakan sangat kurang bijak. Dan adalah tidak adil jikalau pembentukan daerah dianggap justru menjadi kambing hitam yang turut membebani anggaran negara. Bukankah dengan terbentuknya daerah otonom baru sebenarnya yang terjadi adalah semakin besar beralihnya pengelolaan keuangan negara dari Pempus ke daerah-daerah. Dan jelas kurang tepat dikatakan membebani keuangan negara (APBN).

Bisa Anda Jelaskan, Mengapa?
Ya. Karena keuangan negara selama ini lebih banyak terbebani oleh pembayaran hutang luar negeri dan tidak efisien. Atau pemborosan belanja-belanja operasional, aparatur dan belanja-belanja lainnya yang tidak bersentuhan langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini yang harusnya dipangkas lebih dulu. Dengan kata lain, seharusnya reformasi birokrasi yang lebih tepat diutamakan dan diupayakan. Apalagi bertumpuknya beban hutang luar negeri juga tidak lepas dari andil kebijakan pusat.

Sedangkan pembentukan daerah otonom baru jelas bersentuhan langsung dengan kebutuhan hajat hidup rakyat banyak di daerah. Sehingga sangat ironis kalau dianggap membebani keuangan negara. Ini justru sebuah anomali.

Jadi, Maksud Anda?
Begini. Jangan sampai karena ketidakrelaan Pempus itu dijustifikasi sedemikian rupa sehingga menghilangkan kesempatan dan peluang bagi daerah-daerah untuk mengambil hak bagian dan kesempatan yang sama sebagai bagian NKRI demi untuk memajukan daerahnya. Termasuk Kalimantan Barat ini.

Sejak 1999 hingga 2004 lalu, telah terbentuk daerah otonom baru terdiri dari 7 propinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota. Sampai pada saat sebelum bersamaan disahkannya Kabupaten Kubu Raya ini, saat itu sudah ada delapan puluhan usulan daerah baru, di mana 31 daerah usulan (ketika itu termasuk Kayong Utara, Kalbar, Pen) yang telah diusulkan melalui RUU Usul Inisiatif DPR. Namun sampai pada saat itu baru sepuluh daerah yang telah memenuhi persyaratan untuk diajukan RUU Inisiatif kepada pemerintah dan dibahas bersama. Sedangkan 19 lainnya, termasuk Kubu Raya ketika itu, baru dibahas kembali dalam persidangan akhir tahun 2004. Di samping itu juga masih harus terlebih dulu diselesaikan survey oleh Tim DPOD dan Tim DPR RI serta kajian akademisnya.

Itu yang terjadi sampai saat itu.

Untuk Itu, Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Nah, itulah. Mungkin perlu dibangun paradigma bersama. Karena itu, seluruh elemen masyarakat Kalimantan Barat, baik elit maupun semua lapisan masyarakat, di semua kabupaten atau kota, seharusnya terbangun suatu paradigma dan pemikiran yang sama. Selaras dan sinergis, bahwa adanya keingin dan usulan pemekaran atau pembentukan kabupaten seperti yang sedang berjalan semata-mata bukannya hanya untuk kepentingan kemajuan kabupaten yang bersangkutan saja. Melainkan, justru untuk kepentingan kemajuan Kalimantan Barat secara keseluruhan.

Karena semakin banyak jumlah daerah otonom di Kalimantan Barat, maka akan berdampak semakin memudahkan dan terbuka peluang untuk memajukan seluruh daerah secara bersama dan sinergis. Tentu, sangat berpengaruh pula pada kondisi ekonomi regional Kalimantan Barat secara keseluruhan. Ini diharapkan akan menghilangkan dan mengurangi ego masing-masing kabupaten atau kota. Dan justru mampu bersinergi untuk lebih maju.

Dalam Skala Besar, Bagaimana Paradigma Tersebut?
Begini. Jadi usulan pembentukan kabupaten-kabupaten maupun propinsi, dalam hal ini wacana atau usulan Propinsi Kapuas Melawi Raya yang sekarang ditegaskan dengan Propinsi Kapuas Raya, yang harus dipahami dan menjadi paradigma bersama adalah untuk kepentingan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah Kalimantan Barat semula secara keseluruhan. Baik yang berada di wilayah calon kabupaten atau propinsi baru, yaitu ada lima kabupaten di kawasan timur Kalimantan Barat, maupun calon kabupaten atau propinsi induk.

Jadi bukan hanya untuk kepentingan kemajuan di daerah baru. Melainkan pula memudahkan pelaksanaan pelayanan dan proses pembangunan di calon kabupaten atau propinsi induknya, karena dengan pemekaran membawa konsekuensi semakin mengecil daerah cakupan dan penduduk yang harus ditangani, maka akan lebih fokus dan memudahkan dalam mengurus dan memperhatikan pelayanan dan pembangunannya.

Jadi bagi rakyat di kedua wilayah, baik baru maupun induk atau lama, akan sama-sama dirasakan bermanfaat, yang pada akhirnya lebih terbuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya masing-masing. Untuk itu, apa yang sempat diwacanakan Presiden SBY itu anggaplah sebagai cambuk kecil yang justru menjadi motivasi semua elemen daerah-daerah yang menjalankan agenda pemekaran untuk lebih mempersiapkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, apakah itu calon kabupaten atau propinsi induk maupun calon kabupaten ataukah propinsi baru, agar aspirasi dan kehendak untuk itu dapat terwujudkan sesuai harapan masyarakat. Sebagaimana halnya yang dialami cikal bakal Kabupaten Kubu Raya ketika itu.