SEMULA BERANJAK DARI DESA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Anda Mengatakan, Otonomi Itu Berada di Desa. Bisa Dijelaskan?
Begini. Sesuai amanat dan perintah sebagaimana yang telah diatur dalam PP 72/2005 tentang Desa, dalam Pasal 68 yang merupakan penjabaran Ketentuan UU 22/1999 yang telah dirubah dengan UU 32/2004, maka tegaslah bahwa Pemerintah Kabupaten tidak bisa tidak harus menyusun Perda-perda berkaitan dengan Otonomi Desa. Termasuk di dalamnya Perda Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai salah satu sumber keuangan desa.
Hal ini mengingat perlu landasan hukum kuat untuk menganggarkan ADD dalam pos APBD Kabupaten. Terutama sangat penting karena berkaitan dengan mekanisme pengajuan pencairan ADD, pengelolaannya kelak di tingkat desa, monitoring pengawasan dan supervisi, serta mekanisme pertanggung jawaban ADD sebagai salah satu bentuk desentralisasi keuangan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Pemerintahan Desa terdiri dari Kepala Desa dan BPD sendiri nantinya harus mengajukan berdasarkan APBDes yang tertuang dalam Peraturan Desa (Perdes) tiap-tiap tahun anggaran kepada Pemkab sebelum dana ADD itu dicairkan ke rekening yang ditunjuk.
Sebetulnya, Bagaimana Posisi dari ADD Itu?
Saya melihatnya, begini. ADD ini adalah ibarat DAU-nya desa tiap Tahun Anggaran, sebagaimana kabupaten dalam mengajukan dan menyampaikan APBD ke Depdagri melalui Gubernur, setelah diperiksa dan disetujui sudah tidak ada yang perlu direvisi barulah dana yang bersumber dari DAU maupun DAK atau lainnya baru bisa dicairkan ke Pemkab.
Makanya, jika ADD yang ibarat DAU-nya desa itu sudah terealisasi, barulah bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Desa itu dirasakan benar-benar ada secara nyata. Sebab, keberadaannya sebagai sebuah pemerintahan paling terbawah menjadi benar-benar difungsikan dan diberdayakan. Tidak seperti sebelumnya selama ini, yang nyaris tak punya kewenangan mengelola keuangan. Kalaupun ada, sifatnya lebih dianggap subsidi atau bantuan saja, yang seolah-oleh tergantung kebaikan hati Pemkab. Dan jumlahnya pun sangat minim sekali untuk dapat menjalankan fungsi pelayanan Pemdes. Apalagi untuk pemberdayaan masyarakat, jelas tak mungkin terakomodir secara proporsional dan optimal.
Bagaimana Kreatifitas Menyangkut ADD Tersebut?
Begini. Waktu itu saya katakana, kalau ternyata Pemkab sampai saat itu ada yang belum mengusulkan Perda-perda Desa, termasuk ADD tersebut, maka legislatif atau DPRD Kabupaten harus segera menggunakan Hak Inisiatif untuk mengusung Perda tersebut sesuai kewenangan dan fungsi legislasi yang dimilikinya. Mengapa? Sebab, Perda-perda Desa ini diharapkan sudah bisa disahkan setidaknya sebelum Tahun Anggaran 2006 ketika itu berakhir. Ini maksudnya ketika itu, jangan sampai ketika telah masuk Tahun Anggaran 2007, ternyata Perda itu belum terealisir, sehingga ADD tak punya landasan hukum kuat dianggarkan dalam APBD-nya.
Meskipun dengan Peraturan Bupati pun bisa dianggarkan, banyak persoalan dan konsekuensi hukum yang berpotensi muncul menyangkut mekanisme pencairan, pengelolaan, pengawasan, dan pertanggungjawabannya. Karena jelas sifat berlakunya dan kekuatan mengikatnya berbeda antara Perbup dan Perda. Dikhawatirkan, punya implikasi kurang baik dalam implementasinya kelak di desa-desa yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada publik.
Anda Telah Melakukan Penyadaran Bagi Pemdes Akan Hak Mereka atau ADD. Bagaimana Perkembangannya?
Dalam perkembangannya, untuk di Kalimantan Barat, berdasarkan informasi dari media, saat ini sudah berjalan cukup baik. Mulanya dimulai oleh dua kabupaten, Pemerintah Kabupaten Pontianak dan Pemerintah Kabupaten Melawi yang pada tahap awal telah mengusulkan Raperda-raperda Desa, termasuk ADD dan paling awal telah siap melakukan pembahasan bersama Dewan-nya.
Dalam perkembangan berikutnya, Pemkab Sambas yang sebelum PP 72/2006 terbit, sudah menganggarkan ADD sejak tiga tahun sebelumnya. Namun hingga tahun berlalu tadi, penganggarannya masih berdasarkan pada Peraturan Bupati, bukan Perda.
Anda Mengatakan, Demokrasi Sesungguhnya Ada di Desa. Bisa Dijelaskan?
Begini maksudnya. Adalah tak dapat disangkal, berbicara soal hajat hidup rakyat banyak, tentu lebih kepada mereka yang bermukim di pedesaan. Saya melihat desa sebagai sebuah kelembagaan publik tentu perlu diberi peluang dan kesempatan untuk mampu mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan begitu, sehingga muncul ruang untuk berkreatifitas menggali potensi yang dimiliki. Oleh karena itu otonomi desa sebenarnya adalah sebuah keniscayaan jika kita tidak ingin dikatakan tidak memerdekakan rakyat kita sendiri. Maka saya katakan desalah otonomi yg sebenar-benarnya.
Karena itu, pembicaraan tentang desa selama ini seringkali menjadi konsumsi politis yang hanya berujung kebijakan yang dangkal. Saya melihatnya jauh dari harapan masyarakat desa itu sendiri.
Menurut Anda, Apa Bedanya Desa Dulu dengan Desa Sekarang?
Saya melihatnya begini, ya. Desa masa lalu punya wajah kehidupan yang cukup suram. Kesan pembinaan tidak lebih sebatas berefek pada semakin memperkokoh kekuatan modal dan pundi-pundi segelintir orang dan kelompok yang dekat dengan elit-elit politik di daerah. Sedangkan sasaran kepada massa rakyat hanya mampu terbuai dengan berbagai jargon politis yang nyata-nyata tak mampu membawa perubahan signifikan bagi proses kemandirian desa untuk mampu mengatur dan mengelola serta menghidupi dengan sumber daya potensi yang telah tersedia di wilayahnya.
Desa masa lalu, selama masa rezim Orde Baru, dengan pola sentralistik, hampir semua kewenangan telah diatur dan bertumpu dari jenjang pemerintahan di atasnya, yakni daerah dan pusat. Desa hampir tak diberikan kewenangan dan keleluasaan yang proporsional untuk mengelola dan mengatur keuangannya sendiri.
Apa Dampak Sentralistik Bagi Desa?
Nah, begini. Wajarlah jika seringkali kita temukan betapa tidak berdayanya sebuah komunitas desa ketika menghadapi para kaum kapitalis yang lenggang kangkung mengelola, menggali, dan membawa potensi sumber daya alam yang ada. Dan setelah ketika masa waktunya tiba dengan telah habisnya kekayaan sumber alam ditinggal begitu saja. Tanpa ada suatu perubahan dari sisi ekonomi maupun sosial di desa itu cenderung stagnan sebelum dan sesudah dieksploitasi habis-habisan.
Rakyat desa terlena dengan umpan yang sebetulnya hanyalah merupakan bagian kecil dari apa yang diambil di wilayahnya. Dampaknya desa dibuat semakin tergantung pada kebijakan pemerintahan di atasnya. Dampak secara sosial kultural kehidupan berdemokrasi menjadi sulit untuk tumbuh karena partisipasi publik di desa untuk turut dalam proses pembangunan dan pemerintahan tak memiliki peluang. Sebab segala kewenangan untuk menggali potensi telah diambil dan diatur dari atas atau yang dinamakan sentralistik. Padahal, rakyat di desa yang lebih tahu apa yang lebih dibutuhkan mereka, apa yang menjadi prioritas kegiatan untuk pemberdayaan masyarakat di desa itu.
Anda Mengatakan, Desa Masa Kini adalah Transisi dari Bantuan ke Alokasi. Bisa Dijelaskan?
Begini, maksudnya. Eksperimentasi hubungan keuangan desa dengan pemerintah kabupaten selama kurun waktu beberapa tahun terakhir tadi, atau sejak digulirkannya Otonomi Daerah dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian berganti UU Nomor 32 Tahun 2004, mengindikasikan masih sangat dominannya kabupaten dalam mengatur policy terhadap keuangan Desa.
Desa masih dipersepsikan sebagai domain kekuasaan politiknya. Maka tidak heran konstruksi hubungan keuangan kabupaten dan desa masih tetap berkonotasi Bantuan Keuangan. Istilah bantuan ini berimplikasi seolah-olah semuanya tergantung dari kebaikan hati kabupaten kepada desa. Pemikiran ini menggambarkan seolah-olah desa sama sekali belum bisa mandiri serta lemah atau tidak akan mampu mengelola keuangan.
Pilihan ini jelas lebih berorientasi kepentingan politik kabupaten atau state oriented, ketimbang memberikan keleluasaan bagi kesejahteraan warga desa atau society oriented. Karakter bantuan ini sudah saatnya bergeser pada penjelmaan dan pengakuan akan adanya hak-hak desa untuk mengatur dan mengelola keuangan dan segala potensi yang dimilikinya. Dan karena Anggaran Dana Desa lebih berkarakter hak, maka mutlaklah untuk ditegakkan dan diwujudkan.
Mungkin Ada Semacam Political Will Pusat?
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah merupakan Dana Alokasi Umum-nya Desa. Jika ada dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka ADD juga merupakan perimbangan keuangan kabupaten dan desa. Saya melihatnya begitu. Nah, dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri tentang Alokasi Dana Desa, itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 163, yang antara lain menyatakan bahwa penggunaan, supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, DAU dan DAK diatur oleh Menteri Dalam Negeri
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mendagri itu, rincian Alokasi Dana Desa yang harus di anggarkan dalam APBD oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota, di antaranya, dari bagi hasil Pajak Daerah yang besarnya paling sedikit 10 persen dari total Pajak Daerah yang dipungut Pemerintah Kabupaten atau Kota. Dari Bagi hasil Retribusi Daerah yang besarnya sebagian dari total Retribusi Daerah yang dipungut Pemerintah Kabupaten atau Kota. Kemudian, dari DAU Daerah yang besarnya 5 hingga 10 persen dari total DAU yang diterima Pemerintah Kabupaten atau Kota, dan dari Bagi Hasil Pajak PBB, BPHTB, PPh, PSDH, DR, IHPH, pertambangan, perikanan yang besarnya antara 5 hingga 10 persen. Serta dari total Bagi hasil Pajak PBB, BPHTB, PPh, PSDH, DR, IHPH, pertambangan, perikanan yang diterima Pemerintah Kabupaten/Kota
Untuk Apa ADD Tersebut Sebetulnya?
Alokasi Dana Desa sebagai DAU-nya desa tersebut, digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Otonomi Rakyat Desa, yang secara langsung di kelola oleh Pemerintah Desa dan Rakyat di Desa dalam bentuk Block Grant tanpa campur tangan Pemerintahan Kabupaten atau Kota
Mengingat selama ini, bantuan pembiayaan dari Pemerintah Kabupaten atau Kota ke Desa sangat minim, bahkan hanya berbentuk gaji atau insentif dan belanja rutin untuk pemerintahan desa saja, tanpa adanya pembiayaan untuk pembangunan desa yang dikelola secara utuh oleh pemerintah desa bersama dengan rakyat di desa. Oleh karena itu, Alokasi Dana Desa merupakan harapan baru bagi desa untuk menjadi mandiri dan otonom dari sisi keuangan dan kesejahteraan rakyat di desa.
Sebagai penegasan saya kira, seiring dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor 03/AP/2005 tanggal 25 November 2005 tentang DAU untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota se Indonesia, maka di dalam DAU untuk masing-masing daerah juga melekat Hak Desa dalam Bentuk Dana Alokasi Desa sebesar 5 hingga 10 persen dari DAU itu.
Bagaimana Realisasi dan implementasi ADD?
Ya. Sesuai SE Mendagri dan PP tentang Desa yang telah secara tegas mengatur tentang ADD, maka berarti untuk pemerintah pusat kebijakan ini telah final untuk diimplementasikan. Maka kemudian, oleh masing-masing pemerintah kabupaten seharusnya mulai dianggarkan dalam APBD-nya. Dan untuk itu pemerintah kabupaten harus segera mulai melakukan langkah-langkah fasilitasi pembinaan, pendampingan bahkan pelatihan-pelatihan bagi aparatur desa. Juga langkah penguatan sosialisasi tentang ADD terhadap elemen masyarakat desa.
Mengapa Demikian?
Ini penting. Karena implementasi ADD harus melibatkan partisipasi publik di desa agar perencanaan, pengelolaan, dan mekanisme kontrol serta pertanggungjawabannya menjadi jelas, transparan, dan akuntabel. Bersamaan dengan itu pemerintah kabupaten secara simultan menyusun perda-perda yang berkaitan dengan keuangan desa. Termasuk Perda ADD sebagai landasan hukum penganggaran ADD dalam APBD kabupaten.
Itu semakin penting, terlebih, dalam ketentuan peralihan PP 72/2005 secara tegas menginstruksikan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Desa yang bertentangan atau tidak sesuai, diganti dan diubah paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkan PP tersebut. Ini kan berarti semua perda-perda lalu tentang desa termasuk pula perda tentang keuangan desa maupun sumber pendapatan lainnya sudah harus diubah atau direvisi dan diganti baru. Termasuklah perda tentang sumber pendapatan desa yang didalamnya include mengatur tentang Alokasi Dana Desa tersebut.
Lebih Jauh, Bagaimana Anda Melihat Hal Itu?
Ada yang harus digarisbawahi. Bahwa menuntut hak, tentu sebaliknya pula harus menjalankan kewajiban. Karena dalam kehidupan berdemokrasi hampir tiada hak tanpa kewajiba. Demikian pula sebaliknya. Sampai di sini sekali lagi saya tekankan, bahwa sudah seharusnya pemerintah di kabupaten-kabupaten untuk dapat segera mengambi langkah-langkah mempersiapkan perwujudan ADD.
Jelas mereka tak perlu lagi menunda-nunda apa yang telah menjadi policy pemerintah pusat ini. DPRD Kabupaten sebagai lembaga wakil rakyat pun sudah seharusnya berkewajiban mendorong terwujudnya realisasi ADD ini melalui pembahasan Raperda untuk dijadikan Perda bersama-sama Pemkab. Bahkan jika perlu, DPRD menggunakan haknya mengajukan usulan Perda berdasarkan Hak Inisiatif yang dimilikinya.
DPRD sebagai Lembaga Aspiratif, seharusnya peka untuk mendesak Bupati agar segera mengajukan Perda-perda yang diamanatkan oleh PP 72/2005 tentang Desa tersebut untuk segera dibuat dan disahkan. Di sini pula teruji, seberapa jauh wakil-wakil rakyat di DPRD Kabupaten memiliki komitmen kuat terhadap pembelaan atas hak-hak hajat hidup rakyat banyak di pedesaan.
Bagaimana dengan Pemerintah Propinsi?
Ya. Di samping itu Pemerintah Propinsi juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan fasilitasi dan koordinasi dengan kabupaten-kabupaten berkaitan dengan policy desentralisasi keuangan desa, yang salah satunya dalam bentuk ADD ini. Bahkan Pemerintah Propinsi, dalam hal ini Gubernur, jelas memiliki hak untuk evaluasi terhadap APBD Kabupaten yang tidak menganggarkan ADD dalam APBD-nya.
Perlu pula menjadi perhatian bagi Kepala Daerah, maupun DPRD Kabupaten, bahwasannya dari seluruh ketentuan pasal dalam PP 72/2005 tersebut hanya ada lima persoalan yang untuk penyusunan Perda-nya masih harus memerlukan atau menunggu adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri. Namun khusus menyangkut persoalan Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari Sumber Pendapatan Desa sesuai Pasal 68, tidak lagi memerlukan atau menunggu adanya Permendagri, sudah bisa untuk segera dibuat Perda-nya.
Jadi, tidak ada lagi alasan untuk menunda penyusunan Perda ADD ini.
Menurut Anda, Bagaimana Gambaran Ideal Desa Masa Depan itu?
Tegas saja, mandiri dan mapan. Itu saya kira. Mengapa? Karena karakter Alokasi Dana Desa (ADD) lebih menunjukkan konotasi adanya pengakuan hak-hak desa daripada bantuan yang merupakan desentralisasi keuangan. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi penyelenggara pemerintah kabupaten, terutama eksekutif untuk segera menyikapi dan mewujudkannya, juga legislator sebagai wakil rakyat yang duduk di DPRD, mutlak harus menyuarakan dan menegakkan apa yang memang menjadi hak dari rakyat di desa-desa
Maksudnya?
Ini dimaksudkan demi menunjang pemerataan, percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa agar mampu mandiri. Dengan demikian, tugas dari kita semua adalah memastikan agar dengan modal awal atau ADD tersebut, desa mampu mengelolanya dengan baik dan tepat, dengan memetakan segala potensi yang ada di desa, modal awal tersebut, dapat menstimulasi upaya terbentuknya sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru, mendorong roda pelayanan publik menjadi lebih optimal dan membangun fondasi demokratisasi desa yang lebih kokoh.
Mengapa Demikian?
Ya, jelas. Karena pada hakikatnya, proses demokratisasi desa dapat berjalan ketika institusi–institusi demokrasi di desa juga terlembagakan secara efektif. Dan dengan ADD, kemungkinan untuk itu lebih dapat tercipta, di mana ruang–ruang komunitas dalam proses pembangunan desa menjadi lebih involved dan participated.
Bahkan dalam konteks yang lebih luas, modal awal tersebut dapat mendorong proses kerjasama antar desa dalam membangun sektor–sektor strategis yang dapat menimbulkan multiplier effect yang lebih luas dan bermanfaat bagi warganya. Bahkan ekonomi dalam skala regional. Dengan demikian, fondasi perekonomian makro di tingkat regional dapat bertumpu pada kekuatan ekonomi baru yang berbasis pada perekonomian desa, atau katakanlah sebagai perekonomian rakyat, yang mandiri dan mapan.