BISNIS RITEL DAN PASAR TRADISIONAL DALAM KRISIS FINANSIAL
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Krisis finansial mulai berdampak pada bisnis ritel (eceran). Lihat saja, akibat daya beli masyarakat menurun, penjualan mereka melorot. Imbasnya, permintaan produk ritel ke pemasok juga mulai tergerus. Memasuki Januari 2009, angka penjualan merosot lantaran jumlah pembeli berkurang. Terutama produk tertentu seperti pakaian. Melihat kinerja penjualan ritel hingga pertengahan Januari, angka penjualan hingga Januari 2009 bakal turun 5% sampai 10% ketimbang Januari 2008. meski begitu, pertumbuhan penjualan ritel sampai akhir 2009 mencapai 15%. Pertumbuhan penjualan ini melambat ketimbang pertumbuhan 2008 yang mencapai 17%.
Agar tidak semakin terpuruk, pengecer berharap pemerintah bisa mengatasi dampak resesi keuangan global yang masih membayangi Indonesia. Peritel tentunya tidak bisa sendirian melawan krisis. Pemerintah harus meningkatkan daya beli masyarakat lagi. Penurunan penjualan ritel ini juga berimbas ke bisnis pemasok ritel. Akibat penjualan ritel merosot, omzet pemasok sepanjang Januari ini bakal turun ketimbang Januari 2008. penurunan hingga 30% lebih. Pada Februari mendatang, diprediksikan pesimis. Omzet masih turun 20%--30%. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penjualan pada Maret bakal menjadi penjualan terburuk. Omzet pemasok bakal semakin menurun, karena trennya memang selalu begitu.
Bisnis ritel masih tetap menjanjikan di tahun 2009. lantaran orang tetap mencari kebutuhan sehari-hari. Yang jadi raja adalah minimarket. Selama perut lapar ritel terus berputar. Semua peritel sudah mengambil ancang-ancang memasuki tahun 2009, lantaran ada peritel baru yang bakal meramaikan pasar. Selama ini peritel modern, baik itu minimarket hingga hipermarket, dicap sebagai kambing hitam mandulnya pasar tradisional bertarung di pasar ritel. Kesan jorok dan semrawut membuat pasar tradisional kalah kelas ketimbang pasar ritel modern. Apakah demikian? Ternyata tidak sepenuhnya benar. Kalau pertumbuhan nilai belanja di pasar tradisional selama 2008 mencapai 21%. Ini jelas lebih baik ketimbang hipermarket dan supermarket yang Cuma sanggup menggapai 20%.
Ada karakteristik unik yang membuat pasar tradisional bisa bertahan di tengah gelombang para pengecer modern. Di toko atau pasar tradisional, konsumen bisa berutang lebih dulu. Maklum, segmen pasar tadisional memang banyak menyasar kalangan bawah. Sudah begitu, belanja di pasar tradisional, menurut konsumen kelas bawah, tidak seboros kalau mereka berbelanja di pengecer modern. Bisa saja, ingin membeli barang X ternyata malah membawa barang Y dan Z. ini yang dihindari konsumen pasar tradisional. Padahal, secara harga bisa saja pasar tradisional lebih mahal. Ini lantaran faktor ambil untung dari para pedagang.
Selain itu ada lagi kelebihan pasar tradisional ketimbang pasar modern. Yakni, soal produk-produk yang segar, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Produk-produk ini termasuk fresh di pasar tradisional. Pasar tradisional juga punya pelanggan yang setia. Dalam hal ini para ibu rumah tangga yang setiap pagi harinya ke pasar tradisional.
Meski begitu, suasana dan sarana yang ada di pasar tradisional hingga sekarang masih kalah jauh dibandingkan dengan peritel modern. Mulai dari tempat yang kotor, parkir yang tidak memadai, hingga banyaknya pungutan liar. Sebetulnya, para pedagang di pasar tradisional sudah berteriak lantang. Pasar tradisional diyakini tidak akan tersingkir oleh pengecer modern. Masing-masing sudah ada segmen pasarnya. Memang, pengecer modern banyak berkutat di kota-kota besar, terutama di Pontianak dan Singkawang. Di luar kawasan itu, masih banyak warga yang pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja. Besarnya sekitar 70%.