Sabtu, 03 Oktober 2009

KIDUNG JAWA DARI ZAMAN KE ZAMAN

Menemukan (Kembali) Jati Diri
Ditulis Ulang dan Adaftasi Oleh: Syafaruddin Usman MHD

PRAWACANA
Jawa adalah sebuah negeri penuh hikmah. Mengail mutiara di antara perbendaharaan Jawa, kita akan menemukan berbagai serat, di antaranya sebutlah Serat Kalatidha (Zaman Kebimbangan), Serat Sabdajati (Kebijakan Abadi), Serat Sabdatama (Nilai-nilai Luhur), Serat Jaka Lodhang (Suara Hati Nurani), Serat Wedharaga (Menemukan Jati Diri), dan tentu sekali Serat Jayabaya, serta Serat Wedhatama yang begitu masyhur itu.

Dari serat-serat itulah, selain hikmah-hikmah hidup, kita juga bisa meresapi apa yang dulu diramalkan yang sekarang ini banyak terbukti kebenarannya. Karenanya, dari kidung atau serat itu semua, atau melalui filsafat Jawa sebagai ajaran luhur warisan leluhur, kita berupaya untuk menemukan kembali jati diri di zaman edan sekarang ini.

Buku kecil dengan judul Menemukan Kembali Jati Diri—Kidung dari Zaman ke Zaman: Warisan Luhur Para Leluhur, ini berupaya untuk merangkul hikmah-hikmah hidup dari filsafat Jawa tersebut., sebagaimana dimaksudkan, mengambil pelajaran dari ajaran luhur warisan para leluhur tersebut.

Diakui bahwa orang Jawa memiliki kearifan tradisional yang bersumber dari sintesa pergumulan sejarah yang telah berlangsung selama berabad-abad. Penghayatan orang Jawa terhadap ritual agama, etos kerja, kepemimpinan, kebijaksanaan, kemasyarakatan, dan lain sebagainya bisa digali melalui filsafat Jawa. Nilai-nilai filsafat ini, sebagaimana termaktub di dalam kidung atau serat, merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta sangat luas.

Pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakekat kebenaran. Nilai-nilai tersebut dituangkan dalam bentuk sesanti, pasemon, sanepa, isbat, perlambang, pralampita, wangsalam, parikan, penyandra, paribasan, bebasan, seloka, adat istiadat dan kepercayaan.

Semoga petikan nilai-nilai luhur yang diwariskan ini berguna bagi renungan batin, sehingga hati kita bisa menjadi lebih mawasdiri.

Bagian I: Serat Kalatidha (Zaman Kebimbangan)
Mangkya darajating praja, kawurjan wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, ponang paramengkawi, kawileting tyas malatkung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dening karoban rubeda
[Saat ini negara kita sudah berada pada titik terendah. Sistem pemerintahan sudah hampir runtuh. Dan semuanya itu terjadi karena tidak adanya sifat keteladanan]

Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas taharja, panekare becik-becik, parandene tan dadi, paliyasing Kalabendu, malah sangkin andadra, rubeda kang ngreribedi beda-beda ardane wong sanagara
[Walaupun kepala negaranya orang yang terbaik, walaupun panglimanya pandai dan para menteri serta pejabat lainnya pun cakap tetap juga tidak dapat menghindari zaman ketidakpastian ini, karena warga negaranya sudah terkontaminasi oleh keserakahan dan keangkuhan]

Katatangi tangisira, sira sang paramengkawi, kawileting tyas duhkita, kataman ing reh wirangi, dening upaya sandi, sumaruna anarawung, pangimur manuara, met pamrih melik pakolih, temah suha ing karsa tanpa weweka
[Sedih sekali hati seorang pujangga, apabila ia melihat kemunafikan orang-orang di sekitarnya. Mulut mereka manis, nampaknya melayani masyarakat, padahal mencari keuntungan pribadi. Perilaku tanpa kesadaran hanya menimbulkan kekacauan]

Dhasar karoban pawarta, babaratan ujar lamis, pinudya dadya pangarsa, wekasan malah kawuri, yen pinikir sayekti, pedah apa aneng ngayun, andhedher kaluputan, siniraman banyu lali, lamun tuwuh dadi kakembanging beka
[Menjadi seorang pemimpin, padahal hatinya masih penuh dengan benih-benih ketidaksadaran, tidak berguna sama sekali. Orang seperti itu justru membawa bencana. Disirami dengan air kemunafikan oleh mereka yang sedang cari muka, ia akan lupa daratan]

Ujaring Panitisastra, awawarah asung peling, ing jaman keneng musibat, wong ambek jatmika kontit, mengkono yen niteni, pedah apa amituhu, pawarta lalawora, mundhak angraranta ati, angurbaya ngiketa cariteng kuna
[Ajaran-ajaran kuno tentang budi pekerti sudah memperingatkan kita bahwa pada zaman edan seperti ini, mereka yang masih mempertahankan kewarasannya akan tertinggal. Walaupun demikian seorang Pujangga akan tetap mempertahankan kesadarannya dan mengikuti jejak para bijak masa silam, daripada mendengarkan ulah mereka yang tidak sadar dan munafik]

Keni kinarya darsana, penglimbang ala lan becik, sayekti akeh kewala, lalakon kang dadi tamsil, masalahing ngaurip, wahananira tinemu, temahan anarima, mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan
[Ajaran-ajaran kuno itu masih dapat dijadikan pegangan, dapat dipraktekkan dan dapat meningkatkan kesadaran serta kualitas hidup kita. Melakoni ajaran-ajaran luhur itu dapat memperindah hidup, mewarnainya. Sungguh sangat menakjubkan]

Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada
[Menghadapi zaman edan ini, memang pikiran pun kacau/. Ikut jadi edan tidak diizinkan oleh nurani. Sebaliknya apabila tidak ikut demikian, akan terisolasi dari masyarakat luas. Namun bagaimanapun juga, betapapun nikmatnya kehidupan mereka yang ikut menjadi edan, masih lebih bahagia mereka yang tetap mempertahankan kesadarannya]

Samono iku babasan, padu-padune kepengin, enggih mekoten man Dhoplang, bener ingkang angarani, nanging sajroning batin, sajatine nyamut-nyamut, wis tuwa arep apa, nuhung mahasing ngasepi, supayantuk parimarmaning Hyang Sukma
[Seorang Pujangga tidak berhasyrat untuk menjadi pemimpin. Ia lebih senang menyepi, menyendiri dan menikmati hubungannya dengan Tuhan]

Beda lan kang wus santosa, kinarilan ing Hyang Widdhi, satiba malanganeya, tan susah ngupaya kasil, saking mengunah prapti, Pangeran paring pitulung, marga samaning titah, rupa sabarang pakolih, parandene masih taberi ikhtiyar
[Ia yang puas dengan apa yang dimilikinya, memperoleh anugerah Tuhan. Ia tidak perlu bersudah payah mencari rezeki. Ia senantiasa berada dalam perlindungan Tuhan. Walaupun demikian, ia tetap bekerja dan menunaikan kewajiban]

Sakadare linakonan, mung tumindak mara ati, angger tan dadi prakara, karana wirayat muni, ihtiyar iku yekti, pemilihe reh rahayu, sinambi budidaya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning Suksma
[Ia mengerjakan semuanya itu tanpa pamrih, dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Sesungguhnya semua itu, ia lakukan sebagai ungkapan kasihnya terhadap Tuhan]

Ya Allah Ya Rasulullah, kang sipat murah lan asih, mugi-mugi aparinga, pitulung ingkang nartani, ing alam awal akir, dumununging gesang ulun, mangkya sampun awredha, ing wekasan kadi pundi, mila mugi wontena pitulung Tuwan
[Ya Allah Ya Rasul Allah, Yang pemurah dan Pengasih, bimbinglah hamba Mu ini, sehingga selalu berkecukupan dan berada dalam perlindungan Mu]

Sageda sabar santosa, mati sajroning ngaurip, kalis ing reh aru-ara, murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityasa tyas mamasuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesi martaya
[Bimbinglah hamba Mu agar selalu sabar senatusa, mati selagi hidup, terhindar dari perbuatan-perbuatan tak senonoh, rasa angkuh dan lain sebagainya. Selalu mengharapkan belas kasih Tuhan dan dengan pembersihan diri, semoga terhindar dari penderitaan dan mencapai sorga yang abadi]

Bagian II: Serat Sabdajati (Kebijakan Abadi)
Away pegat ngudia ronging budyayu, margane suka basuki, dimen luwar kang kinayun, kalis ing panggawe sisip, ingkang taberi prihatos
[Tenangkan pikiranmu, itulah jalan menuju kesalamatan dan kebahagiaan. Hindarilah perbuatan yang tidak tepat dan jagalah keseimbangan dirimu]

Ulatana kang nganti bisa kapangguh, galedhahen kang sayekti, talitinen away kleru, larasen sajroning ati, den tumanggap dimen manggon
[Sesungguhnya semua itu dapat kau capai. Namun setelah mencapainya, jangan terlena, tetaplah waspada, jangan tersesat lagi dan mengambil langkah yang salah]

Pamanggonane aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, eninging ati kang suwung, nanging sajatine isi, isine cipta kang yektos
[Demikian pikiranmu akan jernih, hatimu akan bersih—nampaknya kosong, namun sesungguhnya berisi]

Lakonana kalawan sabaring kalbu, yen den obah neniwasi, kasusupan setan gundhul, ambebedhung nggawa kandhi, isine rupyah keton
[Bersabarlah selalu, jangan tergiur oleh godaan dari mereka yang memberikan iming-iming keuntungan materi]

Lamun kongsi korup mring panggawe dudu, dadi pakuwoning eblis, klebu mring alam pakewuh, ewuh pana ninging ati, temah wuru kabesturon
[Apabila kau tergiur oleh godaan-godaan semacam itu, pandanganmu akan kabur dan kau menjadi bahaya bagi dirimu sendiri]

Nora kengguh mring pamardi reh rahayu, ayuning tys sipat kuping, kinepung panggawe rusuh, lali pasihaning Gusti, gununtingan kaya mernos
[Demikian kau akan bertindak salah, lupa akan kasih Allah dan hidupmu akan terombang-ambing tanpa kendali]

Parandene kabeh kang samya andulu, ulap kelilipen wedhi, akeh wong kang padha sujud, kinira yen Jabaril, kautus dening Hyang Manon
[Walaupun demikian ada saja yang tetap menghormati mereka (yang memberikan iming-iming keuntungan materi) dan mengeli-elukan mereka, seolah-olah mereka adalah utusan Allah]

Yen kang uning marang sajatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru ora arus, uripe kaesi-esi, yen nirua dadi asor
[Seorang bijak pun bingung, apa yang harus dilakukannya. Mengikuti mayoritas yang bersifat demikian dan membiarkan terjadinya kemerosotan kesadaran dalam dirinya, atau memisahkan diri dari mayoritas dan rela tidak dihargai]

Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sakalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Manon
[Semuanya itu dapat terjadi karena kurangnya keyakinan pada Tuhan, padahal Ia adalah sumber segala kebahagiaan dan kemurahan]

Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun, yen temen-temen sayekti, Allah aparing pitulung, mora kurang sandhang bukti, saciptanira kalakon
[Yakinilah Tuhan, apa pun yang kau butuhkan dapat kau peroleh dari Nya. Kau tidak akan kekurangan sesuatu apa pun]

Ki Pujangga nyambiwara weh pitutur, saka mangunahing Widdhi, ambuka warananipun, aling-aling kang ngalingi, angalingkap temah katon
[Sang Pujangga hanya berupaya untuk membuka tirai yang menutupi pandanganmu selama ini. Begitu tirai terbuka, semuanya terlihat jelas]

Para janma sajroning jaman pakewuh, kasudranira andadi, daurune saya ndarung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus ora katon
[Dalam keadaan sulit, kesadaran kita dapat merosot, sehingga langkah-langkah yang kita ambil semuanya salah. Kesetiaan pun sirna]

Katuwone winawas dahat matrenyuh, kenyaming sasmita yekti, sanityaseng tyas malatkung, kongas welase kapati, sulaking jaman prihatos
[Melihat semuanya ini, Sang Pujangga sedih. Tanda-tanda zaman menunjukkan bahwa yang dikhawatirkan itu sedang terjadi]

Waluyane benjing yen wis ana Wiku, memuji ngesthi sawiji, sabuk lebu lir majenun, galibedan tudang-tuding, anacahken sakehing wong
[Zaman yang penuh dengan kesengsaraan itu akan berakhir, apabila muncul seorang Wiku yang memuji ngesthi sawiji. Hidup dia sederhana. Tidak peduli dianggap sinting, ia akan menunjukkan kesalahan-kesalahan kalian dan mengajak setiap orang meniti jalan ke dalam dirinya]

Iku lagi sirep jaman Kalabendu, Kalasuba kang gumanti, wong cilik bisa gumuyu, nora kurang sandhang bukti, sedyane kabeh kalakon
[Setelah itu barulah kita keluar dari zaman yang penuh dengan kesengsaraan dan memasuki zaman yang penuh dengan kebahagiaan. Rakyat kecil pun akan hidup bahagia karena tidak kekurangan sesuatu apa pun]

Pandulune Ki Pujangga dereng kemput, mulur lir benang tinarik, nanging kaserang ing umur, andungkap kasidan jati, mulih sajatining enggon
[Sesungguhnya penglihatan Sang Pujangga tidak terbatas sampai di situ saja. Ia dapat melihat jauh, namun karena sudah waktunya mengkahiri perjalanan hidup ini dan kembali ke asalnya, ia membatasi uraian ini]

Bagian III: Serat Sabdatama (Nilai-nilai Luhur)
Rasaning tyas kayungyun, angayomi lukitaning Gambuh, gambir wana kalawan eninging ati, katenta kudu pitutur, semingkir ing reh tyas mirong
[Tembang ini digubah untuk membantu penjernihan hati dan menyingkirkan pikiran-kiran yang kacau]

Den samya amituhu, ing sajroning jaman Kalabendu, yigya sami nyunyuda ardaning ati, kang nununtun mring pakewuh, uwohing panggawe awon
[Dalam zaman yang penuh dengan penderitaan ini seyogyanya kita berusaha melunakkan keangkuhan hati kita, karena keangkuhan hati itu hanya akan membuat kesadaran kita lebih merosot lagi, sehingga menyebabkan penderitaan tambahan dan mendorong ke perbuatan jahat]

Ngajapa tyas rahayu, ngayomana sasameng tumuwuh, wahanane ngendhak angkara kalindhih, ngendhangken pakarti dudu, dinuwa luwar tibeng doh
[Pertahankan ketenangan dirimu, hormati dan lindungilah kehidupan. Jangan berbuat salah dan lepaskan keangkuhanmu]

Beda kang ngaji pupung, nir waspada rubedane tutut, akikinthil tan anggop anggung tut wuri, tyas riwut rawat dauru, korup sinerung ing goroh
[Ia yang kehilangan ketenangannya mengalami kemerosotan kesadaran. Ia kehilangan kesimbangan dirinya dan dalam keadaan itu bersandar pada kepalsuan dan kebohongan]

Ilang budayanipun, tanpa bayu weyane ngalumpuk, saciptaning wardaya ambebayani, ubayane nora payu, kari kataman pakewoh
[Sudah tidak mampu memilih lagi, tindakan mana yang tepat dan mana yang tidak tepat, ia selalu bimbang dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti itu, pikirannya tidak dapat diandalkan, ucapannya tidak dapat dipercayai dan tindakannya hanya membahayakan dirinya saja]

Rong asta wus katekuk, kari ura-ura kang pakantuk, Dhandhang gula lagu palaran sayekti, ngleluri para leluhur, abot sihing swami karo
[Dalam ketidakberdayaannya, apa yang dapat dilakukan oleh Sang Pujangga? Ia hanya dapat bersyair. Betapa beratnya hidup di bawah dua majikan!]

Galap gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, rangu-rangu pamanguning reh arjanti, tinanggapan prana tambuh, katenta nawung prihatos
[Penggunaan kata-kata tajam dalam karya ini sempat membingungkan Sang Pujangga pula, apakah harus demikian atau harus diperhalus. Akhirnya ia berpendapat bahwa sebaiknya dibiarkan sebagaimana adanya, karena merupakan ungkapan keprihatinannya terhadap kejadian-kejadian terakhir]

Wartane para jambur, pamawasing wasita tanpa wus, wahanane jaman owah angowahi, yeku sangsaya pakewuh, ewuh aya kang linakon
[Dalam zaman yang penuh dengan penderitaan ini, para ahlu berlomba mengemukakan pendapat-pendapat mereka. Namun pendapat-pendapat itu justru membuat hidup semakin sulit]

Sidining Kalabendu, saya ndadra ardaning tyas limut, ora kena sinirep limpading budi, lamun durung mangsanipun, malah sumuke angradon
[Puncak Zaman yang penuh dengan penderitaan ini tercapai dengan terjadinya kemerosotan kesadaran yang semakin memperburuk keadaan]

Tatanane tumruntun, panuntuning tyas angkara antuk, kaladesa wenganing karsa kaeksi, limut kalimput angawut, mawut sanggyaning dumados
[Walaupun ada peraturan-peraturan pemerintah, tidak ada yang mematuhinya. Keangkuhan tetap juga menutupi pandangan manusia. Sehingga ia hidup dalam kegelapan dan perbuatannya justru mengacaukan]

Ing antara sapangu, pangungaking kaanan wus mirut, morat-marit panguripaning sasami, sirna katentramanipun, wong udrasa sa-nggon-enggon
[Menurut pandangan Sang Pujangga, penderitaan rakyat akan berkelanjutan. Ia juga melihat orang banyak sedang menangis terisak-isak]

Kemat isarat lebur, bubur tanpa daya kabarubuh, paribasan tidhem tandhaning dumadi, begjane ula daulu, cangkem silite anyaplok
[Dalam keadaan hancur-hancuran seperti ini, rakyat jelata menderita. Yang beruntung adalah ular berkepala dua, ia masih bisa makan]

Dhungkari gunung-gunung, kang geneng-geneng padha jinugrug, parandene tan ana kang naggulangi, wedi kalamun sinembur, upase lir wedang umob
[Yang tinggi dan kukuh diruntuhkan olehnya. Tidak ada yang dapat mencegahnya. Semuanya takut disembur olehnya]

Kolongganing kaluwung, prabanira kuning abang biru, semurupa iku mung soroting warih, wewarabe para Rasul, dudu jatining Hyang Manon
[Sadarlah, warna-warna pelangi, kuning, merah dan biru, semuanya itu hanya pantulan air, bukan cahaya sebenarnya]

Supaya padha emut, amawasa benjang jroning jaman, windu kuning kono ana wewe putih, gagamane tebu wulung,arsa angrabaseng wedhon
[Zaman Keemasan itu ditandai dengan keberhasilan wewe putih, bersenjatakan tebu wulung untuk menghalau wedhon]

Rasane wus karasuk, kesuk lawan kalamangsanipun, kawisesa kuwasanira Hyang Widdhi, wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor
[Dalam zaman Keemasan itu, nurani manusia akan dituntun oleh Ia Yang Maha Kuasa, sehingga hidupnya damai, sejahtera, bebas dari malapetaka]

Karkating tyas katuju, jibar-jibur adus banyu wayu, yuwanane turun-tumurun tan enting, liyan praja samya rujuk, keringan saenggon-enggon
[Demikian, manusia akan hidup bahagia, tidak kekurangan sesuatu apa pun. Dan bangsa-bangsa asing akan menghormati negaranya]

Tatune kabeh tuntum, lelarane waluya sadarum, tyas prihatin ginantya suka mepeki, wong ngantuk anemu kethuk, jro mesi dinar sabokor
[Kesehatannya akan pulih kembali, luka-lukanya akan sembuh, berakhirlah penderitaannya dan datanglah masa bahagia. Dalam keadaan tenang itu, ia akan semakin sejahtera]

Amung padha tinumpuk, mora nana rusuh colong jupuk, rajakaya cinancangan aneng njawi, tan ana nganggo tinunggu, parandene tan cinolong
[Pada zaman itu, tidak ada lagi yang mencuri dan keamanan harta benda terjamin sepenuhnya, tanpa harus dijaga]

Diraning durta katut, anglakoni ing panggawe runtut, tyase katrem kayoman ayuning budi, budyarja marjayeng limut, amawas pangesthi awon
[Yang jahat pun akan menjadi baik. Pencerahan membebaskan dirinya dan kegelapan]

Ninggal pakarti dudu, kadarpaning parentah gunugu, mring pakaryan saregep temen nastiti, ngisor dhuwur tyase jumbuh, tan ana waon winaon
[Mereka tidak akan berbuat jahat lagi, patuh pada peraturan-peraturan yang berlaku, serta rajin dan teliti dalam pekerjaan mereka. Tidak ada lagi permusuhan antar kelompok. Yang tinggi dan yang rendah akan hidup bersama secara harmonis]

Ngaratani sapraja gung, keh sarjana sujana ing kewuh, nora kewran ing wicara agal alit, pulih duk jaman rumuhun, tyase teteg teguh tanggon
[Akan terjadi pemerataan. Para ahli akan bekerja keras dalam bidang mereka masing-masing, sehingga tidak terjadi malapetaka lagi. Jiwa mereka bertambah kuat untuk menghadapi segala macam masalah. Demikian berakhirlah masa penderitaan dan keadaan pulih kembali]

Bab IV: Serat Jaka Lodhang (Suara Hati Nurani)
Jaka Lodhang gumandhul, aneng ngepang ngethengkrang sru muwus, eling-eling pasthi karsaning Hyang Widdhi, gunung mendhak jurang mbrenjul, ingusir praja prang kasor
[Jaka Lodhang (Sang Pujangga) yang berada di atas pohon dan duduk santai di atas dahannya, mengingatkan kita semua dengan suaranya yang keras: Sudah menjadi kehendak Ilahi, bukit-bukit tinggi akan runtuh. Jurang-jurang yang dalam dan kosong akan terisikan oleh reruntuhannya. Banyak sekali orang yang akan meninggalkan negeri ini]

Nanging away keliru, sumurupa kandha kang tinamtu, nadyan mendhak mendhaking, gunung wus pasthi, masih katon tabetipun, beda lawan jurang gesong
[Lihatlah bekas reruntuhan itu dan jangan angkuh, jangan salah paham. Walaupun sudah runtuh, bukit-bukit itu masih meninggalkan bekasnya. Walaupun terisi oleh reruntuhan, jurang masih juga kosong]

Nadyan bisa mbarenjul, tanpa tawing enggal jugrugipun, kalakone karsaning Hyang wus pinasthi, yen ngidak sangkalanipun, Sirna tata esthing wong
[Semuanya itu terjadi karena kehendak Allah. Upaya manusia tidak dapat menghalangi kehendak Nya]

Sasedyane tanpa dadya, sacipta-cipta tan polih, kang raraton-raton rantas, mrih luhur asor pinanggih, bebendu gung nekani, kongas ing kanisthanipun, wong agung nis gungira, sudireng wirang jrih lalis, ingkang cilik tan tolih ring cilikira
[Pada saat itu, perencanaan apa pun yang dibuat oleh manusia tak akan berhasil Banyak perkumpulan yang muncul, lantas bubar lagi, keinginan untuk memperoleh kedudukan tinggi justru akan berakhir dengan kehinaan. Manusia akan lupa akhlak. Takut menghadapi bahaya, perbuatannya akan semakin memalukan. Rakyat kecil pun akan bertindak ugal-ugalan]

Wong alim-alim pulasan, njaba putih njeru kuning, ngulama mangsah maksiyat, madat madon minum main, kaji-kaji ambanting, dulban kethu putih mamprung, wadon nir wadonira, prabaweng salaka rukmi, kabeh-kabeh mung marono tingalira
[Sifat alimnya hanya polesan, dibuat-buat. Di luar tampak suci, hati mereka sungguhnya sangat kotor. Para ahli agama sudah tidak mengindahkan ajaran-ajaran agama. Mereka melacur, mabuk-mabukan dan main judi. Jiwa mereka sudah tercemar, kotor. Wanita akan memperdagangkan kehormatannya demi harta. Setiap orang hanya mementingkan materi]

Para saudagar ingargya, jroning jaman keneng sarik, marmane saisining rat, sangsarane saya mencit, Nir sad erthining urip iku ta sangkalanipun, pantoging nandhang sudra, yen wis tobat tanpa mosik, sru nalangsa narima ngandel ring Suksma
[Para pengusaha tidak akan dihargai lagi, dan itu justru akan semakin mempersulit keadaan. Mereka yang mengaku bertobat pun, sesungguhnya tidak melakukannya dengan sepenuh hati]

mBok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu, Jaka Lodhang nabda malih, nanging ana parmanipun, ing weca kang wus pinasthi, esthinen murih kalakon
[mBok Perawan sedih sekali mendengar uraian Jaka Lodhang. Jaka Lodhang meneruskan bahwa di balik semuanya itu masih ada Kekuasaan dan Kasih Tuhan yang dapat mengatasi segala macam masalah]

Sangkalane maksih nunggal jamanipun, neng sajroning madya akir, Wiku sapta ngesthi ratu, ngadil parimarneng dasih, ing kono karsaning Manon
[Semuanya itu akan terjadi pada zaman ini juga. Bagian terakhir zaman ini akan ditandai oleh munculnya wiku sapta yang adil dan disayangi oleh rakyat. Atas petunjuk dari wiku sapta ini, kepala negara dapat keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Demikian kehendak Tuhan]

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk, malenuk sumargi-margi, marmane bungah kang nemu, marga jroning kethuk isi, kancana sosotya abyor
[Demikian pula, semuanya akan tenang kembali. Dan dalam ketenangan itu, manusia akan hidup bahagia dan sejahtera, ibarat orang yang menemukan harta karun]

Bab V: Serat Wedharaga (Menemukan Jati Diri)
Ki Gambuh karya pemut, limuting tyas rake kang kalimput, lacut maring reh sumirang murang niti, tantan tuman amamatuh, temah lumaku ginuron
[Sang Penyair (Sang Pujangga) menasihati mereka yang jiwanya masih tertutup, perilakunya tidak sopan, namun bertindak sebagai pemimpin]

Trakadhang amardhukun, dhokohan tyas asring ngumbar sanggup, iku aja kongsi mangkono yen keni, kinira-kira kang patut, apa kalumrahaning wong
[Terdorong oleh keinginan untuk menjadi pemimpin, kau mencari dukungan, bahkan mencari dukun, lantas menyanggupi pekerjaan yang tidak sanggup kau lakukan. Hindarilah hal seperti itu. Bertindaklah sesuai dengan kemampuanmu]

Kang wus kaprah kalaku, inganggoa sapakolehipun, mung patrape den sumendhe aja kibir, manawa kena sisiku, wekasan rinasan ing wong
[Lakukan apa yang dapat kau lakukan dengan baik. Jangan sombong, bersandarlah selalu pada Nya]

Nadyan dadia dhukun, lamun ana masakalanipun, pinilala dening wong agung kang wajib, samonoa durung patut, wong anom ahlul mangkono
[Karena didukung oleh pihak-pihak tertentu, lantas kau dipilih menjadi seorang pemimpin, sesungguhnya hal itu tidak pantas]

Ing tembe yen wus pikun, pantes bae ulah idu wilut, bangsa bincil ambabatang ngusadani, mbok munia theyot theblung, tan ana wong amaido
[Apabila sudah berumur, sepantasnya kau melakukan hal-hal yang patut dikerjakan dalam masa tua, misalnya memberikan nasihat-nasihat, melayani masyarakat dan berupaya mencegah mereka melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan]

Mangkene patrapipun, wiwit anom amendenga laku, ngungurangi mangan turu sawatawis, amemekak hawa napsu, dhasarana andhap asor
[Sesungguhnya cara terbaik adalah selalu berendah hati dan mempraktekkan pengendalian diri, sejak usia muda]

Akanthi awas emut, aja tinggal wiweka ing kalbu, mituhua wawarah kang makolehi, den taberi anguguru, aja isin atatakon
[Selalu mawas diri, bertindak sesuai dengan wiweka dan waspada, janganlah kau malu-malu bertanya dan mohon petunjuk dari mereka yang lebih tahu]

Wong amarsudi kawruh, titirona ing reh kang rahayu, aja kesed sangkanan sabarang kardi, sakadare angingimpun, mimpeni kagunaning wong
[Belajarlah dari orang lain, jangan malas-malasan, contohilah hal-hal yang baik]

Tinimbang lan anganggur, kaya becik ipil-ipil kawruh, angger datan ewn panasten sayekti, kawignyane wuwuh-wuwuh, wekasan kasuh kinaot
[Dari pada menganggur, lebih baik menuntut ilmu, belajar dari orang, sehingga jiwamu terbuka dan tidak ada perasaan iri lagi, demikian pengetahuanmu akan bertambah dan kau akan menjadi unggul]

Lamun wus sarwa putus, kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak-tanduk, amawas pambekaning wong
[Walaupun sudah memiliki pengetahuan tinggi, janganlah kau menyombongkan diri. Anggaplah dirimu bodoh dan belajarlah terus menerus]

Karana ing tumuwuh, akeh lumuh katona mbalilu, marma tansah mintoken kawruh pribadi, amrih den alema punjul, tan wruh bakal kajalomprong
[Untuk mendapatkan pujian dari masyarakat, banyak sekali orang bodoh yang justru sibuk memamerkan pengetahuan mereka yang tidak berarti. Akhirnya mereka terjerumus dan kebodohan mereka pun nampak jelas]

Lamun pinter satuhu, tan mangkono ing reh patrapipun, kudu nganggo watara duga prayogi, pinter angaku balilu, dennya met kagunaning wong
[Mereka yang pandai justru tidak berperilaku demikian. Dengan menganggap dirinya bodoh, ia justru selalu belajar dari orang lain]

Angarah warah wuruk, lamun seje murad maksudipun, rasakena ing ati dipun nastiti, ajar pijer umbak umuk, mundhak kawiyak yen bodho
[Apa yang kau pejarai itu hendaknya dijadikan renungan dulu. Jangan cepat-cepat membuka mulut, hal itu akan merugikan kamu sendiri]

Panengerarning wong iku, adat ana panggrayanganipun, peten saking sambang liring nayeng wadi, yen wong ngaku sarwa putus, iku mratandhani bodho
[Ciri-ciri orang bodoh itu jelas sekali, ia selalu menganggap dirinya benar dan mengaku ahli]

Lamun wong ngaku cukup, mratandhani kukurangan iku, wong ngungasken kakendelan tandha jirih, wong angaku kiyat pangkuh, tandha apes amalendo
[Ia yang mengaku kaya, sebenarnya miskin. Ia yang menyombongkan dirinya sebagai pemberani, sebenarnya seorang penakut. Ia yang membesar-besarkan dirinys sebagai kuat dan kukuh, sebenarnya lemah dan tidak bisa diandalkan]

Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh, lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan dadi asor
[Manusia memang selalu bersaing dan ingin menjadi unggul. Tetapi sesungguhnya, ia yang mengejar-ngejar keunggulan, justru tidak akan memperolehnya]

Ingkang mangkono iku, badaningong pribadi ing dangu, paksa unggul wekasan malah katinggil, pangilesing jabung alus, winangsulan tyas kelason
[Dalam hal ini, Sang Pujangga memiliki pengalaman pribadi. Ia pun dulu selalu mengejar-ngejar keunggulan, hasilnya justru terbaik]

Mangkono kang tinemu, marmane wong ngaurip punika, aja pisan paksa ambek kumalikih, angaku sarwa linuhung, wekasan kether tan ethor
[Itu sebabnya, janganlah menyombongkan diri, jangan mengaku hebat, padahal tidak becus]

Ana kang wus kadulu, suteng carik kadhinginan tuwuh, ngaku putus patrape kurang patitis, manut ngelmuning guyeng dul, amangeran luncung bodhol
[Ada contoh yang bisa dilihat: ia yang menganggap dirinya sudah pintar, sudah matang, padahal masih bodoh, masih mentah, hanya menjadi bahan tertawaan]

Badhar tyas kabalawur, baladheraning wong ambabangus, angas ungus ing wuwus tan anguwisi, temah kasebut wong gemblung, kinira yen lara panon
[Bagaimanapun juga, pada suatu saat kebodohan dia akan terungkapkan. Hanya menghasut orang lain dan gembar-gembor, tetapi tidak menyelesaikan masalah apa pun, akhirnya ia akan dianggap sinting]

Saengga tunggal laku, lan kang asring gumaih ing kawruh, tur tan wikan wiwekaning reh nayadi, adreng ngumbar arubiru, amberat berawaning wong
[Terdorong oleh rasa angkuh akan pengetahuannya yang masih setengah-setengah, ia akan bertindak tanpa kesadaran dan menyebabkan kekacauan]

Saking lobaning kalbu, mung kalebu lebdeng bek kung lur kung, kumalungkung ngaku ngungkuli sakalir, saliring utameng kawruh, pangrasane padha kasor
[Keserakahan membuat dia sombong, mengaku dirinya serba hebat dan seolah-olah dapat menguasai situasi dan mengatasi berbagai macam masalah, padahal sebenarnya tidak mampu berbuat apa pun. Malah menambah penderitaan]

Tur maksih sasar-susur, saraseng ros tan pati tinemu, wekasane mung kudu den alem bangkit, inganthukan bae munthuk , tandha lamun durung kamot
[Walaupun belum jelas pandangannya, dipuji sedikit saja, ia sudah sombong. Hal itu membuktikan bahwa dirinya belum cukup dewasa]

Marma utama tuhu, yen abisa matrap unggah-unggah, tanggap ing reh ngarah-arah ngirih-ngirih, satiba telebing tanduk, tumindak lawan angawon
[Seorang manusia utama akan selalu rendah hati, mengalah dan bertindak dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran]
Sapa wruh kembang tepus, iku bisa angarah panuju, yekti datan adoh lan badan pribadi, lamun kanthiawas emut, salamet tumekaning ndon
[Ia yang bertindak sesuai dengan kemampuannya akan selalu selamat, bahagia dan sejahtera, mencapai tujuan]

Dongeng jaman karuhun, mbokmanawa pantes dadi pemut, ana janma bagus anom sarwa wasis, nanging kuciwa kasebut, tukang sual juru waon
[Mungkin ada baiknya belajar dari dongeng-dongeng zaman dahulu. Ada seorang pemuda yang tampan dan pintar, sayangnya ia senang memamerkan kepintarannya dan menganggap remeh orang lain, sehingga selalu menimbulkan masalah]

Sawiji dina nuju, temu lawan wong tuwa wus pikun, mintoaken kabangkitan lahir batin, kaki tuwa alon muwus, mengko ta wong bagus anom
[Pada suatu hari ia bertemu dengan seorang tua yang nampaknya sudah pikun. Langsung saja, ia menunjukkan kebolehannya. Orang tua itu menegurnya, Nak tunggu dulu sebentar]

Manira takon tuhu, lagi pira umurira bagus, winagsulan uwis telung puluh warsi, kaki tuwa mesem muwus, layak durung bisa amot
[Saya ingin tahu betapa umurmu, Nak? Tiga puluh tahun, jawab pemuda itu. Orang tua itu pun mengomentari, pantas pengetahuanmu belum sempurna]

Maksih cilik usumu, baya lagi sadami gengipun, yen nyabranga luwih saking seket warsi, wus gedhe dawa ususmu, barang kapinteran kamot
[Usiamu masih kecil, pengetahuanmu masih sangat terbatas. Kelak kalau sudah lebih dewasa, sudah berusia lima puluh tahun, pengetahuanmu akan bertambah]

Mokal lamun alimut, jroning layang Nitisastra iku, gajeg ana pralampitane kang muni, upama jun kurang banyu, kocak-kacik kendhit ing wong
[Bukankah kau pernah mendengar pepatah para bijak? Gentong air yang tidak penuh, justru mengeluarkan suara besar]

Manawa kebak kang jun, yekti anteng den indhit ing lambung, iku bae kena kinarya palupi, pedah apa umbak umuk, mundhak kaeseman ing wong
[Sebaliknya, gentong yang penuh itu justru tidak berbunyi. Apa gunanya kau menyombongkan dirimu? Kau justru akan ditertawakan oleh orang banyak]

Wong anom meneng ngungun, kaluhuran sabda alon mundur, ing wekasan mari dennya mbek gumaib, mung lukita kang ginilut, empan papaning wiraos
[Pemuda tadi sadar. Ia membisu dan segera meninggalkan tempat itu. Ia tidak sombong ladi dan mulai mendalami ilmu untuk penghalusan rasa, untuk meniti jalan ke dalam dirinya]

Malah wiwit anggayuh, tuturutan pangkataning ngelmu, kasampurnan pamoring kawula Gusti, mahasucekken Datipun, pangrakiting reh tan keron
[Ia mendalami dirinya, sampai merasakan kesatuan dan persatuan dengan Tuhan. Demikian ia mencapai kesempurnaan]

Pangracutan pangukut, myang pambabarira tan keliru, panarikan patrape tanajul tarki, ing sangkan paran sumurup, tan kalendhon mora kadho
[Untuk mencapai tingkat kesadaran demikian, sebenarnya tidak sulit. Dengan melakukan latihan penarikan dan pelepasan napas, kau dapat mencapainya dengan mudah. Demikian kau akan terbebaskan dari keterikatan dan kegelisahan]

Lamun mangkono patut, tinirua tepaning tumuwuhtan lyan saking sambadeng badan pribadi, binudi sidaning sadu, aneng kene kana kanggo
[Sesuai dengan kemampuan dirimu, lakukan latihan-latihan semacam ini dengan penuh kesabaran, sehingga kau dapat mencapai kesempurnaan]

Ki Gambuh bisa muwus, anglakoni dhewe durung kaur, dangdang sumyang watak wantune, wong langip, tan kawawa wuwur sembur, pitutur bae yen kanggo
[Sang penyair (Sang Pujangga) sendiri, sebenarnya belum sempat melatih diri. Namun, ia tetap memberanikan dirinya untuk memberikan petunjuk-petunjuk seperti ini, siapa tahu ada manfaatnya]

Amung amrih rahayu, ewadene ing babasanipun, alah kandha ana ing tandha lan yekni, titenana ala nganggur, begja kang gelem anganggo
[Semoga petunjuk-petunjuk ini bermanfaat. Ada peribahasa, lebih baik melakoni sedikit, daripada berbicara banyak. Ia yang melakoni petunjuk-petunjuk ini sangat beruntung]

Tursan rong sapteng lebu, Ki Pujangga panggupitanipun, tawi tawar ing surasa tanpa manis, marma kongsi karya pemut, mung met marta karahayon
[Berada pada Trusan rong sapteng lebu, Sang Pujangga memberikan nasihat-nasihat ini, yang mungkin saja terasa hambar, tidak manis, namun diberikannya dengan tujuan agar dapat dijadikan panduan dalam hidup ini]
Bagian VI: Serat Jayabaya
Titenana besuk yen wis ana kreta tanpa kudha
[Ingatlah suatu saat bila telah ada kereta tanpa kuda]

Pulo Jawa kalungan wesi
[Tanah Jawa berkalung besi]

Ana prahu mlaku ing gegana
[Perahu berlayar di angkasa]

Ana swara tanpa rupa
[Ada suara tanpa wujud]

Ana rupa tanpa swara
[Ada wujud tanpa suara]

Mula, kali ilang kedhunge
[Sungai hilang lubuknya]

Pasar ilang kumandhange
[Pasar kehilangan suara]

Iku tandha yen tekane jangka Jayabaya wis cedhak
[Itulah pertanda jangka Jayabaya telah mendekat]

Bumi saya suwe saya mengkeret
[Bumi semakin lama semakin mengerut]

Sekilan bumi dipajeki
[Sejengkal tanah dikenai pajak]

Jaran doyan mangan sambel
[Kuda suka makan sambal]

Wong wadon nganggo sandhangan lanang
[Perempuan berpakaian lelaki]

Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman
[Itu tanda orang akan mengalami zaman yang serba terbalik-balik]

Akeh janji ora ditetepi
[Banyak janji tidak ditepati]
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe
[Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri]

Manungsa padha seneng nyalah, ora ngendahake hukum Allah
[Manusia saling lempar kesalahan,
Orang menyepelekan hukum Allah]

Barang jahat diangkat-angkat, barang suci dibenci
[Yang jahat dijunjung-junjung, yang suci dibenci]

Akeh menungsa mung ngutamakke dhuwit
[Banyak orang hanya mementingkan uang]

Lali kamanungsan, lali kabecikan
[Lupa jati kemanusiaan, lupa hikmah kebajikan]

Lali sanak, lali kadang
[Lupa sanak saudara]

Akeh bapa lali anak
[Banyak ayah lupa anak]

Anak lali bapak, nantang bapa
[Anak lupa bapak, menantang ayah]

Akeh anak wani nglawan ibu
[Banyak anak berani melawan ibu]

Sedulur padha cidra
[Saudara saling khianat]


Keluarga padha curiga
[Keluarga saling curiga]
Kanca dadi mungsuh
[Kawan menjadi lawan]

Akeh menungsa lali asale
[Banyak orang lupa asal-usul]

Ukuman ratu ora adil
[Hukuman pemimpin tidak adil]

Akeh pangkat sing jahat lan ganjil
[Banyak pembesar jahat dan ganjil]
Akeh kelakuan sing ganjil
[Banyak kelakuan ganjil]

Wong apik-apik padha kapencil
[Orang yang baik justru tersisih]

Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin
[Banyak orang kerja halal justru malu]

Luwih utama ngapusi
[Lebih mengutamakan menipu]

Wegah nyambut gawe, kepingin urip mewah
[Malas menunaikan kerja, inginnya hidup mewah]

Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka
[Me;e[s nafsu angkara murka, memupuk durhaka]

Sing bener thenger-thenger, sing jahat munggah pangkat
[Si benar termangu-mangu, si jahat naik pangkat]

Wong salah bungah, wong apik ditampik-tampik
[Si salah gembira ria, si baik tertolak]


Wong agung kasinggung, wong ala kapuja
[Yang mulia dilecehkan, yang jahat dipuji-puji]

Wong wadon ilang kawilarangane
[Perempuan hilang malu]

Wong lanang ilang kaprawirane
[Laki-laki hilang keperwiraannya]

Akeh wong lanang ora duwe bojo
[Banyak laki-laki tak mau beristri]

Akeh wong wadon ora setya marang bojone
[Banyak perempuan ingkar pada suami]

Akeh ibu padha ngedol anake
[Banyak ibu menjual anak]

Akeh wong wadon ngedol awake
[Banyak perempuan menjual tubuhnya]

Akeh wong ijol bebojo
[Banyak orang tukar suami istri]

Wong wadon nunggang jaran
[Perempuan menunggang kuda]

Wong lanang linggih plangki
[Laki-laki naik tandu]

Randha seuang loro, prawan seaga lima
[Janda harga seuang dua, perawan seharga lima picis]
Dhudha pincang laku sangang wang
[Duda pincang laku sembilan sen]

Akeh wong adol ngelmu
[Banyak orang menjual ilmu]

Akeh wong ngaku-aku, njabane putih njerone dhadhu
[Banyak orang mengaku diri, di luar putih di dalam jingga]

Ngakune suci, nanging sucine palsu
[Mengaku suci, tapi palsu belaka]

Akeh bujuk akeh lojo
[Banyak tipu banyak muslihat]

Akeh udan salah mangsa
[Banyak hujan salah musim]

Akeh prawan tuwa
[Banyak perawan tua]

Akeh randha nglairake anak
[Banyak janda melahirkan bayi]

Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne
[Banyak anak lahir mencari bapaknya]

Agama akeh sing nantang
[Agama banyak ditentang]

Prikamanungsan saya ilang
[Perikemanusiaan semakin hilang]

Omah suci dibenci, omah ala saya dipuja
[Rumah suci dibenci, rumah maksiat makin dipuja]

Wong wadon lacur ing ngendi-endi
[Di mana-mana perempuan lacur]

Akeh laknat, akeh pengkhianat
[Banyak kutukan, banyak pengkhianat]

Anak mangan bapak, sedulur mangan sedulur
[Anak makan bapak, saudara makan saudara]

Kanca dadi mungsuh
[Kawan menjadi lawan]

Guru disatru
[Guru dimusuhi]

Tangga padha curiga
[Tetangga saling curiga]

Angkara murka saya ndadra
[Angkara murka semakin menjadi-jadi]

Sing weruh kebubuhan, sing ora weruh ketutuh
[Barangsiapa tahu terkena beban, sedang yang tak tahu disalahkan]

Besuk ana musuh kang teka saka wetan, kulon, kidul lan lor
[Kelak jika terjadi musuh datang dari timur, barat, selatan dan utara]

Akeh wong becik saya sengsara, wong jahat saya seneng
[Banyak orang baik makin sengsara, sedang yang jahat makin bahagia]

Wong salah dianggep bener
[Orang salah dipandang benar]
Pengkhianat nikmat, durjana saya sempurna
[Pengkhianat nikmat, durjana semakin sempurna]

Wong jahat munggah pangkat, wong mulya kinunjara
[Orang jahat naik pangkat, orang yang mulia terpenjara]

Wong duraka pinercaya, wong lugu kebelenggu
[Orang durhaka dipercaya, orang yang lugu dibelenggu]
Sing curang garang
[Yang curang berkuasa]


Pedagang akeh sing keplarang
[Pedagang banyak yang tenggelam]

Wong tuku ngglenik sing dodol, sing dodol akal okol
[Pembeli merayu penjual, si penjual bermain siasat]

Golek pangan kaya gabah diinteri
[Mencari rezeki ibarat gabah ditampi]

Kebat kliwat gancang pincang
[Siapa tangkas lepas]

Sing telat sambat
[Siapa terlambat mengeluh]

Sing gedhe kesasar, sing cilik kepleset
[Si besar tersasar, si kecil terpeleset]

Sing anggak ketunggak
[Si congkak terbentur]

Sing wedi mati, sing nekat mbrekat
[Yang takut mati, si nekat mendapat berkat]
Sing jirih ketindhih, sing ngawur makmur
[Si hati kecil tertindih, yang ngawur makmur]

Sing ngati-ati ngrintih
[Yang berhati-hati merintih]

Sing ngedan keduman
[Yang main gila menerima bagian]

Sing edan bisa dandan
[Yang gila bisa bersolek]

Sing waras nggragas
[Yang sehat pikiran, rakus]

Wong tani ditaleni
[Si tani dijerat]

Wong dora ura-ura, wong suci bilahisi
[Bohong menyanyi-nyanyi, orang suci celaka]

Ratu ora netepi janji, musna panguwasane
[Pemimpin ingkar janji, hilang kekuasaannya]

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati
[Benih kejahatan merajalela, benih kebaikan mati]

Ratu dadi kawula, kawula dadi ratu
[Raja menjadi rakyat dan rakyat menjadi raja]

Bupati dadi rakyat
[Pegawai tinggi menjadi rakyat]

Sing mendele dadi gedhe
[Yang serakah jadi besar]

Wong tuwa lali tuwane
[Orang tua lupa ketuaan mereka]

Wong adol dhuit saya laris
[Pedagang mata uang semakin laris]

Bandhane saye ludhes
[Namun harta mereka makin habis]

Wong mati kaliren ing sisihe pangan
[Orang mati kelaparan di samping makanan]

Wong nyekel bandha nanging uripe sangsara
[Orang berharta tapi hidup sengsara]

Si bengkong gawe gedhong
[Si bengkok membangun rumah gedung mewah]

Sing waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil
[Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih]



Ana peperangan ing njero amarga para pangkat akeh sing padha salah paham
[Terjadi perang di dalam karena para pembesar
banyak salah faham]


Durjana saya ngambra-ambra
[Kejahatan makin merajalela]

Wong apik saya sengsara
[Yang baik makin sengsara]

Akeh wong mati jalaran saka peperangan, kebingungan lan kobongan
[Banyak orang mati karena perang, karena bingung dan kebakaran]

Wong bener saya thenger-thenger, wong salah saya bungah-bungah
[Orang yang benar makin tertegun, orang yang bersalah makin bersorak sorai]

Akeh bandha musna ora karuan lungane
Banyak harta musnah tidak jelas perginya]

Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe
[Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa]

Akeh barang haram
[Banyak barang haram]

Akeh anak haram
[Banyak anak haram]

Ana buruh nantang juragan, juragan dadi umpan
[Ada buruh melawan majikan, majikan menjadi umpan]
Sing suwarane seru oleh pengaruh
[Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh]

Sing pinter diingar-ingar, sing ala diuja
[Si pandai direcoki, si jahat dimanjakan]

Wong ngerti mangan ati
[Orang yang mengerti makan hati]

Bandha dadi memala, pangkat dadi pemikat
[Harta benda menjadi bahaya, pangkat menjadi pemukau]

Sing sawenang-wenang rumangsa menang
[Yang sewenang-wenang merasa menang]

Ana bupati saka wong sing asor imane
[Ada pemimpin sekelas bupati berasal orang beriman rendah]

Patihe bandar judhi
[Maha menterinya bandar judi]

Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat
[Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa]

Pemerasan saya ndadra
[Pemerasan merajalela]

Maling lungguh wetenge mblenduk
[Pencuri duduk berperut gendut]

Pitik angrem saduwure pikulan
[Ayam mengeram di atas pikulan]

Maling wani nantang sing duwe omah
[Pencuri menantang si empunya rumah]

Begal pada ndhugal, rampok padha keplok-keplok
[Penyamun semakin kurang ajar, perampok semua
bersorak-sorai]
Wong momong mitenah sing diemong
[Si pengasuh memfitnah yang diasuh]

Wong jaga nyolong sing dijaga
[Si penjaga mencuri yang dijaga]

Wong njamin njaluk dijamin
[Si penjamin minta dijamin]

Akeh wong mendem donga
[Banyak orang mabuk doa]

Kane-kene rebutan unggul
[Di sana-sini berebut menang]

Ukum agama dilanggar
[Hukum agama dilanggar]

Prikamanungsan diiles-iles, kasusilan ditinggal
[Perikemanusiaan diinjak-injak, tata susila diabaikan]

Wong cilik dadi korbane jajil
[Rakyat kecil menjadi kurban si laknat]

Ana ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit
[Ada raja atau negara berpengaruh dan berprajurit]

Negarane ambane saprawolon
[Luas negeri seperdelapan dunia]

Tukang mangan suap saya dadra
[Pemakan suap semakin merajalela]

Timah dianggep perak, emas diarani tembaga
[Timah dianggap perak, emas dibilang tembaga]

Dandang dikandakake kuntul, kuntul diunekake dandang
[Gagak dipanggil bangau, bangau dikatakan gagak]

Wong dosa sentosa, wong nyengit kesengit
[Orang berdosa sentausa, orang membenci hal itu dibenci]

Wong nganggur makmur, wong sregep krungkep
[Si penganggur makmur, si tekun terjerembab]

Buruh mangluh
[Buruh mengeluh]

Wong sugih krasa wedi
[Orang kaya ketakutan]

Wong wedi dadi priyayi
[Orang takut jadi priyayi]

Susahe wong cilik
[Kesusahan rakyat kecil]

Akeh wong dakwa dinakwa
[Banyak orang saling tuduh]

Polahe manungsa saya kuciwa
[Ulah manusia semakin tercela]

Wong Jawa ilang Jawane
[Orang Jawa hilang kejawaannya]

Wong Jawa kari separo
[Orang Jawa tinggal separuh]

Landa Cina kari sejodho
[Belanda—Cina tinggal sepasang]

Negara rusak amarga akeh peperangan
[negara rusak karena banyak peperangan]

Ratu seneng uripe marga akeh bandhane
[Raja senang hidupnya karena banyak hartanya]

Perang gawe rugining wong cilik
[Perang membuat kerugian orang kecil]

Negara akeh pepeteng
[Negara banyak bencana]

Rata murang sarak
[Raja melanggar syariat]

Ratu seneng duwe wanita akeh
[Raja senang punya wanita banyak]

Tembe bakal ana perang gedhen
[Kelak akan ada perang besar-besaran]

Wong ala samangsa kuwasa dicedhaki
[Orang jahat ketika berkuasa banyak didekati]

Ratu karo ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi
[Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai]

Akeh wong ijir, akeh wong cethil
[Banyak orang kikir, banyak orang bakhil]

Sing eman ora keduman, sing keduman ora eman
[Si hemat tidak mendapat bagian, yang mendapat bagian tidak berhemat]

Akeh wong mbambung, akeh wong limbung
[Banyak orang menggila, banyak orang limbung]

Wong mangan wong
[Orang makan sesamanya]

Akeh omah ing ndhuwur jaran
[Banyak rumah di punggung kuda]

Akeh bencana tan dinyana-nyana, winalikaning zaman jumedhuling ratu adil
[Banyak bencana tak terduga, zaman terbalik
munculnya ratu adil]

Pandhereke ratu adil Gathutkaca mayuta-yuta ajine sabda dadi, pengawak Bathara Indra pasuryan Bathara Kresna agegaman Trisula Wedha
[Pengikut ratu adil Gathutkaca berjuta-juta, ajiannya sabda jadi, badan Batara Indra, wajah Batara Kresna, bersenjatakan Trisula Wedha]
Sekti tanpa aji-aji, sinuyudan wong satanah Jawa idune idu geni, sabdane malati
[Sakti tanpa ajimat, dihormati orang setanah Jawa. Ludahnya api, sabdanya bertuah]

Ingaran begawan dudu begawan, sinebut pandita dudu pandita, sinebut dewa kaya manungsa, aputus wedha Jawa
[Disebut begawan bukan begawan, disebut pendeta bukan pendeta. Disebut dewa seperti manusia, menguasai ajaran Jawa]

Aja gumun aja ngungun, yaiku putra Bathara Indra Ngangsuwa sumur ratu tanpa makutha
[Jangan heran jangan terpana, yaitu putra Batara Indra. Bergurulah pada raja tanpa mahkota]

Gegamane Trisula Wedha, dewa angejawantah manungsa tan pakra anggone nyandhang, tanpa busana nerendra
[Pusakanya Trisula Wedha, dewa mengejawantah manusia, tidak layak pakaiannya, tanpa busana raja]

Cakra manggilingan, zaman iku owah gingsir
[Hidup itu bagaikana roda yang terus berputar, zaman itu selalu berubah]

Selot-selote mbesuk wolak waliking zaman teka
[Lambat laun akan datanglah zaman yang serba
terbalik-balik itu]

Bagian VII: Serat Wedhatama
Mingkar-mingkur ing angkara
Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa
Agama ageming aji
[Tidak terdorong oleh keinginan, untuk memamerkan sesuatu, tetapi oleh kesenangan yang diperoleh dari penyampaian ajaran-ajaran luhur ini kepada mereka yang ingin belajar karya ini sengaja ditulis dalam bentuk puisi, dengan menggunakan kata-kata yang indah. Tujuannnya hanya satu, semoga ajaran-ajaran luhur ini dijadikan pegangan dan dilakoni oleh mereka yang kelak akan memimpin tanah Jawa]

Jinejer neng Wedhatama
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun yen tan mikani rasa
Yekti sepi asepa lir sepah samun
Semangsane pekumpulan
Gonyak-ganyuk nglelingsemi
[Yang menjadi inti ajaran Wedhatama adalah pengembangan rasa. Tanpa terjadinya itu, walaupun seseorang sudah mencapai usia lanjut, ia tetap juga hampa dan akan mempermalukan dirinya sendiri di tengah masyarakat]

Nggugu karsane priyangga
Nora nganggo paparah lamun angling
Lumuh ingaran balilu
Uger guru aleman
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu sinamun ing samudana
Sesadon ingadu manis

[Orang yang tidak sadar seperti itu, biasanya bertindak tidak arif, dan tidak berpikir secara matang, sebelum mengatakan sesuatu. Ia tidak suka dikritik dan selalu mengharapkan pujian. Sebaliknya, ia yang arif, menyadari hal tersebut dan akan menegurnya dengan menggunakan kata-kata bijak yang disajikan dalam bahasa yang manis dan enak didengar]

Si Pengung nora nglegewa
Sangsayarda denira cacariwis
Ngandhar-andhar angendhukur
Kandhane nora kaprah
Saya elok alangka longkanganipun
Si Wasis waskhita ngalah
Ngalingi marang si Pingging
[Ia yang bodoh yang tidak pernah sadar, akan kebodohannnya. Pembicaraannya pun tidak terkedali. Sebaliknya, ia yang bijak akan mengalah, meskipun sepenuhnya menyadari kebodohan si bodoh]

Mangkono ngelmu kang nyata
Sanyatane mung weh reseping ati
Bungah ingaranan cubluk
Sukeng tyas yen den ina
Nora kaya si Punggung anggung gumunggung
Ungungan sedina-dina
Aja mangkono wong urip
[Demikianlah perilaku seseorang yang sadar. Ia sudah merasa puas, apabila bisa membuat orang lain bahagia. Sangat berbeda dengan ia yang tidak sadar, yang selalu mengejar pengakuan dan pjian. Hendaknya kehidupan manusia tidak demikian]

Uripane sapisan rusak
Nora mulur nalare ting saluwir
Kadi ta guwa kang sirung
Sinerang ing maruta
Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
Pindha padhane si mudha
Prandene paksa kumaki
[Ia yang bodoh tidak pernah mengalami peningkatan kesadaran. Demikian perjalanan hidupnya tak terarah dan menjadi kacau. Ia kosong, hampa, namun tetap juga menyombongkan diri]

Kikisane mung sapala
Palayune ngendelken yayah-wibi
Bangkit tur bangsaning luhur
Lah iya ingkang rama
Balik sira sarawungan bae durung
Mring atining tata-krama
nggon-angon agama suci
[Apabila sudah tidak mampu menghadapi sesuatu masalah, seseorang yang tidak sadar, yang bodoh, akhirnya mengandalkan orangtuanya. Mungkin saja orangtuanya kara-raya, punya nama dan dapat dijadikan sandaran. Tetapi semuanya itu tidak akan membantu banyak tanpa adanya kesadaran dalam diri sendiri, yang merupakan inti ajaran agama]

Socaning jiwangganira
Jer katara lamun pocapan pasthi
Lumuh kasor kudu unggul
Sumengah sesonggaran
Yen mangkono kena ingaran katungkul
Karem ing reh kaprawiran
Nora enak iku kaki
[Ia yang iwanya hampa, akan selalu berupaya untuk menonjolkan dirinya. Ia tidak akan pernah mengalah dan bertindak tanpa kesadaran. Apabila terlibat dalam suatu pertengkaran, ia akan memamerkan kekuatan otot serta materinya, tanpa suatu pertimbangan. Hal ini tidak baik]

Kekerane ngelmu karang
Kakarngan saking bangsaning gaib
Iku boleh paminipun
Tan rumasuk ing jasad
Amung aneng sajabaning daging kulup
Yen kapengok pancabaya
Ubayane mbalenjani
[Mereka yang mengandalkan ilmu gaib, magis dan lain sebagainya, ibarat menggunakan bedak saja. Bedak hanya memperindah permukaan kulit dan tidak dapat berbuat lebih dari itu. Begitu pula dengan mereka yang bodoh dan tidak sadar. Ilmu-ilmu tersebut tidak dapat diandalkan. Karena tidak dapat membantu pada saat-saat kritis]

Marma ing sabisa-bisa
Babasane muriha tyas basuki
Putita-a kang patut
Lan traping angganira
Ana uga angger ugering kaprabun
Abon-aboning panembah
Kang kambah ing siyang ratri
[Oleh karena itu, sedapat mungkin jagalah kebersihan hatimu. Ikutilah anjuran para bijak dan mengabdilah sebatas kemampuanmu dan sesuai dengan krpibadianmu. Indahkan hukum alam yang tertinggi dan senantiasa bertindaklah sesuai hukum itu]

Iku kaki takokena
Marang para sarjana kang martapi
Mring tapaking tepa tulus
Kawawa nahen hawa
Wruhanira mungguh sajatining ngelmu
Tan pasthi neng janma wredha
Tuwin mudha sudra kaki
[Belajarlah dari para sarjana yang bertapa. Dari mereka yang hatinya tulus, hawa-nafsunya terkendalikan dan perilakunya sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Ketahuilah bahwa ilmu yang sejati itu tidak selalu dikuasai oleh mereka yang sudah lanjut usia ataupun berkedudukan tinggi. Mereka yang muda dan tidak berkedudukan pun dapat mengajarmu]

Sapantuk wahyuning Allah
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
Bakat mikat reh mangukut
Kukutaning jiwangga
Kang mangkono kena ingaran wong sepuh
Liring supuh sepi hawa
Awas roroning atungal
[Siapa pun yang telah menerima wahyu Allah, akan memperleh pencerahan serta kesadaran akan jati-dirinya. Demikian, dengan sangat mudah ia akan mampu menguasai hawa nafsunya. Orang seperti itu patut disebut orang tua atau dewasa, karena ia telah menyadari adanya kesatuan di balik segala perbedaan]

Tan samar pamoring sukma
Sinuksmaya winahnya ing ngasepi
Sinimpen telenging kalbu
Pambukaning warana
Tarlen saking layap liyeping ngaluyup
Pandha pesating supena
Sumusuping rasa jati
[Ia juga tidak lagi meragukan keberadaan jiwa, yang hanya dapat dirasakan dalam keheningan. Keheningan yang tidak dapat diperoleh dalam keadaan terjaga sepenuhnya, maupun tertidur sepenuhnya. Keheningan yang merupakan alam antara sadar dan tidak sadar, mirip sekali dengan mimpi. Dalam keadaan itulah mereka menyadari dan merasakan jati-dirinya]

Sajatine kang mangkana
Wis kakenan nugrahaning Hyang Widhi
Bali alaming asuwung
Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa winisesa wus
Mulih mula-mulanira
Mulane wong anom sami
[Ia yang telah mencapai kesadaran seperti itu, sesungguhnya memperoleh berkah Allah. Ia menikmati keheningan dalam dirinya dan tidak tertarik lagi pada keramaian di luar. Hawa nafsu yang tadinya mengendalikan dia, sekarang terkendalikan olehnya. Ia kembali kepada sifat dasarnya, yang sederhana dan tulus]