TIONGHOA KALBAR MENEMBUS BATAS WAKTU
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
KISAH AWAL KONGSI
Orang Tionghoa menyumbangkan kata kongsi (gongsi) yang sekarang ini secara luas dipergunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu untuk setiap usaha bersama atau kemitraan, terutama kemitraan yang para anggotanya mengumpulkan sumbangan keuangan mereka. Di Asia Tenggara masa kini, sebuah kongsi adalah sebuah firma atau perusahaan publik, setiap bentuk perkumpulan dari sebuah klub hingga ke sebuah perseroan terbatas. Di Borneo Barat, pada masa ketika Belanda datang, unit usaha bersama ini juga memiliki karakter negara.
Di wilayah pertambangan emas Borneo Barat, dan hal ini terlihat sebagai pengalaman orang Tionghoa yang unik, terdapat perkumpulan atau federasi dari kongsi pertambangan. Federasi ini dapat menyatukan ratusan bahkan ribuan orang pada beberapa areal penambangan. Mereka membangun balai sidang (tjoengthang, zongting, balai umum atau balai utama), balai atau aula merupakan terjemahan umum dari kata thang (ting), bangunan ini juga tampak jelas merupakan kelenteng leluhur. Dan para perwakilan dari kongsi-kongsi besar yang menjadi anggotanya bertanggung jawab atas pemerintahan sehari-hari. Mereka disebut sebagai republik dan demokrasi dalam sumber-sumber abad ke 19. tiga federasi besar di Borneo Barat adalah Fosjoen (Heshun) di Monterado, Lanfang di Mandor, dan Samtiaokioe (Santiaogou) yang pada suatu ketika adalah anggota dari Fosjoen di Monterado, namun memisahkan diri pada 1819.
Para penambang membentuk pengelompokan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari kongsi-kongsi kecil dalam rangka untuk melawan keganasan alam, sikap permusuhan dari orang Dayak, dan kebuasan para feodal Melayu. Konsolidasi ini tidak selalu melalui sebuah proses yang damai. Konflik internal di dalam satu kongsi dan konflik antar kongsi merupakan sebuah unsur yang permanen di kehidupan pesisir barat. Dari ketiga federasi besar kongsi yang ada di pesisir barat Borneo, federasi kongsi yang tangguh di Monterado, bernama Fosjoen Tjoengthang (Heshun Zonting), seringkali disebut musuh bebuyutan pemerintah kolonial, meskipun selama bertahun-tahun kedua belah pihak hidup berdampingan secara damai. Nama heshun mungkin berarti harmoni dan sejahtera, meskipun diterjemahkan juga kombinasi itu sebagai beradab dan ramah tamah atau menyenangkan. Zongting merupakan balai umum atau utama, namun mempunyai fungsi yang beragam, ada yang menggambarkannya sebagai sebuah parlemen, sebuah dewan ekskutif, sebuah kepresidenan, sebuah markas tentara dan sebuah gedung rapat umum, juga sebuah kelenteng. Kebanyakan sumber menyebutnya sebagai rumah kongsi dan dalam kenyataannya juga merupakan kediaman sang ketua dan keluarganya.
Sejauhmana mereka bersifat demokratis, mereka hanya dapat tetap mempertahankan demokrasi tersebut dengan cara melawan kekuasaan dari luar. Akhirnya, menurut para pengamat kolonial, kongsi-kongsi telah memperluas pengaruhnya hingga ke perkampungan Dayak di sekitarnya, yang harus membayar upeti kepada kongsi atau membeli barang dari para pedagang Tionghoa secara berutang, sebuah sistem yang dengan mudah menjerumuskan orang Dayak menjadi budak hutang. Orang Tionghoa memanfaatkan jeratan hutang tadi untuk mengambil anak atau istri dari orang Dayak untuk dijadikan sebagai pelayan mereka. Dalam kacamata Belanda, kerajaan-kerajaan Melayu dapat dibiarkan ada, lebih dikarenakan kelemahan dari pada kebajikannya, organisasi-organisasi Tionghoa, apapun kebaikannya, tidak diperbolehkan hidup karena kekuatan mereka itu.
PARA PENDATANG AWAL
Para penambang Tionghoa pertama kemungkinan besar direkrut oleh para pedagang dan kapten kapal dari Tiongkok yang sudah memiliki kontak yang lama dengan Borneo Barat. Untuk mengerjakan penambangan-penambangan, pembentukan unit kerjasama benar-benar menjadi keharusan, memastikan agar kerja kasar namun relatif tidak membutuhkan keahlian dapat terlaksana, dan juga kebutuhan untuk membagi tanggung jawab dan keuntungan. Pertambangan berskala kecil di Tiongkok juga dijalankan berbasiskan kerjasama serupa, usaha dalam bentuk pembagian saham juga sudah menjadi tradisi yang lama di kalangan para pedagang dan pelaut Tiongkok Selatan.
Nama dari banyak kongsi di Borneo Barat mencerminkan asal mereka sebagai kelompok pemegang saham. Misalnya, Sjipngfoen (Shiwufen) atau Limabelas Saham, Sjipsamfoen (Shisanfen) Tigabelas Saham dan seterusnya. Para anggota terkadang mengikatkan diri mereka satusama lain dengan cara mengangkat sumpah, seperti yang dilakukan dalam perkumpulan rahasia Tionghoa, tidak seperti inisiasi perkumpulan, dalam kongsi tambang tidak ada darah yang diteteskan sebagai janji kesetiaan. Namun tujuan utama dari kongsi pertambangan adalah komersial, bukan persekongkolan.
Meskipun pertambangan kecil pada awalnya dimulai sebagai kerjasama, perusahaan kekeluargaan, namun setelah berjalan bertahun-tahun, mereka akan menjadi tergantung pada pihak luar dalam penyediaan tenaga kerja dan modal, sebagaimana masalah ekonomi di penamabngan yang lebih besar akan semakin rumit dan semakin berkurang watak egaliternya. Kongsi-kongsi baru terbentuk terus menerus, ada yang ditinggalkan karena daerah tambangnya kehabisan cadangan emasnya atau tidak lagi menguntungkan, dan para penambangnya memutuskan untuk mencoba mencari peruntungan di tempat yang lainnya. Akibatnya, daerah eksploitasi meluas jauh ke luar dari lokasi awal di wilayah Sambas dan Mempawah. Pada saat yang sama, pertarungan untuk memperebutkan cadangan emas, tanah dan sumber air terus berlanjut. Oleh karena perluasan dan habisnya cadangan emas dari lokasi tambang, kongsi-kongsi kecil seringkali bergabung dengan kongsi yang lebih besar. Hal ini terjadi pada 1776, ketika Fosjoen Tjoengthang menyatukan empat belas kongsi di wilayah Monterado menjadi satu kongsi tunggal. Dua anggota yang paling kuat dari federasi baru ini adalah Thaikong sebagaimana disebutkan terdahulu dengan ladang-ladang emas di bagian barat dan barat daya Monterado, dan Samtiaokioe yang ladang-ladang emasnya terletak lebih jauh di bagian utara.
Jika anggota dari kongsi-kongsi kecil berteman atau berkerabat satu sama lain, kongsi-kongsi yang besar lebih beragam. Bagaimanapun, beberapa kelompok atau keluarga mendominasi. Sebagai besar orang Tionghoa di Thaikong berasal dari Lufeng dan Huilai di pesisir Guangdong, nama-nama marganya antara lain Ng (Wu), Wong (Huang) dan Tjhang (Zheng), di Samtiaokioe, nama-nama yang dominan adalah Tjoe (Zhu) dan Woen (Wen). Seperti Thaikong, kebanyakan dari penambang Samtiaokioe juga berasal dari Lufeng dan Huilai, orang ini disebut pansanhok. Untuk menggarisbawahi kekuatan kalangan Hakka dari pesisir Guangdon atau pansanhok, pada 1915 sebuah daftar seratus orang penyumbang ke organisasi nasionalis Tionghoa di Capkala di jantung wilayah Thaikong, mencakup duapuluh dua orang dari Lufeng dan lima belas orang dari tetangganya Huilai, tiga orang hakka Hepo-Jieyang. Dari Meixian dan Dapu, semuanya tiga belas orang saja. Sedikit sekali penyumbang yang bukan dari daerah Hakka, orang Teochiu hanya seorang saja.
Kaum laki-laki Lanfang didominasi oleh orang yang berasal dari Meixian (jantung orang hakka) atau dari Dapu, keduanya terletak di dataran tinggi Guangdong. Namun demikian, tidak ada satu kongsi besar pun yang mengambil para pekerjanya dari satu sumber saja, orang Tionghoa lainnya, bahkan orang Hokkien atau Kanton juga cukup terwakili. Saat Fosjoen terbentuk, terdapat tujuh kongsi lain yang beroperasi di Lara, di dekat kota yang sekarang dikenal sebagai Bengkayang. Bengkayang berhubungan erat dengan Lara, namun menjadi bagian dari Samtiaokioe pada 1823. dalam tahun-tahun berikutnya yang makmur, kongsi Lara menjadi sekutu Monterado, meskipun mereka tetap independen setidak-tidaknya hingga 1837, pada saat mereka secara penuh melebur di bawah Thaikong. Bengkayang sebagai Larah Sam Thiaoe Keoe, sementara Lara sisanya sebagai Larah Thai Kong. Ketika lokasi-lokasi tambang yang ada habis cadangan emasnya, orang Tionghoa membuka penambangan baru di wilayah sekitar Seminis, Sepang dan Lumar. Sebuah kongsi baru bernama Kongsi Limthian (Lintian) yang didirikan oleh suku Hakka dari Hoppo (Hepo) di Jieyang terbentuk di Buduk beberapa saat setelah pembukaan areal penambangan baru tersebut. Hoppo terletak di Jieyang, Prefektorat Chaozhou. orang yang berasal dari tempat itu sebagai pansanhok. Orang Hakka bermigrasi ke Hoppo semenjak abad ke 15.
Para penguasa lokal Sambas dan Mempawah sudah lama sekali berhenti untuk mengendalikan perdagangan eksternal kongsi. Mereka tidak memiliki pengaruh terhadap kegiatan pertanian orang Tionghoa, mereka juga tidak sanggup mencegah orang Tionghoa untuk memiliki senjata api dan amunisi, di samping melakukan kegiatan pertanian, kongsi-kongsi juga perlu untuk mengimpor sejumlah beras dari luar negeri, termasuk juga tembakau, garam dan candu. Untuk keperluan ini, mereka mendayagunakan pemukiman pelabuhan yang mereka kuasai, terutama di lingkungan sekitar Singkawang.
ORANG TIONGHOA DI DISTRIK TIONGHOA
Selain dari pemukiman-pemukiman yang dikuasai kongsi, terdapat juga beberapa pemukiman besar Tionghoa yang tinggal di Pontianak dan kota-kota kekuasaan Melayu lainnya. Laporan Burn pada 1811 juga memberikan satu daftar negeri-negeri yang terdapat di bagian hulu sungai dan jumlah penduduk Tionghoa di sana. Barangkali Burn mengandalkan cerita dari mulut ke mulut mengenai keterangan ini, namun penuturannya merupakan satu-satunya catatan dari waktu itu yang sangat rinci sedemikian. Dia menunjukkan, orang Tionghoa telah merambah masuk hingga ke pedalaman Borneo sebagai penambang dan pedagang. Sanggau, di hulu Sungai Kapuas, menghasilkan serbuk emas terbaik di pulau itu.
Sekitar lima ratus hingga enam ratus orang Tionghoa menetap di wilayah tersebut, bersama-sama dengan orang Melayu yang jumlahnya hampir sama. Sanggau memproduksi dua pikul, di mana sepikul kira-kira seberat 62 kilogram, serbuk emas berkualitas tinggi setiap tahunnya, yang dijual seharga $52.800 uang dollar perak. Meskipun ada tarif cukai yang tinggi terhadap ekspor emas, penguasa Sanggau hanya dapat memungut beberapa ribu dollar dalam setiap tahunnya, dikarenakan para penghasil emas dengan mudah menghindar dari pengawasannya. Dia lebih beruntung dengan kegiatan dagangnya sendiri. Sebagian besar wilayah Sanggau masih tertutup oleh hutan, kecuali yang dibersihkan oleh orang Tionghoa untuk pertambangan. Tayan memiliki sejumlah emas dan beberapa lusin orang Tionghoa, yang melebur bijih besi yang ditemukan di sana menjadi kuali, wajan atau menjadi senjata-senjata sederhana.
Van Prehn Wiese menggambarkan suatu kunungan ke kota-kota yang tergantung pada kongsi pada 1851-1852. Sungai Pinyuh misalnya memiliki seorang kapitan dari Mandor yang dibantu oleh seorang laothai (laoda), Sungai Duri merupakan bagian dari Thaikong, memiliki seorang tjaktjoe (zhazhu) yang menjalankan fungsi serua dengan seorang laothai. Para petani Tionghoa sangat terampil, hemat dan cerdas, seluruh anggota keluarga turut serta dalam produksi. Meskipun kebanyakan petani hidup dari mata pencaharian mereka, pendapatan mereka seringkali berkaitan dengan produksi tanaman komoditas pasar, dan hubungan mereka dengan ekonomi keuangan membedakan mereka dengan kebanyakan penduduk lainnya di pulau ini.
Petani-petani Hakka di Borneo ada yang tinggal di pemukiman terpisah. Hanya di abad ke 20 mereka berpindah ke kampung-kampung yang lebih terpusat. Pada dekade-dekade awal abad ke 20 mereka dipaksa pindah oleh penguasa kolonial yang menginginkan orang Tionghoa tinggal di tempat yang mudah diawasi. Belakangan, pada 1960-an, pemerintah Indonesia memaksa mereka pindah lagi ke pemukiman yang terkelompok. Interaksi dengan kelompok-kelompok non-Han minoritas di pegunungan Guangdong dan Fujian telah membentuk identitas Hakka.
Migrasi orang Hakka di dalam wilayah Tiongkok mendorong mereka berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas tersebut, terutama ketika mereka dipaksa menetap di daerah pinggiran yang jarang penduduk. Minoritas yang penting adalah kelompok orang She. Orang Hakka menyunting perempuan She sebagai istri, melibatkan mereka dalam kehidupan Hakka, dan memakai bantuan orang She, petani-petani tebang dan bakar itu, untuk membuka ladang di hutan-hutan pegunungan untuk bercocok tanam. Interaksi ini menunjukkan bahwa orang Hakka tidak terlalu tertutup, mengingat mereka terbukti sanggup bekerjasama dengan kelompok minoritas yang mereka temui dan belajar dari mereka.
TERHALANG SEKAT KOLONIALISME
Orang Tionghoa Kalimantan Barat bukanlah penyinggah (sojourners), suatu istilah yang dipopulerkan oleh Wang Gungwu. Mereka adalah pemukim yang menetap lama, beberapa di antaranya bahkan telah turun temun sejak abad ke 18, namun sejak lama, orang luar mencap mereka sebagai orang asing karena mereka mempertahankan kebudayaan mereka yang dianggap asing. Sekilas, mereka kelihatannya tetap sangat Tionghoa, yang pasling jelas adalah karena penggunaan bahasa Tionghoa secara turun temurun, berbeda dengan kalangan etnis Tionghoa yang telah bermukim lama di Jawa yang mempergunakan bahasa Melayu (Indonesi) dan daerah lainnya, dengan kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Kehadiran orang Tionghoa di Kalimantan Barat juga berbeda dengan penduduk Tionghoa di beberapa tempat lain dalam kepulauan Indonesia yang merupakan hasil dari kolonialisme Belanda. Di masa kolonialisme Belanda, Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) mengajak orang Tionghoa untuk datang dan menetap di markas besar yang baru dibentuk di Batavia seelah 1619, sementara perusahaan Belanda dan perusahaan orang Barat (Eropa) lainnya memasukkan para kuli Tionghoa pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 untuk mengerjakan pertambangan dan perkebunan, khususnya di pulau-pulau luar Jawa. Sebaliknya, para migran Tionghoa yang datang di Kalimantan Barat umumnya mengatur migrasi mereka, menggunakan jaringan mereka sendiri. Pada awalnya, penguasa lokal Melayu mendorong mereka datang, namun penguasa kolonial ataupun perusahaan Belanda tidak menganjurkan kedatangannya.
Orang Tionghoa di dalam kelompok mereka sendiri juga terdapat beraneka ragam kelompok. Meskipun hampir semua orang Tionghoa di Borneo Barat datang dari propinsi Guangdong di Tiongkok bagian selatan, dengan sedikit orang Hokkien dari propinsi Fujian, bahasa mereka yaitu Hakka, Teochiu, Kanton, Hainan dan lainnya, saling tidak dipahami. Bagi kebanyakan pengamat luar, orang Tionghoa tampak seperti kelompok yang homogen, tapi keterpisahan di antara mereka sebenarnya begitu besar sehingga memungkinkan pihak Belanda untuk menerapkan taktik pecah belah dan kuasai untuk menekan mereka.
Dua kelompok atau sub-etnis terbesar di Borneo Barat adalah Teochiu (Chaozhou) dan hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong, di sekitar kota pelabuhan Swatow (Shantou). Sedangkan orang Hakka, kebanyakan bermigrasi dari daerah Guangdong yang lebih pedalaman yang berbukit-bukit atau daerah miskin di dataran rendah propinsi ini, tempat mereka seringkali tinggal di antara kelompok-kelompok yang berbeda bahasa. Orang Hakka juga tinggal di propinsi Fujian bagian pedalaman (Tingzhou), tapi hanya sedikit saja orang Hakka dari Fujian yang bermigrasi ke Borneo Barat.
Dibandingkan dengan orang Melayu, yang terbagi jelas menurut tingkat sosial dan politiknya, orang Tionghoa, karena tidak memiliki gelar turun temurun, terlihat lebig egaliter. Dalam bidang pertambangan, pemimpin biasanya dipilih, lebih karena kekuatan fisik atau kemampuan organisasi. Di mana-mana, status sosial biasanya terkait erat dengan kekayaan. Orang Tionghoa di luar negeri tidak pula mewarisi gelar bangsawan, dan umumnya tidak mendapat posisi yang penting di lembaga pemerintahan. Bahkan di abad ke 20, ketika pendidikan Tionghoa berkembang pesat, kekayaan tetap menjadi penentu terpenting bagi kepemimpinan komunitas, walaupun pendidikan, terutama jika berskolah di Tiongkok, juga dihargai.
Penguasa Melayu, yang saat itu mendorong orang Tionghoa untuk bermigrasi, walaupun begitu, membatasi para pendatang. Perjanjian-perjanjian awal para penambang bagu dengan penguasa lokal melarang mereka untuk masuk ke bidang pertanian, ini dilakukan agar para imigran membeli beras dan keperluan-keperluan impor dari penguasa dengan harga tinggi, tetapi pertanian merupakan bagian penting dari tambang, dan di abad ke 18 tanah begitu luas, bahkan di daerah pesisir, sehingga peraturan Melayu tersebut menjadi sangat tidak berarti. Orang Tionghoa membuka lahan untuk sawah dan pertanian laionnya. Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Umumnya orang Dayak bertani di wilayah yang yang lebih tinggi dan kurang kering, seringkali di bukit-bukit, tempat yang memang lebih cocok untuk berladang.
Walaupun orang Tionghoa jarang yang menjadi Dayak, perkawinan antara perempuan Dayak dan pria Tionghoa menjadikan para istri tersebut masuk Cina, menjadi Tionghoa. Istri-istri ini mengenakan pakaian Tionghoa dan membesarkan anak-anak mereka sebagai orang Tionghoa. Para laki-laki Tionghoa yang menyunting perempuan dari kelompok Dayak di sekitar biasanya menempatkan seluruh keluarga dari pihak istri di bawah perlindungan mereka. Hubungan ini, seperti juga hubungan dagang, ikut mendorong orang Dayak tertentu untuk belajar bicara bahasa-bahasa Tionghoa dan menerapkan adat istiadat Tionghoa lainnya.
Dalam komunitas-komintas tambang di abad ke 19, sekilas dapat dikatakan semua perempuan Tionghoa merupakan keturunan campuran, seorang pengamat Barat melihat mereka lebih cantik dari orang Melayu atau orang Jawa. Mereka memakai gaun Tionghoa, celana katun biru hingga di bawah lutut dengan jaket senada berkancing perak di sisinya. Sepasang selop kulit denbgan sol kayu yang tebal melengkapi pakaian mereka. Pada hari libur, para ibu mengenakan pakaian sutera dan perhiasan emas, orang kaya bahkan memakai kancing emas, sepatu gaya Tionghoa dan stoking. Berbeda dari perempuan Tionghoa di daerah lain di Hindia Belanda yang dipingit, perempuan-perempuan ini memiliki kebebasan untuk melihat dan dilihat oleh orang asing, bahkan menurut beberapa tulisan, mereka tidak pemalu sama sekali.
ORANG HAKKA DARI BORNEO BARAT
Setelah perang dengan Monterado pada 1850-an, pemerintah ikut campur dengan melarang pria Tionghoa memperistri perempuan Dayak sebagai pembayaran hutang. Selain itu, laki-laki Tionghoa yang secara sah menyunting perempuan Dayak diharuskan membayar f120, jumlah yang cukup besar, kepada penguasa Melayu atau kepada pemegang hak upeti di komunitas perempuan tersebut, sebagai pengganti bagi kerugian. Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat mengeluhkan bahwa biaya tersebut menjadikan mempelai-mempelai Tionghoa korban dari imoralitas yang memalukan. Pada 1861 penguasa menarik kembali peraturan-peraturan mengenai biaya pengantin tersebut, khususnya di daerah pesisir, makin banyak perempuan datang dari Tiongkok. Melalui imigrasi dan kelahiran, komunitas Tionghoa menjadi makin berimbang antara jumlah laki-laki dan perempuannya, dan perkawinan campur dengan orang setempat pun makin jarang, kecuali di daerah-daerah yang laki-laki Tionghoa lebih terisolasi, seperti di daerah pedalaman.
Dalam paruh kedua abad ke 19, pedagang-pedagang Tionghoa mulai bergerak lebih ke dalam, mereka berdagang hasil hutan yang dibeli dari para pengumpul Dayak. Di desa-desa, seorang istri lokal di mana seorang pedagang bisa memiliki dua istri: satu istri lokal di daerah pedalaman dan satu lagi yang menetap di kota tempatnta tinggal, merupakan aset bisnis yang penting. Hanya dengan hadiah-hadiah kecil, pedagang-pedagang itu bisa dengan mudah membuat perempuan Dayak bersedia untuk tinggal bersama. Hal penting lainnya adalah, pedagang-pedagang Tionghoa di pedalaman belajar bahasa Dayak, seperti juga orang Dayak yang tinggal di dekat pemukiman Tionghoa belajar bahasa Tionghoa, biasanya Hakka. Sebagai contoh, Ritter (1861) menggambarkan, seorang Dayak yang lari dari kelompoknya tetapi mendapatkan pekerjaan dari pemimpin sebuah kongsi pertambangan karena ia bisa bicara sedikit bahasa Tionghoa. Bahkan kini, sejumlah orang non-Tionghoa di Kalimantan Barat mengaku paham bahasa Hakka.
Di antara orang Hakka, peran gender tidak dibedakan sekuat di kelompok orang Tionghoa lainnya. Perempuan Hakka bebas memilih kerja sebagai buruh tani, walalupun tidak di urusan komunitas. Terbiasa dengan kerja keras di ladang, perempuan Hakka tidak mempunyai kebiasaan untuk membebat kaki mereka, dan kemungkinan besar lebih mandiri dibanding dengan saudara perempuan mereka dari kelompok non-Hakkah. Tidak satupun pengamat melaporkan adanya pembebatan kaki di Borneo. Menurut beberapa tulisan, di Tiongkok dan Hong Kong sebagai contohnya, perempuan Tionghoa non-Hakka yang menikah di desa-desa Hakka dengan cepat mempelajari bahasa yang dominan itu, dan mereka terus memegang identitas Hakka dalam keluarga dari generasi ke generasi, walalupun terjadi perkawinan campur. Hal ini sejalan dengan pengalaman keluarga-keluarga Hakka di Borneo yang berhasil mengintegrasikan istri lokal mereka ke dalam masyarakat Tionghoa.
MENJADI ORANG PEDALAMAN
Perpindahan ke pesisir pantai dan ke daerah pertanian merupakan salah satu bagian dari kisah migrasi orang Tionghoa. Sebelum akhir abad ke 18, orang Tionghoa barangkali telah mulai melakukan pertambangan di Sanggau dan Tayan yang terletak di sepanjang Sungai Kapuas. Pada 1866, pertambangan orang Tionghoa telah berpindah ke hulu, mencapai Sintang dan Silat. Beberapa waktu kemudian, pertambangan orang Tionghoa dapat ditemukan di Nanga Pinoh, Bunut dan Putussibau, jauh di pedalaman. Dikarenakan persediaan emas menyebar dan tak terlalu besar, kebutuhan untuk membuka tambang baru telah mendorong orang Tionghoa untuk semakin jauh masuk ke pelosok pedalamamn. Sebagaimana dicatat, metode pertambangan orang Tionghoa dengan cepat menguras persediaan emas.
Orang Tionghoa yang lainnya bergerak ke pedalaman untuk berdagang. Pada 1872, para pejabat kolonial mencatat orang Tionghoa dengan jumlah yang signifikan berangkat menuju ke daerah terpencil di pedalaman. Gejala ini cukup mendapat perhatian karena hal ini menunjukkan inisiatif bahkan keberanian, karena sebagian wilayah pedalaman barulah tergabung di bawah kekuasaan Belanda setelah akhir abad ke 19. pedagang yang bergerak jauh dari pantai berarti meninggalkan perlindungan kekuasaan kolonial.
Para pedagang berpindah ini umumnya para pendatang baru, atau sinkeh (xinke), di mana mereka dengan cepat dapat mempelajari bahasa Dayak setempat. Orang Tionghoa kelahiran setempat, sumber-sumber berbahasa Belanda menyebutnya peranakan tetapi mungkin lebih tepat disebut berakar lokal, tinggal di pemukiman orang Tionghoa yang lebih besar dan tidak siap untuk pergi ke pedalaman. Beberapa pedagang membangun basis di kota, berpindah ke pedalaman untuk berdagang dan tinggal di sana selama beberapa bulan. Kebanyakan adalah agen dari perusahaan di kota-kota yang lebih besar.
Orang Dayak dengan mudah mengikatkan diri ke dalam hubungan perniagaan dengan orang Tionghoa. Pada 1885 misalnya orang Dayak menyukai berbelanja di pasar di Mandor, dan ketika orang Tionghoa berpindah ke pedalaman, kios-kios milik orang Tionghoa menawarkan sejenis pertunjukkan bagi para pengunjung Dayak yang sedang pergi untuk berbelanja atau menjual barang atau yang sekedar bersosialisasi. Orang Dayak seringkali menyebut orang Tionghoa dengan sebutan sobat, sebagai sahabat. Teman atau bukan, orang Dayak mengetahui bahwa dia dapat menaruh harapan pada tauke-nya atau pedagang.
Kemudahan orang Tionghoa untuk berpindah dan bermukim di pedalaman Borneo sangatlah bertolak belakang dengan kesulitan yang dialami oleh orang Tionghoa di Pulau Jawa di mana perjalanan dan pemukimannya secara efektif dibatasi. Meskipun peraturan perundang-undangan mengatur apa yang disebut wijkenstelsel (sistem pemukiman atau perkampungan) yang dirancang untuk mengatur orang Tionghoa agar secara menetap di pemukiman resmi untuk orang Tionghoa, di Borneo peraturan ini hampir tidak berlaku. Residen dapat memberikan ijin kepada orang Tionghoa untuk bertempat tinggal di mana saja bagi keperluan perdagangan atau pertanian. Dalam kenyataannya, seringkali, orang Tionghoa sendirilah yang mendirikan pemukiman tetap di luar wijken atau perkampungan yang secara resmi diperlakukan sebagai kediaman sementara dari rumah mereka sendiri, sebuah cerita yang nyaman bagi semua yang terlibat. Selama bertahun-tahun, sistem ini secara keseluruhan tidak dapat diterapkan.
Di pedalaman, sejumlah pedagang Tionghoa tinggal di rumah-rumah perahu, sementara yang lainnya bertempat tinggal di sebagaimana penguasa menyebutnya perkampungan perkotaan sementara. Kehadiran mereka juga tidak mendapat penolakan. Bahkan orang Dayak memahami benar bahwa mereka akan mendapat keuntungan jika terdapat lebih dari satu pedagang Tionghoa yang bersaing dalam bisnis mereka dan dengan cepat belajar bagaimana mendapatkan harga yang lebih baik atas barang-barang mereka dengan cara melakukan perjalanan tambahan satu hari untuk memenuhi pedagang yang lain.
Posisi yang kuat dari para pedagang Tionghoa di keresidenan ini timbul dari struktur perekonomian Borneo Barat yang khas. Hubungan hulu hilir berkembang di masa lalu karena para penduduk di pedalaman sangat tergantung, atau sangat menginginkan, barang-barang impor seperti garam, tembakau, candu, pakaian, perhiasan dan terkadang beras. Hingga abad ke 19, istana dan bangsawan Melayu sudah memonopoli perdagangan, membuat orang Dayak sebagai rekannya dalam posisi hubungan yang tergantung. Di daerah-daerah di mana terdapat sedikit orang yang tergantung padam penghutang dari atau budak dari orang Melayu, pemanfaatan hasil hutan mungkin baru dimulai ketika orang Tionghoa memasuki wilayah tersebut. Seperti kaum elit Melayu, para pedagang Tionghoa juga menciptakan hubungan ketergantungan dengan cara meminjamkan uang kepada orang Dayak dan membuat mereka dalam keadaan berhutang, namun mereka juga membuka pasar yang baru. Sebagai akibatnya terjadi kenaikan ekspor yang seringkali sebagaimana disaksikan kemudian, pemungutan hasil hutan secara besar-besaran akan membahayakan kelestariannya.
Meskipun orang Melayu juga terus membeli sejumlah hasil hutan, sejumlah pedagang Melayu mungkin juga berdagang dengan barang-barang yang dibeli secara kredit dari orang Tionghoa, orang Tionghoa mendominasi perdagangan ekspor. Jaringan mereka yang terpusat di Singapura, menjangkau pemukiman-pemukiman seperti Sintang dan pasar-pasar Tionghoa di pedalaman. Dikarenakan para pedagang Tionghoa seringkali mengunjungi para pelanggannya dengan perahu, di pelabuhan utama barang-barang dapat dimuat secara langsung dari perahu ke kapal yang akan berlayar. Perdagangan di pedalaman biasanya dikelola secara barter, beras, tembakau, pakaian, manik-manik gelas dan juga garam atau senjata selundupan adalah permintaan yang terbesar. Ketersediaan dari barang-barang konsumsi tadi mendorong pengumpulan hasil hutan yang lebih intensif.
KEMILAU EMAS DI PERUT BORNEO
Emas ditemukan secara luas di Borneo, meskipun biasanya dalam jumlah kecil. Beberapa sungai membawa pasir bercampur emas, sehingga dimungkinkan mendulangnya untuk mendapatkan bijih emas. Emas merupakan salah satu barang dagangan yang diperdagangkan oleh penduduk daerah hulu kepada para pemegang hak upeti mereka dan kepada para penguasa pesisir. Para penguasa menaburi diri dengan perhiasan emas, cangkir, mangkuk dan barang-barang mewah lainnya. Pakaian mereka juga, kain songket, dibuat dari kain yang ditenun dengan benang emas. Di tahun 1851, bahkan Sultan Sintang yang tinggal bermil-mil jauhnya ke arah hulu sungai dari kerajaan pesisir yang lebih makmur, mengenakan tutup kepala dan rompi bersulamkan emas.
Pada 1779, WA Palm, perwakilan VOC yang ditempatkan di Pontianak, mendengar dari sultan bahwa jung-jung milik orang Tionghoa yang berlabuh di tempat itu dengan bermuatan kain kasar, setiap tahunnya berangkat dengan mengangkut muatan seberat empat ribu real berbentuk emas. Empat ribu real atau dolar perak berat emas, boleh jadi senilai empat puluh hingga lima puluh irbu dolar perak. Jauh di kemudian hari, 1885-1886, orang Tionghoa di Mandor menjual sulaman yang terbuat dari benang emas yang meskipun populer di kalangan komunitas peranakan dan baba di Malaya dan Nusantara, juga diperdagangkan kepada orang Eropa di Borneo.
Paling awalnya pada permulaan 1740, Panembahan Mempawah atau bisa jadi Sultan Sambas memutuskan untuk mendatangkan para pekerja Tionghoa untuk menambang emas. Barangkali, daerah pertama yang akan dibuka terletak di sepanjang Sungai Duri, di daerah kekuasaan dari kedua kerajaan tersebut berhimpitan. Mempawah mendatangkan sekitar dua puluh orang Tionghoa dari Brunei ke daerah Sungai Duri pada sekitar 1740. Tidak ada catatan yang yang ditinggalkan, namun pada 1822 Komisioner Tobias menuliskan bahwa pemukiman pertama terletak di Sambas, di lingkungan Seminis dan bahwa pemukiman itu didirikan sekitar 1740.
Semua penduduk Borneo melakukan kegiatan penambangan emas, dan emas sudah ditemukan di sana sejak berabad-abad yang lalu. Burn menuliskan: orang Dayak bercocok tanam padi, dan banyak di antara mereka yang mencari dan mendulang serbuk emas, namun kegiatan ini biasanya dianggap sebagai pekerjaan yang sederhana dan mudah padahal tidaklah demikian kenyataannya, orang Tiongkok sudah jauh melampaui mereka dalam seni penambangan ini, yang bukan saja memerlukan tenaga kerja buruh yang sangat besar, namun juga ketekunan dan ketelitian …
Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja Tionghoa menghasilkan emas lebih banyak dari penambangan yang mempergunakan metode tidak beraturan dari para pekerja pribumi, yang bekerja sebagai penambang hanya ketika kerja-kerja pertanian, penangkapan ikan, perburuan dan pengumpulan hasil hutan sedang tidak memakan waktu mereka. Orang Tionghoa menambang dalam kelompok lebih besar. Dikatakan: … Orang Tionghoa mengerjakan sendiri pertambangan yang ditinggalkan oleh orang Dayak atau Melayu. Sebuah tangki didirikan atau sebuah aliran sungai kecil dibendung dan sebuah saluran digali sepanjang arah urat emas, pintu-pintu air dibuka dan lapisan tanah tratas akan tergerus seluruhnya oleh derasnya arus, dan sesudah areng (lapisan berharga) ditemukan maka pintu air ditutup. Areng yang telah digali keluar kemudian dibersihkan, dengan tekanan yang terus menerus dari air yang dialirkan melalui papan kayu yang diletakkan miring.
Para penguasa Melayu tentunya berharap bahwa peningkatan produksi emas oleh para penambang Tionghoa akan memberikan keuntungan bagi mereka. Mereka mendorong imigrasi orang Tionghoa karena alasan tersebut dan berencana memperlakukan orang Tionghoa sama dengan cara mereka memperlakukan orang Dayak di daerah hulu. Kerajaan akan memasok orang Tionghoa dengan garam dan beras, candu dan beberapa kebutuhan lainnya, dengan harga yang sudah ditentukan oleh penguasa. Orang Tionghoa tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pertanian atau memiliki senjata api, mereka tidak boleh melakukan sendiri kegiatan ekspor impor. Mereka harus membayar peti berupa emas sebagai pembayaran atas izin pertambangan yang diperoleh. Sebagai tambahan, semua imigran Tionghoa harus membayar pajak atas kedatangan mereka, dan bahkan yang lebih tinggi ketika mereka meninggalkan Borneo.
Ikatan dagang dan hutang piutang orang Tionghoa dan orang Dayak memotong para pemegang hak upeti Melayu. Seorang residen Belanda menyatakan bahwa orang Tionghoa telah secara nyata mengasingkan orang Dayak dari orang Melayu dan dalam banyak hal menguntungkan mereka. Meskipun terdapat bukti bahwa orang Tionghoa dan orang Dayak saling berperang satu sama lain, namun mereka juga mengembangkan hubungan persahabatan. Ikatan yang semakin tumbuh antara orang Tionghoa dengan orang Dayak dan sebagai konsekuensi dari penurunan perdagangan resmi, melemahkan kekuasaan sultan terhadap para emegang gak upeti di istana, yang di bawah kondisi berbeda telah mendapatkan keuntungan darinya. Semua ini menyebabkan para penguasa dan anggota istana beralih ke kegiatan perompakan.
Perselisihan yang muncul di seputar penguasaan emas dan perdagangan di akhir abad ke 18 dan sesudahnya, tidak semata-mata pertikaian etnis. Beberapa suku Dayak berdampingan dengan para penguasa Melayu dan kemudian dengan Belanda, sementara yang lainnya bertempur berdamingan dengan orang Tionghoa. Orang Dayak juga mempergunakan kehadiran orang Tionghoa untuk mendapatkan kebebasan ekonomi, politik dan budaya. Dalam suatu wilayah di mana orang Tionghoa bermukim, hubungan yang ada menjadi tidak berbentuk ikatan berpasangan (dyadic), Dayak sebagai klien dan orang Melayu sebagai patron, namun berbentuk hubungan yang majemuk.
REPUBLIK KAMPUNG
Sangat jelas, pada masa di antara saat kedatangan mereka di pertengahan abad ke 18 hingga permulaan abad ke 19, orang Tionghoa telah merdeka dari penguasa Melayu. Kemerdekaan mereka sebagian difasilitasi oleh persoalan keadaan alam dan sifat dari kerajaan Melayu dengan kekuasaan terpusat, lemah di pinggrian, dan tidak adanya penguasaan wilayah. Namun bukan hanya kondisi alam yang menantang dan karakter istana Melayu saja yang menjadi penyebab dari kemerdekaan orang Tionghoa tersebut. Orang Tionghoa memperoleh kemerdekaannya dengan mendayagunakan organisasi wilayah yang kuat dan relatif stabil, yaitu kongsi.
Para penambang yang paling awal di Borneo Barat, barangkali pertama kalinya mengorganisasikan para pekerja mereka dalam kelompok-kelompok kecil, memilih sendiri para pemimpinnya dan membagi keuntungan dari pertambangan kepada para anggotanya. Bentuk usaha bersama semacam ini sudah menjadi tradisi yang lama di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan para pengusaha, pedagang dan penambang untuk menyatukan modal, dan jika perlu, untuk mengelola tenaga kerja, mengingat potensi pembagian andil dari keuntungan akan memotivasi para pekerja untuk tetap bertahan dalam pekerjaannya.
Jadi, kongsi merupakan istilah umum, dalam pengertian yang sifatnya tidak khusus, bahkan ketika diterapkan dalam situasi seperti di Borneo Barat. Makna yang mungkin untuk kongsi, antara lain, di wilayah pertambangan emas Borneo Barat dan hal ini terlihat sebagai pengalaman orang Tionghoa yang unik, terdapat perkumpulan atau federasi dari kongsi pertambangan. Federasi ini dapat menyatukan ratusan bahkan ribuan orang pada beberapa areal penambangan. Mereka membangun balai sidang (tjoengthang, Mandarin: zongting, balai umum atau balai utama), dan para perwakilan dari kongsi-kongsi besar yang menjadi anggotanya bertanggung jawab atas pemerintahan sehari-hari.
Mereka disebut sebagai republik dan demokrasi dalam sumber-sumber abad ke 19. tiga federasi besar di Borneo Barat adalah Fasjoen (Heshun) di Monterado, Lanfang di Mandor dan Samtiaokioe (Santiaogou) yang pada suatu ketika adalah anggota dari Fasjoen di Monterado, namun memisahkan diri pada 1819. jika kongsi pertambangan dan perniagaan selalu ada di manapun orang Tionghoa bermukim, Borneo Barat terasa unik karena memiliki perkumpulan yang berkembang dengan menyatukan beberapa entitas untuk mengawasi dan memerintah wilayah yang luas. Sebagai perbandingan, kesultanan Melayu bukan merupakan kerajaan wilayah, mereka tidak menguasai tanah, namun menguasai penduduk dan pungutan. Kongsi-kongsi pertambangan masing-masing saling bergabung dan bergabung kembali sepanjang akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19, membentuk federasi yang memperlakukan diri sebagai negara dan tentu saja hingga 1850-an, federasi kongsi Tionghoa yang besar merupakan satu-satunya negara di pesisir barat Borneo. Baik kerajaan pribumi maupun kekuasaan kolonial Belanda tidak memiliki organisasi, infrastruktur dan kekuatan yang sebanding federasi ini.
Dari ketiga federasi besar kongsi yang ada di pessir barat Borneo, federasi kongsi yang tangguh di Monterado, bernama Fasjoen Tjoengthang (Heshun Zongting). Namun heshun mungkin berarti harmoni dan sejahtera, meskipun kombinasi itu diterjemahkan sebagai beradab dan ramah tamah atau menyenangkan. Zongting merupakan balai umum atau utama, namun mempunyai fungsi yang beragam. Digambarkan juga sebagai sebuah parlemen, sebuah dewan eksekutif, sebuah markas tentara dan sebuah gedung rapat umum, juga sebuah kelenteng. Kebanyakan sumber menyebutnya sebagai rumah kongsi dan dalam kenyataannya juga merupakan kediaman sang ketua dan keluarganya. Heshun Zongting seringkali disebut musuh bebuyutan pemerintah kolonial, meskipun selama bertahun-tahun kedua belah pihak hidup berdampingan secara damai. Kongsi terbesar dan pada zaman Belanda paling dominan di antara anggota Fasjoen adalah Thaikong (Dagang) yang artinya pelabuhan besar atau sungai besar, yang barangkali dipilih karena lokasinya di dekat Sungai Raya.
Anggota kedua adalah Samtiaokioe (Santiaogou, parit bercabang tiga, mengacu pada tambang terbuka tempat lapisan bumi yang mengandung emas digali), meninggalkan Fasjoen pada 1822 setelah terjadi beberapa perselisihan, namun yang lainnya, kongsi-kongsi yang lebih kecil tetap bersama dengan Thaikong. Kongsi lainnya yang paling dikenal, Lanfang di Mandor, pada 1823 membuat perdamaian dengan Belanda, namun kesetiaannya pada pemerintah kolonial lebih ambigu dari dugaan para pejabat kolonial. Lanfang bertahan lebih lama daripada kongsi-kongsi besar lainnya, bertahan hingga 1884, pada saat dia dibubarkan.
Terlepas dari perseteruan dan kelemahan mereka, di seluruh penjuru Borneo Barat dari 1819 hingga 1850, kongsi-kongsi besar seperti Lanfang dan Fasjoen memiliki kekuasaan atas wilayah, secara teratur memilih para pemimpin mereka sendiri, menyelesaikan tindakan kriminal dan perdata, menjalankan hukuman badan, menjaga kesiapan angkatan bersenjata, mengembangkan jalur hubungan komunikasi darat (melalui jaringan jalan setapak), memacu perdagangan, perniagaan dan industri, memungut pajak dan cukai, mencetak uang logam, mendirikan sekolah dan secara teratur menyelenggarakan upacara keagamaan untuk menjaga solidaritas dan kesejahteraan umum.
Bandingkan sesungguhnya kongsi adalah sebuah republik oligarki dalam pengertian yang sepenuh-epnuhnya. Namun dalam kesehariannya, orang kecil tidak terlibat apapun, kecuali saat pemilihan ketua kampung yang baru. Namun bahwa pendapat publik cenderung untuk tetap membatasi kewenangan para pemimpin, setidaknya sebelum zaman kolonial danmenyalahkan Belanda yang mengubah keseimbangan kekuasaan ini. Sangat menggoda untuk membandingkan gagasan de Groot mengenai republik kampung dengan gambaran ideal dari banyak penulis kolonial mengenai demokrasi kampung. De Groot sudah pasti lebih pas dalam penilaiannya mengenai hubungan kekuasaan kampung, dan meskipun istilah demokrasi kampung masih bertahan hingga abad ke 20 di kalangan politikus, kini sudah kehilangan nilainya di kalangan akademisi.
Sedikit sekali keterangan mengenai organisasi internal dari Samtiaokioe, namun situasi di Lanfang sangat berbeda dengan di Monterado. Di Lanfang, para pemimpinnya tetap memegang jabatan hingga bertahun-tahun, dan para penggantinya seringkali putra atau kerabat dekat mereka. Lebih jauh lagi, organisasi internal dari semua kongsi mengalami perubahan sejalan dengan semakin besarnya kongsi atau karena pengaruh dari Belanda, seperti kasus Lanfang setelah 1823.
Apapun ketetapan dasar mereka, keberadaan kongsi-kongsi yang merdeka dan kuat tersebut membuat penguasa kolonial Belanda berang. Sebagaimana dirasakan oleh Belanda, organisasi-organisasi Tionghoa tersebut telah merebut kekuasaan atas berbagai hal yang tidak boleh menjadi hak mereka, termasuk kepemilikan tanah, sementara kebijaksanaan kolonial menetapkan bahwa tanah adalah milik para sultan, bukan milik orang Tionghoa yang hanya diberikan hak untuk mempergunakannya jika mereka membayar pajak atau sewa tanah. Orang Tionghoa menghukum para penjahat secara kejam, bahkan dengan hukuman mati, di wilayah kekuasaan mereka. Mereka menghindari pajak dan berbagai monopoli yang ditetapkan oleh Belanda. Sejauhmana mereka bersifat demokratis, mereka hanya dapat tetap mempertahankan demokrasi tersebut dengan cara melawan kekuasaan dari luar.
KONGSI SEBAGAI ORGANISASI WILAYAH
Sejarah Lanfang mencatat bahwa Lo Fong Pak (Luo Fangbo) setelah berselisih dengan kalangan Teochiu di Pontianak, mengambil alih sebuah tambang di Sungai Peniti dekat Mandor, menjadikannya sebagai pangkalannya. Pabila analisis ini benar, adanya perselisihan yang mendorong perpindahan tempat tinggal ke Mandor boleh jadi karena pertarungan antara Monterado dengan Lanfang pertama yang berlangsung sekitar 1774, bukan pertarungan dengan Pontianak.
Kota-kota kongsi yang terletak di pesisir pantai memiliki peranan yang sangat penting, yang memungkinkan mereka melakukan ekspor-impor barang yang bebas dari pengawasan orang Melayu maupun Belanda. Seperti Pontianak yang merupakan kota terbesar yang dikuasai Melayu, Singkawang menjadi kota terbesar yang dikuasai oleh kongsi, sebagaimana sebuah penuturan George Windsor Earl membenarkannya: … Singkawang merupakan sebuah kampung besar, yang terdiri dari sebuah jalan panjang dengan rumah-rumah kayu pendek yang berfungsi sebagai toko untuk menjual beras, daging, dan kebutuhan sehari-hari lainnya atau untuk menghisap candu. Sebuah gedung kongsi (balai, kelenteng) berdiri di satu sisi jalan. Berlainan dengan para penambang, orang-orang Tionghoa yang tinggal di sini sebagian besar menikah, baik dengan perempuan Dayak atau peranakan dari perkawinan antara orang Tionghoa dan Dayak. Di sekeliling kota terdapat sawah yang bagus dan kaum laki-laki menghabiskan waktunya untuk bercocok tanam, sedangkan toko-toko pada saat mereka tidak ada, kebanyakan ditunggui oleh kaum perempuan …
Singkawang terletak sekitar 30 kilometer dari kantor pusat pertambangan Monterado dan di bawah naungannya hingga masa Perang Kongsi 1850-1854. para petani Tionghoa di lingkungan sekitarnya memperkenalkan berbagai tanaman dari daratan Tiongkok, dan berbagai laporan menyebutkannya sebagai satu wilayah pertanian yang subur. Jalan setapak ke arah Singkawang melalui daerah pantai menyuguhkan bagi para pengunjung satu pemandangan akan satu lembah yang luas dipenuhi dengan tanaman dan serangkaian kebun yang selain menghasilkan berbagai sayur mayur untuk kebutuhan dapur, juga menghasilkan tebu, jagung, pisang dan berbagai jenis buah-buahan lain. Ini menunjukkan, daerah sekitar Singkawang lebih baik untuk bercocok tanam dibandingkan daerah pesisir lainnya yang umumnya berawa-rawa.
Kota pelabuhan Tionghoa yang aktif lainnya adalah Pemangkat. Beberapa dekade seelah perang Belanda dengan Monterado pada 1850-1854 yang mendorong para penduduknya mengungsi meninggalkan kota, seorang pengunjung melaporkan bahwa kegiatan kota tersebut yang berfungsi sebagai pemukiman dagang orang Tionghoa dan sebagai pelabuhan bagi wilayah Sambas telah pulih kembali. Gunung yang mendominasi kota telah kembali dipenuhi dengan tanaman padi dan tanaman lainnya. Lembah terlihat subur dan para penduduknya sedang menjalankan pekerjaannya. Bengkayang merupakan sebuah kota pedalaman di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan barangkali baru didirikan pada abad ke 19. selain berfungsi sebagai pusat pertambangan emas, sebagai penerus dari kota kongsi Lara, Bengkayang mengendalikan ketersediaan jalur jalan dari berbagai komunitas tambang utama seperti Monterado dan Mandor ke Sarawak. Di abad ke 20 kota ini akan memegang peranan sebagai pusat perdagangan karet.
Pasar Tionghoa membentuk pusat perniagaan yang juga berfungsi sebagai pemukiman di kota yang terletak di tepian sebelah kiri Sungai Kapuas. Di seberang Sungai Landak jika bergerak dari arah Pontianak, ada juga pemukiman Tionghoa yang bernama Kampung Baru (pemukiman ini bernaung di bawah kongsi Lanfang di Mandor). Saat ini Kampung Baru bernama Siantan dan merupakan pusat industri Kota Pontianak. Rumah-rumah wilayah pemukiman Tionghoa perkotaan terpisah dari pemukiman orang Melayu dan kampung-kampung orang Arab dan Bugis yang berdekatan dengan istana sultan yang terletak di pulau antara Sungai Kapuas dan landak. Pola pemisahan wilayah pemukiman ini juga terjadi dalam skala kecil di kota-kota lain.
Sejak 1811 Pontianak telah menjadi pintu gerbang bagi kaum pendatang dari Tiongkok yang datang ke kota maupun bagi Kongsi Lanfang. Bangaimanapun, laporan Burn memperlihatkan bahwa jumlah pendatang yang berlayar dari Tiongkok ke Borneo mengalami penurunan, pada lima tahun awal periode 1800-an lebih dari 15 jung datang setiap tahunnya membawa orang yang hendak bekerja di pertambangan. Namun pada 1811 Pontianak hanya berharap didatangi oleh dua atau tiga kapal semacam itu pertahunnya. Dikarenakan angin musim, kapal dari Tiongkok hanya dapat berlayar pada satu musim setiap tahunnya dan di Borneo Barat mereka hanya datang ke Pontioanak. Sambas dan Mempawah telah kehilangan fungsinya sebagai pelabuhan kedatangan bagi para calon pekerja tambang. Semakin sedikit kedatangan berarti berkurangnya pemasukan bagi kedua enguasa Melayu tersebut, dikarenakan orang Tionghoa yang kembali ke Tiongkok harus membayar pajak keluar sebesar 15 dolar, sementara mereka yang masuk bersama jung yang selalu dipenuhi oleh para pemukim baru membayar pajak imigrasi satu dolar perorang.
Sebuah naskah berbahasa Tionghoa yang berasal dari abad ke 19 terkait erat dengan sejarah pembentukan Kongsi Lanfang di Mandor. Pendirinya, Lo Fong Pak (Mandarin: Luo Fangbo) yang sebelumnya bergabung dengan Lanfanghui, kongsi pertanian yang pernah bentrok dengan Monterado, datang bersama para pengikutnyanya di Borneo pada 1771 dari Meixian, yang ketika itu dikenal dengan nama Jiayingzhou, di Guangdong. Jurnal kongsi menyebutkan 100 keluarga, tetapi barangkali para imigran tersebut adalah laki-laki bujang. Pada 1772, setahun sesudah pembentukan Fosjoen, Lo Fong Pak mendirikan sebuah kongsi pertambangan yang baru di Mandor, di wilayah Panembahan Mempawah, tidak jauh dari Sungai Kapuas. Penggunaan nama Lanfang oleh Lo adalah untuk mengasosiasikan dirinya dan kelompoknya dengan usaha pertanian Lanfang yang terkalahkan dekat Monterado. Sejarah Lanfang yang diterjemahkan de Groot memberikan kesan bahwa Lo Fong Pak datang langsung dari Tiongkok ke Pontianak, namun Schaank meragukan versi ini. Menurut dia Lo tiba 1772 dan mendirikan kongsi lima tahun kemudian.
Lanfang didirikan pada masa yang tidak lama setelah kelahiran Kota Pontianak 1771. menurut sumber-sumber kearsipan, pertumbuhan awal dari kongsi ini terkait dangat erat dengan kegiatan kesultanan yang baru, dan Abdurrahman pendiri Pontianak segera menyatakan kekuasaannya atas wilayah kongsi yang pada awalnya sebenarnya merupakan bagian dari kekuasaan Mempawah. Pada 1787, keseluruhan wilayah Mandor seutuhnya jatuh di bawah kekuasaan Pontianak. Sepanjang masa tersebut, seorang perwakilan Belanda sudah ditempatkan di Pontianak. Sengketa mencakup perselisihan antara Sambas dan Mempawah, dan intervensi Pontianak, dikarenakan Mempawah tidak sanggup melunasi sejumlah utang kepadanya, Sultan Abdurrahman dapat mengangkat putranya ke atas singgasana Mempawah, namun kemudian garis kekuasaan Mempawah dipulihkan lagi oleh Belanda.
Kini Lanfang menjalin hubungan ekonomi dengan kota Pontianak. Para pekerja Tionghoa yang datang ke pertambangan masuk melalui pelabuhan Pontianak, selain Mempawah, dan sultan mengambil keuntungan atas kedatangan dan kepergian mereka. Kampung Baru, di seberang sungai dari istana sultan, berkembang sebagai pemukiman yang berada di bawah kongsi. Bagaimanapun, Lanfang yang bertahan sebagai kongsi hingga 1884, tidak pernah sekuat Thaikong.
Versi lain dari pendirian Lanfang berasal dari sumber berbahasa Melayu yang menyebutkan bahwa dalam 1788 sebuah perkumpulan dari kongsi-kongsi kecil lahir di daerah Mandor dan Tiko Jengut, nama alias dari sang pendiri Lo Fong Pak yang menyatukan organisasi-organisasi tersebut membentuk Kongsi Lanfang yang dia pimpin secara berturut-turut hingga 1795. tiko berasal dari kata dage, saudara tua, dalam hal ini boss dari suatu kongsi atau perkumpulan rahasia, dan jengut adalah bahasa Melayu dari janggut. Lukisan Lo Fong Pak terdapat di kelenteng Sungai Purun, tentu saja menggambarkan seorang laki-laki dengan janggut lebat. Ketua Lo mengusir kongsi-kongsi yang lebih lemah ke Karangan, sehingga hanya ada Lanfang di Mandor. Dari tempat ini Kongsi Lanfang memperluas wilayahnya hingga ke Landak pada abad ke 19.
Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengalir ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis, dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18. terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana, dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. Burn berpikir bahwa di tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.
Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas, namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter Sultan Pontianak yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali terslut pada 1840-an.
Pengharapan yang salah dari pihak Belanda merupakan salah satu sumber pertikaian, namun terdapat persoalan-persoalan lain pada batas-batas wilayah orang Borneo. Sejak dekade awal abad ke 19, pertambangan seringkali mengalami masalah dan persmusuhan seringkali terjadi. Di antara 21 konflik paling besar yang terjadi di Borneo Barat antara 1770 sampai 1854, hanya 6 peristiwa yang merupakan perang terbuka antara para penambang Tionghoa melawan pemerintah kolonial, dari 15 peristiwa lainnya, 6 peristiwa adalah pertikaian di antara kongsi-kongsi itu sendiri, sedangkan sisanya adalah antara kongsi dengan penduduk setempat. Di sisi lain, sebuah sumber pada masa itu menekankan bahwa orang Tionghoa di Monterado telah menentang pemerintah klolonial dalam delapan kejadian sebelum 1850. memang, banyak pertikaian lainnya yang tidak tercatat.
Barangkali, terkurasnya kandungan emas di wilayah mereka merupakan penyebab utama dari pertikaian antar kongsi. Atmosfir kekerasan yang merebak karena ketiadaan pemerintahan yang kuat tidak berbeda halnya seperti keadaan di berbagai tempat di sebelah tenggara daratan Tiongkok, saat kelahiran antar marga dan antar kampung (Mandarin: xiedou) sudah menjadi hal biasa pada abad ke 19. selain itu, meskipun bberapa konflik juga disebabkan perbedaan daerah asal dari para penambang tersebut di Tiongkok dan persaingan yang terbangun oleh perbedaan etnis atau perbedaan wilayah geografi, ternyata lawan yang paling keras bersaing, para penambang dari Samtiakioe dan dari Thaikong, keduanya sama-sama berasal dari wilayah yang disebut panshanhok. Orang Thaikong yang menyerang Samtiaokioe pada 1850 ternyata berasal dari suku yang sama dengan orang yang diserang. Terlihat bahwa permasalahan mendasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan sumber daya, lokasi emas dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka. Seperti dicatat secara pesimis oleh Komisioner Tobias di awal 1822, Thaikong sebagai tulang punggung Fasjoen hanya tinggal memiliki empat tambang besar saja.
Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, juga menghadapi penurunan produksi emas pada 1830-an, apalagi para penambang lain sudah memasuki wilayah mereka untuk mencari emas. Pada 1842, saat bersamaan dengan perselisihan antara Thaikong dan Lara, orang Kongsi Lanfang beruaya untuk masuk ke Landak, terutama ke daerah Perigi, tapi Panembahan Landak mengorganisasikan perlawanan orang Melayu dan Dayak. Karena lokasi pertambangan Landak begitu menjanjikan, maka para penambang dari Lanfang maupun tempat-tempat lain selalu mencoba untuk menyusup ke wilayah tersebut. Pertempuran mulai terjadi lagi pada 1846, namun Sultan Pontianak dapat memperundingkan pemecahannya.
LANFANG SEBUAH RIWAYAT SELINGKUH
Satu kongsi besar, bukan yang terbesar dan tentu saja bukan yang paling demokratis bertahan hidup. Orang Tionghoa Mandor dari kongsi Lanfang telah membuat perdamaian dengan Belanda pada 1823, hubungan tersebut tetap bertahan meskipun Mandor tidaklah benar-benar bersikap netral pada masa Belanda berperang untuk mengalahkan Thaikong. Pada masa ketika kongsi didirikan pada 1777, jalur transportasi ke Mandor mengikuti Sungai Peniti melalui wilayah Mempawah, sebuah jalan setapak menghubungkan sungai itu dengan Mandor. Ketika Pontianak berkembang semakin penting, Laanfang menjadi semakin tergantung pada pelabuhan tersebut, dengan mempergunakan Sungai Terap dan Landak dan Sungai Kapuas dalam kebanyakan kegiatan perhubungannya. Para kuli baru mendarat di Pontianak atau menaiki jung-jung Tionghoa yang berlabuh di sana untuk berangkat kembali ke Tiongkok. Kongsi ini juga segera menjalin hubungan dengan kesultanan yang baru berdiri tersebut. Baru pada 1787 pusat wilayah Mandor diakui oleh Belanda sebagai bagian dari Pontianak, bukan Mempawah, namun demikian hal ini tidak menjadi halangan bagi hubungan-hubungan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa orang Tionghoa dari Kongsi Lanfang masih berdiam di wilayah Mempawah.
Ketika Mandor menjadi lebih terintegrasi dengan Pontianak, namun kurang berhubungan dengan Mempawah, Mandor juga menjalin hubungan dengan pemukiman-pemukiman pesisir yang berada di bawah naungan kongsi. Kebijakan kongsi tersebut yang saling memahami dengan Belanda atau nampak berbuat demikian, secara signifikan memungkinkan kongsi Lanfang tetap bertahan selama tiga dekade setelah kekuasaan kolonial menyapu bersih semua organisasi lain yang sejenisnya, atau kongsi-kongsi itu telah mati karena sebab-sebab lainnya.
Setelah mengalami beberapa perselisihan awal, kongsi Lanfang dan pemerintah kolonial menjalin suatu hubungan khusus (baca: perselingkuhan!). kepala kongsi disebut sebagai kapthai, menggantikan pangkat yang biasa dipergunakan bagi kepala kongsi yaitu tiko atau thaiko (Mandarin: dage, saudara tua atau boss). Pemerintah kolonial menyatakan memiliki hak untuk mengesahkan pilihan kongsi terhadap jabatan ini, sebuah sistem yang gagal mereka terapkan pada Thaikong tiga puluh tahun kemudian. Pada 1824, residen Pontianak bahkan menyetujui pemberian pinjaman sebesar f20.000 bagi Lanfang untuk memperluas pertambangannya.
Setelah pembubaran bebrbagai kongsi lainnya 1854, hari-hari terakhir Lanfang sudah dapat dihitung, meskipun pemerintah masih menganggap Kapthai Lioe sebagai seorang sekutu terpercaya. Lioe adalah, salah satunya, seorang pengelola pacht candu baik untuk kongsinya maupun untuk sebagian wilayah Borneo Barat, bersama dengan Kapitan Then Sioe Lin, dan keduanya pada 1853 juga ikut serta sebagai salah satu pachter candu di bekas wilayah kongsi di Monterado.
Pada 1857, pemerintah kolonial mulai membatasi kemerdekaan kongsi, meskipun mereka tidak lagi berupaya menghabisinya seperti yang mereka lakukan terhadap Thaikong. Mereka menarik kembali pacht candu milik Lanfang, memberlakukan kembali pajak kepala atas semua laki-laki dewasa, memastikan bahwa semua anggota kongsi wajib membayar pajak tertentu kepada para penguasa Melayu dan sekali lagi melarang kongsi memperkuat pengaruhnya atas orang Dayak. Pada 1874, orang Tionghoa Lanfang yang bertempat tinggal di wilayah Mempawah membentuk sebuah perkumpulan untuk melawan pembayaran pajak kepada penguasa setempat, namun persoalan ini berakhir ketika Kapthai Lioe turun tangan. Dua tahun kemudian, Lioe mengundurkan diri demi puteranya, Lioe Liong Kwon memegang jabatan, namun pada 1880 putranya tersebut meninggal dunia dan sang ayah kembali memangku jabatan kepemimpinan atas kongsi yang sekarang ini secara keuangan sudah bangkrut. Lokasi-lokasi penambangan emas sudah terkuras persediaan emasnya, banyak orang Tionghoa yang telah beralih menjadi petani atau pedagang atau berpindah tempat tinggal. Lioe dalam kondisi kesehatan yang kurang bagus, menjaga kongsi tetap berlayar dengan sebagian memakai uang dari sakunya sendiri. Pada 1873, sang kapthai sudah terjerat hutang kepada seorang Melayu pemberi pinjaman uang, sehingga dia kehilangan kekuasaan atas pacht candu di Borneo Barat dan harus bergabung dalam kemitraan dengan pemberi hutangnya itu. Tiga tahun kemudian, pemerintah menawarkan Lioe sejumlah pinjaman tanpa bunga sebesar f100.000 untuk membangkitkan Lanfang. Penuturan dalam de Waal, pada Koloniaal Verslag (1876), menyebutkan bahwa pinjaman tersebut ditolak (onze Indische financien).
Pada 1880, Lioe secara resmi menyetujui pembubaran kongsi jika dia menemui ajalnya, sebuah jalan keluar yang diharapkan para pejabat kolonial sejak penghapusan Thaikong. Sebuah Peraturan pemerintah (besluit) 3 Agustus 1889 Nomor 14 memastikan pengaturan ini. Wilayah di mana orang Lanfang bertempat tinggal, bertani dan bertambang akan dikembalikan kepada penguasa pribumi di Mempawah, Pontianak dan Landak. Para penduduk Tionghoa, seperti orang Tionghoa lainnya di propinsi ini, akan diperintah secara langsung Belanda atau oleh pejabat yang ditunjuk Belanda.
Para pejabat Belanda, Tionghoa dan Melayu bahkan para tamu dari Jawa hadir dalam pesta ulang tahun Kapthai Lioe yang ke tujuh puluh satu pada Desember 1883. kurang dari satu tahun kemudian, pada 22 September 1884, dia wafat di kediamannya di aula Lo Fong Pak di Pontianak. Lioe lahir 1812 di Jiayongzhou . meski terdapat fakta bahwa dia memiliki riwayat kesehatan yang buruk, namun kematiannya merupakan hal yang tak terduga. Di Mandor timbul gosip bahwa dia diracun atau meracuni dirinya sendiri karena putus asa mengenai keadaan kongsi, namun kematiannya terlihat dikarenakan faktor alamiah.
PEMBERONTAKAN “PERANG KONGSI”
Tanpa peringatan terlebih dahulu, di pagi hari 23 Oktober, segerombolan orang Tionghoa yang menyatakan diri mereka sebagai perwakilan dari kongsi yang tidak lagi berfungsi muncul di pasar Mandor, menyusup ke dalam bekas kantor pusat kongsi tersebut dan membunuh sang controleur dan tiga polisi. Mereka memasang kembali arca dari Guan Di dan papan Lo Fong Pak. Pemberontakan kemudian menyebar, dan kabar beritanya segera sampai ke Pontianak. Pada 3 Nopember 1884, sekitar 150-200 orang penyerang Tionghoa dipikul mundur dari bengkayang. Bengkayang merupakan lokasi strategis dalam jalur menuju Sarawak.
Beberapa orang Tionghoa dari kota-kota pesisir dengan diam-diam mengirimkan keluarga mereka ke Sarawak dan Singapura dan para penduduk Monterado mengungsi, Pontianak hampir dilanda kepanikan. Isu yang beredar bahwa perkumpulan rahasia yang menyeramkan Sam Tiam Fui (Mandarin: Sandianhui, yang berkait dengan Perkumpulan Langit dan Bumi, Tiandihui) berada di balik pemberontakan ini. Kater khawatir bahwa seluruh wilayah Distrik Tionghoa, yang merupakan sebutan bagi daerah yang dulunya wilayah Monterado, akan bangkit melawan orang Eropa.
Para pemberontak dipimpin Liong Lioe Njioe (atau Ngie), mungkin nama tersebut berarti Lioe si Naga Kedua, mengacu pada sang pemimpin pemberontak Thaikong Liao Njie Liong, yang kata orang sudah kembali dari Sarawak. Tentu saja, seorang tua dengan janggut putih tampak terlihat di Mandor. Sesungguhnya, yang menjadi pemimpin pemberontak adalah Lioe Pang Liong, seorang bekas juru tulis di kongsi Lanfang, nama itu sendiri dapat membingungkan karena bersesuaian dengan nama alias dari pemberontak tiga puluh tahun sebelumnya. Sementara itu, para pemberontak yang mempergunakan cap kelompok Ngee Hin (Mandarin: Yixing), sebuah persaudaraan yang berpengaruh di Singapura, memblokade jalur sungai dari Mandor ke Pontianak.
Residen Kater mengirim kawat ke Batavia, melalui Singapura karena tidak ada jalur langsung, untuk meminta bala bantuan pasukan dari Jawa. Pada 7 Nopember, dua kompi tentara tiba dari Jawa, akan tetapi pasukan ini dibutuhkan untuk mengamankan pemukiman Tionghoa di pedalaman seperti Monterado dan Bengkayang, sehingga Kate4r meminta tambahan sejumlah dua ratus orang pasukan. Pada 11 Nopember, beberapa ratus pemberontak kembali menyerang Bengkayang dengan menderita kerugian yang sangat besar. Pada akhirnya pasukan Belanda dapat membersihkan daerah Bengkayang dari para pemberontak, yang juga meninggalkan wilayah Monterado dan tak pernah kembali lagi. Orang Tionghoa Monterado sendiri tidak pernah turut serta dalam pemberontakan ini.
Pusat daerah permusuhan sekarang berpindah ke daerah perbatasan antara bekas wilayah Thaikong dan Lanfang, di sepanjang Sungai Mempawah. Pada awal Nopember, para pemberontak menguasai Mentidung dan membentengi Air Mati, memblokade jalur masuk ke Mandor dari arah Mempawah. Pada akhir Nopember, para tentara mendapati mentidung sudah ditinggalkan dan mereka kembali mendudukinya, dibantu oleh pasukan tambahan yang disediakan oleh Panembahan Mempawah dan oleh duku Dayak Sanking dan Sembaya. Anjungan tampaknya bebas dari para pemberontak. Pemukiman kongsi Lanfang di daerah pesisir seperti Sungai Pinyuh tetap tenang, meskipun beberapa orang pemuda dari tempat itu diisukan telah bergabung dalam pemberontakan. Para pejabat denan berani menyatakan bahwa banyak orang Tionghoa yang mendukung para pemberontak tersebut dikarenakan rasa takut, bukan karena bersimpati. Para pejabat kolonial seringkali mengulangi penjelasan ini, namun dalam kasus ini, mungkin intimidasi merupakan penyebab sesungguhnya.
Pada 26 Nopember 1884, pasukan kolonial memasuki Mandor tanpa menemui perlawanan dan menduduki kembali kantor pusat kongsi. Pemerintahan sipil melanjutkan kembali penyelidikan terhadap pembunuhan yang terjadi. Pada Desember sebagian pasukan kembali ke Jawa. Pada 11 Desember, benda-benda keagamaan kembali disingkirkan dari thang. Pada 5 Februari tahun berikutnya, 1885, bala bantuan dari Jawa kembali datang, sebagian besar diarahkan menuju ke Mandor. Satu detasemen juga menduduki kelenteng di kota Lanfang lainnya, Sungai Purun. Kater bersikukuh bahwa mereka ditempatkan di sana untuk mencegah penyelundupan dan untuk menenangkan penduduk di sepanjang pesisir.
AKHIR KISAH PANJANG
Lelah oleh perselisihan internal tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengangkat seorang pejabat militer yang berfungsi ganda sebagai komandan dan residen. Overste Haga Kepala Staf Umum menduduki jabatan tersebut pada pertengahan Maret 1885. kater yang hampir seluruh karirnya dihabiskan di Borneo Barat dan ditugaskan sebagai Residen sejak 1867, yang hanya diselangi oleh cuti mudik, akhirnya pensiun. Kater diberhentikan dengan hromat sebagai pegawai kolonial karena masa pengabdiannya sudah selesai. Penggantinya yang segera tiba adalah Overste Haga yang menjadi gubernur sipil dan militer. Vetter tetap bertugas di Borneo, namun bukan lagi sebagai komandan.
Perdamaian segera dicapai. Banyak pemberontak yang menyadari bahwa kehidupan di hutansangat tidak tertanggungkan, akhirnya menyerah. Lioe Pang Liong, seorang mantan juru tulis kongsi dan penggagas awal dari pemberontakan, tertangkap pada awal 1885. pemberontak yang bukan pimpinan diampuni ketika menyerah, sementara yang lainnya dipenjarakan atau dihukum mati. Bekas pemukiman-pemukiman pertanian kongsi Lanfang yang berada di lembah subur terbengkalai dan ditinggalkan. Namun pada April 1885, sebagian penduduk sudah kembali berdatangan untuk memanen tanaman mereka dan akhirnya membangun kembali rumah-rumah mereka. Pada Juni 1885, para informan memberikan kepada Belanda sebuah laporan terperinci mengenai suatu pertemuan penting untuk memulai pemberontakan, tidak hanya nama-nama dan jabatan orang-orang yang hadir, namun juga menjabarkan upacara pengukuhan itu sendiri. Secara keseluruhan, delapan pemberontak dihukum mati, empat orang di Mandor. Lioe Pang Liong dihukum mati pada Juni 1885 tersebut.
Pada September 1885, kekuasaan sipil sudah ditegakkan kembali, dan Letnan Kolonel vetter diangkat kembali sebagai komandan militer Borneo Barat, pasukan bantuan dipulangkan ke Jawa. Satu garnizun tentara yang terdiri dari 100 orang tetap berada di Mandor hingga Desember 1888. residen yang baru, Kroesen adalah seorang militer dengan pangkat mayor, namun dia bukanlah klomandan militer. Meski banyak pemberontak yang tertangkap, sebagian kecil kemungkinan menyingkir ke Sarawak, setidaknya satu orang pemberontak diekstradisi ke wilayah Belanda pada 1889.
Pada 12 Agustus 1885, empat pemimpin pemberontak dihukum mati di Mandor. Lioe Pang Liong meminta dengan sia-sia untuk berbicara kepada Kolonel Haga, meninggalkan sebuah pesan penghabisan: … sekarang karena saya harus matio, saya ingin menyatakan kepadanya [Haga] bahwa penyebabdari pemberontakan hanyalah akibat dari pembongkaran Kwan Ya dan Lo Thay Pak … Saya bukanlah musuh pemerintah, namun saya akan mati demi Kongsi Lanfang.
Di Pontianak, sebuah poster muncul dengan sebuah puisi Tionghoa yang menjanjikan pembalasan bagi Lanfang dalam waktu delapan belas tahun. Namun, 1903 berlalu tanpa terjadi sebuah peristiwa. Pada akhirnya, sebagai satu bentuk ucapan terima kasih, para opsir Tionghoa Mandor yang baru ditunjuk pemerintah mempersembahkan empat piringan emas bertulisan kepada empat pejabat penting kolonial di keresidenan. Haga dengan segera mengembalikan pemberian itu dengan catatan bahwa para penduduk yang sudah menderita harus memelihara kekayaan kecil yang telah mereka miliki. Sebuah tulisan terbaca, … Terima kasih atas kebajikan anda yang begitu besar sehingga tanah ini kembali tersatukan dan terikat bersama seperti seikat rumput. Anda telah melindungi para penduduk tanah ini, oleh karena itu kami mempersembahkan padamu piringan emas tipis ini, tanpa bermaksud menjadikannya sebagai imbalan atas kebaikanmu. Untuk Komandan Militer dan Sipil Borneo Barat. Dengan salam hormat, Kapitan Mandor [Lo Thong] atas nama seluruh penduduk …
Bekas wilayah kekuasaan kongsi Lanfang sekarang dibagikan kepada kesultanan pribumi Pontianak, Mempawah dan Landak. Kampung Baru, kemudian Siantan, menjadi bagian kota Pontianak, sementara pemukiman Pakoktin yang sebelumnya adalah bagian dari Mandor bergabung dengan kota Mempawah. Kampung Baru dan Pakoktin memiliki Letnan Tionghoa, karena keduanya adalah pemukiman yang cukup besar. Pakoktin tampaknya adalah nama lain dari Kuala Mempawah. Orang Tionghoa meskipun berada di bawah kekuasaan pemerintah secara langsung, juga diwajibkan membayar sejumlah pajak, terutama untuk penggunaan tanah, kepada para penguasa pribumi.
Perang kongsi akhirnya berakhir. Dari persekutuan etnis dan politik yang kompleks ini, sangatlah tiidak akurat untuk menggolongkan perselisihan yang disebut Perang Kongsi ini sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Bahkan beberapa orang dari kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kekuasaan kolonial, memohon damai atau meminta bantuan kepada Belanda. Namun demikian, tidak ada satupun kongsi yang sepenuh hati bersekutu dengan Belanda. Pembantu Residen van Prehn mengalami satu perselisihan yang menjijikkan dengan para anggota Samtiaokioe di Sambas pada 1851. lanfang memainkan taktik menunggu kesempatan dan barangkali telah memberikan kesempatan kepada sang pemberontak Liao Njie Liong untuk melarikan diri ke Sarawak. Bahkan Kapthai Lioe A Sin yang dianggap Belanda sebagai seorang pendukung yang terpercaya untuk kepentingan mereka, telah melakukan tindakan intrik melawan mereka.
Kejatuhan kongsi sepanjang periode yang disebutkan di sini, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pemakaian hasil sumber daya mereka untuk kebutuhan kongsi dan juga akibat tekanan dari para pejabat Hindia Timur Belanda. Sangat aneh, jika Belanda menyesal atas kerugian ini. Bagi Batavia, organisasi yang kuat ini yang mempraktekkan begitu banyak fungsi negara modern, sangat jauh berbeda dengan kerajaan lokal. Mereka adalah pesaing bagi negara kolonial itu sendiri. Kongsi harus lenyap, karena hanya ada satu negara, yaitu negara kolonial, yang boleh ada di Hindia Belanda.
Orang Belanda akhirnya menyaksikan akhir dari kongsi …
Sabtu, 03 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar