Minggu, 04 Oktober 2009

DENYUT NADI REVOLUSI KEMERDEKAAN KALIMANTAN BARAT (V)

MEMPERTAHANKAN TANAH LANDAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pertengahan September 1945, atas inisiatif beberapa orang pemuda di Pontianak, dibentuk sebuah organisasi dengan nama "Panitia Penyongsong Republik Indonesia" disingkat PPRI. Dalam perkembangan selanjutnya, PPRI lebih dikenal sebagai "Pemuda Penyongsong Republik Indonesia". Pimpinan organisasi ini antara lain Muzani A Rani, Anang Djajadi Saman, Ya' Umar Yasin, Ya' Achmad Dundik, Fauzi A Rani, Syarifuddin Effendy, Abi Hurairah Fattah, A Syukri Noor dan sejumlah pemuda lainnya.

Pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Landak Ngabang yang berada di Pontianak waktu itu, dan juga ikut serta dalam proses berdirinya PPRI tersebut, di antaranya Gusti Abdulhamid Aun, Ya' Achmad Dundik. Ya' Seman Yasin dan Ya' Umar Yasin mengadakan suatu konsolidasi. Gusti Abdulhamid Aun selanjutnya mengadakan hubungan dengan pemuda Kadaruddin B Mundit melalui telepon yang diterima oleh Ya' Mustafa Tayib dan Ismail Gani. Melalui pembicaraan telepon Gusti Abdulhamid Aun menyampaikan kepada Kadaruddin B Mundit, untuk bersiap-siap menghadapi pembentukan sebuah organisasi, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945.

Sejak disampaikannya informasi oleh Gusti Abdulhamid Aun kepada Kadaruddin dalam September 1945, sejak itulah berita mengenai kemerdekaan Indonesia mulai diketahui oleh masyarakat Ngabang khususnya. Selanjutnya, berita tentang kemerdekaan Indo¬nesia tersebut di wilayah Kerajaan Landak meluas dengan disebarkannya pamflet-pamflet propaganda mengenai kemerdekaan. Gusti Abdulhamid Aun selain menyampaikan berita kemerdekaan melalui telepon, selanjutnya mengirimkan salinan teks proklamasi kemerde¬kaan kepada pemuda Kadaruddin B Mundit, untuk diperbanyak di Ngabang.

Guna memperbanyak salinan teks proklamasi kemerdekaan tersebut, Kadaruddin B Mundit selanjutnya berhubungan dengan pemuda militan A Rahman Zakaria. Oleh keduanya, salinan teks proklamasi yang dikirimkan Gusti Abdulhamid Aun dengan kendaraan truk Pontianak-Ngabang segera diperbanyak dengan ketik rangkap maupun ditulis ke dalam kertas lain. Untuk menyebarkan pamflet salinan tersebut, Kadaruddin B Mundit selanjutnya menugaskan Syamsudin, seorang pemuda bekas Heiho di Ngabang. Dengan demikian, sejak pertengahan September 1945, kabar tentang kemerdekaan Indonesia sudah diketahui luas di wilayah Landak.

Dalam Oktober 1945, pemuda-pemuda yang menyebarluaskan pamflet mengenai kemerdekaan Indonesia dipanggil untuk menghadap kepada Ajun Jaksa, M Saleh di Ngabang. Di antara para pemuda yang dipanggil dan untuk beberapa waktu sempat ditahan serta diberikan peringatan itu, seperti A Rahman Zakaria, A Fattah,¬ Idris Abdurrachman, Daeng Saleh, Mahmud Amin dan Ya' Basuni Budjang. Selain mereka diberikan peringatan oleh Ajun Jaksa Ngabang, M Saleh, para pemuda itu juga dihadapkan kepada Controleur Ngabang yang dijabat oleh AB Faber.

Selanjutnya, dalam Maret 1946, setelah sejak September 1945 di wilayah Landak disebarluaskan berita mengenai kemerdekaan In¬donesia, Gusti Abdulhamid Aun bersama-sama dengan Gusti Lagum Amin, Jim Kadaruddin, M Ali Mihardja, Gusti Muhammad Said Ranie, Gusti Muhammad Seman Abas dan Muhammad Tajib, membentuk sebuah organisasi dengan diberi nama "Persatuan Rakyat Indonesia" yang disingkat dengan PRI. Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan segenap lapisan masyarakat Onderafdeeling Landak, untuk mewujudkan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Dalam kepengurusan organisasi PRI yang bersifat politis ini, Wakil Panembahan Kerajaan Landak, Gusti Muhammad Affand Ranie, Pangeran Mangkubumi Setia Negara diangkat sebagai Kepala Penanggung jawab PRI untuk Onderafdeeling Landak. Wakilnya dipercayakan kepada Bardan Nadi (Sutrisno). Selaku penasehat terdiri dan Ya' Abdulhamid Daham Noor, Umar Digul dan A. Hamid Zakaria.

Selaku pengurus dari organisasi PRI, Ketua I dipercayakan kepada Gusti Abdulhamid Aun, Ketua II Abdul Fattah. Kepengurusan lainnya di antaranya Gusti Basuni,.Ya' Basri Usman, Gusti Mustafa Sotol, Ya' A Hamid Yasin, Gusti Lagum Amin, A Rahman Zakaria, Gusti Jim Kadaruddin. Bagian propaganda diketuai Gusti Muhammad Said Ranie, dengan anggota di antaranya Hamzah H Sebon, Ya' Achmad Dundik, Merseb Abdurrachman, Kimas Akil Abdurrachman, Ya' Mursidi Hafiz, Gusti Sani, Ya' A Rahim Anom dan lain-lain.

¬Pimpinan klasykaran diketuai Gusti Abdulhamid Aun, kepala keamanan kota dijabat oleh Gusti Muhammad Said Ranie, Bagian Penghubung Ngabang dengan Darit dijabat oleh Kadaruddin B Mundit. Selain itu ditetapkan pula, Kepala Pasukan untuk Onderdistrik Ngabang dijabat Ya' Nasri Usman (Ya'Dedeh), Komandan klasykaran Distrik Sengah Temila dijabat oleh Sardiman Nadi, Komandan klasykaran Distrik Air Besar dijabat oleh Gusti Sani. Dan Kepala Pasukan untuk Onderdistrik Menyuke dijabat oleh Bunyamin dengan wakilnya A Karim Mahmud.

Dalam Mei 1946, datang dua orang utusan dari BPIKB Singka¬wang, Hamid Hasan dan Yusuf ke Kampung Tenguwe Distrik Air Besar. Keduanya menemui pimpinan PRI Distrik Air Besar yang markasnya berkedudukan di Kampung Tenguwe. Kedatangan Hamid Hasan dan Yusuf adalah untuk mencari dan mengadakan hubungan antara BPIKB dengan PRI.

Dalam pertemuan antara kedua utusan dari Singkawang tersebut dengan pimpinan PRI setempat, dijelaskan bahwa di Singkawang saat mulai diadakan gerakan mengumpulkan para pemuda, terutama bekas Heiho, untuk selanjutnya akan mengadakan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah NICA-Belanda.

Kedua utusan itu selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Ngabang, untuk menemui pimpinan PRI Pusat di sana. Di Ngabang keduanya menyampaikan seperti apa yang telah diutarakannya kepada pimpinan PRI Tenguwe. Selanjutnya Juli 1946, kedua utusan tersebut kembali datang ke Tenguwe dan Ngabang. Kedatangan utusan BPIKB untuk kedua kalinya tersebut untuk menemui kembali pimpinan PRI, guna mendapatkan bantuan tenaga untuk bersama-sama merebut Bengkayang dari tangan NICA-Belanda. Oleh pimpinan PRI dikirim ke Bengkayang sebanyak enam puluh tiga orang lasykar PRI, dengan persenjataan senapan Lantak dan senjata tajam lainnya untuk membantu merebut Kota Bengkayang. Perjalanan dari Tenguwe dilakukan dengan berjalan kaki menuju Bengkayang melintasi jalan setapak semak belukar.

Akan tetapi, setibanya di Bengkayang ternyata belum ada persiapan yang memadai guna merebut Kota Bengkayang. Diperoleh informasi, bahwa dua hari sebelum kedatangan bantuan dari PRI Landak, di Singkawang tentara NICA-Belanda telah mengadakan penang¬kapan-penangkapan terhadap pimpinan pergerakan dan tokoh masyarakat di sana. Selanjutnya, lasykar PRI yang sedianya membantu merebut Bengkayang tersebut kembali ke markasnya di Tenguwe. Tetapi sebelum memasuki Tenguwe, diperoleh informasi bahwa pasukan NICA-Belanda yang datang dari Ngabang tengah mengadakan patroli rutin di Tenguwe.

Karena keadaan Kampung Tenguwe dalam kondisi sepi, di mana kaum laki-lakinya tidak banyak yang kelihatan, pihak tentara NICA-Belanda beranggapan mereka sedang pergi ke ladang. Dengan demikian, adanya rencana gerakan PRI di Tenguwe untuk membantu merebut Bengkayang, tidak diketahui oleh NICA-Belanda. Sebulan kemudian, sekitar pertengahan September 1946, untuk ketiga kalinya datang utusan dari BPIKB ke Kampung Tenguwe. Kali ini BPIKB mengutus Achmad Djajadi dan Sukimin dari Singkawang untuk menjelaskan tentang kegagalan perebutan Kota Bengkayang. Lebih lanjut, Sukimin dengan perantaraan Achmad Djajadi kembali minta bantuan sekali lagi kepada pimpinan PRI Landak untuk dapat mengirim bantuan untuk kembali merebut Kota Bengkayang. Ditambahkan Achmad Djajadi, bahwa saat itu rencana perebutan Bengkayang sudah diatur sedemikian rupa.

Pimpinan PRI Tenguwe memutuskan untuk mengirim sebanyak tiga puluh delapan orang lasykar PRI dengan senjata lengkap untuk membantu menyerbu Bengkayang. Lasykar PRI yang tidak menyerbu Bengkayang disiap-siagakan untuk menyerbu Kota Ngabang, yang sedang direncanakan oleh pimpinan PRI Onderafdeeling Landak. Lasykar PRI yang berangkat menuju Bengkayang dipimpin oleh Achmad Djajadi dan Ya' Jangkung. Pada 8 Oktober 1946, Bengkayang berhasil direbut di bawah pimpinan Alianyang.

Dalam perebutan Kota Bengkayang itu, dalam suatu pertempuran untuk mempertahankan kata terscbut selanjutnya, empat orang lasykar PRI Tenguwe tertawan tentara NICA-Belanda. Keempatnya masing-masing Abdul Sani, Sla¬met, Abdul Hamid dan Rumai. Keempat orang lasykar PRI itu selanjutnya dihukum vonis penjara di Cipinang Jakarta oleh pengadilan militer NICA-Belanda. Sejak dibentuknya PRI dalam Maret 1946, setelah berhasil menanamkan propaganda semangat mempertahankan kemerdekaan di daerah Onderafdeeling Landak, selanjutnya pada 9 Oktober 1946 pagi, PRI dibubarkan dan diganti dengan sebuah organisasi yang bersifat revolusioner. Organisasi tersebut diberi nama "Gerakan Rakyat Merdeka" disingkat dengan Geram. Susunan kepengurusannya tidak mengalami perubahan, yaitu kepengurusan organisasi sebelumnya (PRI). Hanya, sifat dari organisasi ini yang mengalami perubahan, di mana PRI bersifat politis, maka Geram lebih revolusioner atau sebuah gerakan bersenjata.

Dibentuknya organisasi Geram pada 9 Oktober 1946, dengan terlebih dahulu menghimpun berbagai informasi dari hubungan kontak perjuangan yang dilakukan antara pengurus PRI. Hubungan kontak mengenai rencana untuk melakukan suatu pergolakan di Onderafdeeling Landak itu, dijalin dengan mengadakan hubungan komunikasi dengan pemuda-pemuda Landak yang berada di luar Onderafdeeling Landak sendiri. Di Sintang, dijalin hubungan dengan pemuda Ya' Achmad Yaman, di Sanggau dengan Ya' Mohammad Idram Saiyan dan Gusti Alfasyah Sina. Rapat pembentukan Geram sendiri dilakukan di sebuah kawasan terpencil utara Kampung Raja, Ngabang.

Tempat dirumuskannya organisasi Geram di rumah penggilingan karet milik Gusti Ismail Budjang. Rapat pembentukan Geram tersebut antara lain dihadiri Gusti Lagum Amin, Gusti Sani, Ngadim Nadi, Sardiman Nadi, M Lanang Halil, Muhammad Tajib, Djoko Waluyo, Hamdan Budjang dan pengurus PRI lainnya. Setelah berakhirnya rapat di rumah penggilingan karet di Kuban, menjelang subuh pada 9 Oktober 1946, kembali sebuah pertemuan dilangsungkan di rumah kediaman Wakil Panembahan Gusti Affandi Ranie. Hadir dalam pertemuan ini di antaranya Gusti Sani, Gusti Abdulhamid Aun, A Hamid Merseb, Gusti Lagum Amin, Gusti Muhammad Said Rani, Ya' Nasri Usman (Ya' Dedeh) dan Ngadimin Nadi. Dalam pertemuan itu disampaikan kepada Gusti Affandi mengenai rencana selanjutnya, bahwa di bawah koordinasi Geram, pada hari Kamis memasuki hari Jumat, tepat pergantian waktu memasuki 10 Oktober 1946, diseluruh Onderafdeeling Landak dengan dipusatkan di Ngabang dilakukan sebuah pemberonrakan bersenjata.

Dalam pertemuan antara unsur pimpinan yang akan menggerakan masing-masing lasykarnya itu, ditetapkan tiga sasaran pertempuran. Masing-masing dengan menyerang tangsi militer tentara NICA-Belanda di Hilir Kantor, menyerbu rumah kediaman Controleur di Hilir Tengah dan menyerang pos polisi untuk merampas persenja¬taannya. Selain itu juga digariskan, apabila terpaksa harus mundur, semua lasykar Geram akan menyingkir ke hutan dan selanjutnya melakukan grilya di pedalaman. Untuk kesiapan penyerbuan sasaran yang telah ditentukan tersebut, sebelum pecah pertempuran akan disusupkan sejumlah lasykar Geram ke masing-masing sasaran. Untuk merampas persenjataan yang ada di pos polisi ditugaskan kepada Abo Muhammad Nour, seorang polisi yang pro Republik dan memang sudah ditugaskan secara khusus untuk merampas persenjataan di posnya.

Komandan pertempuran Onderafdeeling Landak yang dipusatkan di Ngabang selanjutnya dipercayakan kepada Gusti Lagum Amin. Selain itu ditetapkan pula, komandan pertempuran Distrik Sengah Temila dijabat Bardan Nadi, Distrik Air Besar dijabat Gusti Sani Organ dan Y'a Aye Budjang Suwandi, dan untuk Onderdistrik Menyuke dijabat oleh Bunyamin.

Memasuki 10 Oktober 1946, dengan persenjataan karabin, granat tangan, senapan lantak dan senjata tajam lainnya, pecahlah pertempuran di Ngabang. Tembak menembak antara kedua belah pihak, lasykar Geram dengan tentara NICA-Belanda berlangsung sejak pukul 24.00 hingga pukul 06.00 pagi. Rencana penyerangan terhadap sasaran yang telah ditentukan sebelumnya ternyata bocor, di mana Demang Ngabang sendiri, beberapa saat sebelum penyerbuan dilaku¬kan telah melaporkan kepada Controleur. Akibatnya, aparat militer NICA sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan dari massa rakyat Landak pada saatnya.

Dalam pertempuran 10 Oktober 1946 di Ngabang itu, tidak terdapat korban jiwa yang gugur seketika. Keesokan harinya, 11 Oktober 1946, pihak militer NICA-Belanda dengan sigapnya mengadakan pembersihan memburu para pelaku pemberontakan. Ya' Nasri Usman (Ya' Dedeh) yang memimpin lasykar Geram menyerbu ke rumah kediaman Controleur, tertembak pangkal kakinya, akibatnya ketika baku tembak usai, tak dapat meloloskan dirinya. Akibatnya dapat dengan mudah tentara NICA-Belanda dengan KNIL-nya menangkap Ya' Nasri. Kelaknya, setelah Pengakuan Kedaulatan, Ya' Nasri Usman (Ya’ Dedeh) dikeluarkan dari penjara Ngabang yang dihuninya sejak 11 Oktober 1946, dalam keadaan sakit ingatan yang sangat serius. Tahun 1953 Ya’ Nasri Usman dikirim ke Jawa untuk berobat dari Pontianak dengan menumpang Kapal KPM. Namun sesampainya di Tanjung Priuk, Jakarta, para pengawal yang membawa Ya'. Nasri Usman menyatakan Ya' Nasri Usman telah menceburkan dirinya ke laut dan hilang seketika.

Pihak militer NICA-Belanda dari Ngabang terus melacak jejak lasykar Geram. Pada 11 Oktober 1946 malam, Wakil Panembahan Kerajaan Landak, Gusti Muhammad Affandi Ranie Setia Negara beserta beberapa pimpinan Geram lainnya meninggalkan Ngabang menuju Kampung Munggu. Di Munggu, Gusti Affandi memberi petunjuk kepada pimpinan lasykar Geram untuk tetap meneruskan pergerakan dan kembali menghimpun kekuatan yang telah terkocar-kacir. Mundurnya lasykar Geram dan Pangeran Mangkubumi Gusti Affandi ke Mungguk untuk menyusun kekuatan kembali, dilaporkan oleh seorang penduduk Kampung Munggu kepada pimpinan militer NICA di Ngabang. Dengan adanya laporan tersebut, pada 12 Oktober 1946 pagi, sepasukan militer NICA-Belanda dari Ngabang menuju Munggu.

Di bawah komando Pangeran Mangkubumi Affandi Ranie, seluruh rakyat bersama lasykar Geram membuat pertahanan di luar Kampung Munggu. Hal itu untuk menghindari jatuhnya korban dalam suatu pertempuran. Sebelum pasukan yang dikirim ke Munggu tiba dengan memudiki Sungai Landak, kampung tersebut sudah berada dalam keadaan kosong ditinggalkan penghuninya.

Tentara NICA¬-Belanda tidak berani menyusuri hutan pedalaman untuk melacak pusat pertahanan yang diinstruksikan Gusti Affandi. Akibatnya, untuk melampiaskan kejengkelannya, sepasukan tentara NICA-Belanda tadi menggeranati Kampung Munggu. Akibatnya segala harta benda milik penduduk habis berantakan, termasuk rumah kediaman Kepala Kampung Munggu Ali Matoa, yang semula dijadikan pusat pertahanan. Tentara NICA-Belanda gagal menghancurkan kekuatan lasykar Geram, selanjutnya kembali ke Ngabang. Pada 12 Oktober 1946 sore, sebagian dari lasykar Geram Ngabang dan Air Besar, meneruskan gerilya menuju Kuala Behe dipimpin langsung oleh Pangeran Gusti Affandi Ranie, didampingi Ay Budjang Suwandi dan sejumlah pimpinan Geram lainnya.

Di Kuala Behe kemudian bergabung dengan lasykar Geram Menyuke yang sudah berada di sana di bawah pimpinan Bunyamin dan A. Karim Mahmud. Lasykar Geram dari Menyuke juga membawa beberapa orang tawanan, di antaranya Assisten Demang Darit, Mantri Rumah Sakit Darit dan beberapa pegawai serta polisi dari Darit. Hampir pada saat yang bersamaan, lasykar Geram di Sengah Temila dengan kekuatan sekitar seratus orang bersenjatakan senapan lantak dan senjata tajam lainnya, setelah kembali dari penyerbuan tangsi militer NICA di Ngabang, selanjutnya melakukan grilya. Di sepanjang ruas jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Ngabang, mereka melakukan penghadangan. Lasykar Geram dari Sengah Temila ini dikoordinir langsung di bawah komando Sardiman Nadi, Ismail, Merseb, Budjang Dajam, Dalem dan lain-lain.

Pada 10 Oktobcr 1946, di saat pertempuran di Ngabang telah pecah, siangnya lasykar Geram Distrik Sengah Temila di bawah pimpinan Bardan Nadi berhasil menduduki kantor serta rumah kedia¬man Kepala Distrik Sepatah, Demang Abdullatin. Selanjutnya, oleh Bardan Nadi (Sutrisno), rumah Demang Abdullatin ini dijadikan sebagai markas Geram di sana. Keesokan harinya, 11 Oktober 1946, sepasukan lasykar Geram dari Sepatah di bawah pimpinan Bardan Nadi dan Gusti Muhammad Saleh Aliuddin melakukan penghadangan di sepanjang jalan antara Ngabang dan Sebadu. Dalam penghadangan terhadap kedatangan konvoi bala bantuan tentara NICA-Belanda itu, terjadi kontak senjata tak berimbang. Seorang lasykar Geram, Dachlan, tewas tertcmbak.
Sementara di Ngabang tcrus dilakukan pembersihan dengan penangkapan besar-besaran, dan tak sedikit lasykar Geram yang telah dikirim ke tangsi militer untuk diperiksa selanjutnya dipenjarakan dengan siksaan berat, pada 12 Oktober 1946 siang, sepasukan tentara NICA-Belanda dari Ngabang menuju Sidas dihadang lasykar Geram di Kampung Keniatan, Km 58. Dalam penghadangan itu, kontak senjata tak berimbang tak dapat dihindarkan. Akibatnya, Omah, seorang di antara lasykar Geram tewas seketika. Setelah menyiramkan pelurunya kepada lasykar Geram yang melakukan penghadangan dan telah dibuat kocar-kacir, sepasukan bala bantuan lalu kembali menuju Ngabang.

Pada 15 Oktober, tiga hari kemudian, dua truk berisi penuh tentara NICA-Be1anda dari Ngabang menuju Km 154 Kampung Kelawit, membakar rumah-rumah kediaman penduduk serta menghanguskan sebuah lumbung padi yang merupakan persediaan makanan dari lasykar Geram selama melakukan grilya. Pasukan tersebut selanjutnya menuju ke Senakin, Km 148, dan di sana mereka kembali melakukan pembumi hangusan terhadap kampung tersebut.

Di Kampung Bebehan, Km 150, kehadiran bala tentara NICA-Belanda tersebut disambut dengan perlawanan oleh lasykar Geram setempat. Dikarenakan kekuatan tak berimbang dan pihak lawan jauh lebih memadai, seorang lasykar Geram, Djai, tewas tertembak. Keesokan harinya 16 Oktober 1946. seorang pimpinan teras Geram dan juga sebagai salah seorang pimpinan pertempuran untuk Onderafdeeling Landak, Gusti Mahmud Aliuddin ditangkap tentara Belanda. Pada hari yang sama dengan mengerahkan tiga truk beserta tentara bersenjata lengkap militer NICA-Belanda meninggalkan Ngabang menuju Sengah Temila.

Di perjalanan mereka dihadang di Km 153 oleh lasykar Geram Sengah Temila. Kembali pertempuran terjadi. Karena persenjataan yang jauh tak seimbang, ketiga truk tersebut dapat dengan mudah membobol penghadangan yang dilakukan.Selanjutnya truk-truk tersebut menuju, Kampung Sepatah dan di Sepatah mereka membumi hanguskan rumah kediaman Gusti Muhammad Saleh Aliuddin, salah seorang pimpinan Geram Sengah Teimila. Sekembalinya pasukan militer Belanda itu dari Sepatah, di Kampung Takijung, Km 149 kembali. pertempuran terjadi. Seorang lasykar Geram, Sidong yang memimpin penghadangan dapat ditawan. Selanjutnya, Sidong dibawa dan ditembak mati sebelum memasuki Ngabang.

PERJUANGAN DI PEDALAMAN LANDAK
Dua hari setelah meletusnya pertempuran mempertahankan lbukota Onderafdeeling Landak, Ngabang, pada 12 Oktober 1946 sore sebagian lasykar Geram dari Ngabang dan Air Besar melakukan gerilya ke pedalaman dengan menuju Kampung Kuala Behe. Perjalanan grilya memasuki pedalaman di dipimpin langsung oleh Wakil Panem¬bahan Kerajaan Landak, Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad Affandi Ranie Setia Negara didampingi pimpinan Geram Air Besar, diantaranya Ay Budjang Suwandi dan beberapa pimpinan lainnya.

Di Kuala Behe kemudian menggabungkan diri untuk suatu koordinasi dengan lasykar Geram dari Menyuke yang sudah berada di sana, dibawah pimpinan Bunyamin dan A. Karim Mahmud. Kedatangan lasykar Geram Menyuke dipimpin Bunyamin ini juga membawa sejumlah tawa¬nan. Di antaraa yang ditawan oleh lasykar Geram Menyuke,seperti Assisten Demang Darit beserta pegawawai-pegawainya, seorang Mantri Rumah Sakit yang bernama Ringkat serta dua orang polisi.

Pada malam harinya, bertempat di rumah kediaman Kepala Kampung Kuala Behe, Ahdurrani, diadakan rapat pimpinan lasykar Geram langsung dipimpin Gusti Affandi. Dalam rapat tersebut dirumuskan untuk kedua kalinya merebut Kota Ngabang dari Kampung Ambarang. Lasykar Geram yang berada di Kuala Behe saat itu sedi¬kitnya berjumlah 350 orang, merupakan gabungan dari tiga daerah. Masing-masing dari Ngabang, Menyuke dan Air Besar. Selanjutnya lasykar Geram tersebut dipimpin oleh Gusti Affandi Ranie, Achmad Djajadi dan Gusti Sani Organ.

Dalam rencana penyerbuan kembali Ngabang, diputuskan akan dilakukan pada 13 Oktober 1946. Perjalanan menuju Ambarang terle¬bih dahulu dengan melintasi Serimbu. Rombongan yang dipimpin Gusti Affandi berangkat dari Kuala Behe mempergunakan perahu melalui Sungai Landak menuju Kampung Tersak dengan membawa tawanan Asisten Demang Darit yang bernama Rahimin dan Mantri RumahSakit yang bernama Ringkat. Ikut mendampingi Gusti Arfandi diantaranya Ya' Muhidin, Abdurrani Kepala Kampung Kuala Behe, Gusti Muhammad Said Ranie saudara dari Gusti Affandi sendiri, dan beberapa orang pimpinan Geram lainnya. Di Serimbu, seluruh pegawai kantor Demang menyatakan bergabung dengan lasykar Geram yang mendatangi mereka.

Pada 14 Oktober 1946 subuh, lasykar Geram berangkat dari Serimbu melalui jalan setapak menuju Kampung Ambarang, untuk maksud semula menyerang kembali Kota Ngabang. Malamnya, 15 Oktober lasykar Geram tiba di Kampung Ambarang. Ternyata penduduk kampung tersebut kosong. Hanya beberapa orang saja yang masih berada di rumahnya. Kondisi tersebut, diam-diam dimanfaatkan oleh kaki tangan NICA-Belanda untuk melaporkan ke Ngabang, bahwa di Ambarang lasykar Geram tengah berkumpul.

Berdasarkan laporan kaki tangan tersebut, pada 15 Oktober 1946 pagi, sepasukan militer NICA-Belanda menyerang dan mengepung Kampung Ambarang, 15 Km dan Ngabang. Kedatangan tentara NICA-Belanda tersebut disambut oleh lasykar Geram dengan baku tembak mempergunakan senjata senapan lantak. granat tangan dan karabin. Akibat kondisi persenjataan yang tak seimbang. lasykar Geram terkocar-kacirkan. Dalam kontak senjata tersebut, dua orang lasykar Geram dapat tertawan dan kemudian dibawa ke rumah penjara Ngabang. Sedangkan di pihak militer NICA-Belanda. tewas sejumlah empat orang perwira.
Untuk mempertahankan diri, l.asykar Geram dari Distrik Nga¬bang yang berada di Ambarang selanjutnya mengundurkan diri kembali ke arah Serimbu di bawah komando Gusti Lagum Amin. Setibanya di Kampung Anyang, lasykar Geram kemudian mendirikan markas pertahanan di sana. Sedangkan lasykar Geram dari Air Besar kemu¬dian mendirikan pertahanan di Kampung Bangkup Semedang di bawah pimpinan Ay Budjang Suwandi.

Sedangkan lasykar Geram yang mengundurkan diri ke Kampung Papung dipimpin oleh Gusti Sani Organ. Selanjutnya dari Papung menuju ke Jata Menyuke. Pusat penahanan lasykar Geram di Kampung Anyang karena semakin tidak memungkinkan lagi untuk bertahan. selanjutnya dialihkan ke Gunung Berambang. Dalam suatu kontak senjata, pihak NICA-Belanda berhasil menawan Ya' Hafiz dan Ya' Kadaiyana bekas juru tulis Demang Serimbu, di mana. keduanya merupakan tokoh pemuka masyarakat di Serimbu.

Selanjutnya, pihak militer NlCA-Belanda semakin merasa gusar atas aktifitas grilya lasykar Geram Landak di pedalaman. Mereka kemudian mengadakan kembali suatu pembersihan besar-besaran. Komandan tentara KNIL yang bertugas di Serimbu, seorang sersan, merasa frustrasi atas kegagalan anak buahnya memadamkan gerakan di Air Besar kemudian menembak dirinya sendiri dengan senjata yang ada padanya. Kampung Anyang kemudian digeledah dan dirumah Kepala Kampung Anyang ditemukan sejumlah dokumen pergerakan Geram. Dengan demikian maka dengan mudah pihak militer NICA-Belanda yang tengah mengadakan pembersihan itu menangkapi Kepala Kampung Anyang Muhammad Umar, seorang khatib dan juga ulama bernama Ismail serta seorang pemuka masyarakat bernama Husin. Ketiganya kemudian ditembak mati seketika setelah diseret dari dalam rumahnya.

Di Kampung Tenguwe, pembersihan besar-besaran kembali dilakukan, sehingga militer NICA-Belanda dapat menangkapi sejumlah pimpinan lasykar Geram di sana. Mereka yang tertangkap di Tenguwe di antaranya Ya' Muhidin, Ya' Achmad Dundik, Ya' A Rahim Anom, Ya' Jangkung dan Ya' Saleh Usman.

Lasykar Geram dan Menyuke yang dipimpin Bunyamin dan A Karim Mahmud selanjutnya mengundurkan diri ke Kampung Tenguwe. Namun, sebelum sampai di tujuan didapat informasi bahwa di sana tengah dilakukan suatu pembersihan oleh militer NICA-¬Belanda yang datang dari jurusan Bengkayang dan Ngabang. Sesuai dengan rencana semula, untuk kemball ke markas lasykar Geram yang berkedudukan di Kampung Jata dan bergabung dengan lasykar Geram Sengah Temila, guna melakukan penghadangan di ruas jalan yang menghubungkan Pontianak dengan Ngabang. Dengan demikian, maksud untuk menuju Tenguwe diurungkan dan selanjutnya kembali menuju Jata.

Akan tetapi, rencana perjalanan untuk melakukan koordinasi kekuatan dengan lasykar Geram Sengah Temila itu sudah bocor ke pihak militer NICA-Belanda. Militer NICA-Belanda di bawah pimpi¬nan Kapten Martin terus menerus memimpin operasi pembersihan. Kampung Jata, Darit dan Meranti terus didatanginya bersama sepa¬sukan bersenjata lengkap disertai oleh seorang mata-mata yang sengaja dipasang NICA-Belanda di wilayah tersebut. Akibatnya, berhasil ditawan sejumlah pimpinan Geram secempat. Di antaranya tertangkaplah Kadaruddin, Abdul Azis, Matnoh, Budjang, A Hamid Djahin, Gusti Muhammad Saleh Tahir, Ija, M. Yaman, Achmad Budjang dan sejumlah lainnya.

Penangkapan terakhir yang dilakukan militer NICA-Belanda terhadap pimpinan lasykar Geram Menyuke merupakan penangkapan habis-habisan dengan sangat kejam, di mana tiga pimpinan lasykar Geram setempat, Bunyamin, M Kasim dan A.Rani Dawin ditangkap di simpang jalan Jata menuju Darit. Ketiganya ditembak dengan temba¬kan gencar senapan mesin. A Rani Dawin meninggal seketika, sedangkan Bunyamin H Seman dan M Kasim H Seman meski sekujur tubuhnya telah diberondong dengan senapan mesin, namun masih dapat menyelamatkan diri kembali ke kampung halamannya Jata. Kedatangan kembali kedua orang pemimpin lasykar Geram dengan badan penuh luka tembakan itu dilaporkan oleh mata-mata. Selanjutnya berdasarkan laporan mata-mata tersebut, Bunyamin H Seman dan M Kasim H Seman ditangkap kembali dan dibawa lagi ke tempat penembakannya semula di simpang Jata. Sebelum ditembak keduanya disiksa terlebih dahulu, hingga akhirnya tewas seketika akibat tusukan bayonet dan dipaksa untuk menelan cabikan bendera Merah Putih.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada 29 Oktober 1946 pagi, pimpinan pertempuran lasykar Geram mengadakan pemeriksaan terhadap markas Geram di Sidas dan sebuah gudang mesiu. Kedua rumah tersebut telah dikosongkan oleh penghuninya untuk dipergunakan lasykar Geram. Inspeksi ini bertujuan untuk mengetahui kesiap siagaan lasykar Geram sejumlah sekitar tiga ratus orang di sana untuk gerakan lebih lanjut.

Namun inspeksi rahasia dari pimpinan Geram kepada komandan pasukan dan regu untuk maksud tersebut telah diketahui militer NICA-Belanda. Secara tiba-tiba pada pukul 12.00, hanya dalam jarak sekitar 50 meter, pihak militer NICA-Belanda telah berhadapan dengan lasykar Geram di Sidas. Komandan pasukan militer NICA¬Belanda memerintahkan agar pasukan lasykar Geram untuk menyerahkan diri seketika. Namun seruan itu sama sekali tidak dihiraukan.

Dalam pertempuran berjarak sekitar 50 meter dengan persenjataan jauh tak seimbang itu, pimpinan pasukan lasykar Geram langsung ditangani Bardan Nadi (Sutrisno) dengan wakilnya Mane Pak Kasih. Teriakan lantang dari. pasukan militer NICA-Belanda, agar lasykar Geram meletakkan senjata segera mendapat jawaban berupa tembakan dari moncong laras senapan lantak. Lasykar Geram terus maju menyerbu dengan persenjataan tajam lainnya berupa mandau, pedang dan bambu runcing. Akibatnya, dengan berondongan senapan mesin dan militer NICA-Belanda, sejumlah dua puluh tiga orang lasykar Geram tewas seketika.

Mereka yang gugur dalam pertempuran Sidas pada 29 Oktober 1946, masing-masing Mane Pak Kasih, Dalen, Husein Bahauddin, Sukma, Mujalim, Budjang, Icik, Ya' Ay Tajuddin Mohidin, Amat Bolek, Jiak, Seman, Injus, Johari, Pukim, Dilam, Unsa Musang, Kowe, Baap, Ralai, Abdul Azis, Sama, Kari dan Usman Ketapang.

Militer NICA-Belanda bermaksud untuk menangkap hidup-¬hidup Bardan Nadi. Begitu pasukan bersenjata lengkap itu tiba di Kam¬pung Ransam, mereka mendapatkan sebuah perlawanan dari rakyat di sana. Bardan Nadi (Sutrisno) rnenyadari bahwa dirinya dalam bahaya. Seketika itu pula, selembar dokumen pcrgerakan rakyat Landak diselamatkannya dengan cara ditelan lumat dalam mulutnya.

Dari luar rumah pertahanannya, militer NICA-Belanda dengan gencar melepaskan tembakan. Ketika itulah, sebutir timas panas lepas dari moncong laras senapan mesin NICA-Belanda, telah merenggut jiwa seorang putri Bardan Nadi yang masih berusia kanak-kanak yang bernama Paini Trisnowati. Anak tersebut tewas seketika.Akibat gugurnya putri kesayangan dari gendongannya, Bardan Nadi tak berdaya melihat kenyataan yang ada. Dalam kondisi yang demikianlah, militer NICA-Belanda berhasil menawannya. Beberapa orang pendamping Bardan, di antaranya Buang bin Budjang dan Abu Nawan ikut ditangkap. Pada hari itu juga, Bardan dikirim ke tangsi militer di Ngabang, untuk beberapa saat kemudian ditahan di rumah penjara Ngabang. Keesokan harinya dikirim ke rumah penjara Sungai Jawi Pontianak.

Selama menjalani hukuman di Pontianak, setiap harinya dengan tidak berhenti-henti, Bardan mendapat penyiksaan berat. Pada kesudahannya, melalui keputusan dari pengadilan militer NICA-¬Belanda yang mengadilinya, Bardan dijatuhi hukuman tembak mati. Beberapa saat sebelum menjalani hukuman tembak mati tersebut, pada 17 April 1947, Bardan mengajukan beberapa permintaan. Dan permintaan itu seluruhnya dikabulkan masing-masing ia memimpin tahanan pemberontakan lainnya untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dan permintaan lainnya, ia tak ingin ditutup matanya dengan kain hitam ketika penembakan dilakukan atas dirinya.

Setelah Bardan menyampaikan kata perpisahan terakhir dengan rekan-rekan seperjuangannya, oleh satu regu tembak pada 17 April 1947 di lokasi pos penjagaan II rumah penjara Sungai Jawi Pontianak,Bardan Nadi (Sutrisno) menjalani hukuman mati. Setelah pengakuan kedaulatan, kerangka Bardan dlpindahkan ke Ngabang. Dan dalam tahun 1996, kembali kerangka Bardan Nadi bersama putrinya Paini Trisnowati yang dimakamkan di Ransam Sepatah, dipindahkan ke Makam Juang Rakyat Landak, di Km 2 Kota Ngabang.