Minggu, 04 Oktober 2009

DENYUT NADI REVOLUSI KEMERDEKAAN KALIMANTAN BARAT (X)

SABOTASE PEMUDA DI PONTIANAK
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pemuda-pemuda di Pontianak yang pada masa pendudukan Jepang dilatih sebagai Heiho, setelah secara berantai mendengar dan mengetahui tentang berita kemerdekaan Indonesia, berusaha saling mengadakan hubungan. Terutama sekali setelah dibentuknya sebuah organisasi pemuda yang dikenal dengan "Pemuda Penyongsong Repub¬lik Indonesia", PPRI pada 15 September 1945 di Pontianak. Dari berkali-kali para pemuda pemuda di Ponrianak mengadakan hubungan kontak tersebut, mereka berusaha untuk mengadakan penyerbuan terhadap militer Jepang yang sudah meninggalkan Pontianak.

Sejak sebelum militer Sekutu dengan tentara Australianya mendarat di Pontianak, Jepang sudah meninggalkan Pontianak menuju Batu Ampar. Pemuda-pemuda yang pernah terlatih di dalam Heiho, merencanakan untuk merampas persenjataan yang ada pada Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan guna merealisasikan maupun manifestasi tentang kemerdekaan yang sudah diprokla¬mirkan.

Untuk itulah para pemuda bekas Heiho seperti AM Dhamhar berusaha menghubungi sejumlah rekannya. Dalam beberapa kali pertemuan, mereka merencanakan untuk tetap menyerbu Jepang di Batu Ampar. Akan tetapi, setelah dilakukan kembali pertemuan untuk Iebih mematangkan rencana tersebut, diputuskan untuk membatalkan rencana semula. Hal itu dengan dasar pertimbangan, bahwa terbatasnya sarana untuk menuju Batu Ampar, selain juga jarak waktu yang akan dihabiskan untuk mencapai ke sana sangat tidak memungkinkan.

Dalarn kondisi seperti itulah kemudian perhatian dialihkan dengan merencanakan mengadakan sabotase-sabotase di dalam Kota Pontianak. Hal itu akan ditempuh, karena sejak Oktober 1945, kekuatan militer NICA-Belanda di Pontianak sudah semakin kukuh, yang dalam suatu pemikiran, akan sangat mustahil dihadapi oleh para pemuda. Se1ain memang ruang gerak mereka dibarasi, juga masalah persenjataan yang tidak ada sama sekali. Sedangkan rencana semula untuk merampas senjata Jepang di Batu Ampar, urung dilaksanakan mengingat segala keterbatasan yang ada.

Waktu rerus berjalan, para pemuda di Pontianak telah mendengar berita bahwa di berbagai daerah di luar Pontianak, telah berkecamuk pertempuran demi pertempuran, seperti di Sambas, Bengkayang, Ngabang, Sidas, Ketapang dan NangaPinoh. Untuk ituIah, dalam sebuah pertemuan mereka, disusun suatu rencana untuk mengadakan sabotase di Pontianak. Sasaran yang dituju masing-masing Gedung Copra Fonds yang terIetak di muara Gertak I, Tek Long Sungai Jawi. Selain itu akan menyerbu tangsi miIiter NICA-Belanda dan pcnyerbuan ke rumah penjara Sungai Jawi di muara Gertak III. Isyarat penyerbuan, dalam pertemuan itu dirumuskan, dengan pemadaman listrik di Pontianak

Untuk membakar Gedung Copra Fonds.tersebut, ditugaskan kepada beberapa orang pemuda. Di antaranya AM Damhar, AS Djampi, Achmad Noor, Yacob Mahmud, Hamdy Moursal dan sejulah pemuda lainnya. Hingga waktu yang telah ditentukan, pertengahan Desember 1946, rencana sabotase dimulai.Oemar Saidi bersama rekan-rekannya sperti Syarif Muhammad Kusuma Yudha. Yusuf Yatim dan Arwi menaiki sebuah sekoci menuju ke Kapal Djampea.

Kapal Djampea ini adalah sebuah kapal perusak milik Belanda dengan kecepatan 20 knot perjam. Kapal tersebut memiliki dua senapan mesin, satu di bagian belakang dan satunya lagi di bagian muka. Senapan mesin di atas kapal tersebut dengan peluru berantai yang masing-masing berisi 60 peluru, terdiri dari peluru tajam dan peluru api. Peluru-peluru ini apabila ditembakkan dan mengenai sasarannya akan meledak dan membakar apa saja yang ada di sekitarnya.
Sebagaimana rencana semula, dengan Kapal Djampea ini akan berangkat merapat mendekati tangsi militer dari Sungai Kapuas. Selanjutnya, dengan melihat api menyala di dermaga Tek Long Gertak I, isyarat bahwa Gedung Copra Fonds sudah dibakar. Dan hal itu akan nampak kelihatan dikarenakan terjadinya pemadam listrik sekota Pontianak.

Setelah listrik dipadamkan, dan api mulai menyala tiba-tiba saja seorang pedagang Cina berteriak-teriak meminta bantuan menyatakan ada kebakaran. Dalam waktu tak terlalu dibuang-buang, sepasukan militer NICA-Belanda telah memadamkan api tersebut. Dengan demikian, rencana yang sudah diatur semula menjadi berantakan, dengan kata lain mengalami kegagalan. Padamnya api tersebut, menyebabkan tidak timbulnya reaksi seperti rencana semula. Oemar Saidi dan Syarif Muhammad Kusuma Yudha yang sedianya akan menyerbu ke tangsi militer Belanda di kiri dan kanan batal. Tak ada tembakan yang dilepaskan dari atas kapal Djampea.

Gagalnya rencana sabotase membakar Gedung Copra Fonds pertengahan Desember 1946 itu, masih memberikan semangat kepada para pemuda di Pontianak untuk mengulangi kembali. Meski mereka sejak adanya insiden malam tersebut sudah diawasi oleh PID Belanda, namun beberapa di antara para pemuda itu seperti AM Damhar, Jacob Mahmud dan Sai, berusaha mengulangi kembali dengan menggranati gudang mesiu NICA-Belanda di Jeruju. Akan tctapi, masih mengalami kegagalan kembali karena penjagaan ketat atas gudang tersebut dan alat peledak yang dipergunakan jauh tak berimbang dengan yang dipergunakan militer NICA-Belanda.

Seterusnya, beberapa orang pemuda yang melakukan sabotase di Pontianak, memutuskan untuk berangkat ke Pulau Jawa. Diantaranya Syarif Muhammad Kusuma Yudha, AM Damhar, Djahri Rustam, Wagino (WD Mochtar) dan A Madjid pada pertengahan 1947. Sedangkan mereka yang tctap bertahan di Pontianak, berusaha untuk terus mengadakan gerakan. Akan tetapi, keberadaan mereka diburu¬buru oleh PID NICA-Belanda.

Untuk mengalihkan perhatian terhadap diri mereka oleh NICA-Belanda, beberapa orang pemuda seperti Oemar Saidi, Hamdani M Ali dan Achmad Noor menuju ke daerah Pantai Utara di Sambas menjalin hubungan kontak dengan Alianyang di sana. Namun kemudian, satu persat mereka ditangkapi NICA-Belanda. Setelah penangkapan pertama terhadap diri mereka didakwa melakukan sabotase terhadap Gedung Copra Fonds, untuk beberapa waktu mereka diinapkan dirumah penjara Sungai Jawi. Selama itu penyiksaan oleh NICA-Belanda diberlakukan terhadap mereka.

Untuk beberapa saat mereka diperbolehkan menikmati pembebasan, namun dengan dalih yang dibuat-buat, pada 8 November 1948, Achmad Noor, Oemar Saidi, Hamdy Moursal, Jusuf Jatim, Abasjuni Abubakar, Saidi, Hamdani M Ali dan lain-lain kembali dirumah penjarakan di Sungai Jawi. Siksaan berat kembali dijalani, terlebih terhadap diri Oemar Saidi dan Hamdy Moursal serta La Ode Idjo yang didakwa sebagai dalang gerakan sabotase terdahulu.

Kegagalan melakukan sabotase juga menyebabkan pengusutan yang dilancarkan dengan ketat. Bersamaan dengan rencana untuk sabotase semula, di Sungai Ambawang oleh Kasan Gendon dan rekan-rekannya juga telah mempersiapkan diri untuk maksud tersebut meski belum dapat dilaksanakan. Dalam pengusutan yang dilakukan dengan lebih gencar oleh NICA-Belanda, menghasilkan ditangkapnya sejumlah pemuda lainnya. Di antaranya Kasan Gendon, Rabut bin Sehak, Soenardi Martosoediro seorang opnemer V en W, serta Memen Semita.

Dalam penangkapan yang diberlakukan NICA-Belanda itu, dengan segala penyiksaan terhadap para tahanan tersebut, PID¬ Gemscher belum berhasil memperoleh pengakuan dari para pelaku sabotase tersebut. Hingga pada akhirnya, setelah penyiksaan berat terhadap La Ode Idjo dan Oemar Saidi, komisaris Gemscher berdiri sambil membuka sebuah map dan menunjukkan selembar kertas berisi "Surat Tahanan". Beberapa hari kemudian terbukti, Dr M Soedarso, Radjikin dan Rd Soekotjo Katim ditangkap karena dituduh memberi¬kan dukungan terhadap gerakan sabotase pemuda di Pontianak.

Hampir dalam waktu berjurut, di Pontianak pada 17 No¬vember 1945 seorang pemuda bekas Heiho, Syarif Alwi AMS memelopori pembentukan sebuah Organisasi pemuda bersenjata dengan nama "Barisan Kuntji Wadja" yang dikenal luas dengan BKW. Di dalam BKW melibatkan pemuda-pemuda yang dulunya di masa pendudukan Jepang telah mendapat latihan pada Kaigun Heiho. Awal kehadiran¬nya, BKW dipusatkan di Sungai Kakap, di luar Kota Pontianak. Hal itu dimaksudkan untuk pengamanan dari incaran NICA-Belanda. Da¬lam perkembangan selanjutnya, markas BKW dialihkan ke Kuala Dua.

Aktifitas yang ditempuh oleh BKW adalah untuk menyatukan tenaga-tenaga pemuda yang dulunya pernah mendapatkan latihan sebagai Kaigun Heiho, Seinendan dan kemiliteran lainnya di masa pendudukan Jepang. Selanjutnya, mengadakan hubungan kontak dengan sejumlah pemuda republikein yang disusupkan sebagai tentara KNIL di bawah NICA-Belanda untuk memperoleh persenjataan.

Organisasi BKW selanjutnya menyusun suatu kepengurusan di bawah pimpinan Syarif Alwi AMS. Dalam BKW ini didudukkan pula dua orang penasehat, rnasing-masing Dr M Soedarso dan Rd Soekotjo Katim, di mana keduanya sebagai pemuka masyarakat dari golongan yang dituakan serta terlibat langsung dalam kancah politik. Untuk propaganda BKW, diangkat AS Djampi selaku pelaksana hubungan kontak dengan organisasi pergerakan lainnya. Di dalam BKW juga disusun suatu keanggotaan staf yang di antaranya terdiri dari Abu Bakar Salman, Mardjuan Somanadipa, A Rachman Zakaria, Rachmad Umar, Tarmidji, Muhammad, A Karim, M. Ali Budjang, Chairul A Rasjid serta sejumlah pemuda lainnya lagi.

Dalam aktifitasnya, BKW selain memusatkan kegiatan latihan di Kuala Dua, juga mengadakan latihan bersenjata di Tebang Kacang dan Kumpai Kecil. Namun juga untuk memperkuat posisi kedudu¬kannya agar sukar diawasi olch NICA-Belanda, BKW beralih-alih tempat untuk mengadakan latihan, hingga daerah Sungai Pinyuh, Sungai Purun dan Peniraman. Dan dalam perkembangan kemudian, BKW menjalin hubungan dengan BPRIA di Mempawah yang kemudian berada dalam naungan organisasi BPIKB di Bengkayang.

BKW sebelum sempat melakukan suatu gerakannya yang bersifat demonstran lebih besar, pimpinannya sudah dapat tertawan. Syarif Alwi AMS dan Mardjuan Somanadipa selaku pimpinan ters BKW kemudian dipenjarakan di Sungai Jawi Pontianak, namun demikian usaha-usaha BKW untuk meneruskan rencana semula pergerakan dengan sabotase masih dijalankan juga.

Namun demikian, NICA- Belanda untuk lebih mengamankan munculnya gerakan-gerakan dari berbagai organisasi yang ada itu, selanjutnya menciduk sejumlah tokoh pemuda lainnya, di antaranya dengan menawan sejumlah pemuda militan lainnya.

RAKYAT KALBAR TOLAK FEDERAL
Berdasarkan perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda (S 1946/III), di wilayah bekas Hindia Belanda untuk sementara dijalankan Pemerintahan miiliter Sekutu. Pemerintahan ini dibantu oleh Netherlands Indies Civil Affairs Officers (NICA), yang mengurus pemerintahan sipil. Dengan demikian maka di wilayah Indonesia yang didatangi tentara Sekutu untuk mengurus pemindahan tentara Jepang dan tawanan Sekutu; terdapatlah NICA.

Pemerintahan NICA awalnya terdiri dari seorang staff officer NICA dan beberapa Commanding Officer NICA (CONICA). Namun menjelang akhir September 1945, staff officer NICA diganti dengan beberapa Chief Commanding Officer (CCONICA) yang memegang jabatan gubernur. Sedangkan CONICA rnerangkap sebagai residen. Jabatan asisten residen sebelumnya dijabat oleh Sub Commanding Officer NICA (S 1945/5). Pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda setelah Perang Dunia. II dijabat oleh Luitenant Gouyerneur Generaal.

Jabatan itu dipegang oleh Dr HJ van Mook (51945/104). LGG dengan persetujuan Raad van Departementshoofden memegang kekuasaan legislatif, yaitu menetapkan ordonnantie yang umumnya harus ditetapkan bersama-sama Volksraad. Berdasarkan Overgangsbesluit Algemeen Bestluur Nederlandsch Indie (S 1944/1). LGG berwenang menyimpang dari ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan Hindia Belanda dulu, yang termaktub dalam lndische Staatsregeling dan perundang-undangan lainnya.

Setelah tentara Sekutu meninggalkan Indonesia, semua kekua¬saan diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Di Indonesia kawasan timur, Inggris yang terakhir berangkat dari Makasar pada 1 Juli 1946. Untuk wilayah ini, NICA diganti dengan Algemeen Regeringscommissaris voor Borneo en de Groote Oost yang memegeng kekuasaan gubernur (S 1946/64 dan 70). Dalam November 1948, jabatan LGG dihapuskan. Untuk Indonesia kemudian diadakan Hoge Vertegenwoordiger ven de Kroon in Indonesie (S 1948/272). Jabatan ini dipegang oleh Dr JM Beel. .

Berdasarkan S 1946/17, di Kalimantan (Borneo) dibentuklah neolandschappen. Untuk Kalimantan Barat terdiri dari Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pinoh, ketiganya berdasarkan S 1946/59. Sebelum Perang Dunia II, daerah ini merupakan suatu groepsgemeenschap. Pada pembentukan daerah tersebut, sekaligus ditetapkan untuk masing-¬masing sebuah majelis yang memegang kekuasaan pemerintahan daerah. Majelis untuk Meliau terdiri dari seorang ketua dan dua anggota. Majelis-majelis Kapuas Hulu dan Tanah Pinoh terdiri atas seorang ketua dan empat anggota.

Sebagian besar neo landschap di Borneo ini kemudian bergabung dengan tetangganya yang menjadi daerah otonom yang lebih besar. Neo landschappen Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pinoh bersama-sama dengan 12 zefbesturende landschappen di Kalimantan Barat bergabung menjadi satu Federasi Kalimantan Barat, berdasarkan keputusan bersama pada 20 Oktober 1946, No 20/L yang kemudian diperbaharui dengan keputusan 10 Mei 1948 Nomor 25/L. Seterusnya, susunan dan tugas wewenang federasi ini diatur dalam suatu anggaran dasar yang ditetapkan oleh Dewan Daerah Kalimantan Barat pada 22 September 1949 dengan keputusan No I79/DW.

Stadsgemeente yang pemah dibentuk oleh landschap di Kalimantan berdasarkan S 1946/27 hanyalah sebuah, yaitu Pontianak. Ini dibentuk dengan Keputusan Sultan Pontianak pada 14 Agustus 1946 (JC 1946/24). Walikota landschapsgemeente ini diangkat pula oleh sultan.

Setelah dapat kembali ke Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda mencari siasat untuk dapat tetap mempertahankan kekuasaannya sebagaimana sebelumnya. Pucuk pimpinan pemerintahan ini, LGG Dr HJ van Mook akhirnya mencetuskan gagasan tentang pembentukan suatu negara serikat.

Sebagai langkah pertama, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan Konperensi di Malino pada 15 hingga 25 Juli 1946. Sebagai langkah berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan Konperensi di Pangkalpinang (Bangka) pada I hingga 12 Oktober 1946. Mereka yang diajak berunding adalah golongan minoritas. Konperensi ini menyetujui kesimpulan Konperen¬si Malino tentang pembentukan Negara Federal. Hampir tiga pekan sejak awal Desember 1946, kembal diadakan konperensi di Denpasar, Bali. Dalam konperensi ini. pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat sudah menjadi kepastian. Maka kemudian lahirlah negara bagian yang pertama dari negara federal yang direncanakan tersebut, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT).

Selanjutnya mulai 1947 sampai 1949, Pemerintah Hindia Belanda meneruskan usahanya membentuk satuan-satuan ketatanegar¬aan yang akan menjadi bagian dari Negara Federal Indonesia. Demikianlah berturut-turut terbentuk Negara-negara Sumatra Timur, Madura, Pasundan, Sumatra Selatan dan Jawa Timur. Kemudian diben¬tuk pula satuan kenegaraan yang tegak sendiri, zelfstanding staatkundig eenheid. Masing-masing Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Banjar, Kalimantan Timur dan Jawa Tengah.

Sedangkan Kalimantan Barat ditetapkan sebagai "Daerah Istimewa Kalimantan Barat" berdasarkan S 1948/58. Satuan kenegar¬aannya disebut "Daerah Istimewa" karena dalam statusnya ditentukan S 1948/58 pasal 3, di mana suatu permulaan telah dibuat guna pembentukan Negara Serikat Indonesia dan pembentukan Uni Belanda¬Indonesia sebelumnya suatu negara Kalimantan dibentuk, maka Kalimantan Barat pada permulaan itu bekerjasama atas dasar kedu¬dukan yang sederajat dan diberikan hak-hak yang sama sebagai sebuah negara.

Suatu tindakan lain untuk mempersiapkan negara fedetal itu ada1ah pembentukan "Voorlopige Federale Regering van Indonesie" dengan S 1948/62. Tetapi yang dinamakan Pemerintah Federal Sementara itu ternyata tetap LGG dengan kepala-kepala departemen terdahulunya, ditambah dengan Procureur Generaal Hooggerechtshof dan Secretaris van Staat yang tidak mengepalai sesuatu departemen. Kemudian satuan kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tersusun atas 12 zelfbesturende landschappen dan 3 neo¬landschappen yang bergabung dalam suatu ikatan federasi.

Di Kalimantan Barat seterusnya terdapat zelfbesrured landschap terdiri dari Landak, Kubu, Mempawah, Matan, Pontianak, Sambas. Sanggau, Sekadau, Sanggau, Simpang, Sintang, Sukadana dan Tayan. Dalam suatu federasi zelfbesrurende landschappen tersebut ditambah dengan neo landschappen yang terdiri dari Kapuas Hulu, Melau dan Tanah Pinoh. Adapun ladschapsgemeente yang dibentuk untuk Borneo hanya Pontianak.

Menjelang akhir 1949, gagasan LGG Dr HJ van Mook tentang pembentukan negra federal Indonesia menjadi kenyataan. Pembentu¬kan itu menempuh perjalanan yang berliku-liku, membutuhkan waktu, memakan korban jiwa serta juga menelan biaya besar bagi rakyat Indo¬nesia. Setelah terbentuknya RIS, kedudukan zelfbesturende landschappen diatur tersendiri di dalam Konstitusi RIS dan juga dalam suatu persetujuan antara Indonesia dan Belanda. Kemudian istilah zeIbestuur maupun juga zelfbesturend landschap diganti dengan istilah "Swapraja". '

RIS mengakui swapraja sebagai daerah yang mempunyai kedu¬dukan istimewa dalam lingkungannya., di mana juga kedudukan swapraja diatur oleh negara bagian RIS yang bersangkutan dalam suatu kontrak. Oleh Konstitusi RIS diberikan peluang, dimana swapraja tidak dapat dihapuskan atau diperkecil apabila swapraja itu tidak menyetujuinya. Kalaupun swapraja akan dihapuskan atau diperkecil bertentang dengan kehendaknya, itu hanya dapat dilakukan dengan UU RIS, dalam mana dinyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan / pengecilan dan memberi kuasa kepada negara bagian untuk menjalankan hal itu.

Selama berlangsungnya RIS, swapraja-swapraja yang telah ada di Kalimantan Barat tetap berlangsung seperti sediakalanya. Hanya saja, di dalam prakteknya tidak ada negara bagian yang mengadakan kontrak dengan swapraja dalam bentuk perjanjian tertulis.

Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri sebagai ciptaan Belanda yang bersama-sama merupakan RIS, tidak pernah mengakar dalam sanubari rakyat Kalimantan Barat. Sebagian terbesar sesungguhnya rakyat Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh menginginkan suatu negara federal, melainkan negara kesatuan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, belum cukup sebulan usia RIS, di daerah-daerah, sebagaimana di Kalimantan Barat, timbul pergolakan yang menuntut dibubarkannya negara federal dan dibentuknya suatu Negara Kesatuan Republik ln¬donesia.

Dengan keputusan Menteri Dalam Negeri RIS pada 24 Mei 1950 No BZ 17/2/47, seluruh tugas pcmerintahan Kalimantan Barat diserahkan kepada Residen RIS di Pontianak. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran sesuatu negara bagian, ditetapkan UU Dar 1950/11 tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS. Berdasarkan UU Dar ini maka satuan-satuan yang menghendakinya lalu dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan pada Negara Bagian RI.

Rakyat Kalimantan Barat di Pontianak menyampaikan resolusi menuntut pembubaran DIKB dan menyatakan Kalimantan Barat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah DIKB mengalami suatu ketegangan, situasi umum sangat mencekam. Terlebih dengan digerakkannya pemogokan umum secara besar-besaran di Kalimantan Barat sejak 7 Maret 1950.

Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) yang menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia menyatakan tidak bersedia berunding, kecuali menuntut dibubarkannya DIKB. Untuk mengatasi suasana yang demikian, pada 12 Maret 1950, tiba dari Jakarta Komisaris Umum Pemerintah RlS, Mr lndra Kusuma dan M Soeparto. Kedatangannya untuk menyelesaikan masalah pemogokan serta hubungan antara Komite Nasional Kalimantan Barat dengan Pemerintah DIKB. DIKB sendiri menyatakan tidak bersedia untuk bubar begitu saja, sebaiknya KB tentang pengakhiran pemogokan dan membentuk sebuah badan pertimbangan dalam periode "transisi".

Penggerak pemogokan umum Kalimantan Barat, SH Marpaung bersama-sama Munzirin AS, Gusti Muhammad Affandi Ranie, M Nazir Effendi melalui Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) mengeluarkan perintah untuk penghentian pemogokan umum sejak 18 Maret 1950.

Selanjutnya, secara resmi DIKB dinyatakan bubar sejak 7 Mei 1950 dengan sebuah keputusan Dewan DIKB sendiri, namun secara de fackto DlKB telah dianggap bubar sejak perundingan berakhir antara KNKB dengan Dewan DIKB yang ditengahi Komisaris RIS pada 20 Maret 1950. Pada periode awal pembentukannya, Dewan DIKB ciptaan Belanda melibatkan beberapa unsur di dalamnya.

Beberapa di antara anggota DewanDIKB di antaranya JC Oevaang Oeray, FC Palaoensuka, IJ Kaping, Koraach, PJ Denggol, M Th Djaman, Lim Bah Meng, A Muthalib Rivai, M Saleh, Zuhdi, Malik Sood, Sim Kim Nyuk, Yo TSai Liang, Ten Hong Giap, Fo Nam Kit, Lim Liat Nya, Cai Jan Pao, Kiers, Harmsen dan Zijl de Yong. DIKB dipimpin oleh Sultan Hamid II dengan wakilnya Nieiwenhuysen dan seorang penasehat Bohan.

Selanjutnya sejak 12 Mei 1948 diadakan perubahan susunan Dewan DIKB yang terdiri dari Nieiwenhuysen, JC Oevaang Oeray, Lim Bah Meng, AF Koraach dan Mohammad Sa1eh. Sedangkan keanggotaan lainnya di antaranya IJ Kaping, FC Palaoensuka, Linggi, PJ Denggol, M Th Djaman, PF Banteng, Zuhdi, Uray Ibrahim, Winokan, Masjhur Rifai, Mohammad Bakri, M Thaib, Masjahdan, Lim Liat Nyan, Bong Chun Fat, Sim Teh Hui, Cung Lim Sen, Tio Kiang Sun, Ng Ciaow Hien, F Brandenberg, van der Groden dan Gulam Abbas bin Abdul Hussein.

Di samping adanya faktor ricuh dan krisis terhadap federal buatan Belanda, menjelang berakhirnya Dewan DIKB dan dilaksana¬kannya pengakuan kedaulatan, tampaknya Belanda keberatan untuk melaksanakannya. Karenanya, Belanda dengan muslihat mencari peluang melakukan kegiatan ilegal dan subversif sebelum meninggalkan Indonesia. Demikian juga di Kalimantan Barat.

Dua kelompok tentara Belanda, KL dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) masih memiliki persenjataan lengkap. Sebe¬tulnya penyelesaikan itu merupakan tugas Belanda. Pihak Indonesia pun sulit memonitor kegiatan mereka di daerah-daerah. Dalam situasi demikian, sikap menentang pemerintah RI tidak terhindarkan lagi. Di Bandung, Kapten Westerling dengan aksi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), meski hanya sebentar, melumpuhkan kota itu Januari 1950.

Aksi itu meluas ke Jakarta yang akhirnya terbongkarlah konspirasi Sultan Hamid II. Ia, dituduhkan bersama Westerling membuat skenario penyerangan saat sidang kabinet dengan maksud membunuh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX. Dalam skenarionya itu, Sultan Hamid II yang menjabat menteri negara, ikut dilukai pula. Tetapi rencana itu gagal karena dalam aksi sebelumnya di Bandung gagal.

SEJARAH SINGKAT DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT
Berdasarkan perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda (S 1946/III), di wilayah bekas Hindia Belanda untuk sementara dijalankan Pemerintahan Militer Sekutu. Pemerintahan ini dibantu oleh Netherlands Indies Civil Affairs Officers (NICA), yang mengurus pemerintahan sipil. Dengan demikian maka di wilayah Indonesia (yang sebelumnya dimaksudkan sebagai Hindia Belanda) yang didatangi tentara Sekutu untuk mengurus pemindahan tentara Jepang dan tawanan Sekutu maka dengan sendirinya terdapatlah NICA.

Pemerintahan NICA awalnya terdiri dari seorang staff officer NICA dan beberapa Commanding Officer NICA (CONICA). Namun menjelang akhir September 1945, staff officer NICA diganti dengan beberapa Chief Commanding Officer (CCO-NICA) yang memegang jabatan gubernur. Sedangkan CO-NICA rnerangkap sebagai residen. Jabatan asisten residen sebelumnya dijabat oleh Sub Commanding Officer NICA (S 1945/5). Pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda setelah Perang Dunia. II dijabat oleh Luitenant Gouverneur Generaal (LGG). Jabatan itu dipegang oleh Dr HJ van Mook (S1945/104).

LGG dengan persetujuan Raad van Departementshoofden memegang kekuasaan legislatif, yaitu menetapkan ordonnantie yang umumnya harus ditetapkan bersama-sama Volksraad. Berdasarkan Overgangsbesluit Algemeen Bestluur Nederlandsch Indie (S1944/1). LGG berwenang menyimpang dari ketentuan-ketentuan tentang pemerintahan Hindia Belanda dulu, yang termaktub dalam lndische Staatsregeling dan perundang-undangan lainnya.

Setelah tentara Sekutu meninggalkan Indonesia, semua kekua¬saan diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Di Indonesia kawasan timur, Inggris yang terakhir berangkat dari Makasar pada tanggal 1 Juli 1946. Untuk wilayah ini, NICA diganti dengan Algemeen Regeringscommissaris voor Borneo en de Groote Oost yang memegeng kekuasaan gubernur (S1946/64 dan 70). Dalam bulan November 1948, jabatan LGG dihapuskan. Untuk Indonesia kemudian diadakan Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon in Indonesie (S1948/272). Jabatan ini dipegang oleh Dr JM Beel. .

Berdasarkan S1946/17, di Kalimantan (Borneo) dibentuklah neolandschappen. Untuk Kalimantan Barat terdiri dari Kapuas Hulu (Boven Kapoeas), Meliau dan Tanah Pinoh, ketiganya berdasarkan S 1946/59. Sebelum Perang Dunia II (1941-1945), daerah tersebut merupakan suatu groepsgemeenschap. Pada pembentukan daerah tersebut, sekaligus ditetapkan untuk masing-¬masingnya sebuah majelis yang memegang kekuasaan pemerintahan daerah. Majelis untuk Meliau terdiri dari seorang ketua dan dua anggota. Majelis-majelis Kapuas Hulu dan Tanah Pinoh terdiri atas seorang ketua dan empat anggota.

Sebagian besar neo landschap di Borneo ini (Borneo Barat) kemudian bergabung dengan tetangganya yang menjadi daerah otonom yang lebih besar. Neo landschappen Kapuas Hulu, Meliau dan Tanah Pinoh bersama-sama dengan 12 zefbesturende landschappen di Kalimantan Barat bergabung menjadi satu Federasi Kalimantan Barat, berdasarkan keputusan bersama pada 20 Oktober 1946, No 20/L yang kemudian diperbaharui dengan keputusan 10 Mei 1948 Nomor 25/L. Seterusnya, susunan dan tugas wewenang federasi ini diatur dalam suatu anggaran dasar yang ditetapkan oleh Dewan Daerah Kalimantan Barat pada tanggal 22 September 1949 dengan keputusan No I79/DW.

Stadsgemeente yang pemah dibentuk oleh landschap di Kalimantan (Borneo) berdasarkan S1946/27 hanyalah sebuah, yaitu Pontianak. Ini dibentuk dengan Keputusan Sultan Pontianak pada tanggal 14 Agustus 1946 (JC 1946/24). Walikota landschapsgemeente ini diangkat pula oleh sultan.

Setelah dapat kembali ke Indonesia, Pemerintah Sipil Hindia Belanda mencari siasat untuk dapat tetap mempertahankan kekuasaannya sebagaimana sebelumnya. Pucuk pimpinan pemerintahan ini, LGG Dr HJ van Mook akhirnya mencetuskan gagasan tentang pembentukan suatu negara serikat. Sebagai langkah pertama, pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan konperensi di Malino pada tanggal 15 hingga 25 Juli 1946. Sebagai langkah berikutnya, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan konperensi di Pangkalpinang (Bangka) pada tanggal 1 hingga 12 Oktober 1946. Mereka yang diajak berunding adalah golongan minoritas. Konperensi ini menyetujui kesimpulan Konperen¬si Malino tentang pembentukan Negara Federal.

Hampir tiga pekan sejak awal Desember 1946, kembali diadakan konperensi di Denpasar, Bali. Dalam Konperensi Denpasar ini. pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat sudah menjadi kepastian. Maka kemudian lahirlah negara bagian yang pertama dari negara federal yang direncanakan tersebut, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Selanjutnya mulai 1947 sampai 1949, Pemerintah Hindia Belanda meneruskan usahanya membentuk satuan-satuan ketatanegar¬aan yang akan menjadi bagian dari Negara Federal Indonesia.

Demikianlah berturut-turut terbentuk Negara-negara Sumatra Timur, Madura, Pasundan, Sumatra Selatan dan Jawa Timur. Kemudian diben¬tuk pula satuan kenegaraan yang tegak sendiri, zelfstanding staatkundig eenheid. Masing-masing Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Banjar, Kalimantan Timur dan Jawa Tengah.

Sedangkan Kalimantan Barat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan S1948/58. Satuan kenegar¬aannya disebut Daerah Istimewa (DI) karena dalam statusnya ditentukan S1948/58 pasal 3, di mana suatu permulaan telah dibuat guna pembentukan Negara Serikat Indonesia dan pembentukan Uni Belanda-¬Indonesia sebelumnya suatu negara Kalimantan dibentuk, maka Kalimantan Barat pada permulaan itu bekerjasama atas dasar kedu¬dukan yang sederajat dan diberikan hak-hak yang sama sebagai sebuah negara.

Suatu tindakan lain untuk mempersiapkan negara fedetal itu adalah pembentukan Voorlopige Federale Regering van Indonesie dengan S/62. Tetapi yang dinamakan Pemerintah Federal Sementara itu ternyata tetap LGG dengan kepala-kepala departemen terdahulunya, ditambah dengan Procureur Generaal Hooggerechtshof dan Secretaris van Staat yang tidak mengepalai sesuatu departemen. Kemudian satuan kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tersusun atas 12 zelfbesturende landschappen dan 3 neo¬landschappen yang bergabung dalam suatu ikatan federasi.

Di Kalimantan Barat seterusnya terdapat zelfbesrured landschap terdiri dari Landak, Kubu, Mempawah, Matan, Pontianak, Sambas. Sanggau, Sekadau, Sanggau, Simpang, Sintang, Sukadana dan Tayan. Dalam suatu federasi zelfbesrurende landschappen tersebut ditambah dengan neo landschappen yang terdiri dari Kapuas Hulu (Boven Kapoeas), Meliau dan Tanah Pinoh. Adapun ladschapsgemeente yang dibentuk untuk Borneo hanya Pontianak.

Menjelang akhir tahun 1949, gagasan LGG Dr HJ van Mook tentang pembentukan negara federal Indonesia menjadi kenyataan. Pembentu¬kan itu menempuh perjalanan yang berliku-liku, membutuhkan waktu, memakan korban jiwa serta juga menelan biaya besar bagi rakyat Indo¬nesia. Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), kedudukan zelfbesturende landschappen diatur tersendiri di dalam Konstitusi RIS dan juga dalam suatu persetujuan antara Indonesia dan Belanda. Kemudian istilah zeIbestuur maupun juga zelfbesturend landschap diganti dengan istilah Swapraja.

RIS mengakui: “… swapraja sebagai daerah yang mempunyai kedu¬dukan istimewa dalam lingkungannya., di mana juga kedudukan swapraja diatur oleh negara bagian RIS yang bersangkutan dalam suatu kontrak. Oleh Konstitusi RIS diberikan peluang, di mana swapraja tidak dapat dihapuskan atau diperkecil apabila swapraja itu tidak menyetujuinya. Kalaupun swapraja akan dihapuskan atau diperkecil bertentang dengan kehendaknya, itu hanya dapat dilakukan dengan UU RIS, dalam mana dinyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan/pengecilan dan memberi kuasa kepada negara bagian untuk menjalankan hal itu”.

Selama berlangsungnya RIS, swapraja-swapraja yang telah ada di Kalimantan Barat tetap berlangsung seperti sediakalanya. Hanya saja, di dalam prakteknya tidak ada negara bagian yang mengadakan kontrak dengan swapraja dalam bentuk perjanjian tertulis. Negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri sebagai ciptaan Belanda yang bersama-sama merupakan RIS, tidak pernah mengakar dalam sanubari rakyat Kalimantan Barat. Sebagian terbesar sesungguhnya rakyat Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh menginginkan suatu negara federal, melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, belum cukup sebulan usia RIS, di daerah-daerah, sebagaimana yang terjadi dan dialami di Kalimantan Barat, timbul pergolakan yang menuntut dibubarkannya negara federal dan dibentuknya suatu Negara Kesatuan Republik ln¬donesia.

Dengan keputusan Menteri Dalam Negeri RIS pada tanggal 24 Mei 1950 No BZ 17/2/47, seluruh tugas pemerintahan Kalimantan Barat diserahkan kepada Residen RIS di Pontianak. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran sesuatu negara bagian, ditetapkan UU Darurat 1950/11 tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS. Berdasarkan UU Darurat ini maka satuan-satuan yang menghendakinya lalu dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan pada Negara Bagian RI.

Rakyat Kalimantan Barat di Pontianak khususnya menyampaikan resolusi menuntut pembubaran DIKB dan menyatakan Kalimantan Barat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah DIKB mengalami suatu ketegangan, situasi umum sangat mencekam. Terlebih dengan digerakkannya pemogokan umum secara besar-besaran di Kalimantan Barat sejak 7 Maret 1950 yang seruan untuk pelaksanaan pemogokan itu disiarkan melalui radio di Pontianak oleh Ibrahim Saleh dan Boejoeng Radja Habibana.

Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) yang menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia menyatakan tidak bersedia berunding, kecuali menuntut dibubarkannya DIKB. Untuk mengatasi suasana yang demikian, pada tanggal 12 Maret 1950, tiba dari Jakarta Komisaris Umum Pemerintah RlS, Mr lndra Kusuma dan M Soeparto. Kedatangannya untuk menyelesaikan masalah pemogokan serta hubungan antara Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) dengan Pemerintah DIKB. DIKB sendiri menyatakan tidak bersedia untuk bubar begitu saja, sebaliknya KNKB tentang pengakhiran pemogokan missal membentuk sebuah badan pertimbangan dalam periode transisi.

Penggerak pemogokan umum Kalimantan Barat, SH Marpaung bersama-sama Munzirin AS, Gusti Muhammad Affandi Ranie, M Nazir Effendi melalui Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) mengeluarkan perintah untuk penghentian pemogokan umum sejak tanggal 18 Maret 1950. Selanjutnya, secara resmi DIKB dinyatakan bubar sejak tanggal 7 Mei 1950 dengan sebuah keputusan Dewan DIKB sendiri, namun secara de fackto DlKB telah dianggap bubar sejak perundingan berakhir antara KNKB dengan Dewan DIKB yang ditengahi Komisaris RIS pada tanggal 20 Maret 1950. Pada periode awal pembentukannya, Dewan DIKB ciptaan Belanda memang merangkul dan melibatkan beberapa unsur di dalamnya.

Beberapa anggota Dewan DIKB pada periode awal pembentukannya, di mana semula Dewan Legislatif DIKB berjumlah 40 orang yang kesemuanya terdiri dari pejabat swapraja dan neoswapraja serta tokoh masyarakat dari berbagai golongan. Di antaranya dari Golongan Swapraja-Neoswapraja (15 orang) antara lain Sultan Hamid II, Raden Abubakar Ariadiningrat, Gusti Mustaan, Tengku Ismail, Gusti Ismail, Gusti Muhammad Taufik, Ade Mohammad Djohan dan Hasan Adenan. Dari Golongan Dayak (waktu itu Daya) terdiri dari 8 orang, masing-masing JC Oevaang Oeray, AF Korak, JAM Linggie, A Mamoi (tanggal 12 Mei 1948 digantikan FC Palaunsoeka), M Th Djaman, CJ Impan, PF Bantang dan PJ Denggol. Golongan Melayu terdiri dari 5 orang, di antaranya Masjhoer Rifai, Mohamad Saleh dan A Moethalib Rivai. Golongan Cina terdiri dari 8 orang, di antaranya Lim Bak Meng, Tjoeng Lin Son, Tio Kiang Sun, Ten Hon Chiap dan Lim Liat Njan dan dari Golongan Belanda atau Indo terdiri dari 4 orang masing-masing WM Nieuwenhuysen, Dr Kiers (kemudian digantikan N Winokan) dr Harmsen (digantikan F Brandenberg) dan Ir Zijl de Jong (digantikan K Killian).

Pemerintah DIKB dipimpin dan dikepalai Sultan Hamid II selaku kepala daerah (bukan selaku sultan), dengan wakilnya Nieuwenhuysen (kemudian digantikan Masjhoer Rifai) dan seorang penasehat Dr H Bohm. Dalam memimpin dan mengendalikan roda pemerintahan DIKB tersebut, kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian atau BPH atau Dagelijks Bestuur atau Bestuur College yang terdiri dari 5 orang anggota, yang bertugas untuk memimpin bidang pekerjaan tertentu yang diserahkan atau dipercayakan kepada mereka masing-masing. BPH DIKB tersebut terdiri dari JC Oevaang Oeray, AF Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng dan WM Nieuwenhuysen.

Untuk menduduki jabatan Kepala Badan Penasehat Pemerintah DIKB, sejak dari awal mula terbentuknya, ditetapkan Dr H Bohm. Sedangkan Sekretaris Pemerintah DIKB dijabat oleh Drs CJ Nadort yang dibantu oleh sejumlah personil Indonesia berpengalaman.

Selanjutnya, jauh sebelum Pemerintah DIKB bubar pada tanggal 7 Mei 1950, beberapa orang anggota Dewan DIKB telah aktif bekerja di Jakarta sejak tanggal 27 Desember 1949 dalam tugas dan jabatan mereka selaku Anggota Senat dan Anggota DPR RIS, di antaranya Raden Abubakar Ariadiningrat (anggota senat Nomor 20), Ade Mohammad Djohan (anggota DPR Nomor 111), FC Palaunsoeka (anggota DPR Nomor 113), Tjoeng Lin Sen (anggota DPR Nomor 114) dan WM Nieuwenhuysen (anggota DPR Nomor 128).

Di samping adanya faktor ricuh dan krisis terhadap federal buatan Belanda, menjelang berakhirnya Dewan DIKB dan dilaksana¬kannya pengakuan kedaulatan, tampaknya Belanda keberatan untuk melaksanakannya. Karenanya, Belanda dengan muslihat mencari peluang melakukan kegiatan ilegal dan subversif sebelum meninggalkan Indonesia. Demikian juga di Kalimantan Barat.

Dua kelompok tentara Belanda, KL dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) masih memiliki persenjataan lengkap. Sebe¬tulnya penyelesaikan itu merupakan tugas Belanda. Pihak Indonesia pun sulit memonitor kegiatan mereka di daerah-daerah. Dalam situasi demikian, sikap menentang pemerintah RI tidak terhindarkan lagi. Di Bandung, Kapten Westerling dengan aksi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), meski hanya sebentar, melumpuhkan kota itu Januari 1950.

Setelah pemerintah DIKB bubar, maka kedudukan daerah Kalimantan Barat kembali semula menjadi Daerah Keresidenan yang bernaung di bawah Propinsi Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin, hingga pada tanggal 1 Januari 1957, saat di mana disahkannya menjadi Daerah Propinsi Kalimantan Barat dengan Pontianak sebagai ibukotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar