Minggu, 04 Oktober 2009

SEJARAH AGRARIS KALIMANTAN BARAT

DUA ABAD SEJARAH AGRARIS KALIMANTAN BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Pada 1900-1904, hasil hutan merupakan ekspor terbesar dilihat dari sisi nilainya, diikuti dengan kelapa. Lima tahun kemudian, ekspor hasil hutan hanya setengah jumlah ekspor keseluruhan dan semakin berkurang hingga hanya menjadi seperempat pada 1910-1914, sementara nilai ekspor kelapa lebih dari setengah dari jumlah keseluruhan ekspor. Pada 1920-1924 perdagangan hasil kekayaan hutan mengalami penurunan, sehingga kini hasil produk tersebut hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan ekspor, dan tidak pernah mencapai kembali masa-masa jayanya.

Pada masa peralihan abad, Borneo Barat memberikan satu andil yang signifikan pada ekspor hasil hutan yang diproduksi oleh seluruh Hindia Timur Belanda. Dalam 1899, 1902 dan 1903 (tidak tersedia data untuk 1900 dan 1901), Borneo Barat mempunyai jumlah ekspor terbesar dari masing-masing propinsi di Hindia Belanda. Pada 1904, nilai ekspornya melambung hingga f5.000.000, namun kehilangan posisinya sebagai pengekspor terbesar, karena Borneo Bagian Timur dan Selatan yang memiliki cadangan yang lebih besar dan relatif belum tersentuh, khususnya rotan, telah melampauinya menjadi pengekspor terbesar.

Ekspor getah perca dan hasil hutan lainnya seperti jelutung (seperti karet, hasil pohon yang elastis) yang berasal dari Borneo dan ditujukan ke Singapura dimulai 1848 dan secara cepat mengalami kenaikan hingga sepanjang dua puluh tahun kemudian. Awalnya getah perca dikumpulkan oleh orang Dayak pada musim kemarau ketika senggang musim tanam, ketika mereka perlu sesuatu untuk dipertukarkan dengan beras atau kebutuhan lainnya. Diperkirakan bahwa perdagangan pada mulanya mengikuti jalur tradisional yang dikuasai oleh kesultanan Melayu. Ketika permintaan getah perca meningkat pada 1860-an, peran pedagang Tionghoa tentu juga ikut meningkat.

Ekspor getah perca asli mencapai puncaknya pada 1900. kemudian, hasil alam yang lebih murah seperti jelutung menggantikan getah perca. Pada masa itu sumber getah perca yaitu pohon Palaquium dan Payena hanya dapat ditemukan di pedalaman menghasilkan kenaikan yang signifikan pada status ekonomi para pengumpul hasil hutan: meningkatnya kompetisi antara sesama pedagang membuat para pengumpul dapat meminta harga yang lebih baik untuk barang-barang mereka dan membayar lebih murah untuk komoditas impor. Setelah mengalami puncak di 1905, nilai karet hutan merosot. Pada 1907, ekspor hasil pertanian mengambil alih posisi hasil hutan ini. Pada 1914, perkebunan karet mendominasi kegiatan ekonomi sebagian penduduk di pedalaman, dan memanen hasil hutan menjadi usaha yang kurang signifikan.

Hasil hutan lainnya mengalami masa pasang dan surut yang serupa. Rotan yang diambil dari sebuah varietas tumbuhan palem merambat yang tumbuh di daerah berawa, juga mempunyai sejarah panjang pengumpulan dan ekspor, padaawalnya dipergunakan sebagai keranjang dan tali tambang dan contohnya untuk mengikat tiang rumah. Di luar negeri memiliki nilai sebagai bahan baku untuk produksi mebel, rotan digambarkan sebagai komoditas ekspor yang menguntungkan, namun sejak 1927 penggunaannya menurun drastis, ketika perabotan seperti itu tidak lagi menjadi mode. Dikarenakan banyak varietas dari rotan, sebagian dapat dibudidayakan, industri ini terbukti lebih stabil dan tidak merusak lingkungan dibandingkan memanen getah perca. Namun pada masa itu, tanah di mana rotan tumbuh ternyata sangat cocok untuk karet, sehingga rotan pun digusur. Nilai ekspor rotan juga sangat naik turun, mencapai puncak pada 1897 pada f1.318.000 dan menurun setelahnya.

Hasil hutan yang tidak biasa adalah tengkawang atau kacang illipe, yang dihasilkan oleh pohon dipterocarp (L. shorea spp). Tengkawang mempunyai banyak kegunaan: sebagai lemak sayur, dapat juga dibakar sebagai lampu atau lilin, dipergunakan untuk membuat kosmetika atau sabun, atau sebagai pelumas mesin. Borneo Barat memproduksi hampir seluruh tengkawang dari Hindia, namun lemak tersebut kebanyakan diproses di luar negeri. Semua ekspor diangkut melalui Singapura, dan hampir semua produk akhirnya dikirim ke Eropa Barat. Sayangnya, seperti uga getah perca, perdagangan tengkawang juga penuh dengan ketidak-pastian. Ketika minyak kelapa digunakan sebagai minyak lampu dan minyak bumi yang dapat dipergunakan sebagai minyak atau pelumas mesin terbukti sebagai pengganti yang tepat dari tengkawang, maka harganya jatuh.

Selain itu, panen dari kacang liar ini juga bervariasi: panen besar hanya terjadi sekali kira-kira setiap enam tahun sekali. Tahun-tahun yang baik hanya muncul sekali-kali dan jelek biasanya mengikuti, dan panen yang baik terkadang bertepatan dengan harga yang buruk pada pasar internasional. Pada 1912 dan 1914, ekspor mencapai sembilan ribu ton, pada 1914 nilai ekspor mencatat rekor sebesar f2.444.000. pada 1935, dengan jumlah ekspor yang relatif tinggi sebesar lima ribu ton hanya bernilai sebesar f248.000 saja. Di Belitang, seorang pedagang menawarkan kepada para pelanggannya minyak bumi, gula, tembakau, garam, sejumlah bahan pakaian, dan arak buatan rumah tangga.

Bukan orang Tionghoa, tetapi orang Bugis yang pertama kali memperkenalkan tanaman niaga penting kelapa ke wilayah pesisir pantai. Sudah demikian akrab dengan kelapa dan dalam posisi yang memungkinkan untuk mendatangkan pekerja (budak) sebagai tenaga kerja, orang Bugis mengeringkan sebagian besar daerah pesisir di sekitar Pontianak, terutama di sekitar Sungai Kakap, di mana parit (istilah yang sama dipergunakan dalam penggalian tambang emas) sepanjang ribuan kilometer dipergunakan untuk pengeringan dan transportasi. Pekerjaan ini mungkin dimulai pada bentuk skala kecil sebelum 1850. Koloniaal Verslag (1859) melaporkan bahwa seorang petani Tionghoa menananm tiga ribu pohon dekat Monterado dan menunjukkan ketertarikan pada pertanian di wilayah yang didominasi orang Tionghoa. Masa dari menanam hingga panen membutuhkan beberapa tahun.

Gubernur Jendral Rochussen (1845-51) mendorong penananman kelapa, namun banyak prakarsa yang datang dari pemerintah pada masa itu (kopi, kapas, gula) gagal. Daerah pesisir di mana kelapa tumbuh subur, hanya akan aman jika perompakan ditumpas. Banyak orang Bugis yang menjadi makmur pada tahun-tahun ini, pada satu masa mereka dianggap sebagai kelompok yang paling makmur di keresidenan, dan perkebunan kelapa memberikan andil yang cukup besar pada kemakmuran mereka. Statistik haji menunjukkan bahwa kemakmuran dari perkebunan atau perdagangan petani kecil tidak hanya dimonopoli oleh orang Tionghoa saja. Dari empat puluh tiga peziarah ke Mekkah pada 1869, jumlahnya meningkat menjadi 237 pada 1880.

Setidaknya saat 1870, ketika kemakmuran kaum elit Bugis begitu bagus, orang Tionghoa sudah mulai menyingkirkan orang Bugis keluar dari perdagangan eceran kelapa dan mereka mulai menanam sendiri tanaman tersebut. Pada mulanya, ketertarikan mereka pada kelapa hanyalah terbatas pada membeli buah kelapa dan memproduksi minyak kelapa. Kebanyakan kelapa diolah menjadi minyak dan diekspor ke Jawa, namun pada 1873, minyak juga diekspor ke Singapura dan pada 1876 Singapura menjadi tujuan utama dari komoditas ini. Beberapa tahun kemudian kebanyakan diekspor dalam bentuk kopra untuk diproses di Singapura. Di kemudian hari proses ini terbalik, pada 1889, dua pabrik minyak kelapa terdapat di Pontianak, hingga 1910, itu adalah satu-satunya pabrik semacam itu yang beroperasi di Hindia.

Permintaan internasional dan kesempatan untuk mempergunakan Singapura sebagai pasar membuat orang Tionghoa memiliki keunggulan dibandingkan para pedagang lainnya. Pada awalnya, orang Tionghoa menolak untuk menananm tanaman pohon karena mereka khawatir harus mengikat modal mereka untuk beberapa tahun hingga dua puluh tahun sampai tanaman tersebut siap panen. Namun perkebunan kelapa akhirnya dibuka di Pemangkat, Singkawang dan Monterado di akhir 1850-an, dan selanjutnya hal ini menjadi tersebar. Di seputar Pontianak, beberapa orang Tionghoa membeli kebun kecil yang sudah ada dari para pekebun Bugis, sementara yang lainnya membuka kebun yang baru. Mereka menduduki tanah tanpa memikirkan status hukumnya, dan selanjutnya menjadi produsen terbesar di daerah pesisir utara Pontianak.

Sekitar 1915, mereka mengambil alih posisi orang Bugis sebagai penghasil kelapa terbesar di seluruh wilayah keresidenan. Pada 1919, sepanjang jalur pesisir dari Sungai Purun (36 km di utara Pontianak) ke Sungai Duri (90 km ke utara) menjadi sebuah rumpun pohon kelapa, selebar dua hingga empat kilometer, menghampar di atas tanah yang awalnya ditumbuhi padi. Persawahan padi berlokasi lebih di pedalaman, namun mereka tidak membentuk jajaran yang tak terputus. Dua dekade kemudian, hamparan pohon kelapa meluas hingga mencapai panjang 360 kilometer, menghampar dari selatan Sukadana hingga ke utara Pemangkat.

Tambahan lagi, orang Tionghoa mengeringkan kebanyakan daerah berawa-rawa di dalam wilayah segitiga Pontianak-Mandor-Ngabang untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian, dan sebagian dari daratan ini ditanami dengan pepohonan kelapa. Pada 1927, banyak orang Tionghoa yang berusaha hingga jauh ke utara dan menanam kelapa di seputar Jawa yang terletak di seberang Sungai Sambas dari Pemangkat ke arah Paloh dan Sarawak, kota pesisir di sebelah utara, sebuah wilayah yang menurut Belanda belumlah aman.

Hampir semua produksi kelapa terpusat di pesisir pantai yang berdataran rendah dikelola oleh para petani kecil. Keresidenan ini mengekspor 20 persen dari selurh kopra yang didatangkan dari Hindia Belanda pada 1921, 19 persen pada 1930 dan hanya 14,5 persen pada 1937. kopra dari Borneo Barat tidak bermutu tinggi, namun produksi kawasan ini dari segi jumlah produksinya hanya dapat dikalahkan oleh Menado. Untuk beberapa dekade kelapa masih menjadi komoditas ekspor unggulan, meskipun sebagaimana hasil panen lainnya, kelapa kehilangan nilainya pada tahun-tahun depresi.

Di daerah berbukit-bukit, lada merupakan tanaman ekspor penting bahkan sebelum akhir abad ke 19. lada menjadi salah satu tanaman niaga utama peladang Tionghoa yang baru dijalankan secara kebetulan oleh pekebun pribumi sebelum Perang Dunia II. Gambir merupakan ekspor tanaman niaga kedua di daerah pegunungan. Tanaman ini juga lebih sering diproduksi melalui upaya orang Tionghoa dikarenakan gambir membutuhkan organisasi dan pekerja yang bergaya perkebunan. Kedua tanaman ini cenderung menghilangkan kesuburan tanah atau sumber daya lainnya dalam waktu singkat, lada juga sering diserang hama dan penyakit, sehingga para petani harus secara konstan membuka lahan baru ketika lahan yang lama tidak lagi produktif.

Meskipun terdapat tantangan tadi, kebun lada meningkat pada 1880-an di sekitar Pontianak, di Monterado dan Landak, dan di wilayah perbukitan Sambas, terutama di dekat Bengkayang. Ekspor tumbuh secara cepat. Para pekebun hanya mengelola lahan-lahan kecil, namun mereka harus menyewa para pekerja pada musim-musim sibuk. Pada 1930-an, masalah dengan hama memaksa penanaman lada berpindah ke daerah Sanggauledo. Daerah Singkawang yang didominasi orang Tionghoa menjadi pelabuhan utama untuk mengekspor komoditas ini.

Orang Tionghoa telah berpengalaman mengembangkan lada dan meningkatkan produksinya, dan mereka juga berpengalaman dengan berbagai jenis lada. Setelah 1892, mereka mulai menanam jenis yang lebih bernilai dan lebih menyerap tenaga kerja, yaitu lada putih. Borneo Barat menjadi pengekspor lada putih kedua setelah Bangka-Belitung di Nusantara. Produksi mengalami penurunan di akhir 1920-an, meskipun harganya tinggi, barangkali dikarenakan tanah dan pekerja lebih banyak diinvestasikan dalam penanaman karet. Pada 1935, harga lada dunia tumbang, dan hanya sedikit yang mampu bertahan hingga Perang Dunia II. Sagu yang sebagian besar ditanam oleh kaum pribumi, mulai diekspor dari Borneo Barat pada akhir abad ke 19. sagu tidak pernah menjadi tanaman ekspor yang dominan seperti di Sarawak atau Borneo Utara, dan ketika karet diperkenalkan, para produsen tidak lagi tertarik dengan sagu. Di pedalaman, sagu tetap berfungsi sebagai makanan darurat.

Karet dengan segera mengambil alih peran utama kelapa setelah perkebunan karet diperkenalkan. Pada 1906-1907 pemerintah mulai membagikan benih ke para pekebun yang potensial, namun tanpa pasar, benih tersebut tidak memiliki nilai apapun. Menurut tradisi setempat, Haji Yusuf dari Kampung Saigon mengenalkan karet ke Kalimantan Barat. Para haji sering membawa produk baru dari Singapura atau berbagai tempat lainnya. Harga karet yang menjulang naik setelah 1910 segera membangkitkan minat orang yang meluas kepada tanaman baru ini, dan hasilnya segera terlihat dalam bentuk meluasnya penanaman ini. Para petani kecil telah mengambil alih posisi perkebunan, yang kebanyakan milik orang barat, dalam pengertian luas daerah yang ditanami pada 1932, namun total ekspor para petani kecil lebih sedikit dibandingkan seluruh perkebunan itu, meskipun di 1930-an perbedaannya kecil. Pada 1935, jumlah ekspor dari para petani melebihi jumlah ekspor dari perusahaan perkebunan dikarenakan mereka terus melakukan penyadapan ketika banyak perkebunan padat modal berhenti beroperasi.

Di beberapa propinsi, terutama Kalimantan Barat, karet terbukti cukup menguntungkan bagi para petani kecil. Hal ini tepat terutama pada 1915-1928, dan pertanian karet dengan cepat menggantikan pengumpulan hasil hutan sebagai satu sumber penghasilan. Para pedagang Tionghoa mendorong penduduk lokal untuk mulai atau memperluas penanaman karet. Karet tidak benar-benar bersaing dengan produksi pangan dalam pertanian, namun sebagai pelengkap. Upaya yang dilakukan oleh negara sangat kurang dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh orang Tionghoa yang menyebarkan penanaman karet kepada para petani kecil pribumi di pedalaman. Mereka menanam benih yang dibawa dari Singapura atau cabang yang dicangkok dari pohon pada kotak datar yang diisi dengan tanah, menempatkan kota-kotak ini di atap perahu-perahu yang berlayar ke hulu untuk berdagang. Ketika para pedagang tiba di tempat tujuan mereka, berhari-hari atau berminggu-minggu kemudian, benih-benih tadi sudah siap ditanam oleh para penerimanya.

Pada 1920-an, ledakan perniagaan karet mencapai puncaknya. Etnis Tionghoa mengambil bagian dalam industri karet sebagai pemilik lahan karet, penyadap, petani kecil, dan sebagai pedagang. Karet menjadi tanaman niaga utama bagi orang Tionghoa, Melayu dan terus meningkat, hingga kepada para petani Dayak. Pada sekitar 1920, penanaman karet menyebar hingga ke perbukitan di pedalaman daerah Kapuas Hulu, Melawi Hulu dan Pinoh Hulu. Di Distrik Tionghoa pada 1938 setiap kepala keluarga Tionghoa memiliki sekurang-kurangnya dua bidang lahan, satu untuk menanam tanaman pangan dan satu kebun karet. Banyak pedagang Tionghoa mempergunakan lahan-lahan karet sebagai sumber penghasilan sampingan.

Dikarenakan kejatuhan harga karet yang dramatis selama masa depresi, pemerintah membatasi pembukaan lahan-lahan karet tambahan pada 1934. sebagaimana mereka praktekkan dahulu pada masa harga jatuh di 1926, ketimbang menurunkan produksi pasa masa sulit, para petani memberhentikan para buruh upahan mereka dan mempergunakan keluarga mereka sendiri untuk bekerja menyadap pohon karet.

Para pejabat kolonial sangat khawatir bahwa ambisi para petani dalam penanaman karet akan mengurangi sumber daya dan lahan untuk penanaman tanaman pangan, mereka mempersoalkan hal yang sama ketika orang Dayak terlibat dalam kegiatan pengumpulan hasil hutan, namun tidak bisa berbuat lain daripada mendorong para petani untuk menanam tanaman pangan. Bagi orang Indonesia, bekerja di ladang merupakan satu bentuk pekerjaan darurat. Jika tanaman hutan lebih menguntungkan, mereka tidak akan hadir di ladang mereka, dan pada waktu yang sama mereka akan pergi menyadap karet, mengumpulkan gambir, jelutung, damar dan hasil hutan lainnya untuk dijual kepada para tengkulak Tionghoa. Ketika harga tanaman niaga jatuh, para petani sudah kembali beralih ke peranian untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Namun dalam kenyataanya, para penduduk dapat menghasilkan karet dan menanam tanaman pangan dalam waktu yang bersamaan, dikarenakan pekerja yang dibutuhkan oleh karet tidaklah begitu besar sehingga dapat dikerjakan sambil melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman padi.

Hanya di awal 1932, ketika harga pasar jatuh begitu rendah hingga sekitar f0,06-f0,07 per kilogram, berarti harganya hanya sekitar f0,045 di pedalaman, barulah produksi wilayah ini benar-benar mengalami penurunan. Seperempat penduduk di keresidenan ini sekarang menjadi tergantung pada beras impor, yang biasa dibeli dengan sepertiga dari jumlah pendapatan karet pada tahun-tahun normal. Pada tahun berikutnya, 1933, produksi karet kembali mengalami kebnaikan, meskipun harganya rendah atau justru karena harganya rendah. Penduduk Borneo Barat lebih tergantung pada penghasilan tunai dari karet, para penghasil karet di pedalaman Borneo Barat tidak memiliki tanaman ekspor alternatif.

Kecuali pada tingkat terendah dari perdagangan eceran, orang Tionghoa mendominasi pasar karet, sementara orang Tionghoa Pontianak terlihat memonopoli ekspor karet. Setelah 1924, komoditas ekspor juga diproses di Pontianak, dan beberapa tahun kemudian, sejumlah pabrik didirikan di Singkawang dan Sambas. Pada 1930-an, pertamakali oleh orang Tionghoa, kemudian oleh yang lainnya, pemrosesan memanfaatkan kemajuan teknologi yang dapat menggencet getah karet menjadi lembaran untuk memeras gumpalan getah. Lembaran karet ini memiliki harga yang lebih baik dibandingkan karet mentah.

Beberapa tahun kemudian, sejumlah pabrik pengasapan yang lebih besar dapat memproduksi lembaran yang berkualitas baik, sehingga dapat dijual langsung ke Amerika dan Eropa, memotong pengolahan di Singapura. Pemerintah menyokong perubahan ini, namun produsen lokal dan pengekspor mengikutinya dengan sepenuh hati. Ekspor dari 1925 hingga 1934 dari karet kering tentu saja begitu rendah dikarenakan penghasilan ukuran yang tak tepat ke berat kering. Sejumlah kecil yangdikirimkan ke Jawa tidak lagi dihitung setelah 1919.

Dalam 1935-1937, sebuah sensus karet menemukan bahwa terdapat lebih dari 8,7 juta pohon karet di seluruh propinsi, kurang dari setengahnya yang disadap dikarenakan masih terlalu muda dan terlalu tua atau karena alasan lain. Borneo Barat memiliki sangat sedikit lahan yang berukuran perkebunan, dan industri karetnya berjalan dengan hampir tanpa keterlibatan modal barat, diperkirakan hasil produksi potensialnya hasil yang dapat dihasilkan jika tidak ada pembatasan atau kuota lebih dari tujuh puluh ribu ton pertahun.

Pada 1938, diperkirakan setelah luas lahan dibatasi, 108.000 petani di wilayah ini masih memiliki lahan karet. Sekitar 5.400 hektar lahan karet dikategorikan sebagai perkebunan, yang kebanyakan merupakan lahan kecil yang dikuasai berdasarkan hukum perkebunan, namun mayoritas para pemiliknya adalah para petani kecil. Di antara para pemilik tersebut, sebelas ribu adalah orang Tionghoa. Mayoritas para pemilik kebun, di atas 97.000, adalah orang Melayu, Dayak atau kelompok etnis lainnya. Jumlah orang yang hidup dari memproduksi, menjual dan mengolah karet, jika anggota keluarga juga dihitung, terdiri dari kebanyakan penduduk di atas 800.000 orang setara keseluruhan pada keresidenan, angka-angkanya berbeda sedikit.
Pada 1937, Borneo Barat memiliki andil terbesar dalam kuota ekspor para peladang dan memproduksi 21 persen dari keseluruhan ekspor karet. Pada 1937, total pendapatan dari karet di keresidenan menanjak hingga kira-kira senilai f20.000.000. pada tahun tersebut, harga kembali jatuh, meskipun harga ini kembali naik setelah September 1939, ketika pecah perang di Eropa, sehingga karenanya kuota ekspor pun ikut meningkat. Hanya kelapa yang dapat bersaing dengan karet dalam hal penggunaan tanah dan pekerja, karena kelapa menyerap tenaga kerja yang lebih sedikit dan dapat tumbuh di daerah pesisir yang kurang cocok untuk karet. Harga dan pendapatan yang lebih baik dari komoditas lainnya tidak dapat menutupi kehilangan dari pendapatan karet setelah 1926. tak ada penggantinya.

Banyak imigran jangka pendek, terutama yang bekerja sebagai kuli atau berbagi hasil, meninggalkan Borneo setelah 1930, ketika penggunaan buruh upahan, impor maupun lokal, menjadi terlalu mahal, dan para petani berhenti mempekerjakan mereka. Melihat latar belakang ini, tidaklah mengherankan jika pada awal 1930-an terlihat sebuah emigrasi yang signifikan dari orang Tionghoa, kebanyakan dari mereka kembali ke Tiongkok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar