Memahami Keberadaan Gender di Etos Bisnis Tionghoa
Oleh: Syafaruddin Usman MHD *)
Orang Tionghoa tradisional yakin dan percaya pada banyak dewa kekayaan. Setidaknya ada empat nama dewa untuk kekayaan ril. Masing-masing Bi Gwan, Fan Li, Guan Yu, Zhao Gong Ming. Selain itu disebutkan ada empat nama dewa untuk kekayaan madya: Han Shan dan Wan Hui. Sedangkan tiga nama dewa kekayaan untuk kekayaan sekelebat, masing-masing Bai Wu Chang, Liu Hai, Zhang Shen. Dan ada delapan nama dewa kekayaan lainnya untuk usaha masing-masing Gui Gu Zhi, Hua Tuo, Lu Ban, Lu Yu, Luo Zhu, Meng Tan, Shen Nong, dan Yi Di (baca: Remy Silado, Jalan Kaya Cina, Tempo, 25 Mei 2003 hlm 145).
Menjadi kaya, dalam jalan hidup orang Tionghoa, adalah alami, asasi, bahkan wajib. Banyak bait yang dihafal dengan baik oleh orang Tionghoa menyangkut kekayaan. Misalnya dari Guan Zhong: Cai duo zhi li, huo duo shi ren. Artinya, kekayaan yang mencipta tatanan, dan harta melimpah yang mencipta keramahan. Juga dari Huan Gei Zhi: Ren zhong cai gua, zhi wei zheng cai, artinya, kekayaan mendorong manusia untuk merebutnya. Darinya pula terlestari silogisme kemiskinan akan membuat manusia patuh pada penguasa, dan kosok baliknya kekayaan akan membuat manusia dapat membeli penguasa!
Tampaknya falsafah hidup orang Tionghoa, demikian jika disimak dari bait-baitnya yang memiliki nilai sastra tersendiri, bagi orang di luar komunitas Tionghoa atau di luar bangsa Cina, memang disimpulkan sederhana sebagai bangsa yang materialistis. Kesimpulan itu, sungguhpun tidak sepenuhnya sejati, berhubungan dengan dasar-dasar etika Tao, agama paling tua di Cina, sebagaimana dikatakan sendiri oleh maharesinya, Lao Tze: orang yang terlalu kaya adalah pemimpin perampok. Atau, dalam bahasa Tionghoanya, cai huo you yu, shi wei kua dao.
Ada juga ajaran moral yang hidup dalam praksis, bahwa kekayaan di dunia fana menentukan kayanya di dunia baka kelak. Karena itu, tidaklah ajaib bila di hari belasungkawa pun orang Tionghoa memberi bingkisan uang sebagai isyarat doa bagi yang bersangkutan, supaya di sana tetap menjadi kaya! Namun, karena falsafah hidup yang demikian, orang Tionghoa, tak terkecuali di Indonesia, dikenal sebagai pekerja keras, tekun, ulet, dan tentu saja zakelijk, cerdik dan pandai.
Di zaman kolonialis penjajahan yang lampau, antara masa Gubernur Jenderal Fock sampai Gubernur Jenderal De Draef, tercatat sensusnya bahwa orang Tionghoa merupakan pembayar pajak paling besar bagi pemerintah kolonial, karena mereka memang rata-rata lebih kaya dari penduduk bumiputra (Catatan sensus 1920, tabel XI, dan sensus 1930, vol VII, 7)
Apakah oleh perbedaan itu, yang sama sekali bukan lantaran perbedaan pendapat melainkan perbedaan pendapatan, lalu timbul sentimen, iri, prasangka rasial, dari sebagian besar bumiputra yang miskin, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi benturan seperti yang terjadi pada Mei sebelas tahun silam?
Sekarang, keadaan memang sudah jauh berubah. Tak ada lagi ilham yang pernah dilakukan Gubernur Jenderal Valckenier di batavia pada 1740, yaitu dasarnya konkurensi besar yang dipolitisasi dengan perbedaan ras dan agama. Di era multi—global ini, orang dapat kembali menyaksikan kehebatan barongsai dalam pelbagai keramaian seperti menikmati capcay dan bakpao di sembarang lokasi. Dan menempatkan etos kerja orang Tionghoa sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika. Memang, sembari mengenang peran bahariwan besar Ming, Sam Po Kong, yang telah banyak mengajar ilmu, orang sekarang masih tetap belajar dari orang Tionghoa, saudara tua.
Jika membidik target orang Tionghoa, bukan berarti orang suku lain tidak bercita-cita menjadi kaya. Namun kenyataan ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa memang dididik untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran material, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan pemahaman kekayaan spiritual dan budipekerti. Tionghoa pada umumnya menyadari bahwa memiliki uang itu penting, walaupun tak mengabaikan artikulasi spiritual dan sosial.
Hampir segala sesuatu dipahami dapat diukur berdasarkan nilai uang. Bila orang Tionghoa berdoa meminta sesuatu, maka biasanya urutan pertamanya adalah meminta rezeki, baru kemudian kesehatan yang baik dan lain-lain. Dengan pedoman falsafah demikian, tak heran orang Tionghoa sukses dalam ukuran kebendaan yang memang mereka usahakan raih terlebih dahulu dalam semangat bersyukur dan berbagi.
Tak ada keberhasilan tanpa kerja keras. Ini falsafah yang berlaku bagi siapa saja, bukan apa yang eksklusif dianut orang Tionghoa. Perkaranya sekeras apa yang disebut kerja keras itu. Dalam hitungan satuan waktu orang yang bekerja keras juga bekerja lebih lama daripada orang lain. Rata-rata orang Tionghoa yang sukses bekerja lebih dari 8 jam sehari-semalam. Tak jarang mereka bekerja sampai larut malam dan mengurangi waktu istirahat atau rekreaksinya.
Orang Tionghoa setelah punya modal antara lain selalu membeli bahan lebih banyak sehingga memperoleh harga lebih murah. Dibekali keahlian dan pengalaman, biasanya orang Tionghoa pun dapat bekerja relatif rapi serta efisien. Semua ini pada gilirannya bisa menghasilkan laba lebih besar.
Orang Tionghoa suka bekerja guna mempersiapkan kebutuhan esok sekaligus pada hari ini, sehingga tidak berhenti bila belum mendapatkan hasil lebih untuk jatah besok. Esok mereka bekerja untuk keperluan luas, dan seterusnya. Mereka terbiasa memforsir diri sehingga mengabaikan waktu istirahat. Banyak lagi macam pekerjaan lain yang siap diterima Tionghoa apabila orang lain menolak mengerjakannya.
Perhatikan bahwa makanan pendamping, yang dimaksudkan sebagai lauk pauk, khas Tionghoa zaman dulu bercita rasa sangat asin, sangat asam, atau sangat manis. Selain bertujuan mengawetkan makanan, garam, asam atau gula berlebihan yang diolah ke dalam makanan tersebut sekaligus bertujuan mendukung falsafah hidup hemat, yaitu memaksa agar mencicipi makanan pendamping tersebut bersama nasi atau bubur sedikit demi sedikit. Bubur merupakan makanan andalan Tionghoa. Ternyata lahirnya bubur pun pada awalnya merupakan perwujudan upaya penghematan, yaitu memasak nasi dengan memperbanyak air.
Generasi dulu lebih pandai berhemat daripada generasi sekarang. Ini harus diakui. Tidak perlu mencari perbandingan jauh-jauh. Lihat saja kenyataan bahwa orang tua sendiri mempunyai pakaian yang jauh lebih sedikit daripada yang dimiliki anaknya kini. Padahal sebelum anaknya mandiri, merekalah yang mencari uang dan oleh karenanya berhak menggunakannya untuk apa saja sesuka mereka. Apa yang dipunyai hari ini adalah hasil berhemat kemarin. Menjadi kaya atau tidak pada akhirnya, orang Tionghoa tetap dididik agar berhemat, teristimewa berhemat demi diri sendiri dan keluarga. Logikanya, tak ada gunanya mencari lebih kalau kemudian juga berbelanja lebih. Mungkin lebih bijaksana bekerja sebentar dan makan sedikit daripada membanting tulang tetapi boros.
Bagi orang Tionghoa, berhemat pun bermakna memupuk modal demi membesarkan usaha. Tak heran banyak usaha orang Tionghoa cepat tumbuh. Terpujinya, setelah menjadi kaya pun banyak orang Tionghoa terbiasa hidup hemat, terlebih-lebih mereka yang pernah mengalami hidup susah. Begitulah. Jika suatu generasi tak berusaha berhemat, generasi berikutnya terpaksa berjuang lebih keras, dan sebaliknya, bila satu generasi telah berjuang keras, generasi berikutnya diharapkan terbantu serta tak perlu lagi berjuang mati-matian.
Behind every succesful man, there is always a wonderful woman. Selalu ada seorang wanita luar biasa berdiri di belakang setiap pria sukses. Pernyataan dan kebenaran bijak ini berlaku pula dalam lingkungan Tionghoa. Wanita Tionghoa setia serta tegar menyokong usaha suami dan saudara-saudaranya. Wanita Tionghoa merasa wajib membantu usaha suami dan keluarga mencari uang. Perempuan Tionghoa biasanya memegang uang.
Pria Tionghoa yang menikah mendapatkan seorang istri dan seorang manajer keuangan sekaligus. Biasanya pula, seorang perempuan Tionghoa yang telah menikah pandai mengelola keuangan keluarga. Wanita Tionghoa yang sudah berkeluarga umumnya lebih mementingkan faktor ekonomi keluarga daripada hal-hal lain. Tidak apa-apa menghabiskan sebagian besar waktu sibuk menjaga toko atau mengurus pabrik.
Istri Tionghoa juga pantas menabung. Lazimnya istri Tionghoa memiliki tabungan terpisah atas namanya sendiri. Semua sudah diperhitungkan matang-matang. Bila usaha suami goyah dan tumbang, uang istri tidak ikut hilang. Tak jarang seorang suami bangkit kembali berusaha dengan dukungan modal hasil tabungan diam-diam istrinya. Ibu Tionghoa pun mempunyai peran signifikan dalam percaturan ekonomi keluarga.
Dengan pengalamannya seorang ibu, Tionghoa biasanya dapat mengontrol keuangan keluarganya sendiri dan keluarga anak-anaknya, supaya tidak terjadi pemborosan. Untuk apa mencari banyak uang, jika terjadi penghamburan di mana-mana. Sering terjadi, seorang ibu Tionghoa sembunyi-sembunyi menyokong anak perempuan dan menantunya dalam mengembangkan usaha terpisah dari usaha keluarga. Tak ada niat jahat di sini kecuali mencari uang lebih banyak melalui berbagai cara.
Perkawinan bagi Tionghoa umumnya, tidak semua, juga sekaligus merupakan suatu strategi dan kolaborasi ekonomi-sosial, selain penyempurnaan sepotong cinta melankolis. Tionghoa setuju bahwa cinta dan uang sama-sama penting.
Mengapa Tionghoa berdagang? Kalau siapa yang dimaksud dengan Tionghoa di sini adalah perantau, jawabnya karena posisi mereka dahulu sebagai minoritas dan pendatang illegal, tak banyak jenis mata pencaharian yang dapat mereka pilih. Modal yang ada Cuma pakaian yang melekat di badan. Mau beli tanah untuk bercocok tanam pun tidak punya uang dan tidak boleh atau tak berhak. Minus pendidikan pula. Maka mereka yang tanpa keahlian serta tak berotot, jatuh-jatuhnya jadi pedagang eceran.
Banyak orang mengaku lebih puas dan tenang jika berhubungan dagang dengan Tionghoa. Mereka bisa dipercaya, demikian jawaban yang paling sering didengar. Di luar kenyataan Bisa Dipercaya, ada beberapa perilaku dagang ala Tionghoa yang sangat spesifik. Cara dan langkah orang Tionghoa berdagang punya ciri khas, dan ini menjadi kunci sukses mereka bertahan dalam jangka waktu lama, bahkan bila menghadapi situasi tersulit sekalipun. Falsafah dagang yang dianut Tionghoa tidak berubah, hanya berbeda tipis dari generasi ke generasi.
Orang Tionghoa yang berdagang lazimnya menabung demi memupuk modal. Dari hasil menabung, usaha dapat dikembangkan tanpa perlu mengandalkan pinjaman dari luar. Memakai duit tabungan sendiri buat membesarkan usaha biasanya hampir pasti lebih berhasil daripada mencoba meningkatkan usaha sambil berspekulasi mempergunakan pinjaman bank.
Ini teori kuno yang masih manjur. Tionghoa yakin pada kemudahan yang bakal diperoleh atas kepemilikan modal nyata dan selalu menganggap bahwa modal perlu diperkuar bila ingin bertahan berdagang. Masyarakat pun lebih percaya kepada para pemilik modal besar.
Sebenarnya agak menyesatkan, menyimpulkan semua Tionghoa memulai usahanya hingga menjadi kaya tanpa modal awal alias berangkat dari nol. Generasi Tionghoa, khususnya perantauan, pertama barangkali memang benar-benar mencoba bangkit hanya dengan mengandalkan kemauan bekerja keras, namun generasi selanjutnya tidak semurni-murninya bermodal nihil. Satu generasi ke belakang dari sekarang, barangkali orang masih punya banyak peluang untuk memulai dagang tanpa modal, tetapi sekarang dan waktu yang akan datang, besar atau kecil, niscaya orang membutuhkan sejumlah modal untuk memulai usaha. Situasi berubah mengikuti perubahan zaman.
Realitis saja, zaman sekarang, semakin mustahil memulai usaha tanpa modal. Dalam bentuk apapun modal bukan sesuatu yang harus diingkari, sebab modal merupakan unsur bisnis hakiki terpenting yang tak dapat diabaikan, dikesampingkan, atau dilupakan. Saat menganalisis neraca pun orang mengamati dengan kritis sisi permodalan perusahaan. Di lingkungan Tionghoa, tak jarang pemodal paling bonafid dalam suatu keluarga besar maju berlaga untuk memenangkan sebuah tender besar terlebih dahulu. Kemudian tender baru dipecah untuk dibagi-bagikan pada sesama anggota keluarga yang lain.
Orang Tionghoa pun suka menanamkan kembali hampir seluruh labanya menjadi modal usaha untuk tahun berikutnya. Tak heran, melalui perilaku begini, modal usaha Tionghoa senantiasa bertambah besar, sehingga mereka dijuluki pemilik modal besar, padahal kenyataannya modal pengusaha Tionghoa sesungguhnya bertambah secara kumulatif (bukan sekaligus berlipat ganda dalam semalam) seraya dikawal falsafah: Timbunlah modal sebanyaknya yang kau mampu! Teristimewa zaman sekarang, modal merupakan unsur terpenting yang harus dimiliki mereka yang hendak membangun bisnis. Besar atau kecil, modal harus ada, kecuali kembali ke masa saat orang belum memakai sepatu …
Liku-liku Lemah Binis
Kedudukan sosial orang Tionghoa di indonesia unik sebagaimana di tempat lain di dunia ini. Cara mereka berbisnis selalu menjadi sorotan di manapun mereka berada. Tapi di balik kesuksesan, mereka pun tak luput dari kelemahan yang kerap siap menghancurkan hasil jerih payah bertahun-tahun hanya dalam waktu yang singkat. Orang Tionghoa yang selalu dituduh tidak luwes bergaul dengan kelompok lain dan cenderung berinisiatif melindungi diri, sehingga membuat mereka terpaksa mengeluarkan biaya tambahan dalam berbisnis.
Kekuatan dan kelemahan senantiasa menjadi dua sisi sekeping mata uang. Tidak ada kekuatan, jika tidak mengetahui kelemahan. Dalam binis, kekuatan dan kelemahan yang timbul bisa bersifat umum. Kurang pandai mengatur pengeluaran, sehingga biaya-biaya membengkak, misalnya, menjadi kelemahan bisnis yang dikelola oleh siapa saja. Namun memang ada beberapa kelemahan spesifik yang lazimnya dilakukan suatu kelompok tertentu, termasuk Tionghoa.
Keengganan Tionghoa totok melakoni bisnis yang tidak melibatkan uang tunai, umpamanya, untuk ukuran bisnis zaman sekarang yang justru semakin menghindari transaksi tunai bisa menjadi kelemahan signifikan. Toko milik Tionghoa yang tidak mau menerima pembayaran dengan kartu kredit bisa banyak kehilangan peluang dan kalah bersaing dengan toko lain yang bersedia menerima kartu kredit, kartu debet, kartu discount dan sarana transaksi modern lain.
Kelemahan lain pebisnis Tionghoa yang cukup spesifik adalah tidak berpromosi. Kritik pantas pula dilontarkan terhadap orang Tionghoa yang melulu memikirkan bisnisnya, sehingga kadang-kadang melupakan kesehatan dan sama sekali tidak sempat menikmati hasil jerih payahnya. Spekulasi adalah salah satu trik berdagang yang lumayan sering diterapkan para pedagang, termasuk pedagang pada masa sekarang.
Tetapi tentu saja spekulasi harus dilakukan dengan berhati-hati dan sebaiknya para pebisnis sejati tidak terlalu mengandalkan spekulasi untuk memperoleh laba tinggi. Sudah pernah terjadi, pedagang yang dianggap menimbun barang, mengalami amuk massa dan barangnya dijarah. Citra pebinis yang melakukan spekulasi juga biasanya buruk.
Bagaimanapun juga, sikap orang Tionghoa yang memilih uang tunai masih tampak. Pembeli akan mendapat potongan harga jika membayar tunai kepada pedagang Tionghoa. Barangkali sikap ini terbit lantaran pengalaman pribadi, antara lain, sulit menagih utang, cek atau giro yang diterima ternyata kosong dananya, atau merasa rugi waktu. Padahal, seandainya pebisnis Tionghoa berani bersikap lebih longgar, banyak peluang bisnis lain yang dapat mereka garap dengan resiko wajar.
Pasar modal di Shanghai, meskipun disebut-sebut sebagai pasar modal paling besar untuk ukuran Tiongkok Daratan, ternyata bukan pasar modal yang dapat disebut dinamis untuk ukuran dunia. Kesimpulannya, orang Tionghoa memang pada hakikatnya tidak terbiasa berinvestasi tanpa mereka sendiri memegang duitnya. Pasar modal Hong Kong sedikit lebih hidup, sebab Hong Kong diperintah Inggris sekitar seratus tahun, sehingga budaya Eropa sedikit atau banyak mempengaruhi iklim bisnis di sini.
Kegemaran memegang uang tunai pebisnis Tionghoa ini juga dapat dirasakan dengan mengamati perkembangan bisnis eceran di Indonesia yang semakin marak dari waktu ke waktu. Pada sektor eceran atau retail inilai perputaran uang berlangsung dengan deras. Di sinilah orang Tionghoa senang berkecimpung. Pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun di mana-mana, sekali lagi, membuktikan bahwa perdagangan yang melibatkan peredaran uang tunai menjadi fokus bisnis Tionghoa.
Andaikata pemodal Tionghoa tidak terlalu memandang berat pada uang dalam menjalankan bisnis, banyak sektor potensial lain yang sebenarnya layak digarap dan dapat menghasilkan laba berlimpah. Pertambangan, pertanian, perkebunan, atau teknologi tinggi merupakan sektor yang dihindari pemilik modal Tionghoa, padahal jika ditekuni dan tidak melulu melihat bisnis dari sisi keberadaan dan kehadiran uang tunai, sektor-sektor tersebut adalah kekuatan bisnis masa depan.
Uang tunai sebetulnya punya kekuatan tersendiri. Dengan menerima uang tunai, tiada kemungkinan terkecoh oleh orang yang kemudian ingkar membayar. Dengan memegang uang tunai juga praktis terhindar dari kemungkinan menjadi korban apabila ada transaksi yang dibatalkan. Uang tunai juga amat berperan apabila terjadi krisis, saat semua pihak menuntut pembayaran tunai atas semua transaksi.
Seyogianya perhentian itu penting. Itulah keseimbangan. Orang Tionghoa sebetulnya juga sudah sejak lama menyadari pentingnya berhenti setelah sekian lama bekerja keras, namun sering kali lupa melakukannya. Maka ibarat mesin, terjadilah over-hrated, terlalu panas. Senam pagi, rehat minum kopi, piknik keluarga, atau pekan olahraga keryawan, bagi pengusaha Tionghoa cuma membuang-buang waktu.
Padahal kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan menciptakan semacam selingan yang bermanfaat untuk penyegaran dan pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas dan kreatifitas. Otak yang tidak pernah dibiarkan beristirahat kecuali menghitung uang niscaya akan tumpul, sehingga bila diperlukan pada suatu saat, otak tersebut sudah tidak mampu berpikir secara cerdas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha Tionghoa suka mengumpul. Dari budaya ini muncullah Chinatown di beberapa kota besar dunia. Kawasan pecinan ini juga dapat diamati di kota-kota di Indonesia. Biasanya kawasan tempat berkumpulnya orang-orang Tionghoa ini kemudian berkembang menjadi sentra bisnis utama. Pada mulanya kebiasaan ini disinyalir merupakan kesengajaan dengan tujuan menggalang kekuatan guna mengamankan kelompok dan saling menjaga.
Dengan hidup berdagang berkumpul, warga Tionghoa mencari keamanan dan keselamatan. Bisnis Tionghoa berkembang tetapi hanya berpusat pada satu wilayah saja. Pengusaha Tionghoa normalnya kurang cepat melebarkan sayap (branch out) dibadingkan pengusaha lain. Hanya belakangan ini saja pebisnis Tionghoa membuka cabang usaha lebih luas. Itu pun masih terbatas dengan didirikannya cabang-cabang usaha yang lagi-lagi berlokasi di pecinan lagi, pecinan lagi sekalipun pada kota berbeda-beda.
Barangkali pengusaha Tionghoa masih ketakutan terhadap beberapa tragedi yang pernah melanda mereka pada masa silam. Di kota besar saja orang Tionghoa masih tergolong minoritas sehingga mudah ditindas, apalagi di kota-kota kecil atau desa, demikian ausmsinya. Jadi, orang Tionghoa seperti diingatkan, dan guna melindungi orang Tionghoa, pemerintah pernah mengeluarkan maklumat PP No 10 yang melarang orang Tionghoa berdagang di kota-kota kabupaten dan kecamatan. Tujuannya agar orang Tionghoa mengumpul di ibukota propinsi sehingga lebih mudah diawasi dan dilindungi.
Pengusaha Tionghoa umumnya masih kurang berani memanjakan pelanggan mereka dalam arti menyediakan fasilitas dan sarana. Selama para pesaing belum melakukan gebrakan, para pengusaha Tionghoa masih boleh tenang-tenang berdagang. Begitu pengusaha Barat masuk menyajikan cara-cara berdagang baru yang mengandalkan kenyamanan dan kemudahan yang bersandar pada teknologi. Kenyataan sudah membuktikan bahwa bisnis masa kini, tidak bisa tidak, menuntut tambahan modal untuk mengupayakan kehadiran sarana modern. Tengok saja toko-toko besar yang menyediakan fasilitas berbelanja mewah. Ke sanalah orang-orang menyemut.
Pengusaha Tionghoa umumnya juga kurang antuasias memanfaatkan sarana pendukung lain yang pada awalnya memang terkesan seperti menghabis-habiskan uang saja, namun sesungguhnya secara tidak langsung memberi manfaat besar terselubung. Pengusaha Tionghoa umumnya kurang memperhatikan merk dalam arti menciptakan dan memelihara merk dengan tujuan jangka panjang seperti go internasional.
Merk memang dijaga eksistensi dan kosistensinya dengan mempertahankan mutu barang yang dihasilkan, tetapi tidak diupayakan naik kelas atau naik gengsi. Umumnya perusahaan milik Tionghoa tidak berani tampil sesuai dengan kapasitas dan kredibilitasnya. Selalu ketakutan dianggap besar, khawatir inisiatif tampil dengan gagah justru berbalik manjdi bumerang, dimintai sumbangan melulu. Maka jika boleh memilih, perusahaan Tionghoa maupunya tampil low-profile asal high profit. Sebagai sebuah pilihan sikap, ini tentu sah-sah saja.
Tetapi apabila pengusaha Tionghoa mencoba tampil lebih berani dan menunjukkan kelasnya, masing-masing perusahaan seyogianya dapat pula menuai manfaat besar. Sebenarnya Indonesia termasuk salah satu negara yang produknya paling bersaing di dunia, asal para pengusahanya berani tampil ke depan dunia internasional untuk memperebutkan tender global. Pengusaha Tionghoa ada di segala sektor, mulai dari onderdil mobil hingga tekstil, mulai dari makanan kaleng sampai makanan ternak. Kendala menuju sukses lebih besar hanyalah soal keberanian tampil memperkenalkan diri.
Bagi banyak orang Tionghoa, masalahnya bukan soal berani atau tidak berani, melainkan tidak mau saja. Alasannya macam-macam, terutama khawatir menjadi sorotan dan menjadi repot. Sekarang memang sudah ada beberapa pengusaha Tionghoa yang tampil di media massa atau melayani wawancara, mengisahkan sukses dan lain-lain, namun sebagian besar pengusaha Tionghoa belum melihat public expose begini perlu dilakukan. Tampil di muka umum bagi pengusaha Tionghoa lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya.
Masih ada saja Tionghoa yang terkenang-kenang pada sukses beberapa konglomerat Tionghoa yang konon mulai bersinar karena diberi tender oleh penguasa pada masanya. Maka ada pengusaha Tionghoa yang senantiasa mengincar peluang seperti ini. Pokoknya berusaha menjalin persahabatan dengan penguasa, membantunya supaya ia dapat melanggengkan kekuasaannya, kemudian tinggal menadahkan tangan menampung kucuran tender yang nilainya sangat besar dan dapat dimanipulasi.
Begitulah sukses beberapa konglomerat Tionghoa disinyalir terjadi melalui pola seperti itu dan kisah-kisah mereka telanjur melegenda. Tidak kurang banyak pengusaha Tionghoa yang akhirnya terjerembab akibat salah berhitung dalam menjalin kerja sama dengan penguasa. Belum lagi disebut kerugian yang terjadi karena salah memprediksi posisi dan promosi seorang penguasa. Dikira segera memenangi kedudukan politik, ternyata kalah, maka umpan yang sudah dipasang lenyap tertelan gelombang.
Sabtu, 03 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar