Menembus Batas Waktu Mengarung Zaman
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
P E N G A N T A R
Mereka yang tertarik dengan masyarakat Indonesia kontemporer, baik organisasinya maupun artikulasi sosial dan politiknya, cepat atau lambat akan menyadari bahwa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pelbagai fenomena ini, pertamakali diperlukan apresiasi terhadap residum budaya tradisional di Indonesia pra-Barat yang masih utuh. Tentu saja hal ini tak ada pengecualiannya bagi masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, yang budayanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam tingkat lokal. Khususnya yang tersebar di berbagai tempat dalam wilayah propinsi itu.
Dalam banyak hal, termasuklah sejarah komunitas masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, di samping warisan budaya tradisional bisa membantu untuk menjelaskan fenomena kontemporer. Selain juga banyak memberikan pemahaman perihal pendekatan komunitas ini terhadap agama dan keyakinan serta konsep hidup utamanya yang sudah diperkenalkan sebelumnya. Karena warisan sejarah dan budaya Tionghoa Kalimantan Barat di daerah ini telah mengkondisikan cara di mana seluruh ide-ide luar, telah diterima dan warisan budaya itu membantu memetakan pola-pola sintesis partikular yang memiliki pengaruh terhadap nilai-nilai kontemporer.
Perubahan sosial yang melanda kehidupan masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat (dan Indonesia umumnya) tidak dapat melepaskan dari ruang lingkup sejarah politik yang telah mencatat peristiwa-peristiwa penting di daerah ini. Itu semua disebabkan karena peristiwa-peristiwa politik yang terjadi sejak kira-¬kira pertengahan abad XVII sampai dengan pra-perang kemerdekaan 1945, berkaitan erat dengan terjadinya berbagai perubahan dalam sistem sosial manusia Tionghoa. Perubahan-¬perubahan itu tidak saja menyangkut perubahan sistem sosial, tapi juga menyangkut perubahan sistem pemerintahan, perubahan sistem pendidikan, perubahan nilai, pergeseran status sosial dalam kehidupan masyarakat, munculnya kelompok sosial baru dalam masyarakat dan lain-lain.
Dengan demikian tidaklah berlebihan bila dikatakan di sini bahwa perubahan yang melanda masyarakat Tionghoa Indonesia, dengan menilik keberadaannya di Kalimantan Barat, sejak periode abad XVII sampai pada abad XX lalu, adalah merupakan suatu perubahan struktur sosial, yaitu perubahan yang menyangkut semua aspek kehidupan manusia Tionghoa itu sendiri. Dalam konteks perubahan struktur sosial itu, ada tiga faktor utama yang patut diperhatikan dengan seksama, yaitu peranan sistem birokrasi pemerintah kolonial Belanda, pengaruh politik dan sosial dari pendudukan Jepang, serta pengaruh dari peristiwa-peristiwa politik yang terjadi sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 1965.
Faktor pertama dan kedua, adalah merupakan latar belakang untuk melihat bagaimana proses perubahan itu terjadi, gejala-gejala penyebabnya dan bentuk serta arah yang dituju oleh perubahan itu sendiri. Kedua faktor ini adalah teramat penting, sebab faktor-faktor itu menjadi landasan utama untuk menarik suatu garis lurus terhadap perubahan sosial yang melanda kehidupan manusia Tionghoa. Sedang faktor ketiga, adalah merupakan kontinuitas dari faktor pertama dan kedua. Baik faktor pertama dan kedua, maupun faktor ketiga yang merupakan kontinuitas, adalah jalin menjalin satu dengan lainnya. Ketiganya merupakan suatu unit sosial yang tidak terpisahkan dalam perubahan struktur sosial masyarakat Tionghoa Indonesai umumnya dan Tionghoa Kalimantan Barat khususnya.
Pola tingkah laku manusia Tionghoa telah banyak mengalami perubahan-perubahan yang manarik. Ini semua berkaitan erat dengan kemajuan zaman yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia atau suatu masyarakat. Namun, satu hal yang menarik untuk diperhatikan di sini, bahwa meskipun berbagai perubahan itu telah terjadi baik secara cepat, maupun dengan cara lambat atau perlahan-Iahan yang ada kalanya tidak disadari oleh anggota masyarakat itu sendiri, tapi stimulus yang datang secara bertubi-tubi itu hanya sampai pada tingkat yang bersifat lahiriyah yang pada kenyataannya belum menembus ke tingkat yang paling dalam di dalam diri manusia Tionghoa.
Penulis berharap, tulisan ini selain bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui tentang sejarah dan pola tingkah laku serta pandangan hidup yang terdapat dalam diri manusia Tionghoa di Kalimantan Barat, juga dapat digunakan sebagai bahan bacaan dalam bidang sejarah sosial yang sampai pada saat ini terasa masih kurang. Dengan demikian dimaksudkan juga sifatnya untuk memperkaya khazanah kepustakaan nasional umumnya. Tentulah ini secara keseluruhan tidak terlepas dari berbagai kemungkinan terdapatnya beberapa kelemahan.
Akhirnya penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut terlibat dan membantu proses keberlangsungan penulisan ini, dalam hal ini lebih khusus kepada Ibu Dr Mary Somers Heidhues. Di mana kebaikan mereka memberikan kemungkinan penulis untuk mempersembahkan buku ini.
PENDAHULUAN
Bermukimnya orang Tionghoa di Borneo Barat dalam jumlah yang besar dimulai dengan pencarian emas pada abad ke 18. sebelum itu, pedagang-pedagang datang dari Tiongkok menuju pantai barat, dan sebagian menetap di sana, tetapi jumlah mereka tidaklah besar, dan sedikit laporan mengenai kedatangan dan menetapnya mereka. Para penambang emas datang dalam jumlah puluhan ribu orang, dan meskipun sebagian besar mati muda atau kembali ke Tiongkok, tidak lama kemudian mereka menjadi cukup penting, menetap dan, di bawah pimpinan kongsi-kongsi, mendirikan komunitas-komunitas semula berpemerintahan sendiri.
Sejarah pemukiman Tionghoa di Kalimantan Barat, terjadi lebih dari dua setengah abad. Pada saat yang bersamaan, penerimaan kebudayaan Tionghia dan etnis Tionghoa itu sendiri telah meluas seperti dinyatakan oleh masyarakat setempat bahwa orang Tionghoa adalah salah satu dari tiga suku atau tiga pilar penyangga Kalimantan Barat. Tidak hanya karena mereka telah lama bermukim sehingga memungkinkan menempatkan mereka di dalam komunitas lokal. Telah diakui secara luas, bahwa orang Tionghoa adalah kaya, tetapi juga miskin, pengusaha tetapi juga petani dan nelayan. Jumlah mereka juga menyeimbangkan kekuatan antara orang Dayak di satu sisi, dan orang Melayu serta kelompok Islam lainnya di sisi yang lain. Namun demikian, ungkapan Tiga Suku mengacu pada semua unsur masyarakat Borneo.
Jika orang Tionghoa menemukan kembali ketionghoaan mereka dan menikmati kesempatan untuk mempertontonkan tarian naga, merayakan kemeriahan acara Tionghoa, atau belajar bahasa Mandarin secara terbuka, mereka sesungguhnya juga sadar akan akar mereka di dalam masyarakat setempat. Orang Tionghoa sudah menetap selama empat, lima dan enam generasi di muara Sungai Kapuas. Ketika orang Tionghoa pertama kali datang ke daerah ini, mereka hanya kawin dengan anak-anak perempuan orang Dayak. Tetapi kemudian, saat populasi mereka bertambah, mulailah terjadi perkawinan di antara mereka sendiri dan mereka jarang mengambil perempuan Dayak sebagai isteri mereka. Kisah ini dari 1820-an, atau lebih awal lagi.
Dua kelompok atau sub-etnis terbesar di Borneo Barat adalah Teochiu (Chaozhou) dan hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong, di sekitar pelabuhan Swatow (Shantou). Sedangkan orang Hakka, kebanyakan bermigrasi dari daerah Guangdong yang lebih pedalaman yang berbukit-bukit atau daerah miskin di dataran rendah propinsi ini, tempat mereka seringkali tinggal di antara kelompok-kelompok yang berbeda bahasa. Orang Hakka juga tinggal di propinsi Fujian bagian pedalaman (Tingzhou). Tapi hanya sedikit saja orang Hakka dari Fujian yang bermigrasi ke Borneo Barat.
Seperti juga orang Teochiu, orang Hakka adalah orang Tionghoa etnis Han dan menggunakan bahasa Tionghoa daerah selatan. Mereka bercocok tanam di daerah yang tidak terlalu subur, dan selalu siap bermigrasi ke daerah baru. Karena itulah mereka disebut Hakka (Kejia) yang artinya Orang Tamu. Sama halnya di Borneo Barat, orang Hakka adalah perintis. Orang Hakka awal sejarahnya di Borneo Barat bekerja di pertambangan dan pertanian, kemudian mereka menjadi pedagang kecil mulanya di daerah pedalaman. Sensus 1930 seperti dkutip WL Cator menjelaskan kelompok sub-etnis atau bahasa Hakka dari antara orang Tionghoa di Borneo Barat berjumlah 38.313, sementara Teochiu (yang dalam dokumen masa kolonial sering disebut Hoklo atau Fulao) berjumlah 21.699, Kantor 2.961, Hakkien 2.570 dan Lainnya 1.257 orang.
Walaupun sebagian pedagang Tionghoa telah mengunjungi Brunei dan kerajaan Borneo lainnya selama berabad-abad, orang Tionghoa pertama yang tiba di Borneo Barat dalam jumlah besar baru datang di pertengahan abad ke 18 untuk menambang emas. Sebagai penambang, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak, yang telah mengerjakan tambang sebelum mereka. Tapi, metode orang Tionghoa lebih efisien untuk mengerjakan semuanya, kecuali kandungan tambang yang lebih kecil dan di daerah jauh di dalam, seperti Landak.
Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengaliur ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa feodal lokal ini tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18.
Terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana. Dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. J Burn dalam manuskrip tentang Pontianak (1811) berpikir bahwa tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn. Laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.
Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka/ pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali tersulur pada 1840-an.
Sub-distrik Landak yang berbatasan dengan Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, dan yang dikenal sebagai penghasil intan dan juga emas, menggambarkan pergeseran geografi dan ekonomi yang dibuat oleh orang Tionghoa dalam pencarian mereka akan kemakmuran. Kongsi Lanfang dibubarkan pada 1884, adalah kongsi terakhir yang menghilang. Hanya sedikit orang Tionghoa yang menambang emas di Landak pada awal abad ke 19, namun mereka sudah segera pindah jika para bangsawan setempat kemungkinan para pemegang hak upeti menjadi lebih agresif dan tidak bersahabat. Pada 1840-an, Kongsi Lanfang berperang dengan Landak, sebagai akibatnya, wilayah ini menjadi semacam penyangga antara wilayah kongsi dengan daerah pedalaman yang didominasi pribumi.
Pada 1850, di Landak terdapat 500 orang Melayu dan 9000 keluarga Dayak yang tinggal di dalam wilayahnya. Orang Dayak hidup dalam lingkungan yang miskin. Meskipun penguasa Landak masih mencoba untuk melawan penetrasi orang Tionghoa, diperkirakan atau perkiraan yang dilebih-lebihkan, ada ribuan penambang Tionghoa bekerja di tiga kongsi yang terletak dekat perbatasan antara wilayah Landak dan Lanfang, misalnya di Perigi. Kemarahan yang timbul akibat perang 1840-an dengan Landak dan permusuhan orang Dayak memaksakan para penambang Lanfang untuk mencari keselamatan dengan cara memperbesar jumlahnya, meskipun demikian angka tadi barangkali memang terlalu tinggi. Pada 1854 sebuah survei menemukan hanya 75 orang laki-laki Tionghoa yang bertempat tinggal di Landak dengan istri dan anak-anak mereka.
Sekitar 40 orang dari antara mereka bekerja di pertambangan milik Kapthai Mandor, perkiraan ini baranhkali terlalu rendah. Dari sebuah survei pertambangan yang dilakukan Everwijn dalam Koloniaal Verslag 1854, yang mungkin mengitung beberapa ratus penambang Perigi sebagai bagian dari Mandor. Ini hanya sebagian paparan mengenai pertentangan.
Setelah penghapusan kongsi pada 1850-an, semakin banyak orang Tionghoa yang merembes masuk ke Landak, melalui darat atau sungai, meskipun pembatasan masih diberlakukan oleh elit Melayu. Banyak di antara mereka yang menemukan jalan ke pedalaman, meskipun hidup di daerah tapal batas ini masih sangat berbahaya, beberapa orang Tionghoa yang hidup di tempat terpencil terbunuh, seringkali oleh para pencuri.
Landak bukanlah salah satu daerah terbesar untuk hasil hutan, namun Landak mengekspor sejumlah tengkawang. Para pendatang Tionghoa seringkali mencoba untuk menyingkirkan orang Melayu keluar dari perdagangan hasil hutan. Di Landak, mereka memusatkan tekanan kepada para bangsawan, namun kaum bangsawan Landak telah menikmati posisi yang relatif kuat dalam berhubungan dengan rejim kolonial, mungkin karena sejarah mereka dalam menguasai pertambangan intan. Setidak-tidaknya hingga 1915, penguasa Melayu masih memonopoli perdagangan tengkawang. Seorang pengusaha Tionghoa di Singkawang, Lim Moi Lioek (Mandarin: Lin Meiliu), mengirim beberapa agen ke wilayah itu untuk mengambil alih perdagangan tersebut untuk dirinya, namun hal ini benar-benar tidak berhasil. Fakta bahwa para agennya adalah orang-orang Jepang semakin memperumit situasi, karena beberapa orang Melayu menuduh mereka adalah mata-mata dan meminta agar mereka ditahan oleh militer setempat. Orang Jepang memiliki status sebagai orang Eropa, Lim boleh jadi mencoba memanfaatkan kebebasan mereka untuk bergerak, sebuah kebebasan yang orang Tionghoa tidak miliki tentunya. Permasalahan ini kemudian menjadi insiden internasional, dan pada akhirnya, Lim gagal mengamankan jejak kakinya di Landak. Ini benar, karena bertahun-tahun kemudian, pada 1925, seorang pejabat setempat melaporkan bahwa hanya orang Melayu, bukan Tionghoa, yang berdagang dengan orang Dayak di Landak.
Namun demikian, pada 1919 terdapat 2009 orang Tionghoa di Landak, termasuk seorang kapitan Tionghoa yang bermukim di pemukiman utama di Ngabang. Terdapat tujuh orang opsir Tionghoa dengan pangkat yang lebih rendah yang mengurus pemukiman-pemukiman yang lebih kecil. Umumnya, imigran Tionghoa tinggal di pemukiman yang terletak lebih di hilir sungai ketimbang orang Melayu, karena orang Melayu takut tercemar dengan babi yang dipelihara orang Tionghoa. Pada masa itu, kebanyakan pemukiman ini terpusatkan di daerah yang memiliki batas-batas wilayah kongsi Lanfang. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang Tionghoa adalah pedagang perkotaan dan tukang, petani dan kemungkinan penambang, yang tidak melakukan perdagangan di edesaan. Pada 1920-an terlihat bahwa orang Tionghoa mempergunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan hak atas tanah pertanian, sehingga megarahkan banyak orang Melayu ke dalam kemiskinan. GL Uljee dalam Handboek voor de Residentie Westerafdeeling van Borneo (1925) merasa bahwa orang Tionghoa harus diijinkan membuka wilayah, sementara orang Melayu yang kehilangan tanah dapat dengan mudah membuka lahan tanah lagui sendiri.
Pada 1934, orang Tionghoa Landak telah menjadi petani menetap dan pedagang mapan. Meskipun mereka membentuk kurang dari 5 persen dari jumlah populasi, jumlah mereka meningkat hingga di atas 3.100, bukan hanya akibat imigrasi namun juga karena kenaikan alamiah. Jumlah perempuan yang substansial per seribu laki-laki (849,5) mengindikasikan bahwa orang Tionghoa di wilayah ini telah menjadi populasi tetap pada 1930-an. Hanya terdapat empat orang opsir yang mengatur pemukiman di Landak, namun pasar-pasar yang lebih kecil mempunyai ketua pasar, banyak orang Tionghoa yang tinggal di pertanian, memelihara bebek, ayam, babib, sayur mayur, buah-buahan, dan beras untuk konsumsi rumah tangga atau untuk dijual. Karet dan lada merupakan tanaman niaga yang penting, para petani Tionghoa memusatkan perhatian bertanam karet, lada-gambir atau menanam padi. Banyak orang Tionghoa yang berdagang komoditas ini, namun biasanya dengan modal kecil. Para pedagang berskala besar atau perusahaan yang sanggup menyediakan kredit yang cukup besar berlokasi di Pontianak dan Singapura. Kemungkinan besar, Ngabang adalah pusat perdagangan utama Landak. Ngabang memiliki pasar yang bagus dan karena berlokasi di batas hulu jalaur kapal uap pada sungai utama, maka dia menjadi pusat tulang punggung jalur pedagangan sungai di sub-distrik ini.
Seperti kebanyakan orang Tionghoa di pedalaman, orang Tionghoa di Landak hampir semuanya orang Hakka. Mereka pekerja keras di bidang pertanian, namun tidak tampak bahwa kerja pertanian mengasingkan mereka atau emisahkan mereka dari penduduk lain. Pada 1930-an dilaporkan bahwa mereka dengan sangat mudah bergaul dengan orang Dayak. Pada masa itu, mereka juga berdagang dengan orang Dayak. Adat perkawinan dan kewarisan mengikuti tradisi Tionghoa, anak-anak yang lahir dari orang tua campuran dibesarkan dengan cara Tionghoa dan berbahasa Tionghoa. Kemungkinan, keberadaan mereka dalam suatu komunitas kecil Tionghoa membantu mereka yang berdarah campuran untuk berintegrasi. Meskipun hampir semua orang Tionghoa bercakap-cakap bahasa Hakka, orang Tionghoa kelahiran setempat biasanya juga fasih berbicara dalam bahasa Melayu. Para imigran Tionghoa yang bergerak dalam perdagangan domestik, sebagaimana dilaporkan dalam Memorandum Penyerahan Jabatan WJ ten Haaft di Landak 1934 menyebutkan seringkali bisa berbahasa Dayak.
Landak mencerminkan migrasi orang Tionghoa ke pedalaman. Migrasi lain dari orang Tionghoa ke daerah pesisir berhubungan dengan suatu peralihan ke pertanian tanaman niaga …
Di abad ke 19 lalu, Belanda di kepulauan Indonesia terlihat mengalami perubahan, dari sebuah kekuasaan dagang dengan hanya sekedar memiliki pos-pos dagang di beberapa pelabuhan besar saja dan penguasaan wilayah yang minimal (kecuali di Jawa dan Kepulauan Rempah-rempah Maluku) menjadi sebuah kekuasaan administratif yang menyatakan menguasai wilayah yang luas. Persaingan dengan Inggris dan karena kelemahan internal menyebabkan Perusahaan Dagang Hindia Belanda [VOC] Vereenigde Oostindische Compagnie mengalami kebangkrutan pada akhir abad ke 18. dan pemerintah Belanda mengambil alih semua aset dan usahanya. Meskipun VOC telah melakukan kontak dengan Borneo Barat, dan bahkan sudah mendirikan kantor perwakilan di sana secara sporadis, namun baru pada Juli 1818 Belanda mendirikan kantor yang permanen di Pontianak, dan mulai menyatakan kekuasaannya atas seluruh wilayah itu. Meskipun mereka dapat bekerja sama dengan para penguasa Melayu yang penting dalam melakukan usahanya tersebut, namun inisiatif politik dan ekonomi mereka itu segera saja membawa masuk ke dalam pertikaian dengan orang Tionghoa.
Sebelum masa pemerintahan sementara Inggris dari 1818 hingga 1816, Letnan Gubernur TS Raffles telah mengirimkan sebuah permintaan ke Pontianak untuk memberikan informasi mengenai keadaan di Borneo Barat. Di sana tinggal seorang kapten kapal atau pedagang Inggris J Burn yang sudah bermukim di Pontianak sekurang-kurangnya sejak 1808. burn menulis sebuah penuturan panjang mengenai kota tersebut dan daerah sekitarnya, tentang dua orang penguasanya dan perekonomiannya. Penuturannya ini sebagian diterbitkan di Batavia pada 1814, dan dicetak ulang di Singapura pada 1837. pemaparan Burn tersebut boleh jadi telah membuat Raffles terbit air liurnya, dan kemudian juga Belanda untuk segera masuk ke Borneo Barat, mengingat paparan Burn tersebut mencakup rincian dari wilayah yang penuh dengan kekayaan alam, dan diatas semua itu, terdapat emas.
Dua eksemplar penuturan Burn yang ditulis dalam 151 halaman manuskrip dan barangkali merupakan sumber informasi terbanyak, maupun misinformasi, bagi Raffles mengenai wilayah ini. Sebagian dari penuturan Burn tersebut dicetak ulang dalam Dr John Leyden. Di kemudian hari Raffles terinsipirasi, koloni besar orang Tionghoa yang dibangun oleh mereka sendiri di Borneo. Sejumlah besar emas yang mereka ekspor pertahunnya diperkirakan senilai tidak kurang dari setengah juta sterling. Monterado dilaporkan memiliki enam ribu pekerja, yang setiap tahunnya masing-masing pekerja menghasilkan lebih dari satu pon emas dan secara tidak realistis memperkirakan keberadaan 200.000 orang Tionghoa di Borneo.
Emas yang dikumpulkan di Borneo Barat, normalnya dalam bentuk serbuk emas, biasanya dijual dalam timbangan dollar perak, harganya tergantung dari takaran kemurnian dari emas tersebut, yang dibedakan berdasarkan tempat emas tersebut ditambang. Serbuk emas dijual seharga 23 hingga 25 dolar perak untuk satu bungkalnya. Satu bungkal kira-kira seberat dua keping uang dolar perak. Di hulu sungai, harganya serendah 16 dolar perak per satu bungkal. Satu aturan konversi menyatakan 550 bungkal adalah setara satu pikul, yaitu sekitar sekitar enam puluh kilogram, jadi satu bungkal memiliki berat sekitar 113 gram. Dari Tiongkok, jung-jung membawa muatan the, sutera mentah dan sutera halus, tembikar kasar, permen (gula-gula), periuk besi dan produk Tiongkok lainnya, dan sejumlah besar kertas bergambar barangkali kertas dewa, uang-uangan kelenteng yang dipergunakan oleh orang Tionghoa dalam upacara keagamaan. Jika muatan dari jung-jung yang berlayar dari Kanton (Guangzhou) dapat bernilai sebesar 25.000 sampai 30.000 dollar, sedangkan yang berlayar dari Amoy atau tempat lainnya bermuatan senilai kurang dari itu.
Bandingkan dengan datar ekspor 1830-an, rotan, lilin, kayu hitam (eboni) dan kayu besi, serbuk emas dari Mandor dan intan dari Landak. Komoditas ekspor, terutama ke Tiongkok, terdiri dari tempurung kura-kura, kapur barus, sarang burung dan lada, sementara intan kebanyakan dikirim ke Jawa dan emas ke Jawa, Singapura dan Tiongkok. Dari Tiongkok didatangkan sutera, nankin (katun), tembakau Tionghoa, the, sayur mayur yang diawetkan, buah-buahan, ikan, kertas sembahyang atau pembungkus wajan dan kuali besi, mangkuk tembikar, piring dan bejana air, serta barang-barang lainnya.
Para penambang bukanlah orang Dayak. Orang Dayak bermukim di komunitas kecil dan relatif terisolasi dan jarang memiliki hubungan dengan dunia luar, sehingga relatif sangat mudah untuk dikuasai. Sebaliknya para pekerja Tionghoa memiliki organisasi dan jejaring yang lebih baik. Kongsi-kongsi mereka, organisasi yang sama yang memungkinkan orang Tionghoa menambang secara lebih efisien, juga memungkinkan mereka untuk menentang penguasa Melayu, sedangkan ikatan mereka dengan luar negeri memberikan mereka keunggulan tambahan. Segera saja, mereka dengan terang-terangan meniadakan semua ketentuan dalam perjanjian dengan para penguasa pribumi.
Orang Tionghoa dapat menghindari pelabuhan para penguasa dengan cara menggunakan sungai-sungai yang sejajar dengan sungai utama untuk mencapai lautan, membawa masuk orang, barang-barang atau persenjataan, dan untuk mengekspor emas. Wilayah Sambas misalnya, dialiri oleh sejumlah sungai, bukan hanya Sambas Kecil tempat sultan tinggal. Tentu saja, pemukiman-pemukiman orang Tionghoa seperti Peniraman, Sungai Pinyuh, Sungai Raya, Selakau dan Sedau, bertumbuhan di sepanjang pantai berdekatan dengan muara dari sungai-sungai sekunder tersebut. Orang Tionghoa yang berada di daerah hulu telah membangun hilir mereka sendiri. Mereka juga mendayagunakan jejak orang Dayak, jalan setapak yang menghubungkan lembah-lembah sungai, dalam prakteknya mereka kemudian mengembangkan jalan-jalan setapak tersebut untuk mempermudah perjalanan melalui darat.
Dilaporkan di sepanjang satu jalan bahkan terdapat sebuah penginapan Tionghoa. Bertentangan dengan perjanjian yang ada, mereka menanam padi dan sayur mayur di lembah-lembah yang lebih subur sehingga mengurangi ketergantungan pada barang yang ditawarkan oleh istana, yang harganya terlalu mahal dan seringkali persediaannya tidak memadai. Monopoli yang dilakukan feodal Melayu terhadap distribusi beras menciptakan pondasi bagi kegiatan pertanian orang Tionghoa, namun dalam praktek, tambang-tambang Tionghoa seringkali membangun kebun sayur mayur dan kandang babi. Tentu saja, berkebun sayur mayur sudah menjadi tradisi turun temurun di Tiongkok. Mereka mengancam dan bahkan membunuh orang Dayak yang dikirim oleh penguasa untuk mengendalikan mereka, dan mereka menempatkan orang Dayak yang lainnya untuk bekerja di pertanian atau penambangan.
Intrik-intrik yang terjadi di istana juga tidak memandang pembagian etnis. Para penambang Tionghoa di Sambas membayar pajak mereka secara pantas selama beberapa tahun setelah kedatangan mereka, namun ketika seorang sultan yang baru naik tahta, saudara laki-laki tertuanya Pangeran Anom, yang sudah hidup di antara orang Tionghoa selama lima tahun, mengenakan pakaian Tionghoa, dan tampaknya juga agama dan tradisi mereka. Benar bahwa sangan pangeran adalah seorang muslim Melayu, namun dia adalah manusia abad ke 18 yang tidak berpandangan kaku dalam masalah etnis dan agama. Dia mempengaruhi orang Tionghoa di Monterado untuk berhenti membayar pajak kepada sultan. Di kemudian nanti, Pangeran Anom ini mengambil alih tahta, namun malang baginya, orang Tionghoa sekarang sudah begitu merdeka dan mereka hanya membayar pajak sebesar seribu dollar dalam bentuk emas kepada bekas sekutunya itu sekali saja.
PESONA BUNGKAL EMAS KISAH AWAL KONGSI
Orang Tionghoa menyumbangkan kata kongsi (gongsi) yang sekarang ini secara luas dipergunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu untuk setiap usaha bersama atau kemitraan, terutama kemitraan yang para anggotanya mengumpulkan sumbangan keuangan mereka. Di Asia Tenggara masa kini, sebuah kongsi adalah sebuah firma atau perusahaan publik, setiap bentuk perkumpulan dari sebuah klub hingga ke sebuah perseroan terbatas. Di Borneo Barat, pada masa ketika Belanda datang, unit usaha bersama ini juga memiliki karakter negara.
Di wilayah pertambangan emas Borneo Barat, dan hal ini terlihat sebagai pengalaman orang Tionghoa yang unik, terdapat perkumpulan atau federasi dari kongsi pertambangan. Federasi ini dapat menyatukan ratusan bahkan ribuan orang pada beberapa areal penambangan. Mereka membangun balai sidang (tjoengthang, zongting, balai umum atau balai utama), balai atau aula merupakan terjemahan umum dari kata thang (ting), bangunan ini juga tampak jelas merupakan kelenteng leluhur. Dan para perwakilan dari kongsi-kongsi besar yang menjadi anggotanya bertanggung jawab atas pemerintahan sehari-hari. Mereka disebut sebagai republik dan demokrasi dalam sumber-sumber abad ke 19. tiga federasi besar di Borneo Barat adalah Fosjoen (Heshun) di Monterado, Lanfang di Mandor, dan Samtiaokioe (Santiaogou) yang pada suatu ketika adalah anggota dari Fosjoen di Monterado, namun memisahkan diri pada 1819.
Para penambang membentuk pengelompokan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari kongsi-kongsi kecil dalam rangka untuk melawan keganasan alam, sikap permusuhan dari orang Dayak, dan kebuasan para feodal Melayu. Konsolidasi ini tidak selalu melalui sebuah proses yang damai. Konflik internal di dalam satu kongsi dan konflik antar kongsi merupakan sebuah unsur yang permanen di kehidupan pesisir barat. Dari ketiga federasi besar kongsi yang ada di pesisir barat Borneo, federasi kongsi yang tangguh di Monterado, bernama Fosjoen Tjoengthang (Heshun Zonting), seringkali disebut musuh bebuyutan pemerintah kolonial, meskipun selama bertahun-tahun kedua belah pihak hidup berdampingan secara damai. Nama heshun mungkin berarti harmoni dan sejahtera, meskipun diterjemahkan juga kombinasi itu sebagai beradab dan ramah tamah atau menyenangkan. Zongting merupakan balai umum atau utama, namun mempunyai fungsi yang beragam, ada yang menggambarkannya sebagai sebuah parlemen, sebuah dewan ekskutif, sebuah kepresidenan, sebuah markas tentara dan sebuah gedung rapat umum, juga sebuah kelenteng. Kebanyakan sumber menyebutnya sebagai rumah kongsi dan dalam kenyataannya juga merupakan kediaman sang ketua dan keluarganya.
Kongsi-kongsi membangun balai umum untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan dan komunitas, sedikit sekali mendapat perhatian. Istilah kongsi juga terkadang dipakai untuk kelompok dengan moyang yang sama, jika, misalnya, mereka mendirikan sebuah kelentengarga. Kantor pusat kongsi bukanlah hanya sekedar bangunan yang berfungsi sebagai tempat administrasi umum, sebagai tempat tinggal sang ketua dan sebagai tempat pertemuan umum saja, namun juga sebagai tempat kediaman gambaran dari dewa atau dewi pelindung. Setiap perkumpulan besar memiliki dewa-dewinya masing-masing, sedangkan agama orang Tionghoa dan ikatan tata keagamaan yang merakyat mengukuhkan ikatan keanggotaan kongsi. Hanya organisasi yang memiliki balai, altar, dan dewanya sendirilah yang dapat mengukuhkan penerimaan pendatang dari Tiongkok sebagai anggota kongsi. Federasi yang lebih besar kemudian mengukuhkan para pekerja ke dalam kongsi untuk penambangan mereka sendiri, dan terkadang untuk penambangan independen yang lebih kecil.
Ritual pengukuhan bagi para penambang baru tampaknya mirip dengan ritual yang dipergunakan dalam upacara pendirian sebuah kelenteng Tao yang baru atau bagi pemukiman baru di Tiongkok, yangmenggabungkan unsur-unsur agama rakyat. Para imigran ke Borneo mungkin membawa abu pembakaran dupa dari kelenteng kampung halaman mereka, menambahkannya pada pembakaran dupa di tempat mereka yang baru. Tindakan ini, ditambah dengan pengambilan sumpah, membentuk satu keterikatan yang simbolis, menjadikan para anggota baru yang berada dalam diaspora tanpa sanak keluarga sebagai saudara rohani, mengingatkan pada persaudaraan melalui upacara yang mirip dengan perkumpulan rahasia.
Jika agama rakyat membentuk pengikat sosial dari kongsi, tetap saja tugas utamanya adalah untuk mendatangkan para penambang dan untuk mengekspor emas. Kualitas keagamaan dari kongsi tidaklah mengurangi fungsi ekonomi, politik dan administratif mereka. Tidak seperti orang barat modern, orang Tionghoa di abad ke 19 tidak berpola pikir yang memisahkan antara dunia religius dengan dunia sekuler, agama mereka adalah mengenai dunia ini seperti juga dunia ke depan dan para dewa, medium dan prosesi dapat mengekspresikan kekuasaan negara dan individu sama halnya dengan angkatan bersenjata, prosedur peradilan, atau struktur administrasi, kongsi-kongsi memiliki beragam fungsi.
Sejauhmana mereka bersifat demokratis, mereka hanya dapat tetap mempertahankan demokrasi tersebut dengan cara melawan kekuasaan dari luar. Akhirnya, menurut para pengamat kolonial, kongsi-kongsi telah memperluas pengaruhnya hingga ke perkampungan Dayak di sekitarnya, yang harus membayar upeti kepada kongsi atau membeli barang dari para pedagang Tionghoa secara berutang, sebuah sistem yang dengan mudah menjerumuskan orang Dayak menjadi budak hutang. Orang Tionghoa memanfaatkan jeratan hutang tadi untuk mengambil anak atau istri dari orang Dayak untuk dijadikan sebagai pelayan mereka. Dalam kacamata Belanda, kerajaan-kerajaan Melayu dapat dibiarkan ada, lebih dikarenakan kelemahan dari pada kebajikannya, organisasi-organisasi Tionghoa, apapun kebaikannya, tidak diperbolehkan hidup karena kekuatan mereka itu.
KISAH PARA PENDATANG AWAL
Para penambang Tionghoa pertama kemungkinan besar direkrut oleh para pedagang dan kapten kapal dari Tiongkok yang sudah memiliki kontak yang lama dengan Borneo Barat. Untuk mengerjakan penambangan-penambangan, pembentukan unit kerjasama benar-benar menjadi keharusan, memastikan agar kerja kasar namun relatif tidak membutuhkan keahlian dapat terlaksana, dan juga kebutuhan untuk membagi tanggung jawab dan keuntungan. Pertambangan berskala kecil di Tiongkok juga dijalankan berbasiskan kerjasama serupa, usaha dalam bentuk pembagian saham juga sudah menjadi tradisi yang lama di kalangan para pedagang dan pelaut Tiongkok Selatan.
Nama dari banyak kongsi di Borneo Barat mencerminkan asal mereka sebagai kelompok pemegang saham. Misalnya, Sjipngfoen (Shiwufen) atau Limabelas Saham, Sjipsamfoen (Shisanfen) Tigabelas Saham dan seterusnya. Para anggota terkadang mengikatkan diri mereka satusama lain dengan cara mengangkat sumpah, seperti yang dilakukan dalam perkumpulan rahasia Tionghoa, tidak seperti inisiasi perkumpulan, dalam kongsi tambang tidak ada darah yang diteteskan sebagai janji kesetiaan. Namun tujuan utama dari kongsi pertambangan adalah komersial, bukan persekongkolan.
Pertambangan juga membutuhkan modal untuk mendatangkan para pekerja. Pengeluaran terbesar dalam operasi pertambangan bukan untuk pengadaan teknologi sederhana yang digunakan, melainkan untuk perekrutan dan pengangkutan para pekerja. Keahlian khusus yang dibutuhkan sangat sedikit sekali, dan hampir semua mesin-mesin sederhana yang dipakai dapat dibangun dengan bahan baku setempat. Namun, ketersediaan terus menerus akan tenaga kerja yang masih segar merupakan hal yang benar-benar mutlak diperlukan bagi pengoperasian pertambangan, dikarenakan tingginya tingkat kematian, penyakit, banyaknya penambang memilih untuk kembali atau mudik ke Tiongkok, dan berbagai bentuk pengurangan lainnya. Hal ini benar-benar nyata, terutama sejalan dengan bertambah besarnya pertambangan dengan mempekerjakan seratus hingga duaratus pekerja dan bertambah pula investasi untuk pekerjaan perairan, bendungan dan pintu air.
Kebutuhan perekrutan tenaga kerja membatasi watak kerja sama dari pertambangan. Para penambang yang baru hanya dapatn menjadi pemegang saham, ketika mereka sudah melunasi semua biaya perjalananya tersebut. Mereka yang menyediakan biaya perjalanan dan memasok para pendatang baru bagi kongsi-kongsi, biasanya para pengusaha perkotaan yang menjalankan fungsi ini, dalam prakteknya meminjamkan modal pada para penambang. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan sejumlah saham di penambangan sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang mereka berikan. Dalam sejarah Monterado, penambangan-penambangan yang lebih kecil sangat tergantung pada kongsi-kongsi besar yang memiliki hubungan dengan pelabuhan-pelabuhan di pesisir dalam penyediaan pekerja baru.
Meskipun pertambangan kecil pada awalnya dimulai sebagai kerjasama, perusahaan kekeluargaan, namun setelah berjalan bertahun-tahun, mereka akan menjadi tergantung pada pihak luar dalam penyediaan tenaga kerja dan modal, sebagaimana masalah ekonomi di penamabngan yang lebih besar akan semakin rumit dan semakin berkurang watak egaliternya. Berdasarkan cerita seorang informan yang bekerja di Borneo Barat selama beberapa tahun, seorang pengamat pada 1820 ini mencatat perbedaan tersebut: … penambangan-penambangan besar dijalankan oleh perusahaan-perusahaan orang yang memiliki kekayaan dan modal, yang mempekerjakan para pekerja dengan upah bulanan. Sementara itu, penambangan-penambangan kecil dikerjakan oleh para pekerja yang semata-mata membuat belanja dan saling membagi keuntungan pengerjaan tersebut benar-benar secara sama rata.
Kongsi-kongsi baru terbentuk terus menerus, ada yang ditinggalkan karena daerah tambangnya kehabisan cadangan emasnya atau tidak lagi menguntungkan, dan para penambangnya memutuskan untuk mencoba mencari peruntungan di tempat yang lainnya. Akibatnya, daerah eksploitasi meluas jauh ke luar dari lokasi awal di wilayah Sambas dan Mempawah. Pada saat yang sama, pertarungan untuk memperebutkan cadangan emas, tanah dan sumber air terus berlanjut. Oleh karena perluasan dan habisnya cadangan emas dari lokasi tambang, kongsi-kongsi kecil seringkali bergabung dengan kongsi yang lebih besar. Hal ini terjadi pada 1776, ketika Fosjoen Tjoengthang menyatukan empas belas kongsi di wilayah Monterado menjadi satu kongsi tunggal. Dua anggota yang paling kuat dari federasi baru ini adalah Thaikong sebagaimana disebutkan terdahulu dengan ladang-ladang emas di bagian barat dan barat daya Monterado, dan Samtiaokioe yang ladang-ladang emasnya terletak lebih jauh di bagian utara.
Jika anggota dari kongsi-kongsi kecil berteman atau berkerabat satu sama lain, kongsi-kongsi yang besar lebih beragam. Bagaimanapun, beberapa kelompok atau keluarga mendominasi. Sebagai besar orang Tionghoa di Thaikong berasal dari Lufeng dan Huilai di pesisir Guangdong, nama-nama marganya antara lain Ng (Wu), Wong (Huang) dan Tjhang (Zheng), di Samtiaokioe, nama-nama yang dominan adalah Tjoe (Zhu) dan Woen (Wen). Seperti Thaikong, kebanyakan dari penambang Samtiaokioe juga berasal dari Lufeng dan Huilai, orang ini disebut pansanhok. Untuk menggarisbawahi kekuatan kalangan Hakka dari pesisir Guangdon atau pansanhok, pada 1915 sebuah daftar seratus orang penyumbang ke organisasi nasionalis Tionghoa di Capkala di jantung wilayah Thaikong, mencakup duapuluh dua orang dari Lufeng dan lima belas orang dari tetangganya Huilai, tiga orang hakka Hepo-Jieyang. Dari Meixian dan Dapu, semuanya tiga belas orang saja. Sedikit sekali penyumbang yang bukan dari daerah Hakka, orang Teochiu hanya seorang saja.
Kaum laki-laki Lanfang didominasi oleh orang yang berasal dari Meixian (jantung orang hakka) atau dari Dapu, keduanya terletak di dataran tinggi Guangdong. Namun demikian, tidak ada satu kongsi besar pun yang mengambil para pekerjanya dari satu sumber saja, orang Tionghoa lainnya, bahkan orang Hokkien atau Kanton juga cukup terwakili. Saat Fosjoen terbentuk, terdapat tujuh kongsi lain yang beroperasi di Lara, di dekat kota yang sekarang dikenal sebagai Bengkayang. Bengkayang berhubungan erat dengan Lara, namun menjadi bagian dari Samtiaokioe pada 1823.
Dalam tahun-tahun berikutnya yang makmur, kongsi Lara menjadi sekutu Monterado, meskipun mereka tetap independen setidak-tidaknya hingga 1837, pada saat mereka secara penuh melebur di bawah Thaikong. Bengkayang sebagai Larah Sam Thiaoe Keoe, sementara Lara sisanya sebagai Larah Thai Kong. Ketika lokasi-lokasi tambang yang ada habis cadangan emasnya, orang Tionghoa membuka penambangan baru di wilayah sekitar Seminis, Sepang dan Lumar. Sebuah kongsi baru bernama Kongsi Limthian (Lintian) yang didirikan oleh suku Hakka dari Hoppo (Hepo) di Jieyang terbentuk di Buduk beberapa saat setelah pembukaan areal penambangan baru tersebut. Hoppo terletak di Jieyang, Prefektorat Chaozhou. orang yang berasal dari tempat itu sebagai pansanhok. Orang Hakka bermigrasi ke Hoppo semenjak abad ke 15.
Pasokan bahan makanan juga menjadi sumber konflik antar pemukiman-pemukiman penambangan yang awal. Pada 1775, beberapa saat sebelum terbentuknya Fosjoen, Monterado berhasil mengalahkan satu upaya dari tetangganya, kongsi pertanian Tionghoa bernama Thien Thi Foei (Tiandihui) [nama dari perkumpulan rahasia atau persaudaraan orang Tionghoa yang terkenal yaitu perkumpulan langit dan bumi, untuk melakukan monopoli terhadap pasokan bahan makanan bagi para penambang. Kongsi pertanian ini lenyap, sementara usaha pertanian lainnya, Lanfanghui juga berseteru dengan para penambang Monterado, berpindah dari lingkungan tersebut, akhirnya menetap di Mandor dan memusatkan perhatian dalam pengelolaan pertambangan. Hakikat dari kongsi ini dan hubungannya dengan kelompok persaudaraan atas dasar sumpah atau perkumpulan rahasia. Kongsi pertanian yang disebut Tiandihui dan Lanfanghui terkait erat dengan sebuah perkumpulan rahasia pada awal-awal pendiriannya. Lanfang dan namanya Harum Anggrek dengan simbollisme dari perkumpulan langit dan bumi (Tiandihui) terhubungkan. Ritual dan simbol perkumpulan telah menjadi hidupnya sendiri, dipergunakan untuk menguatkan ikatan solidaritas internal kelompok, tanpa hubungan organisasional.
Para penguasa lokal Sambas dan Mempawah sudah lama sekali berhenti untuk mengendalikan perdagangan eksternal kongsi. Mereka tidak memiliki pengaruh terhadap kegiatan pertanian orang Tionghoa, mereka juga tidak sanggup mencegah orang Tionghoa untuk memiliki senjata api dan amunisi, di samping melakukan kegiatan pertanian, kongsi-kongsi juga perlu untuk mengimpor sejumlah beras dari luar negeri, termasuk juga tembakau, garam dan candu. Untuk keperluan ini, mereka mendayagunakan pemukiman pelabuhan yang mereka kuasai, terutama di lingkungan sekitar Singkawang.
DISTRIK TIONGHOA DI PERUT BORNEO
Sebagai pusat dari kehidupan kongsi, thang menyediakan ruang untuk pertemuan para penambang dan untuk upacara persembahan keagamaan. Banyak kota-kota masa kini, misalnya Pemangkat, mengikuti tata ruang ini. Di Pemangkat, wilayah perniagaan membujur sepanjang satu jalan dengan sedikit sekali simpangan, sementara di bukit yang mendominasi kota itu terdapat kelenteng bagi Dabogong dan lebih ke atas lagi terdapat kelenteng bagi Tianhou yang dahulunya barangkali merupakan tempat berdirinya balai kongsi terdahulu yang dihancurkan dalam pertempuran di 1851. dabogong adalah dewa kemakmuran dan kebajikan, seringkali sebagai pelindung dari suatu penambangan, Tianhou dan Mazu adalah pelindung para nelayan, pelaut dan mereka yang berdagang melalui laut. Di sebelah kelenteng berdiri sebuah gedung sekolah yang dahulunya adalah sebuah Sekolah Tionghoa.
Selain dari pemukiman-pemukiman yang dikuasai kongsi, terdapat juga beberapa pemukiman besar Tionghoa yang tinggal di Pontianak dan kota-kota kekuasaan Melayu lainnya. Laporan Burn pada 1811 juga memberikan satu daftar negeri-negeri yang terdapat di bagian hulu sungai dan jumlah penduduk Tionghoa di sana. Barangkali Burn mengandalkan cerita dari mulut ke mulut mengenai keterangan ini, namun penuturannya merupakan satu-satunya catatan dari waktu itu yang sangat rinci sedemikian. Dia menunjukkan, orang Tionghoa telah merambah masuk hingga ke pedalaman Borneo sebagai penambang dan pedagang.
Sanggau, di hulu Sungai Kapuas, menghasilkan serbuk emas terbaik di pulau itu. Sekitar lima ratus hingga enam ratus orang Tionghoa menetap di wilayah tersebut, bersama-sama dengan orang Melayu yang jumlahnya hampir sama. Sanggau memproduksi dua pikul, di mana sepikul kira-kira seberat 62 kilogram, serbuk emas berkualitas tinggi setiap tahunnya, yang dijual seharga $52.800 uang dollar perak. Meskipun ada tarif cukai yang tinggi terhadap ekspor emas, penguasa Sanggau hanya dapat memungut beberapa ribu dollar dalam setiap tahunnya, dikarenakan para penghasil emas dengan mudah menghindar dari pengawasannya. Dia lebih beruntung dengan kegiatan dagangnya sendiri. Sebagian besar wilayah Sanggau masih tertutup oleh hutan, kecuali yang dibersihkan oleh orang Tionghoa untuk pertambangan. Tayan memiliki sejumlah emas dan beberapa lusin orang Tionghoa, yang melebur bijih besi yang ditemukan di sana menjadi kuali, wajan atau menjadi senjata-senjata sederhana.
Pemukiman-pemukiman lain yang berada di hulu sungai, termasuk Sekadau, merupakan sebuah pemukiman yang didominasi oleh orang Dayak, terdiri dari seratus orang Tionghoa, seribu orang Dayak dan sekitar lima puluh orang Melayu. Kota ini hanya memproduksi sejumlah kecil [lima puluh bungkal] emas. Billiton, bukan pulau Belitung melainkan Belitang, yang berada di atas Sekadau dan Sanggau di sepanjang Sungai Kapuas, tidak didiami oleh satupun orang Tionghoa. Sintang, jauh ke pedalaman Sungai Kapuas, diperkirakan didiami oleh enam puluh ribu orang Dayak, seribu orang Melayu, dan 1.700 orang Tionghoa sebagai penduduk dan menghasilkan sekitar empat pikul serbuk emas berharga sekitar $100.000 pertahunnya. Angka-angka jumlah penduduk dan perkiraan jumlah produksi tersebut kemungkinan dibesar-besarkan. Sintang terhubungkan oleh jalan setapak dengan sungai-sungai yang mengarah ke Banjarmasin dan ke Brunei. Meskipun terdapat pemukiman kecil orang Tionghoa lainnya di sepanjang Sungai Kapuas, namun tidak satupun yang masuk sampai ke dalam hingga daerah yang disebut sebagai distrik danau, di mana hanya orang Dayaklah yang menjadi penambang.
Para penambang Tionghoa juga menimbulkan permasalahan bagi sultan Sambas di 1811. menyadari bahwa Sambas sangat lemah, orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap sultan, yang sebagian disulut oleh duta dari Pontianak. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter feodal Melayu yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali, tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Mereka mengurangi pembayaran tahunan mereka ke Sambas menjadi $1.500 dan terkadang tidak membayar sama sekali. Burn berpandangan bahwa Sambas kehilangan kekuasaan atas pemukiman pertambangan emas di sekitar Monterado dikarenakan ketidakmampuan sang penguasa sendiri.
Komunitas Tionghoa dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Kelompok pertama terdiri dari para penambang emas yang menjadikan organisasi tambang atau kongsi sebagai tempat tinggal mereka. Kebanyakan dari mereka adalah kaum bujangan, tinggal di asrama bujangan di kantor pusat atau di pertambangan-pertambangan itu sendiri. Kebanyakan adalah para imigran dan penduduk sementara. Para boss pertambangan, meskipun tergolong lebih sejahtera dan hidup bersama istri dan keluarga mereka, juga tergolong dalam kelompok ini.
Kelompok kedua terdiri dari orang-orang Tionghoa yang mata pencahariannya terkait dengan kongsi pertambangan, namun bukan sebagai penambang. Mereka bekerja sebagai petani atau pedagang kecil, tinggal di pasar-pasar kecil yang melayani komunitas tambang. Para penduduk kongsi yang bukan penambang tersebut pada umumnya adalah kelahiran setempat dan keturunan dari perkawinan campuran, atau bisa juga bekas pekerja tambang. Mayoritas dari kedua kelompok ini adalah orang Hakka atau pansanhok. Komunitas perikanan atau perdagangan di sepanjang pesisir, seperti Singkawang, Pemangkat atau Sungai Pinyuh juga berperan bagi kongsi di pedalaman sebagai tempat pendaratan beras, garam dan barang impor lainnya atau barang selundupan menurut pengertian pemerintah Belanda. Pemukiman-pemukiman Tionghoa di Mempawah, Kuala Mempawah, berada di bawah kongsi Lanfang di Mandor, begitu pula Kampung Baru yang terletak di seberang sungai di Pontianak juga bergantung pada Lanfang. Organisasi-organisasi pertambangan lainnya juga memiliki pemukiman mereka sendiri, yang dipimpin oleh para pejabat mereka sendiri.
Van Prehn Wiese menggambarkan suatu kunungan ke kota-kota yang tergantung pada kongsi pada 1851-1852. sungai Pinyuh misalnya memiliki seorang kapitan dari Mandor yang dibantu oleh seorang laothai (laoda), Sungai Duri merupakan bagian dari Thaikong, memiliki seorang tjaktjoe (zhazhu) yang menjalankan fungsi serua dengan seorang laothai. Para petani Tionghoa sangat terampil, hemat dan cerdas, seluruh anggota keluarga turut serta dalam produksi. Meskipun kebanyakan petani hidup dari mata pencaharian mereka, pendapatan mereka seringkali berkaitan dengan produksi tanaman komoditas pasar, dan hubungan mereka dengan ekonomi keuangan membedakan mereka dengan kebanyakan penduduk lainnya di pulau ini.
Para penghuni di perkotaan, pedagang, tukang dan buruh membentuk kelompok ketiga. Semua sumber sepakat bahwa orang Tionghoa mendominasi perdagangan dan industri di keresidenan ini. Mereka tinggal di kampung-kampung Tionghoa di Pontianak dan Sambas dan terkadang di kota-kota kecil seperti Ngabang di Landak. Meskipun mereka sebagai para pedagang dan tukang perkotaan melayani komunitas perkotaan yang multi etnis dan terkadang memiliki koneksi dengan istana, mereka juga berhubungan dengan komunitas pertambangan. Kalangan Tionghoa perkotaan bisa meminjamkan uang atau menjual barang kelontong bagi para penambang di dataran tinggi. Mereka biasanya pemukim jangka panjang atau penduduk tetap. Kebanyakan dari mereka adalah orang Teochiu.
Orang Hakka merupakan kelompok dialek dari Tiongkok Selatan, penutur dalam bahasa Hakka kebanyakan tinggal di propinsi Guandong dan Fujian, dan karena mereka sering bermigrasi di dalam Tiongkok sendiri, mereka juga bisa ditemukan di beberapa propinsi Tiongkok lainnya serupa Guangxi, Sichuan. Di daerah-daerah perkampungan di Borneo Barat, orang dari daerah pusat orang Hakka seperti Meixian dan Dapu, bersama dengan mereka yang datang dari daerah berbahasa Teochiu, yang juga keturunan kalangan migran Hakka dan karenanya menggunakan dua bahasa, hakka dan Teochiu, begitu banyak dijumpai di sana. Kelompok dialek Tionghoa Selatan lainnya, seperti Hainan dan Hokkien, banyak terdapat di kelompok kuli, tetapi dengan begitu banyaknya orang Hakka di bidang pertambangan dan pertanian mereka ikut menjadi Hakka, bukan hanya bahasanya tetapi nilai-nilai mereka juga memegang peranan besar, apalagi karena orang Hakka dikenali khususnya atas dasar bahasa mereka. Pontianak tetap merupakan pemukiman bagi orang Teochiu, begitu juga dengan daerah di sebelah selatan, yang berada di luar Distrik Tionghoa.
Orang Hakka biasanya menyatakan bahwa mereka dipaksa keluar dari kampung jalaman mereka di bagian utara Tiongkok oleh serangan orang barbar di masa Dinasti Song, atau lebih awal lagi. Hal ini membuat mereka pindah ke arah selatan. Ketika tiba di daerah tenggara yang sudah pada penduduk, mereka menetap di dataran yang lebih tinggi, mengais nafkah dari tanah yang kurang subur, sesuatu hal yang menjadikan mereka pekerja keras, baik di mata mereka maupun bagi orang lain. Orang Hakka yang bermukim di Kalimantan Barat kini dan juga dulunya memang banyak tinggal di desa dan kebanyakan tetap miskin, sangat berbeda dengan orang Tionghoa lainnya di Indonesia, yang tinggal di perkotaan dan cenderng berkecukupan.
Di luar Tiongkok, orang Hakka biasanya menetap di daerah-daerah pertanian dan pertambangan, lebih jarang berada di kota-kota, sehingga mereka mendapat julukan perintis. Saat itu Borneo tentunya merupakan daratan yang tepat bagi para perintis seperti mereka, begitu juga pulau Bangka dan Belitung. Sejak abad ke 18 sampai abad ke 20 kebanyakan panambang timah di Bangka-Belitung adalah orang hakka. Pemukiman pertambangan awal lainnya dari orang Hakka, terletak di Pulai, Kelantan, Malaysia, dibangun pada abad ke 17 atau awal abad ke 18 oleh penambang emas yang kemudian beralih kerja ke bidang pertanian untuk bertahan hidup, menyunting istri lokal dari komunitas non-Muslim din sekitarnya. Di Pulai, orang hakka lebih konservatif secara ekonomi, tetapi radikal di bidang politik khususnya di tahun-tahun awal selepas Perang Dunia II kelak. Kebanyakan orang Hakka di daerah pedesaan tetap bekerja sebagai petani dan buruh, walaupun di kota-kota Malaysia tempat banyak dari mereka juga menetap, mereka bekerja sebagai tukang, ahli obat tradisional, atau pialang pegadaian. Mungkin juga tukang emas bisa ditambahkan ke dalam daftar ini, sebuah profesi yang tentu saja berkaitan dengan tambang emas.
Petani-petani Hakka di Borneo ada yang tinggal di pemukiman terpisah. Hanya di abad ke 20 mereka berpindah ke kampung-kampung yang lebih terpusat. Pada dekade-dekade awal abad ke 20 mereka dipaksa pindah oleh penguasa kolonial yang menginginkan orang Tionghoa tinggal di tempat yang mudah diawasi. Belakangan, pada 1960-an, pemerintah Indonesia memaksa mereka pindah lagi ke pemukiman yang terkelompok. Interaksi dengan kelompok-kelompok non-Han minoritas di pegunungan Guangdong dan Fujian telah membentuk identitas Hakka. Migrasi orang Hakka di dalam wilayah Tiongkok mendorong mereka berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas tersebut, terutama ketika mereka dipaksa menetap di daerah pinggiran yang jarang penduduk. Minoritas yang penting adalah kelompok orang She. Orang Hakka menyunting perempuan She sebagai istri, melibatkan mereka dalam kehidupan Hakka, dan memakai bantuan orang She, petani-petani tebang dan bakar itu, untuk membuka ladang di hutan-hutan pegunungan untuk bercocok tanam. Interaksi ini menunjukkan bahwa orang Hakka tidak terlalu tertutup, mengingat mereka terbukti sanggup bekerjasama dengan kelompok minoritas yang mereka temui dan belajar dari mereka.
PERSETERUSAN (PERSELINGKUHAN?) DENGAN BELANDA
Meskipun VOC sudah meninggalkan Borneo Barat selama 20 tahun, namun ternyata para penguasa Melayu di Borneo, terutama sultan Pontianak yang sedang berkuasa, tetap merasa tergantung kepada Belanda. Beberapa tahun kemudian setelah Inggris baru meninggalkan daerah milik Belanda, para penguasa Sambas dan Pontianak memohon kepada Belanda untuk kembali. Sultan Sambas menulis surat permohonan kepada Residen Semarang pada Maret 1817. surat tersebut memperlihatkan bahwa dia merasa terancam baik oleh para bangsawannya sendiri maupun oleh Pontianak tanpa menyebutkan hubungan buruknya dengan para penambang Tionghoa dan didorong oleh, seperti yang dikatakan sultan, keadaan yang menyengsarakan dan menyedihkan di sebuah negeri yang sejak lama berada dalam puing-puing.
Dalam suratnya, sultan Sambas berpendapat bahwa sekarang ini kompeni, sebutan para penduduk Hindia terhadap pemerintahan kolonial Belanda jauh setelah VOC dibubarkan, memiliki kesempatan untuk membuktikan itikad baiknya dengan memberikan padanya sebuah kapal perang yang kuat, persenjataan dan amunisi. Sultan juga mengundang Inggris untuk membantunya, namun dia tidak menyebutkan fakta ini dalam suratnya ke Batavia. Belanda menjawab surat tersebut dan menjanjikan perlindungan jika sultan bersedia menandatangani satu perjanjian yang layak dengan Belanda, namun tidak pernah menyinggung mengenai pengiriman persenjataan. Beberapa bulan kemudian sultan Pontianak mengikuti jejak langkah ini, berkehendak untuk memperbarui hubungan perkawanan lamanya dengan Belanda, dia juga mengundang Belanda untuk kembali.
Para penguasa feodal pesisir barat begitu bernafsu hendak berkawan (berselingkuh) dengan Belanda, jelas saja, keadaan mereka sudah sangat parah. Komisioner Belanda untuk Borneo pada 1819 menuliskan penguasa Sambas meminta bantuan Belanda untuk menduduki Sambas dalam rangka untuk menghindarkan diri dari ancaman kekuatan, kaum Tionghoa yang mungkin di suatu waktu akan menggulingkan dirinya di singasana. Keadaan di Sambas sangatlah buruk, namun keadaan di Pontianak tidaklah lebih baik, bahkan kekuasaan penguasa sudah dilemahkan oleh orang Tionghoa, di sanapun, semua kemakmuran telah punah.
Para feodal dan penguasa lokal berpaling ke Belanda dikarenakan kehadiran para penambang Tionghoa di pedalaman telah begitu melemahkan ikatan hulu dan hilir. Ketidasanggupan untuk memungut pajak dari orang Dayak dan ketidaksanggupan untuk memaksakan kekuasaannya terhadap orang Tionghoa, membuat pada penguasa tidak dapat mengakumulasi harta kekayaan yang dapat dipergunakan untuk mendamaikan para anggota keluarga bangsawan dan untuk membiayai pengeluaran mereka yang cukup besar. Kalangan Tionghoa yang sekarang ini sudah memiliki jalur yang mudah ke pesisir, menolak untuk membayar upeti dan mengelakkan monopoli kerajaan atas perdagangan. Para penguasa tidak mempunyai pilihan lain selain beralih menjadi perompak itu sendiri atau terlibat dalam tindakan perompakan yang dilakukan oleh keluarga istana mereka sendiri. Hal ini, pada gilirannya, mengakibatkan pertikaian dengan kekuasaan orang Eropa. Sultan Sambas dan para koleganya di Mempawah dan Pontianak berharap agar Belanda pada akhirnya dapat membantu mereka dalam menegakkan kekuasaan mereka terhadap orang Tionghoa.
Pada saat mereka sedang menunggu bantuan dari Belanda, sultan Sambas dan Pontianak juga mengundang Inggris untuk mendirikan kekuasaannya di wilayah mereka. Namun ternyata Belanda datang lebih dulu, mendarat di Pontianak pada 21 Juli 1818. pasukan Inggris tiba dua minggu kemudian, namun sultan segera memerintahkan mereka untuk berkemas pergi. Di tempat itu Belanda mendirikan markas mereka, mula-mula di bawah Komisioner J van Boeckholtz yang juga menempatkan garnisun kecil di Sambas dan Mempawah dan mengibarkan bendera di Landak. Sultan kedua Pontianak, Syarif Kassim sendirilah, sebagai bekas penguasa Mempawah yang menyambut dengan ekspresi yang hangat atas persahabatan dengan pihak Batavia.
Sepanjang masa 30 tahun pertama menjalankan administrasi di Borneo Barat, Belanda tidak pernah memiliki satu kekuatan yang memadai untuk menguasai wilayah mereka, bahkan tidak memadai untuk mengawasi hanya wilayah pesisir saja. Mereka tergantung pada kerjasama dari para penguasa pribumi, yang biasanya selalu mereka dapatkan, meskipun para penguasa tersebut sering menagguhkan pembantuannya. Belanda hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai wilayah tersebut, dan tidak ada seseorang pun yang dapat menerangkan kepada mereka mengenai kepentingan orang Dayak dan Tionghoa. Mutu para pejabat mereka seringkali begitu jauh dari yang diharapkan dan bahkan tujuan mereka pun sering diragukan.
Menurut perjanjian-perjanjian pertama yang dibuat antara Belanda dengan berbagai kerajaan setempat, yang ditandatangani segera setelah kedatangan Belanda, para penguasa Melayu menyerahkan seluruh kewenangan mengenai orang-orang Tionghoa kepada Belanda, yang membuat mereka kaula langsung kepada pemerintahan kolonial, namun tak pernah menyinggung mengenai kewenangan atas orang melayu dan Dayak. Untuk orang Tionghoa, dan orang asing lainnya kecuali Arab yang berada dalam daulat para sultan, Belanda secara praktis akan menerapkan kebijakan pemerintahan langsung yang selama ini mereka pergunakan untuk berhubungan dengan penduduk Tionghoa di Jawa dan mengharapkan dapat berlangsung baik di Borneo. Bahkan perjanjian VOC dengan Pontianak pada 1779 mensyaratkan kekuasaan langsung Belanda terhadap orang Tionghoa. Namun demikian pada 1819, Komisioner untuk Borneo, Nahuys, mengabaikan keberadaan dari perjanjian terdahulu. Model administrasi Jawa dalam berhubungan dengan orang Tionghoa termasuk mempergunakan kelembagaan opsir Tionghoa untuk memungut pajak dan mengurus masalah komunitas. Akan tetapi, di Borneo, tidak terdapat kalangan peranakan yang cukup besar dan berbahasa Melayu, untuk kerjasama dengan Belanda.
Pada masa itu, mereka menunjuk opsir-opsir Tionghoa untuk bertindak sebagai perantara dengan penduduk Yionghoa di kota-kota yang mereka kuasai, namun para pejabat ini ternyata tidak memiliki engaruh terhadap kongsi-kongsi pertambangan yang secara de facto memiliki kemerdekaan dari kekuasaan eksternal. Perjanjian-perjanjian berikutnya dengan penguasa lokal selalu diperbaharui, berulang-ulang diganti baik karena tidak dapat diterima oleh Belanda atau karena penguasa baru naik tahta, yang intinya berarti bahwa Batavia harus membeli kesetiaan para sultan dengan menawarkan mereka satu pembayaran yang memadai, yang diambil dari hasil pajak yang Belanda kumpulkan dari orang Tionghoa.
Belanda berencana untuk memungut cukai atas ekspor impor, meberlakukan suatu pajak kepala bagi penduduk Tionghoa, mengambil alih hak-hak monopoli penjualan (pacht), khususnya terhadap penggunaan candu yang umumnya dipergunakan oleh para pekerja Tionghoa, dan mengelola sendiri monopoli garam. Perjanjian pertama, yang disusul dengan perjanjian lainnya, beberapa di antaranya masih berlaku hingga Perang Dunia II, juga meninggalkan para penguasa lokal dengan sumber pemasukan yang kecil dari para pemegang hak upeti dan kedaulatan pribadi terhadap orang Melayu atau Dayak. Pachter istilah bahasa Belanda berhak untuk memungut cukai atau pajak atas barang atau kegiatan tertentu (candu, alokohol, perjudian, penjagalan babi, dan seterusnya). Pachter sebagai pemegang hak monopoli (pacht) membayar setoran yang telah disepakati kepada pemerintah atas hak tersebut, dan mengambil upah dari uang publik tersebut dengan mengantongi sisa pembayarannya. Biasanya, pacht ini dijual secara lelang kepada penawar tertinggi untuk jangka waktu tertentu.
Perencanaan itu tidak bisa terwujud. Pemerintah yang baru memiliki gagasan yang terlalu besar mengenai keuntungan yang diharapkan diperoleh dari pajak dan penghasilan monopoli, dan mereka salah perkiraan atas jumlah orang Tionghoa yang akan membayar pajak kepala. Batavia keliru mengharapkan bahwa monopoli garam saja akan menghasilkan ribuan gulden. Peraturan ini tertanggal 14 Mei 1819 dan memperluas monopoli garam yang sudah berlaku di Jawa ke Pontianak, Mempawah dan sambas. Semua garam harus dibeli dari pemerintah. Sangat sulit sekali untuk membuat garam dari air laut di Borneo karena kelembabannya yang tinggi. Banyak sungai yang mengalirkan terlalu banyak air tawar ke laut, sehingga misalnya, air tawar dapat ditemukan di tengah laut yang jaraknya beberapa kilometer dari muara Sungai Kapuas.
Prakiraan orang Belanda yang terlalu besar ini sangatlah mengejutkan, mengingat bahwa sejak awal pemerintah kolonial harus mengetahui, atau seharusnya mengetahui, bahwa para sultan sudah bertahun-tahun tidak sanggup memaksakan pungutan cukai terhadap orang Tionghoa. Dikatakan terdapat tujuh puluh lima ribu orang Tionghoa di sana, meskipun dalam perkiraan Raffles angka lima puluh ribu sudah terlalu tinggi. Belanda menawarkan sesuatu kepada para penguasa, tetapi kepada orang Tionghoa tampaknya tidak. Dikatakan sejarawan Belanda PJ Veth: … sulit untuk disangkal bahwa orang Tionghoa di pesisir barat Borneo hanya tergantung kepada diri mereka sendiri, industri mereka sendiri, dan tidak satupun kepada pemerintah, dan pada masa sebelum berlangsungnya pemulihan kekuasaan di pesisir barat Borneo, telah jelas-jelas mengajarkan bahwa mereka tidak membutuhkan perlindungan hendak [Belanda] jual kepada mereka dengan harga yang sangat tinggi. Seperti penulis kolonial umumnya, Veth berbicara mengenai pemulihan kekuasaan Belanda, mengasumsikan kekuasaan sudah berdiri kokoh di wilayah itu pada 1790-an.
Dalam rangka menjami kehidupan para penguasa lokal dan anggota kerajaan mereka yang jumlahnya banyak dan agar mereka bersedia mendukung sistem ini, dan untuk membiayai pengeluaran tambahan untuk pengawai administrasi barat, Belanda menghendaki agar orang Tionghoa yang menanggungnya, namun orang Tionghoa tidak berminat untuk melakukannya. Mereka segera menyadari bahwa mereka diharapkan untuk menanggung sejumlah biaya yang tak seimbang bagi administrasi Belanda dan Melayu, sementara mereka hanya menerima imbalan yang sangat sedikit. Yang paling memberatkan adalah pajak kepala perseorangan, terutama bagi orang Tionghoa di kongsi yang tidak terbiasa untuk membayar pajak. Sebelumnya, semua pengeluaran dan cukai, termasuk pembayaran kepada para sultan, secara sederhana dibayarkan dengan mengambilnya dari keuntungan kongsi, bukan dilakukan secara perseorangan.
Kongsi-kongsi pun secara internal terbagi antara para penambang dengan penduduk kota atau para petani. Tentu saja, sistem rekrutmen tenaga kerja dari wilayah-wilayah tertentu, dan ketergantungan pada upacara pengukuhan dan perjanjian kerjasama, yang kesemuanya dikuatkan dengan jalinan persaudaraan, mengikatkan hubungan para anggota dari sebuah kongsi satu dengan yang lainnya semakin erat dan cenderung menciptakan suasana yang mendorong persaingan di antara kongsi-kongsi yang berbeda. Catatan Burn mengenai penurunan perdagangan secara tajam dengan Tiongkok seharusnya dapat memperingatkan para pembacanya bahwa kongsi-kongsi sudah mulai mengalami penyusutan kandungan mineral pada lokasi-lokasi pertambangan.
Walaupun kongsi telah dilemahkan dengan menyusutnya persediaan sumber emas dan tenaga kerja, dalam hal tertentu mereka memiliki kekuatan yang memadai untuk menyusahkan kekuasaan kolonial yang berharap memerintah dan memajaki mereka. Kongsi tidak saja sudah biasa merdeka secara politik, mereka juga sudah semakin mampu menghidupkan diri mereka sendiri. Garam dan candu merupakan kebutuhan para penambang, yang diharapkan oleh Belanda akan menjadikannya mendapat keuntungan sudah memiliki jalur persediaannya sendiri. Mereka melangkahi Belanda sebagaimana mereka melangkahi para penguasa Melayu. Pembukaan Singapura sebagai pelabuhan bebas pada 1819 telah membuka sebuah sumber yang ideal untuk melakukan penyelundupan candu dan senjata, sementara garam banyak didatangkan dari Siam bagian selatan dan Semenanjung Malaya. Garam ini memiliki kualitas yang lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan garam yang disediakan dari pemerintah.
Singapura akan segera berkembang menjadi satu pelabuhan tempat penyaluran barang dagangan, sebuah terminal bagi kaum migram yang pergi dan keluar Tiongkok, dan sebagai pusat bagi identitas dan politik orang Tionghoa selain di daratan Tiongkok. Singapura memainkan peranan tersebut hingga abad ke 20, yang menyediakan titik pusat eksternal yang baru bagi orang Tionghoa di Borneo Barat. Hingga pertengahan abad ke 19, Belanda hanya cukup kuat untuk membangun pos-pos di tempat di mana orang memang menyambut baik kedatangannya. Di kota-kota seperti Pontianak dan Sambas, penduduk Tionghoa menyesuaikan diri dengan kekuasaan belanda. Pada 1848 diperkirakan lima ratus orang Tionghoa tinggal di Sambas dan sekitar 1700 di Pontianak. Orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok: di perkotaan, di pedalaman dan di kongsi. Namun demikian, orang tinggal di pedalaman maupun di beberapa kota kebanyakan adalah anggota kongsi pada masa tersebut.
TERHALANG SEKAT KOLONIALISME
Orang Tionghoa Kalimantan Barat merupakan sebuah kelompok Tionghoa yang unik di antara minoritas Tionghoa Indonesia. Mereka berbeda dengan gambaran umum orang Tionghoa Indonesia yang secara ekonomi dianggap sebagai pelaku bisnis yang sukses. Kebanyakan orang Tionghoa di Kalimantan Barat bukanlah towkay ataupun hartawan yang menarik perhatian karena kesuksesan ekonomi mereka sebagai pengusaha dan pebisnis besar. Beberapa orang Tionghoa di Kalimantan Barat mungkin sesuai dengan gambaran ini, tetapi mereka bukanlah gambaran komunitas tersebut. Mereka pada umumnya adalah para pedagang kecil, pemilik toko, petani dan nelayan. Banyak orang Tionghoa di propinsi ini adalah penduduk miskin, beberapa di antaranya bahkan hidup pas-pasan.
Orang Tionghoa Kalimantan Barat bukanlah penyinggah (sojourners), suatu istilah yang dipopulerkan oleh Wang Gungwu. Mereka adalah pemukim yang menetap lama, beberapa di antaranya bahkan telah turun temun sejak abad ke 18, namun sejak lama, orang luar mencap mereka sebagai orang asing karena mereka mempertahankan kebudayaan mereka yang dianggap asing. Sekilas, mereka kelihatannya tetap sangat Tionghoa, yang pasling jelas adalah karena penggunaan bahasa Tionghoa secara turun temurun, berbeda dengan kalangan etnis Tionghoa yang telah bermukim lama di Jawa yang mempergunakan bahasa Melayu (Indonesi) dan daerah lainnya, dengan kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Kehadiran orang Tionghoa di Kalimantan Barat juga berbeda dengan penduduk Tionghoa di beberapa tempat lain dalam kepulauan Indonesia yang merupakan hasil dari kolonialisme Belanda. Di masa kolonialisme Belanda, Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) mengajak orang Tionghoa untuk datang dan menetap di markas besar yang baru dibentuk di Batavia seelah 1619, sementara perusahaan Belanda dan perusahaan orang Barat (Eropa) lainnya memasukkan para kuli Tionghoa pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 untuk mengerjakan pertambangan dan perkebunan, khususnya di pulau-pulau luar Jawa. Sebaliknya, para migran Tionghoa yang datang di Kalimantan Barat umumnya mengatur migrasi mereka, menggunakan jaringan mereka sendiri. Pada awalnya, penguasa lokal Melayu mendorong mereka datang, namun penguasa kolonial ataupun perusahaan Belanda tidak menganjurkan kedatangannya.
Orang Tionghoa di dalam kelompok mereka sendiri juga terdapat beraneka ragam kelompok. Meskipun hampir semua orang Tionghoa di Borneo Barat datang dari propinsi Guangdong di Tiongkok bagian selatan, dengan sedikit orang Hokkien dari propinsi Fujian, bahasa mereka yaitu Hakka, Teochiu, Kanton, Hainan dan lainnya, saling tidak dipahami. Bagi kebanyakan pengamat luar, orang Tionghoa tampak seperti kelompok yang homogen, tapi keterpisahan di antara mereka sebenarnya begitu besar sehingga memungkinkan pihak Belanda untuk menerapkan taktik pecah belah dan kuasai untuk menekan mereka.
Dua kelompok atau sub-etnis terbesar di Borneo Barat adalah Teochiu (Chaozhou) dan hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong, di sekitar kota pelabuhan Swatow (Shantou). Sedangkan orang Hakka, kebanyakan bermigrasi dari daerah Guangdong yang lebih pedalaman yang berbukit-bukit atau daerah miskin di dataran rendah propinsi ini, tempat mereka seringkali tinggal di antara kelompok-kelompok yang berbeda bahasa. Orang Hakka juga tinggal di propinsi Fujian bagian pedalaman (Tingzhou), tapi hanya sedikit saja orang Hakka dari Fujian yang bermigrasi ke Borneo Barat.
Perbedaan antara orang hakka dan Teochiu tidak terlalu besar. Keduanya adalah orang Tionghoa etnis Han, dan keduanya menggunakan bahasa Tionghoa daerah Selatan. Orang Hakka biasa membuka ladang baru di Tiongkok, kadang-kadang dengan bantuan orang minoritas setempat. Mereka bercocok tanam di daerah yang tidak terlalu subur, dan selalu siap bermigrasi ke daerah baru. Karena itulah mereka disebut Hakka (kejia) yang artinya orang tamu. Di Borneo juga, mereka merupakan perintis. Kalau orang Teochiu cenderung berkumpul di daerah perkotaan dan berdagang, orang Hakka bekerja di pertambangan dan pertanian, kemudian mereka menjadi pedagang kecil di daerah pedalaman. Bahkan kini, orang Teochiu yang dalam dokumen masa kolonial sering disebut Hoklo (fulao) membentuk populasi terbesar orang Tionghoa di kota Pontianak dan di daerah-daerah sebelah selatan Pontianak. Sebaliknya, orang Hakka adalah kelompok utama di daerah sebelah Utara, khususnya di bekas Distrik Tionghoa dulu.
Kelompok terbanyak orang Tionghoa di Jawa, orang Hokkien, hanya sedikit di pulau Borneo ini, meskipun beberapa keluarga Hokkien ternama di Pontianak, selain juga beberapa dari kelompok dialek lainnya, khususnya orang Hainan. Sensus 1930 kelompok sub-etnis atau bahasa di antara orang Tionghoa di Borneo Barat menunjukkan Hakka 38.313, Teochiu 21.699, Kanton 2.961, Hokkien 2.570 dan lainnya 1.257. selain jumlah orang Tionghoa tersebut, lebih dari 41.298 orang Tionghoa lagi disensus hanya berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia. Kebanyakan dari mereka adalah orang Hakka.
Pejabat-pejabat masa kolonial awalnya mengabaikan perbedaan daerah asal dan bahasa di antara para pemukim Tionghoa. Sebelum penerjemah-penerjemah pertama Belanda untuk bahasa Tionghoa datang di era 1860-an, mereka bergantung pada orang Tionghoa lainnya untuk mendapatkan informasi mengenai sesama orang Tionghoa. Kata Hakka misalnya, tidak dipakai dalam dokumen-dokumen kolonial di awal abad ke 19. orang Belanda menyebut para penambang dan lainnya sebagai orang gunung atau orang bukit. Sebagai gambaran dari kesimpangsiuran ini, Komisioner pertama bagi Borneo, Nahuys van Burgst, yang saat itu menjabat sebagai Residen Yogyakarta, membawa seorang penerjemah Tionghoa ketika pertama kali mengunjungi pesisir barat pada 1818.
Penerjemah tersebut, Tan Djin Sing, diketahui menguasai bahasa Tionghoa, Jawa, Melayu, belanda dan Inggris, ada kemungkinan besar ia tidak bisa bahasa Hakka tetap tetap bisa berkomunikasi dengan orang Tionghoa Tiochiu Pontianak. Karena Tan Djin Sing (belakangan diberi gelar Raden Tumenggung Secadiningrat) an orang Tionghoa non-Hakka lain itulah, para pejabat Belanda dengan segera menganggap kelompok dominan di antara para penambang, orang gunung itu, adalah orang kasar dan kurang beradab, kelompok tersisih dari bangsa Tionghoa, dan mereka perlu kendalikan dengan tangan besi. Pandangan ini mencerminkan perasaan yang ada di antara orang Tionghoa non-Hakka, baik di Tiongkok Selatan maupun di luar negeri, terutama pada abad ke 19. di Tiongkok, orang Hakka terlibat pertempuran melawan orang Kanton, dan mereka merupakan tulang punggung Pemberontakan Taiping di Tiongkok yang berlangsung lebih dari satu dekade, 1850-1864.
Dibandingkan dengan orang Melayu, yang terbagi jelas menurut tingkat sosial dan politiknya, orang Tionghoa, karena tidak memiliki gelar turun temurun, terlihat lebig egaliter. Dalam bidang pertambangan, pemimpin biasanya dipilih, lebih karena kekuatan fisik atau kemampuan organisasi. Di mana-mana, status sosial biasanya terkait erat dengan kekayaan. Orang Tionghoa di luar negeri tidak pula mewarisi gelar bangsawan, dan umumnya tidak mendapat posisi yang penting di lembaga pemerintahan. Bahkan di abad ke 20, ketika pendidikan Tionghoa berkembang pesat, kekayaan tetap menjadi penentu terpenting bagi kepemimpinan komunitas, walaupun pendidikan, terutama jika berskolah di Tiongkok, juga dihargai.
Menurut hukum, orang belanda menganggap semua etnis Tionghoa, termasuk mereka yang lahir di Nusantara dan mereka dengan keturunan campuran, sebagai orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), sebuah sebutan yang biasanya digunakan untuk keturunan Aab, meskipun tidak dipakai di Pontianak dan juga terhadap imigran dari India. Perbedaan formal ini ada sejak pertengahan abad ke 19, tapi hukum yang membatasi pembauran orang Tionghoa sudah ada sebelum masa itu.
Penguasa kolonial menyusun berbagai peraturan untuk menghalangi orang Tionghoa menjadi penduduk asli. Sebelum masa penjajahan, orang Tionghoa sesekali berbaur ke dalam kelompok etnis lainnya di Borneo. Pedagang-pedagang Tionghoa yang memiliki ikatan dengan kerajaan-kerajaan lokal bisa memakai gelar Melayu dan bahkan memeluk agama Islam, seperti banyak yang dilakukan di Palembang misalnya, dan bisa saja sebagian pedagang Tionghoa melakukan hal yang sama di istana-istana Melayu di pesisir barat Borneo. Orang yang terisolasi di daerah pedalaman kadang-kadang melebur ke dalam masyarakat Dayak, walalupun hal ini jarang terjadi. Begitu pemerintahan kolonial berdiri di pertengahan abad ke 19, kesempatan bagi para imigran Tionghoa dan keturunan mereka untuk melintasi diri dari batas-batas etnis dan politik berkurang dengan pasti.
Walaupun sebagian pedagang Tionghoa telah mengunjungi Brunei dan kerajaan Borneo lainnya selama berabad-abad, orang Tionghoa pertama yang tiba di Borneo Barat dalam jumlah besar baru datang di pertengahan abad ke 18 untuk menambang emas. Sebagai penambang, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak, yang telah mengerjakan tambang sebelum mereka, tapi metode orang Tionghoa lebih efisien untuk mengerjakan semuanya kecuali kandungan tambang yang lebih kecil dan di daerah jauh di dalam.
Penguasa Melayu, yang saat itu mendorong orang Tionghoa untuk bermigrasi, walaupun begitu, membatasi para pendatang. Perjanjian-perjanjian awal para penambang bagu dengan penguasa lokal melarang mereka untuk masuk ke bidang pertanian, ini dilakukan agar para imigran membeli beras dan keperluan-keperluan impor dari penguasa dengan harga tinggi, tetapi pertanian merupakan bagian penting dari tambang, dan di abad ke 18 tanah begitu luas, bahkan di daerah pesisir, sehingga peraturan Melayu tersebut menjadi sangat tidak berarti. Orang Tionghoa membuka lahan untuk sawah dan pertanian laionnya. Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Umumnya orang Dayak bertani di wilayah yang yang lebih tinggi dan kurang kering, seringkali di bukit-bukit, tempat yang memang lebih cocok untuk berladang.
Orang Tionghoa lebih menyukai dataran rendah dengan banyak pengairan untuk bersawah. Kedua sistem cocok tanam ini berubah sejalan dengan waktu, beberapa orang Dayak beralih dari ladang kering ke sawah basah, dan dengan pengenalan terhadap tanaman niaga berupa lada serta karet, membuat penggunaan dataran tinggi pun beguna bagi orang Tionghoa. Di abad ke 20, tanah yang baik menjadi makin sedikit dan persaingan antara kedua kelompok etnis pun meningkat.
Walaupun orang Tionghoa jarang yang menjadi Dayak, perkawinan antara perempuan Dayak dan pria Tionghoa menjadikan para istri tersebut masuk Cina, menjadi Tionghoa. Istri-istri ini mengenakan pakaian Tionghoa dan membesarkan anak-anak mereka sebagai orang Tionghoa. Para laki-laki Tionghoa yang menyunting perempuan dari kelompok Dayak di sekitar biasanya menempatkan seluruh keluarga dari pihak istri di bawah perlindungan mereka. Hubungan ini, seperti juga hubungan dagang, ikut mendorong orang Dayak tertentu untuk belajar bicara bahasa-bahasa Tionghoa dan menerapkan adat istiadat Tionghoa lainnya.
Dalam komunitas-komintas tambang di abad ke 19, sekilas dapat dikatakan semua perempuan Tionghoa merupakan keturunan campuran, seorang pengamat Barat melihat mereka lebih cantik dari orang Melayu atau orang Jawa. Mereka memakai gaun Tionghoa, celana katun biru hingga di bawah lutut dengan jaket senada berkancing perak di sisinya. Sepasang selop kulit denbgan sol kayu yang tebal melengkapi pakaian mereka. Pada hari libur, para ibu mengenakan pakaian sutera dan perhiasan emas, orang kaya bahkan memakai kancing emas, sepatu gaya Tionghoa dan stoking. Berbeda dari perempuan Tionghoa di daerah lain di Hindia Belanda yang dipingit, perempuan-perempuan ini memiliki kebebasan untuk melihat dan dilihat oleh orang asing, bahkan menurut beberapa tulisan, mereka tidak pemalu sama sekali.
Seperti juga pengamat lainnya, ketika mengunjungi Borneo, seorang pengembara Austria dari Wina, Ida Pfeiffer, mencatat banyaknya perkawinan campur dan orang Tionghoa lebih memilih orang Dayak ketimbang orang Melayu. Tambahan lagi, mereka merupakan aset perdagangan bagi pasangannya, paling tidak bagi mereka yang berdagang, karena para istri tersebut bisa menjaga toko saat suami mereka melakukan kegiatan lain.
Pada 1861, bertahun-tahun setelah kongsi Monterado ditutup, para perempuan terpantau pergi untuk menyaring sisa-sisa pasir yang mengandung emas dengan memakai celana dan jaket biru tua, dan kain kepala berwarna merah di bawah topi tambang mereka. Mereka pergi menuju tambang membawa dulang, loyang berbentuk wajan untuk mencuci emas, sambil menyanyikan lagu-lagu pegunungan, suatu hal yang khas kebiasaan orang hakka. Kalaupun mereka bukan perempuan keturunan murni Tionghoa, secara budaya mereka telah menjadi orang Tionghoa. Saat itu populasi penambang menurun. Sekitar sepertiga dari mereka sudah terlalu tua atau sakit sehingga tidak sanggup membayar pajak. Kurang dari sepertiga laki-laki serta semua peremuan lahir di sana. Pada abad ke 20, perempuan Tionghoa di Borneo Barat seringkali mengenakan sarung bergaya Melayu seperti yang dipakai perempuan peranakan Tionghoa di Jawa. Ketika komunitas-komunitas sudah menetap, anak-anak perempuan pun lahir, maka pernikahan campuran antara laki-laki Tionghoa dan perempuan Dayak pun makin jarang. Kelihatannya ini terjadi pada awal abad ke 19: … Ketika orang Tionghoa pertama kali datang ke daerah ini, mereka hanya kawin dengan anak-anak perempuan orang Dayak.. tapi kemudian, saat populasi mereka bertambah, mulailah terjadi perkawinan di antara mereka sendiri dan mereka jarang mengambil perempuan Dayak sebagai isteri mereka. Kisah ini dari 1820-an, atau lebih awal lagi.
ORANG HAKKA DI BORNEO BARAT
Setelah perang dengan Monterado pada 1850-an, pemerintah ikut campur dengan melarang pria Tionghoa memperistri perempuan Dayak sebagai pembayaran hutang. Selain itu, laki-laki Tionghoa yang secara sah menyunting perempuan Dayak diharuskan membayar f120, jumlah yang cukup besar, kepada penguasa Melayu atau kepada pemegang hak upeti di komunitas perempuan tersebut, sebagai pengganti bagi kerugian. Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat mengeluhkan bahwa biaya tersebut menjadikan mempelai-mempelai Tionghoa korban dari imoralitas yang memalukan. Pada 1861 penguasa menarik kembali peraturan-peraturan mengenai biaya pengantin tersebut, khususnya di daerah pesisir, makin banyak perempuan datang dari Tiongkok. Melalui imigrasi dan kelahiran, komunitas Tionghoa menjadi makin berimbang antara jumlah laki-laki dan perempuannya, dan perkawinan campur dengan orang setempat pun makin jarang, kecuali di daerah-daerah yang laki-laki Tionghoa lebih terisolasi, seperti di daerah pedalaman.
Walaupun orang Tionghoa cenderung mempertahankan bahasa Tionghoa, menguasai dua bahasa adalah hal biasa. Tidak jarang, orang Tionghoa bisa berbahasa Hakka maupun Teochiu. Banyak orang Hakka yang datang dari dataran tinggi daerah Hepo (disebut Hoppo) di Jieyang atau dari Lufeng, Haifeng, Fengsun dan Huilai, mereka yang disebut sebagai pansanhok ini (banshanke, secara harafiah Hakka setenga gunung, maksudnya setengah Hakka setengah Hoklo atau Teochiu) biasanya dapat berbicara fasih dalam kedua bahasa tersebut sebelum mereka meninggalkan Tiongkok. Orang pansanhok ini paling banyak terdapat di daerah bagian utara dan pusat Distrik Tionghoa, sedangkan orang Hakka dari ibukota Hakka, Meixian di Guangdong yang disebut menggunakan bahasa Hakka yang lebih murni, lebih banyak tinggal di sekitar Pontianak dan mandor. Pembagian dialek-dialek Hakka ini, serta daerah asal, terkait dengan batas-batas organisasi tambang.
Dalam paruh kedua abad ke 19, pedagang-pedagang Tionghoa mulai bergerak lebih ke dalam, mereka berdagang hasil hutan yang dibeli dari para pengumpul Dayak. Di desa-desa, seorang istri lokal di mana seorang pedagang bisa memiliki dua istri: satu istri lokal di daerah pedalaman dan satu lagi yang menetap di kota tempatnta tinggal, merupakan aset bisnis yang penting. Hanya dengan hadiah-hadiah kecil, pedagang-pedagang itu bisa dengan mudah membuat perempuan Dayak bersedia untuk tinggal bersama. Hal penting lainnya adalah, pedagang-pedagang Tionghoa di pedalaman belajar bahasa Dayak, seperti juga orang Dayak yang tinggal di dekat pemukiman Tionghoa belajar bahasa Tionghoa, biasanya Hakka. Sebagai contoh, Ritter (1861) menggambarkan, seorang Dayak yang lari dari kelompoknya tetapi mendapatkan pekerjaan dari pemimpin sebuah kongsi pertambangan karena ia bisa bicara sedikit bahasa Tionghoa. Bahkan kini, sejumlah orang non-Tionghoa di Kalimantan Barat mengaku paham bahasa Hakka.
Bahasa Melayu tetap menjadi bahasa di kota-kota pesisir, digunakan oleh semua kelompok etnis. Di kota-kota ini, banyak orang Tionghoa yang lahir di Borneo berbicara Melayu, sedangkan orang Dayak memakainya di pasar, dan pejabat pemerintahan kolonial Belanda, karena banyak dari mereka tidak bisa menangkap pemakaian dialek bahasa lokal lainnya, ikut menyebarkannya. Sering terjadi penggunaan dua bahasa dan banyak bahasa (bilingualisme dan multilingualisme), terlepas dari batas-batas etnis. Orang Hakka, di antara suku Tionghoa Han, dikenal dari bahasa mereka, namun juga dari ketangguhan mereka dan kebiasaan mereka untuk bergaul dalam kelompok sendiri, menurut pengamatan dari orang luar kelompok mereka, serta dari ketersediaan mereka melakukan kerja keras yang mematahkan punggung di pertambangan dan pertanian. Baik di Tiongkok maupun di Asia Tenggara, orang Hakka dicap sebagai orang kampung dan mskin, walalupun belakangan sejumlah orang Hakka tinggal di kota dan kaya.
Di antara orang Hakka, peran gender tidak dibedakan sekuat di kelompok orang Tionghoa lainnya. Perempuan Hakka bebas memilih kerja sebagai buruh tani, walalupun tidak di urusan komunitas. Terbiasa dengan kerja keras di ladang, perempuan Hakka tidak mempunyai kebiasaan untuk membebat kaki mereka, dan kemungkinan besar lebih mandiri dibanding dengan saudara perempuan mereka dari kelompok non-Hakkah. Tidak satupun pengamat melaporkan adanya pembebatan kaki di Borneo. Menurut beberapa tulisan, di Tiongkok dan Hong Kong sebagai contohnya, perempuan Tionghoa non-Hakka yang menikah di desa-desa Hakka dengan cepat mempelajari bahasa yang dominan itu, dan mereka terus memegang identitas Hakka dalam keluarga dari generasi ke generasi, walalupun terjadi perkawinan campur. Hal ini sejalan dengan pengalaman keluarga-keluarga Hakka di Borneo yang berhasil mengintegrasikan istri lokal mereka ke dalam masyarakat Tionghoa.
Hingga 1850-an, para imigran Tionghoa berlayar dengan jung-jung, datang setiap tahun di bulan Desember atau Januari. Semasa Perang Monterado, imigrasi orang Tionghoa ke Borneo Barat dilarang, namun sebuah peraturan 1856 mengijinkan masuknya imigran Tionghoa dalam jumlah yang terbatas. Pemerintah mulai merasakan bahwa para imigran Tionghoa akan mempunyai pengaruh yang positif bagi orang Dayak, misalnya mengajarkan mereka metode pertanian yang lebih baik, dan orang Tionghoa berdagang dengan mereka secara lebih adil, daripada yang dilakukan oleh para pedagang Melayu, Bugis dan Arab. Pada saat yang sama, pemerintah percaya bahwa para pedagang Tionghoa haruslah diawasi secara ketat untuk menjamin agar mereka tidak datang dalam jumlah berlebihan atau mengambil keuntungan dari rekan perdagangan setempat mereka.
PERCATURAN SOSIAL—EKONOMI
Meskipun jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat melampaui angka 100.000 pada 1930, namun pertumbuhan populasi yang cepat tidak lagi berlanjut sampai 1930-an, dan tingkat pertumbuhan penduduk tahunan di atas 4 persen, sebagaimana diperkirakan untuk 1920-1930, terbukti sebagai suatu pengecualian belaka. Depresi mengakhiri pertumbuhan cepat populasi orang Tionghoa, meskipun imigrasi terasa meningkat kembali pada akhir 1940-an dan awal 1950-an. Di lain sisi, jumlah perempuan dan keluarga Tionghoa di antara keseluruhan penduduk telah meningkat. Imigrasi perempuan dari Tiongkok sangatlah jarang pada zaman kongsi. Pada 1865, tiga orang hartawan Tionghoa membawa sebuah kapal yang penuh bermuatan kaum imigran, kebanyakan perempuan dai Tiongkok, namun kapal ini karam dan hmpir semuanya tewas. Tentunya para perempuan tersebut diperuntukkan untuk pelacuran, namun penuturan tersebut dalam Koloniaal Verslag 1856, tidak menyebut maksud dari yang memberi dana tersebut.
Mungkin terdapat beberapa upaya serupa untuk mendatangkan perempuan secara besar-besaran, namun tak dimiliki catatan lanjut mengenai hal ini. Beberapa orang perempuan Hakka tampak mengikuti pasangan pria mereka ke tempat tujuan lain di luar negeri pada 1860-an, namun sukar untuk mengetahui apakah hal itu juga terjadi di Borneo. Walaupun jumlah perempuan Tionghoa yang menyeberang lautan adalah terbatas, tingkat perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan perempuan Dayak relatif rendah. Mempergunakan informasi dari sensus 1877 di Mandor Lanfang, Residen Kater menemukan hanya ada limabelas perempuan Dayak murni dari jumlah keseluruhan sebanyak lebih dari 1.300 perempuan dewasa yang hidup bersama dengan orang Tionghoa. Dari hampir lima ribu penduduk, sekitar dua ribunya adalah laki-laki dewasa.
Perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan Dayak benar-benar sebuah fenomena di tapal batas. Sebagai tambahan, setelah 1850 beberapa bentuk perkawinan campuran secara aktif dicegah oleh pemerintah. Para pejabat kolonial yakin bahwa orang Tionghoa mendapatkan pengantin dengan cara memperdaya pria Dayak yang terjerat hutang dan mengambil putri-putri atau istri mereka sebagai pembayaran atas kewajiban yang belum dibayarkan. Pada 1854, mereka melarang hubungan Tionghoa-Dayak semacam itu yaitu perkawinan karena hutang.
Peraturan ini boleh jadi tidak pernah efektif berjalan, namun kemudian segera menjadi tidak lagi relevan. Jumlah perempuan di komunitas-komunitas Tionghoa segera meningkat sebagai akibat dari perubahan demografi dan ekonomi. Di manapun komunitas Tionghoa berkembang, dilahirkan perempuan yang cukup untuk memberikan kaum prianya seorang istri. Pada sensus 1930, hanya sekitar 230 perempuan non-Tionghoa, kebanyakan orang Dayak, yang terdaftar sebagai istri dari laki-laki Tionghoa di seluruh Borneo Barat. Sensus penduduk tidak menyajikan rincian mengenai lebih dari 40.000 orang Tionghoa yang tinggal di pedalaman, kebanyakan orang Hakka, yang sekedar dihitung secara sederhana dan tidak ditanyakan mengenai status perkawinannya. Dalam kenyataannya, kelompok ini merupakan kelompok yang paling cenderung menjalin hubungan dengan perempuan Dayak.
Saat pertama orang Tionghoa menetap di Borneo, mereka bertempat tinggal di lingkungan istana dan kota-kota pelabuhan seperti Sambas atau Sukadana. Para penambang bertempat tinggal di lokasi tambang-tambang yang mereka gali, Monterado dan Mandor tumbuh di sekeliling lokasi-lokasi pertambangan milik kongsi. Hampir semua kongsi menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir. Agar kongsi dapat berja lahirlah juga pemukiman-pemukiman pertanian, seperti yang ada di sekitar pelabuhan Pemangkat yang melayani kebutuhan kongsi Samtiaokioe, atau di dekat pelabuhan Singkawang yang melayani kebutuhan kongsi Thaikong. Mandor juga menguasai tanah pertanian di lembah yang subur dekat kota tersebut.
Jika suatu areal tambanghabis cadangan emasnya, para penambang segera berpindah tempat. Pemukiman mengikuti kandungan emas dari Mandor ke Landak, dari Monterado menuju Bengkayang. Perpindahan ini menyebabkan pergesekan dengan orang Melayu dan Dayak yang hidup di sekitarnya, dan terkadang juga dengan orang Tionghoa lainnya. Namun kecenderungan terbesarnya adalah perpindahan dari pertambangan menjadi pertanian berskala kecil, dari menggali bahan baku ke hidup menetap. Jika pada masa awal, pemandangan dikuasai oleh tambang yang mempekerjakan 10 hingga 30 orang pekerja Tionghoa, saat ini pemandangan mulai dipenuhi oleh rumah-rumah kecil yang dikelilingi oleh kebun, dengan hewan dan perkakas rumah tangga lainnya. Setelah 1854, kecenderungan menjadi pertanian bermukim terus berlanjut. Pergeseran populasi ini menyebabkan orang Tionghoa berpindah menjauh dari pusat-pusat kongsi, baik menuju ke kota-kota pesisir maupun ke daerah yang cocok untuk bertanam padi, atau kemudian ladang kelapa dan karet, atau menuju wilayah pedalaman, di mana mereka terlibat dalam perdagangan atau pertambangan berskala kecil. Terkadang mereka terlibat dalam kegiatan ganda.
Perluasan orang Tionghoa ke pedalaman semakin dimungkinkan oleh keamanan yang lebih baik berkat perluasan kekuasaan Belanda hingga ke pedalaman, namun seringkali orang Tionghoa datang lebih dahulu daripada orang Belanda. Berdasarkan sebuah penuturan 1931, mereka menetap di tempat maupun yang kondisinya mereka anggap memang menguntungkan. Kelompok-kelompok kecil para penambang terus menjadi pelopor untuk menemukan lokasi tambang yang baru, namun banyak juga yang mencari peruntungan ke tempat-tempat yang lain. Mandor dan Monterado menjadi saksi menyedihkan dari bekas kegiatan nereka. Tambang-tambang tua sudah tidak lagi berguna, tidak hanya sekali ditambang saja, namun hingga berkali-kali. Pagong-pagong (kolam-kolam pertambangan) meluap setelah turun hujan, membanjiri parit-parit dan menutupinya dengan pasir. Rumah-rumah ditinggalkan, jalan-jalan rusak dan tidak lagi dapat dipergunakan.
Orang Teochiu merupakan kelompok terbesar di antara orang Tionghoa hanya untuk yang di kota saja, sekitar dua ribu orang dari 4.449 orang Tionghoa adalah Teochiu (Hoklo) dan 1.700 adalah Hakka. Di Kampung Baru dengan 1.036 orang Tionghoa, terdapat sekitar 640 orang Hakka, sedangkan semua dari 1.060 orang Tionghoa di Mandor adalah Hakka. Kampung Baru, yang hingga 1884 adalah milik dari Kongsi Lanfang, merupakan pusat industri Pontianak. Daerah ini menggambarkan perkembangan perekonomian pulau ini secara keseluruhan. Pertama, tumbuh berkembang berbagai gudang penyimpanan kayu dan penggergajian kayu untuk konstruksi dan pembuatan kapal dan sebuah pergudangan untuk menyimpan hasil hutan. Pada masa ketika Buys berkunjung 1880-an, hasil hutan seperti rotan, damar dan getah perca dimuat di atas rakit yang terbuat dari kayu-kayu besar dan dihanyutkan ke Pontianak. Kemudian kayu-kayu tersebut akan dikirim ke penggergajian kayu. Kemudian, di akhir abad ke 19, dibangunlah pabrik minyak kelapa dan kopra. Dan pada akhirnya, berkembanglah rumah industri pengasapan karet hingga menyebar ke semua tepi sungai. Di luar daerah industri hiduplah orang Tionghoa sebagai petani dan pekebun tanaman niaga.
MENJADI ORANG PEDALAMAN KALIMANTAN
Perpindahan ke pesisir pantai dan ke daerah pertanian merupakan salah satu bagian dari kisah migrasi orang Tionghoa. Sebelum akhir abad ke 18, orang Tionghoa barangkali telah mulai melakukan pertambangan di Sanggau dan Tayan yang terletak di sepanjang Sungai Kapuas. Pada 1866, pertambangan orang Tionghoa telah berpindah ke hulu, mencapai Sintang dan Silat. Beberapa waktu kemudian, pertambangan orang Tionghoa dapat ditemukan di Nanga Pinoh, Bunut dan Putussibau, jauh di pedalaman. Dikarenakan persediaan emas menyebar dan tak terlalu besar, kebutuhan untuk membuka tambang baru telah mendorong orang Tionghoa untuk semakin jauh masuk ke pelosok pedalamamn. Sebagaimana dicatat, metode pertambangan orang Tionghoa dengan cepat menguras persediaan emas.
Orang Tionghoa yang lainnya bergerak ke pedalaman untuk berdagang. Pada 1872, para pejabat kolonial mencatat orang Tionghoa dengan jumlah yang signifikan berangkat menuju ke daerah terpencil di pedalaman. Gejala ini cukup mendapat perhatian karena hal ini menunjukkan inisiatif bahkan keberanian, karena sebagian wilayah pedalaman barulah tergabung di bawah kekuasaan Belanda setelah akhir abad ke 19. pedagang yang bergerak jauh dari pantai berarti meninggalkan perlindungan kekuasaan kolonial.
Para pedagang berpindah ini umumnya para pendatang baru, atau sinkeh (xinke), di mana mereka dengan cepat dapat mempelajari bahasa Dayak setempat. Orang Tionghoa kelahiran setempat, sumber-sumber berbahasa Belanda menyebutnya peranakan tetapi mungkin lebih tepat disebut berakar lokal, tinggal di pemukiman orang Tionghoa yang lebih besar dan tidak siap untuk pergi ke pedalaman. Beberapa pedagang membangun basis di kota, berpindah ke pedalaman untuk berdagang dan tinggal di sana selama beberapa bulan. Kebanyakan adalah agen dari perusahaan di kota-kota yang lebih besar.
Orang Dayak dengan mudah mengikatkan diri ke dalam hubungan perniagaan dengan orang Tionghoa. Pada 1885 misalnya orang Dayak menyukai berbelanja di pasar di Mandor, dan ketika orang Tionghoa berpindah ke pedalaman, kios-kios milik orang Tionghoa menawarkan sejenis pertunjukkan bagi para pengunjung Dayak yang sedang pergi untuk berbelanja atau menjual barang atau yang sekedar bersosialisasi. Orang Dayak seringkali menyebut orang Tionghoa dengan sebutan sobat, sebagai sahabat. Teman atau bukan, orang Dayak mengetahui bahwa dia dapat menaruh harapan pada tauke-nya atau pedagang.
Kemudahan orang Tionghoa untuk berpindah dan bermukim di pedalaman Borneo sangatlah bertolak belakang dengan kesulitan yang dialami oleh orang Tionghoa di Pulau Jawa di mana perjalanan dan pemukimannya secara efektif dibatasi. Meskipun peraturan perundang-undangan mengatur apa yang disebut wijkenstelsel (sistem pemukiman atau perkampungan) yang dirancang untuk mengatur orang Tionghoa agar secara menetap di pemukiman resmi untuk orang Tionghoa, di Borneo peraturan ini hampir tidak berlaku. Residen dapat memberikan ijin kepada orang Tionghoa untuk bertempat tinggal di mana saja bagi keperluan perdagangan atau pertanian. Dalam kenyataannya, seringkali, orang Tionghoa sendirilah yang mendirikan pemukiman tetap di luar wijken atau perkampungan yang secara resmi diperlakukan sebagai kediaman sementara dari rumah mereka sendiri, sebuah cerita yang nyaman bagi semua yang terlibat. Selama bertahun-tahun, sistem ini secara keseluruhan tidak dapat diterapkan.
Pada 1902, terdapat hampir sebanyak sembilan puluh buah pemukiman, sebagian besar sangat kecil, dirancang sebagai perkampungan resmi orang Tionghoa. Pada 1912, penguasa di Borneo mencoba untuk menegakkan pembatasan perumahan dan mengendalikan perjalanan secara lebih ketat, mengabaikan situasi di mana banyak para petani Tionghoa yang tinggal di lahan-lahan mereka, sehingga hal ini menimbulkan perlawanan. Pada 1922, tinggal tujuh puluh lima pemukiman resmi orang Tionghoa yang masih tersisa, namun hal ini bukan berarti bahwa populasi orang Tionghoa telah menjadi semakin terpusat. Dalam kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya.
Di pedalaman, sejumlah pedagang Tionghoa tinggal di rumah-rumah perahu, sementara yang lainnya bertempat tinggal di sebagaimana penguasa menyebutnya perkampungan perkotaan sementara. Kehadiran mereka juga tidak mendapat penolakan. Bahkan orang Dayak memahami benar bahwa mereka akan mendapat keuntungan jika terdapat lebih dari satu pedagang Tionghoa yang bersaing dalam bisnis mereka dan dengan cepat belajar bagaimana mendapatkan harga yang lebih baik atas barang-barang mereka dengan cara melakukan perjalanan tambahan satu hari untuk memenuhi pedagang yang lain.
Posisi yang kuat dari para pedagang Tionghoa di keresidenan ini timbul dari struktur perekonomian Borneo Barat yang khas. Hubungan hulu hilir berkembang di masa lalu karena para penduduk di pedalaman sangat tergantung, atau sangat menginginkan, barang-barang impor seperti garam, tembakau, candu, pakaian, perhiasan dan terkadang beras. Hingga abad ke 19, istana dan bangsawan Melayu sudah memonopoli perdagangan, membuat orang Dayak sebagai rekannya dalam posisi hubungan yang tergantung. Di daerah-daerah di mana terdapat sedikit orang yang tergantung padam penghutang dari atau budak dari orang Melayu, pemanfaatan hasil hutan mungkin baru dimulai ketika orang Tionghoa memasuki wilayah tersebut. Seperti kaum elit Melayu, para pedagang Tionghoa juga menciptakan hubungan ketergantungan dengan cara meminjamkan uang kepada orang Dayak dan membuat mereka dalam keadaan berhutang, namun mereka juga membuka pasar yang baru. Sebagai akibatnya terjadi kenaikan ekspor yang seringkali sebagaimana disaksikan kemudian, pemungutan hasil hutan secara besar-besaran akan membahayakan kelestariannya.
Pada pertengahan abad ke 19, selain emas, hasil hutan merupakan ekspor utama Borneo Barat. Sejalan dengan menurunnya kongsi di akhir abad, hasil alam menggantikan posisi penting mineral. Pada awal abad ke 20, berkurangnya persediaan menjadi satu persoalan ketika beberapa sumber alam menjadi sangat langka. Tidak lama kemudian, sebelum 1925, hasil panen para petani kecil menggantikan hasil kekayaan alam sebagai ekspor utama daerah pesisir. Terdapat dua perubahan yang terjadi pada perdagangan tradisional hasil hutan sepanjang abad ke 19. pertama, Belanda melalui perjanjian membatasi hak para penguasa Melayu untuk mengumpulkan pajak dan upeti dari orang Dayak. Hal ini sangat memperlemah posisi para penguasa dan para pemegang hak upeti dalam berhubungan dengan orang Dayak, dan sebagai akibatnya mereka mulai kehilangan posisi istimewa sebagai para pedagang kunci. Kedua, permintaan hasil hutan dalam pasar internasional melambung tinggi.
Penebang kayu mulai bekerja di pedalaman pada 1850-an, terutama di Sambas, namun hingga Perang Dunia II, industri kayu masih tetap relatif tidak penting di Borneo Barat. Daerah tersebut mengirimkan kayu ke industri bangunan lokal dan mengekspor sejumlah kecil kayu ke Jawa atau Jepang. Orang Melayu dan Dayak menyediakan pekerja untuk menebang pohon, sementara orang Tionghoa bergerak ke perdagangan dan penggergajian kayu. Beberapa penggergajian kayu berlokasi di Kampung Baru. Beberapa pedagang juga membangun perahu kayu atau sampan. Para pedagang Jepang yang mencoba mengekspor kayu dari pesisir barat Borneo pada 1930-an terpaksa menyerah karena ditekan oleh para pedagang Tionghoa yang dipicu oleh Perang Tiongkok-Jepang. Beberapa penggergajian kayu di Kampung Baru dimiliki oleh orang Melayu.
Para pejabat kolonial mencatat berbagai barang yang dipungut dari hutan di pedalaman dan di masa meledak, terutama ketika kegiatan pengumpulan hasil hutan memuncak, Belanda khawatir keuntungannya akan membuat orang Dayak mengabaikan produksi makanan. Namun dalam kenyataannya, kegiatan tersebut terkonsentrasi selama bulan-bulan ketika kerja-kerja pertanian sedang berkurang. Walalupun tumbuhnya kegiatan ekspor hasil hutan mengalihkan pekerja dari ladang, gagal panen biasanya disebabkan oleh cuaca buruk, bukan karena kekurangan pekerja. Terlebih lagi, selama masa kaum lakii-laki masuk ke hutan dan menebang pohon atau memungut rotan di dataran yang sulit, kaum perempuan dapat melakukan banyak hal pada kerja-kerja pertanian.
Meskipun orang Melayu juga terus membeli sejumlah hasil hutan, sejumlah pedagang Melayu mungkin juga berdagang dengan barang-barang yang dibeli secara kredit dari orang Tionghoa, orang Tionghoa mendominasi perdagangan ekspor. Jaringan mereka yang terpusat di Singapura, menjangkau pemukiman-pemukiman seperti Sintang dan pasar-pasar Tionghoa di pedalaman. Dikarenakan para pedagang Tionghoa seringkali mengunjungi para pelanggannya dengan perahu, di pelabuhan utama barang-barang dapat dimuat secara langsung dari perahu ke kapal yang akan berlayar. Perdagangan di pedalaman biasanya dikelola secara barter, beras, tembakau, pakaian, manik-manik gelas dan juga garam atau senjata selundupan adalah permintaan yang terbesar. Ketersediaan dari barang-barang konsumsi tadi mendorong pengumpulan hasil hutan yang lebih intensif.
IMBAS AMBANG RESESI MALAISE
Orang Tionghoa mendirikan banyak ladang di sepanjang pantai atau di dekat pusat-pusat pertambangan pada pertengahan abad ke 19 dan bermukim dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh hingga tiga puluh keluarga di lembah yang subur dengan pengairan yang baik. Tanaman yang mereka tanam seringkali baru bagi Borneo, mereka membudidayakan sayur mayur, nenas, tebu dan tentu saja padi sawah, dan barangkali merekalah yang memperkenalkannya ke pulau ini. Jumlah petani tumbuh secara tetap.
Pada 1875, dari semua orang Timur Asing yang terdaftar di Borneo Barat sebagai pekerja, 3.506 hidup dari pertanian, tidak termasuk mereka yang menjalankan kegiatan sebagai nelayan atau peternak hewan, sementara 1.574 bekerja di tambang. Pedagang grosir dan pedagang eceran berjumlah 1.942 dan terdapat 650 orang yang terdaftar sebagai tukang. Pada 1887, jumlah petani meningkat menjadi 4.367 orang. Penambang berjumlah 1.639 orang, pedagang 2.002. pada sensus 1891, yang mencatat pekerjaan dari 12.142 orang Timur Asing di keresidenan tersebut yang 90 persennya adalah orang Tionghoa sisanya orang Arab dan India menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pola pekerjaan orang Tionghoa. Satu proporsi yang substansial, 43 persen atau 5.602 adalah berbagai macam tukang atau kuli dan pegawai, tidak termasuk 170 pembantu rumah tangga. Proporsi lebih kecil yaitu 35 persen atau 4.640 dari orang Timur Asing bekerja sebagai petani atau memelihara ikan atau hewan. Hanya 1.085 orang atau 8 persen yang bekerja di pertambangan, semuanya orang Tionghoa kecuali dua orang.
Sebagai tambahan, 1.838 atau 14 persen dari orang Timur Asing yang bergerak di bidang perdagangan, tempat gadai dan peminjaman uang. Pegawai pemerintah melibatkan 156 orang Timur Asing, 163 orang bekerja di pacht candu dan lain-lain. Terdapat lima puluh tujuh guru di sekolah swasta non-keagamaan, lima puluh limanya adalah orang Tionghoa,. Meskipun terdapat orang non-Tionghoa dalam kategori Timur Asing, jelaslah bahwa perdagangan dan pertukangan, apakah itu bekerja sebagai usahawan bebas atau pegawai, dan pertanian telah menggantikan kegiatan pertambangan sebagai pekerjaan utama di Borneo Barat bagi penduduk Tionghoa. Karena setiap orang boleh mengisi satu pekerjaan, hal ini tidak mencerminkan meluasnya praktek pekerjaan ganda. Pada 1900 Enthoven menemukan bahwa hanya terdapat seorang tukang emas yang ahli di wilayah ini. Pada masa belakangan ini, Pontianak sendiri memiliki beberapa tukang emas, barangkali merupakan cerminan dari kecenderungan untuk menabung dalam bentuk emas dibanding dalam mata uang yang terus mengalami inflasi.. dalam kenyataannya, peranan penting pertanian terus meningkat. Pada 1895, tahun terakhir dari data statistik ini, terdapat sekitar 4.799 petani, 1.043 penambang dan 2.226 pedagang.
Lahan pertanian orang Tionghoa di Borneo Barat terpusat di wilayah yang terhampar dari Pontianak ke arah utara sepanjang pesisir, termasuk wilayah pedalaman di Distrik Tionghoa seperti Monterado dan Bengkayang. Sawah-sawah orang Tionghoa, kebanyakan tadah hujan, memberikan hasil yang baik, mencukupi bagi para petani tersebut untuk menjual sebagian beras dari setiap panennya. Pada masa itu, orang Melayu, Bugis dan Dayak yang tinggal berdekatan dengan para petani Tionghoa juga mulai membuat sawah. Orang Tionghoa juga membawa mesin-mesin sederhana dari Tiongkok untuk menumbuk dan menggiling padi mereka, dan untuk memeras tebu. Para penduduk setempat juga menggunakan jenis yang lebih sederhana dari mesin-mesin tersebut.
Pemerintah kolonial mempunyai dua pandangan dalam melihat aktivitas perdagangan dan pertanian orang Tionghoa, terutama yang terjadi di pedalaman. Di satu sisi, mereka menyadari pentingnya para pedagang Tionghoa bagi para peladang pribumi. Di lain sisi, mereka takut orang Tionghoa akan mengusir kaum pribumi dari tanah mereka atau mencurangi mereka. Jalan keluarnya adalah membatasi para pemukim dan pedagang Tionghoa pada akses memperoleh tanah, atau mewajibkan mereka untuk tinggal di daerah perkotaan. Perekonomian Borneo Barat mengalami perubahan yang dramatis selama tahun-tahun setelah perang kongsi. Dari perekonomian subsisten dalam bentuk usaha kecil yang bergerak di bidang pertambangan atau mengekspor hasil kekayaan alam, menjadi pengekspor hasil hutan dan selanjutnya perekonomian rakyat dengan kelapa dan karet sebagai ekspor utamanya.
Eksploitasi hasil hutan terbukti tidak berkelanjutan, pada 1940-an, hanya orang di daerah pegunungan jauh di pelosok pedalaman sajalah yang masih mengumpulkan damar, getah dan karet alam untuk dijual. Penanaman kelapa dan karet secara cepat memberikan cukup pendapatan bagi banyak penduduk. Harga yang tinggi pada 1920-an memberikan kemakmuran yang nyata bagi keresidenan. Depresi membawa penderitaan yang nyata. Produksi makanan di daerah itu tidaklah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para penduduknya dan jika ekspor jatuh, begitu pula pasokan makanan. Para petani kecil mendapat keuntungan besar dari ekspor jika itu berjalan baik, namun sangatlah sulit atau mustahil bagi mereka untuk melakukan pemberagaman tanaman dalam upaya melindungi mereka dari naik turunnya kebutuhan pasar. Sebuah aktifitas yang meningkat dari segi keutamaannya, meski masih kecil, adalah industri kayu. Sumber dayanya, terutama kayu besi, segera mengalami kerusakan di beberapa wilayah dan pemerintah segera membuat suatu daerah suaka.
Selama masa peralihan, orang Tionghoa memainkan peran utama. Dalam melakukan upayanya, mereka dibantu oleh orang Bugis dalam hal produksi kelapa dan tentu saja oleh kalangan pribumi yang berperan sekaligus sebagai produsen dan konsumen. Borneo Barat terbukti tidak ramah terhadap modal Eropa, penenman modal dilakukan dengan modal yang berasal dari Asia. Borsumij (Borneo Sumatra Maatschappij, perusahaan Borneo Sumatra) didirikan pada 1901 sebagai pengimpor. Rumah impor lainnya yaitu Geo Wehry, mendirikan kantor cabangnya di sana pada 1925. bagaimanapun, sejumlah rumah dagang Tionghoa sudah melakukan usaha di Borneo Barat sebelum akhir abad yakni 1880-an atau bahkan lebih awal lagi. Bahkan perusahaan kapal milik negara yang kuat yaitu KPM pun mendapat tantangan dari pesaing Tionghoa seperti Thong Ek dalam rute Singapura dan juga Perusahaan pelayaran Kapal Uap (Straits Steamship Company).
Sistem perdagangan orang Tionghoa yang mempergunakan pembayaran di muka telah mendorong produksi tanaman niaga, namun metode ini cenderung membuat para mitra pribumi tersebut terperangkap dalam hutang abadi, daripada mendapatkan uang tunai atau tabungan dalam tangan mereka. Upaya terbatas Belanda untuk memperbaiki situasi ini dengan mendirikan sebuah bank perkereditan rakyat, bukan suatu alternatif tawaran yang nyata terhadap orang Tionghoa sebagai pimpinan perdagangan dan pemberii pinjaman uang. Upaya dan usaha ini tentu saja mengalami kegagalan …
KEMILAU EMAS DI PERUT BORNEO
Emas ditemukan secara luas di Borneo, meskipun biasanya dalam jumlah kecil. Beberapa sungai membawa pasir bercampur emas, sehingga dimungkinkan mendulangnya untuk mendapatkan bijih emas. Emas merupakan salah satu barang dagangan yang diperdagangkan oleh penduduk daerah hulu kepada para pemegang hak upeti mereka dan kepada para penguasa pesisir. Para penguasa menaburi diri dengan perhiasan emas, cangkir, mangkuk dan barang-barang mewah lainnya. Pakaian mereka juga, kain songket, dibuat dari kain yang ditenun dengan benang emas. Di tahun 1851, bahkan Sultan Sintang yang tinggal bermil-mil jauhnya ke arah hulu sungai dari kerajaan pesisir yang lebih makmur, mengenakan tutup kepala dan rompi bersulamkan emas.
Pada 1779, WA Palm, perwakilan VOC yang ditempatkan di Pontianak, mendengar dari sultan bahwa jung-jung milik orang Tionghoa yang berlabuh di tempat itu dengan bermuatan kain kasar, setiap tahunnya berangkat dengan mengangkut muatan seberat empat ribu real berbentuk emas. Empat ribu real atau dolar perak berat emas, boleh jadi senilai empat puluh hingga lima puluh irbu dolar perak. Jauh di kemudian hari, 1885-1886, orang Tionghoa di Mandor menjual sulaman yang terbuat dari benang emas yang meskipun populer di kalangan komunitas peranakan dan baba di Malaya dan Nusantara, juga diperdagangkan kepada orang Eropa di Borneo.
Pada 1822 sudah pasti hampir semua emas dikirim ke Tiongkok, namun dalam jumlah yang memadai juga dikirimkan kepada para pedagang Inggris yang ditukarkan dengan candu, tekstil dan besi. Sisanya dikirim ke Siam dan dipertukarkan dengan garam, candu dan tekstil, emas juga dikirimkan ke Jawa, kebanyakan dengan mempergunakan perahu Bugis, untuk dijual tunai atau ditukarkan dengan minyak, tembakau, dan pakaian. Beberapa saat kemudian, Singapura juga menjadi daerah tujuan ekspor emas.
Para pengamat dari abad ke 19 memberikan petunjuk bahwa emas bukanlah barang dagangan yang paling diminati dalam perdagangan antara Borneo dan Tiongkok. Burn membuat daftar barang yang diekspor dari Pontianak pada 1811, umumnya dibawa oleh jung-jung orang Tionghoa. Para pedagang memuat sarang burung, lilin lebah, rotan, kapur barus Borneo, kayu sejenis ebony (kayu hitam), timah dari Bangka, terkadang candu (yang juga diimpor dari berbagai tempat lain), kayu merah yang digunakan untuk pencelupan (kayu gaharu), ubur-ubur (beche de mer) dan teripang dari laut, sebagai tambahan dari muatan emas yang tidak seberapa. Menurut pengalaman Burn, orang Tionghoa lebih menyukai hasil bumi daripada emas, menerima logam jika mereka tidak dapat memperoleh cukup hasil bumi tersebut.
Laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, terkecuali dengan laporan dari Palm. Sumber standar mengenai perdagangan Tiongkok, mencakup kajian terakhir mengenai kepentingan maritim menyebutkan mengenai perak, namun bukan emas. Tiongkok tidak pernah membuat uang logam dari emas, sehingga tidak memiliki kepentingan untuk mencetaknya, melainkan tembaga dan baru setelah abad ke 17 membuatnya dengan perak. Para pedagang lebih suka dibayar dengan perak ketimbang emas. Orang Tionghoa mempergunakan emas untuk perhiasan dan batangan emas, kadang-kadang sebagai uang. Tiongkok sendiri mengekspor emas pada abad ke 17. Jadi, emas memang merupakan produk utama namun bukanlah ekspor utama dari Borneo Barat. Namun, bagi bangsa Inggris dan Belanda, emas merupakan simbol dari kekayaan, yang diduga terdapat di seluruh pulau tersebut.
Paling awalnya pada permulaan 1740, Panembahan Mempawah atau bisa jadi Sultan Sambas memutuskan untuk mendatangkan para pekerja Tionghoa untuk menambang emas. Barangkali, daerah pertama yang akan dibuka terletak di sepanjang Sungai Duri, di daerah kekuasaan dari kedua kerajaan tersebut berhimpitan. Mempawah mendatangkan sekitar dua puluh orang Tionghoa dari Brunei ke daerah Sungai Duri pada sekitar 1740. Tidak ada catatan yang yang ditinggalkan, namun pada 1822 Komisioner Tobias menuliskan bahwa pemukiman pertama terletak di Sambas, di lingkungan Seminis dan bahwa pemukiman itu didirikan sekitar 1740.
Semua penduduk Borneo melakukan kegiatan penambangan emas, dan emas sudah ditemukan di sana sejak berabad-abad yang lalu. Burn menuliskan: orang Dayak bercocok tanam padi, dan banyak di antara mereka yang mencari dan mendulang serbuk emas, namun kegiatan ini biasanya dianggap sebagai pekerjaan yang sederhana dan mudah padahal tidaklah demikian kenyataannya, orang Tiongkok sudah jauh melampaui mereka dalam seni penambangan ini, yang bukan saja memerlukan tenaga kerja buruh yang sangat besar, namun juga ketekunan dan ketelitian …
Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja Tionghoa menghasilkan emas lebih banyak dari penambangan yang mempergunakan metode tidak beraturan dari para pekerja pribumi, yang bekerja sebagai penambang hanya ketika kerja-kerja pertanian, penangkapan ikan, perburuan dan pengumpulan hasil hutan sedang tidak memakan waktu mereka. Orang Tionghoa menambang dalam kelompok lebih besar. Dikatakan: … Orang Tionghoa mengerjakan sendiri pertambangan yang ditinggalkan oleh orang Dayak atau Melayu. Sebuah tangki didirikan atau sebuah aliran sungai kecil dibendung dan sebuah saluran digali sepanjang arah urat emas, pintu-pintu air dibuka dan lapisan tanah tratas akan tergerus seluruhnya oleh derasnya arus, dan sesudah areng (lapisan berharga) ditemukan maka pintu air ditutup. Areng yang telah digali keluar kemudian dibersihkan, dengan tekanan yang terus menerus dari air yang dialirkan melalui papan kayu yang diletakkan miring.
Para penguasa Melayu tentunya berharap bahwa peningkatan produksi emas oleh para penambang Tionghoa akan memberikan keuntungan bagi mereka. Mereka mendorong imigrasi orang Tionghoa karena alasan tersebut dan berencana memperlakukan orang Tionghoa sama dengan cara mereka memperlakukan orang Dayak di daerah hulu. Kerajaan akan memasok orang Tionghoa dengan garam dan beras, candu dan beberapa kebutuhan lainnya, dengan harga yang sudah ditentukan oleh penguasa. Orang Tionghoa tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pertanian atau memiliki senjata api, mereka tidak boleh melakukan sendiri kegiatan ekspor impor. Mereka harus membayar peti berupa emas sebagai pembayaran atas izin pertambangan yang diperoleh. Sebagai tambahan, semua imigran Tionghoa harus membayar pajak atas kedatangan mereka, dan bahkan yang lebih tinggi ketika mereka meninggalkan Borneo.
Ikatan dagang dan hutang piutang orang Tionghoa dan orang Dayak memotong para pemegang hak upeti Melayu. Seorang residen Belanda menyatakan bahwa orang Tionghoa telah secara nyata mengasingkan orang Dayak dari orang Melayu dan dalam banyak hal menguntungkan mereka. Meskipun terdapat bukti bahwa orang Tionghoa dan orang Dayak saling berperang satu sama lain, namun mereka juga mengembangkan hubungan persahabatan. Ikatan yang semakin tumbuh antara orang Tionghoa dengan orang Dayak dan sebagai konsekuensi dari penurunan perdagangan resmi, melemahkan kekuasaan sultan terhadap para emegang gak upeti di istana, yang di bawah kondisi berbeda telah mendapatkan keuntungan darinya. Semua ini menyebabkan para penguasa dan anggota istana beralih ke kegiatan perompakan.
Perselisihan yang muncul di seputar penguasaan emas dan perdagangan di akhir abad ke 18 dan sesudahnya, tidak semata-mata pertikaian etnis. Beberapa suku Dayak berdampingan dengan para penguasa Melayu dan kemudian dengan Belanda, sementara yang lainnya bertempur berdamingan dengan orang Tionghoa. Orang Dayak juga mempergunakan kehadiran orang Tionghoa untuk mendapatkan kebebasan ekonomi, politik dan budaya. Dalam suatu wilayah di mana orang Tionghoa bermukim, hubungan yang ada menjadi tidak berbentuk ikatan berpasangan (dyadic), Dayak sebagai klien dan orang Melayu sebagai patron, namun berbentuk hubungan yang majemuk.
REPUBLIK KAMPUNG REPUBLIK KONGSI
Sangat jelas, pada masa di antara saat kedatangan mereka di pertengahan abad ke 18 hingga permulaan abad ke 19, orang Tionghoa telah merdeka dari penguasa Melayu. Kemerdekaan mereka sebagian difasilitasi oleh persoalan keadaan alam dan sifat dari kerajaan Melayu dengan kekuasaan terpusat, lemah di pinggrian, dan tidak adanya penguasaan wilayah. Namun bukan hanya kondisi alam yang menantang dan karakter istana Melayu saja yang menjadi penyebab dari kemerdekaan orang Tionghoa tersebut. Orang Tionghoa memperoleh kemerdekaannya dengan mendayagunakan organisasi wilayah yang kuat dan relatif stabil, yaitu kongsi.
Para penambang yang paling awal di Borneo Barat, barangkali pertama kalinya mengorganisasikan para pekerja mereka dalam kelompok-kelompok kecil, memilih sendiri para pemimpinnya dan membagi keuntungan dari pertambangan kepada para anggotanya. Bentuk usaha bersama semacam ini sudah menjadi tradisi yang lama di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan para pengusaha, pedagang dan penambang untuk menyatukan modal, dan jika perlu, untuk mengelola tenaga kerja, mengingat potensi pembagian andil dari keuntungan akan memotivasi para pekerja untuk tetap bertahan dalam pekerjaannya.
Jadi, kongsi merupakan istilah umum, dalam pengertian yang sifatnya tidak khusus, bahkan ketika diterapkan dalam situasi seperti di Borneo Barat. Makna yang mungkin untuk kongsi, antara lain, di wilayah pertambangan emas Borneo Barat dan hal ini terlihat sebagai pengalaman orang Tionghoa yang unik, terdapat perkumpulan atau federasi dari kongsi pertambangan. Federasi ini dapat menyatukan ratusan bahkan ribuan orang pada beberapa areal penambangan. Mereka membangun balai sidang (tjoengthang, Mandarin: zongting, balai umum atau balai utama), dan para perwakilan dari kongsi-kongsi besar yang menjadi anggotanya bertanggung jawab atas pemerintahan sehari-hari.
Mereka disebut sebagai republik dan demokrasi dalam sumber-sumber abad ke 19. tiga federasi besar di Borneo Barat adalah Fasjoen (Heshun) di Monterado, Lanfang di Mandor dan Samtiaokioe (Santiaogou) yang pada suatu ketika adalah anggota dari Fasjoen di Monterado, namun memisahkan diri pada 1819. jika kongsi pertambangan dan perniagaan selalu ada di manapun orang Tionghoa bermukim, Borneo Barat terasa unik karena memiliki perkumpulan yang berkembang dengan menyatukan beberapa entitas untuk mengawasi dan memerintah wilayah yang luas. Sebagai perbandingan, kesultanan Melayu bukan merupakan kerajaan wilayah, mereka tidak menguasai tanah, namun menguasai penduduk dan pungutan. Kongsi-kongsi pertambangan masing-masing saling bergabung dan bergabung kembali sepanjang akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19, membentuk federasi yang memperlakukan diri sebagai negara dan tentu saja hingga 1850-an, federasi kongsi Tionghoa yang besar merupakan satu-satunya negara di pesisir barat Borneo. Baik kerajaan pribumi maupun kekuasaan kolonial Belanda tidak memiliki organisasi, infrastruktur dan kekuatan yang sebanding federasi ini.
Dari ketiga federasi besar kongsi yang ada di pessir barat Borneo, federasi kongsi yang tangguh di Monterado, bernama Fasjoen Tjoengthang (Heshun Zongting). Namun heshun mungkin berarti harmoni dan sejahtera, meskipun kombinasi itu diterjemahkan sebagai beradab dan ramah tamah atau menyenangkan. Zongting merupakan balai umum atau utama, namun mempunyai fungsi yang beragam. Digambarkan juga sebagai sebuah parlemen, sebuah dewan eksekutif, sebuah markas tentara dan sebuah gedung rapat umum, juga sebuah kelenteng. Kebanyakan sumber menyebutnya sebagai rumah kongsi dan dalam kenyataannya juga merupakan kediaman sang ketua dan keluarganya. Heshun Zongting seringkali disebut musuh bebuyutan pemerintah kolonial, meskipun selama bertahun-tahun kedua belah pihak hidup berdampingan secara damai. Kongsi terbesar dan pada zaman Belanda paling dominan di antara anggota Fasjoen adalah Thaikong (Dagang) yang artinya pelabuhan besar atau sungai besar, yang barangkali dipilih karena lokasinya di dekat Sungai Raya.
Anggota kedua adalah Samtiaokioe (Santiaogou, parit bercabang tiga, mengacu pada tambang terbuka tempat lapisan bumi yang mengandung emas digali), meninggalkan Fasjoen pada 1822 setelah terjadi beberapa perselisihan, namun yang lainnya, kongsi-kongsi yang lebih kecil tetap bersama dengan Thaikong. Kongsi lainnya yang paling dikenal, Lanfang di Mandor, pada 1823 membuat perdamaian dengan Belanda, namun kesetiaannya pada pemerintah kolonial lebih ambigu dari dugaan para pejabat kolonial. Lanfang bertahan lebih lama daripada kongsi-kongsi besar lainnya, bertahan hingga 1884, pada saat dia dibubarkan.
Terlepas dari perseteruan dan kelemahan mereka, di seluruh penjuru Borneo Barat dari 1819 hingga 1850, kongsi-kongsi besar seperti Lanfang dan Fasjoen memiliki kekuasaan atas wilayah, secara teratur memilih para pemimpin mereka sendiri, menyelesaikan tindakan kriminal dan perdata, menjalankan hukuman badan, menjaga kesiapan angkatan bersenjata, mengembangkan jalur hubungan komunikasi darat (melalui jaringan jalan setapak), memacu perdagangan, perniagaan dan industri, memungut pajak dan cukai, mencetak uang logam, mendirikan sekolah dan secara teratur menyelenggarakan upacara keagamaan untuk menjaga solidaritas dan kesejahteraan umum.
Kerajaan-kerajaan Melayu tidak memiliki tapal batas yang jelas, kekuasaan pusatnya lemah dan mereka menyandarkan diri pada persekutuan pribadi. Organisasi di atas perkampungan yang terbentuk dalam komunitas pemukiman orang Dayak sangat sedikit. Sebaliknya, kongsi-kongsi besar secara nyata menguasai wilayah mereka dan memiliki kekuatan untuk melancarkan peperangan dan perdamaian dengan pemerintah Hindia, dengan sesama orang Tionghoa atau dengan para tetangga mereka orang Melayu maupun Dayak. Mereka seringkali membuat jaringan perbentengan dalam setiap wilayah mereka, menempatkan para petugas di tempat tersebut atau di kota-kota maupun pemukiman-pemukiman yang berada di bawah kekuasaan mereka, dan mereka memungut pajak, sewa, cukai dan pungutan terhadap kegiatan ekspor dan impor, bahkan terhadap kapal-kapal orang pribumi yang berlayar dengan bendera Belanda. Sedangkan pemerintah kolonial di Borneo Barat baru mulai mencoba menerapkan sebagian fungsi-fungsi negara pada akhir abad ke 19.
De Groot, sinolog berkebangsaan Belanda, yang tinggal dan bekerja di Borneo Barat mengeluarkan gagasan bahwa kongsi merupakan Republik Kampung (yang memiliki sebuah semangat demokrasi), sebuah kesimpulan yang ditarik berdasarkan pemahamannya terhadap organisasi perkampungan Tionghoa. Sudah pasti bahwa kongsi tersebut memiliki banyak kemiripan dengan kehidupan perkampungan Tionghoa, namun juga terdapat banyak perbedaan. Keikutsertaan demokrasi secara cermat diatur agar lebih menguntungkan bagi para pendatang baru yang lahir di Tiongkok, ketimbang penduduk yang sudah menetap lama atau petompang (bantangfan, merujuk pada orang berdarah campuran) yaitu orang yang berdarah campuran dan kelahiran setempat, jadi bertentang dengan kebiasaa di perkampungan. Hak suara diberikan kepada para penambang, sementara itu di pedesaan di Tiongkok lebih didominasi oleh kaum tani. Akhirnya, kepentingan komersial, pertambangan emas, mengesampingkan kepentingan lokal lainnya, di mana para penambang menang suara atas penduduk lainnya.
Bandingkan sesungguhnya kongsi adalah sebuah republik oligarki dalam pengertian yang sepenuh-epnuhnya. Namun dalam kesehariannya, orang kecil tidak terlibat apapun, kecuali saat pemilihan ketua kampung yang baru. Namun bahwa pendapat publik cenderung untuk tetap membatasi kewenangan para pemimpin, setidaknya sebelum zaman kolonial danmenyalahkan Belanda yang mengubah keseimbangan kekuasaan ini. Sangat menggoda untuk membandingkan gagasan de Groot mengenai republik kampung dengan gambaran ideal dari banyak penulis kolonial mengenai demokrasi kampung. De Groot sudah pasti lebih pas dalam penilaiannya mengenai hubungan kekuasaan kampung, dan meskipun istilah demokrasi kampung masih bertahan hingga abad ke 20 di kalangan politikus, kini sudah kehilangan nilainya di kalangan akademisi.
Sedikit sekali keterangan mengenai organisasi internal dari Samtiaokioe, namun situasi di Lanfang sangat berbeda dengan di Monterado. Di Lanfang, para pemimpinnya tetap memegang jabatan hingga bertahun-tahun, dan para penggantinya seringkali putra atau kerabat dekat mereka. Lebih jauh lagi, organisasi internal dari semua kongsi mengalami perubahan sejalan dengan semakin besarnya kongsi atau karena pengaruh dari Belanda, seperti kasus Lanfang setelah 1823.
Apapun ketetapan dasar mereka, keberadaan kongsi-kongsi yang merdeka dan kuat tersebut membuat penguasa kolonial Belanda berang. Sebagaimana dirasakan oleh Belanda, organisasi-organisasi Tionghoa tersebut telah merebut kekuasaan atas berbagai hal yang tidak boleh menjadi hak mereka, termasuk kepemilikan tanah, sementara kebijaksanaan kolonial menetapkan bahwa tanah adalah milik para sultan, bukan milik orang Tionghoa yang hanya diberikan hak untuk mempergunakannya jika mereka membayar pajak atau sewa tanah. Orang Tionghoa menghukum para penjahat secara kejam, bahkan dengan hukuman mati, di wilayah kekuasaan mereka. Mereka menghindari pajak dan berbagai monopoli yang ditetapkan oleh Belanda. Sejauhmana mereka bersifat demokratis, mereka hanya dapat tetap mempertahankan demokrasi tersebut dengan cara melawan kekuasaan dari luar.
KONGSI SEBAGAI ORGANISASI WILAYAH
Federasi dari kongsi bukan sekedar menguasai pertambangan saja. Namun juga kota-kota penting seperti Monterado atau Mandor. Biasanya, pasar terdiri dari sebuah jalan yang di kedua sisinya berdiri jajaran toko-toko, di Monterado, berbagai jalan lain bersimpangan dengan jalan utama tersebut. Pada ujung pasar berdirilah kantor pusat kongsi atau tjoengthang (zongting). Bangunan utama ini terbangun dari kayu besi dengan atap dari sirap kayu. Rumah-rumah lainnya biasanya beratapkan alang-alang yang murah. Di kompleks thang, para penambang bujangan tinggal di barak-barak sederhana, sedangkan ketua kongsi menempati gedung utam. Kompleks ini dipagari dengan tembok tanah yang ditanam dengan bambu di atasnya sebagai alat pertahanan.
Sedikit yang diketahui mengenai pemukiman awal dari para penambang emas. Palm, seorang agen VOC di Pontianak mengunjungi sebuah tambang emas di dekat Landak pada 1779, namun penambangan tadi mungkin dikerjakan oleh para penduduk asli. Laporan paling awal mengenai daerah Kapuas berasal dari Palm, yang memasok informasi bagi Radermacher (1780). Pada 1811, Burn menuturkan laporanmengenai teknologi pertambangan dan produksi emas, namun sedikit sekali menyinggung mengenai organisasinya.
Kongsi-kongsi besar terhubung dengan kota-kota satelit di sepanjang pesisir, termasuk pelabuhan Pemangkat dan Singkawang, tempat barang-barang dari Singapura dapat didatangkan dan kuli-kuli diangkut, dan pemukiman-pemukiman pertanian atau perkampungan nelayan. Monterado memiliki Singkawang, Samtiaokioe memiliki Pemangkat, kongsi Buduk dikemudian hari bersekutu dengan Thaikong menggunakan Sebangkau. Pada awalnya Mandor mempergunakan pelabuhan di Sungai Peniti dan pelabuhan lainnya seperti Kuala Mempawah, namun kemudian memindahkan usahanya ke Pontianak. Pemukiman-pemukiman pesisir menyediakan makanan dan jalur ke dunia luar yang penting untuk mempertahankan diri dan menghindarkan diri dari cengkeraman sultan.
Sejarah Lanfang mencatat bahwa Lo Fong Pak (Luo Fangbo) setelah berselisih dengan kalangan Teochiu di Pontianak, mengambil alih sebuah tambang di Sungai Peniti dekat Mandor, menjadikannya sebagai pangkalannya. Pabila analisis ini benar, adanya perselisihan yang mendorong perpindahan tempat tinggal ke Mandor boleh jadi karena pertarungan antara Monterado dengan Lanfang pertama yang berlangsung sekitar 1774, bukan pertarungan dengan Pontianak.
Pada saat jumlah para penambang di tambang-tambang emas meningkat, perlu untuk menampung dan melayani mereka, bukan hanya kebutuhan terhadap hasil pertanian saja, namun juga dengan kebutuhan kegiatan perkotaan. Sebagai akibatnya, kota-kota yang berhubungan dengan kongsi membesar dengan pemukiman para tukang, toko-toko dan usaha jasa. Van Prehn Wiese, seorang pengunjung yang datang ke kota Monterado pada 1851 mencatat perusahaan-perusahaan yang melayani tambang dan para pekerja tambang: 4 pandai besi, 5 pandai emas, 2 pandai timah, 8 tukang roti, 10 penjagal babi, 50 penjual ikan, 4 tukang kayu, 80 tukang cukur dan tukang jahit dengan jumlah yang sama, 3 pembuat lentera dan 4 orang guru. Perawatn kesehatan berada di tangan 30 orang tabib dan 15 orang ahli obat, dan untuk memenuhi kebutuhan rekreaksi terdapat 28 kios candu, 10 rumah judi dan 2 restoran. Dia tidak menyinggung mengenai rumah bordil. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain tekstil, tembikar, buah-buahan, dan ikan ain yang dibawa setiap hari dari Singkawang. Wiese juga mengunjungi Mandor pada 1851 di mana dia juga mendapati beberapa aktivitas serupa, namun dalam jumlah yang lebih kecil. Dalam 110 buah rumah terdapat antara lain dua penyulingan arak, tiga rumah candu (opium), lima pandai besi, tiga pandai emas, dan dua orang guru sekolah. Hanya rumah judi (duapuluh tiga) yang jumlahnya lebih banyak dari yang terdapat di Monterado.
Kota-kota kongsi yang terletak di pesisir pantai memiliki peranan yang sangat penting, yang memungkinkan mereka melakukan ekspor-impor barang yang bebas dari pengawasan orang Melayu maupun Belanda. Seperti Pontianak yang merupakan kota terbesar yang dikuasai Melayu, Singkawang menjadi kota terbesar yang dikuasai oleh kongsi, sebagaimana sebuah penuturan George Windsor Earl membenarkannya: … Singkawang merupakan sebuah kampung besar, yang terdiri dari sebuah jalan panjang dengan rumah-rumah kayu pendek yang berfungsi sebagai toko untuk menjual beras, daging, dan kebutuhan sehari-hari lainnya atau untuk menghisap candu. Sebuah gedung kongsi (balai, kelenteng) berdiri di satu sisi jalan. Berlainan dengan para penambang, orang-orang Tionghoa yang tinggal di sini sebagian besar menikah, baik dengan perempuan Dayak atau peranakan dari perkawinan antara orang Tionghoa dan Dayak. Di sekeliling kota terdapat sawah yang bagus dan kaum laki-laki menghabiskan waktunya untuk bercocok tanam, sedangkan toko-toko pada saat mereka tidak ada, kebanyakan ditunggui oleh kaum perempuan …
Singkawang terletak sekitar 30 kilometer dari kantor pusat pertambangan Monterado dan di bawah naungannya hingga masa Perang Kongsi 1850-1854. para petani Tionghoa di lingkungan sekitarnya memperkenalkan berbagai tanaman dari daratan Tiongkok, dan berbagai laporan menyebutkannya sebagai satu wilayah pertanian yang subur. Jalan setapak ke arah Singkawang melalui daerah pantai menyuguhkan bagi para pengunjung satu pemandangan akan satu lembah yang luas dipenuhi dengan tanaman dan serangkaian kebun yang selain menghasilkan berbagai sayur mayur untuk kebutuhan dapur, juga menghasilkan tebu, jagung, pisang dan berbagai jenis buah-buahan lain. Ini menunjukkan, daerah sekitar Singkawang lebih baik untuk bercocok tanam dibandingkan daerah pesisir lainnya yang umumnya berawa-rawa.
Kota pelabuhan Tionghoa yang aktif lainnya adalah Pemangkat. Beberapa dekade seelah perang Belanda dengan Monterado pada 1850-1854 yang mendorong para penduduknya mengungsi meninggalkan kota, seorang pengunjung melaporkan bahwa kegiatan kota tersebut yang berfungsi sebagai pemukiman dagang orang Tionghoa dan sebagai pelabuhan bagi wilayah Sambas telah pulih kembali. Gunung yang mendominasi kota telah kembali dipenuhi dengan tanaman padi dan tanaman lainnya. Lembah terlihat subur dan para penduduknya sedang menjalankan pekerjaannya. Bengkayang merupakan sebuah kota pedalaman di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan barangkali baru didirikan pada abad ke 19. selain berfungsi sebagai pusat pertambangan emas, sebagai penerus dari kota kongsi Lara, Bengkayang mengendalikan ketersediaan jalur jalan dari berbagai komunitas tambang utama seperti Monterado dan Mandor ke Sarawak. Di abad ke 20 kota ini akan memegang peranan sebagai pusat perdagangan karet.
Pada 1811, berdasarkan catatn Burn, Pontianak sudah menjadi kota perdagangan di pantai barat dan satu pusat penyedia jasa bagi kongsi Lanfang, memiliki: … sepuluh ribu orang Tionghoa, namun sedikit sekali yang memiliki kekayaan di atas 20.000 dolar (perak) karena mereka sering mengirim uang ke daratan Tiongkok, kaum Tionghoa terdiri dari kaum pedagang, mekanik, dan buruh, mereka menggali tanah untuk mencari serbuk emas, menyuling arak, membuat gula, dan berdagng hingga pedalaman dan ke suku-suku berbeda ras di daerah utara dan selatan. Dan secara khusus ke suatu tempat yang bernama Monterado dan Slackaw (Selakau) yang pada kenyataannya hampir menjadi satu dan yang sama-sama berada di sebalh utara Mempawah di mana tinggal sekitar 30.000 orang Tionghoa, dan yang dipasok dari Pontianak dengan candu, barang kelontong, besi dan keramik. Jika tanpa orang Tionghoa, Pontianak akan kecil sekali nilainya … tulis Burn. Angka belakangan memperlihatkan bahwa orang Tionghoa berjumlah jauh lebih sedikit, hanya sekitar sepertiga dari jumlah penduduk kota. Barangkali si penulis memasukkan juga orang Tionghoa yang tinggal di Mandor dan sekitar Pontianak dalam angka sepuluh ribu.
Pejabat Belanda yang datang beberapa tahun kemudian membenarkan penilaian Burn atas kegiatan orang Tionghoa di kota tersebut: … orang Tionghoa melakukan aktivitas pertukangan dan perdagangan di Pontianak dan akibatnya para tukang besi, tukang kayu, penyamak, tukang kebun dan lain-lain, di tempat ini adalah orang Tionghoa. Dan kita dapat menemukan banyak pedagang di antara mereka. Tanpa maksud melebih-lebihkan, kita dapat menyatakan bahwa kerajaan Pontianak tidak menghasilkan apa-apa selain serbuk emas yang ditambang oleh orang Tionghoa …
Pasar Tionghoa membentuk pusat perniagaan yang juga berfungsi sebagai pemukiman di kota yang terletak di tepian sebelah kiri Sungai Kapuas. Di seberang Sungai Landak jika bergerak dari arah Pontianak, ada juga pemukiman Tionghoa yang bernama Kampung Baru (pemukiman ini bernaung di bawah kongsi Lanfang di Mandor). Saat ini Kampung Baru bernama Siantan dan merupakan pusat industri Kota Pontianak. Rumah-rumah wilayah pemukiman Tionghoa perkotaan terpisah dari pemukiman orang Melayu dan kampung-kampung orang Arab dan Bugis yang berdekatan dengan istana sultan yang terletak di pulau antara Sungai Kapuas dan landak. Pola pemisahan wilayah pemukiman ini juga terjadi dalam skala kecil di kota-kota lain.
Sejak 1811 Pontianak telah menjadi pintu gerbang bagi kaum pendatang dari Tiongkok yang datang ke kota maupun bagi Kongsi Lanfang. Bangaimanapun, laporan Burn memperlihatkan bahwa jumlah pendatang yang berlayar dari Tiongkok ke Borneo mengalami penurunan, pada lima tahun awal periode 1800-an lebih dari 15 jung datang setiap tahunnya membawa orang yang hendak bekerja di pertambangan. Namun pada 1811 Pontianak hanya berharap didatangi oleh dua atau tiga kapal semacam itu pertahunnya. Dikarenakan angin musim, kapal dari Tiongkok hanya dapat berlayar pada satu musim setiap tahunnya dan di Borneo Barat mereka hanya datang ke Pontioanak. Sambas dan Mempawah telah kehilangan fungsinya sebagai pelabuhan kedatangan bagi para calon pekerja tambang. Semakin sedikit kedatangan berarti berkurangnya pemasukan bagi kedua enguasa Melayu tersebut, dikarenakan orang Tionghoa yang kembali ke Tiongkok harus membayar pajak keluar sebesar 15 dolar, sementara mereka yang masuk bersama jung yang selalu dipenuhi oleh para pemukim baru membayar pajak imigrasi satu dolar perorang.
Apakah yang menyebabkan penurunan ini: apakah produksi emas menurun? Apakah karena bahaya perompakan atau persaingan antara Inggris-Belanda yang menghambat perdagangan, memaksa jung-jung untuk berlabuh hanya dipelabuhan yang relatif aman hanya di Pontianak? Ternyata tidak ada salah satu faktor tersebut yang menjadi faktor utamanya. Namun demikian, penurunan tingkat imigrasi mencerminkan terjadinya ancaman dalam perekonomian. Beberapa tambang menurut catatan pada 1811, mengalami kesulitan keuangan, suatu pertanda akan datangnya masalah lain di kemudian hari.
Seberapapun orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi kota, namun sebagaimana digambarkan oleh Burn, mereka bukanlah pekerja sekeras, tidaklah sehemat atau sekaya pedagang Bugis yang jumlahnya sekitar seribu orang yang tinggal di Pontianak bersama sekitar 3000 orang Melayu dan seratus orang Arab. Pada umumnya para buruh Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membelai makanan enak, berjudi dan mengisap candu, hanya sedikit buruh menabung kelebihannya untuk kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirimkan ke keluarganya di sana.
Hampir semua pendatang Tionghoa adalah calon buruh dikarenakan hutang untuk biaya perjalanan mereka. Beberapa orang membeli tanah setempat, sebagian orang kembali ek Tiongkok, namun kebanyakan menetap. Jika beruntung, mereka akan mendapatkan seorang istri dan menetap, jika tidak beruntung, mereka akan kehilangan pendapatan mereka di meja perjudian dan candu …
KONGSI TIKO JENGUT
Sebuah naskah berbahasa Tionghoa yang berasal dari abad ke 19 terkait erat dengan sejarah pembentukan Kongsi Lanfang di Mandor. Pendirinya, Lo Fong Pak (Mandarin: Luo Fangbo) yang sebelumnya bergabung dengan Lanfanghui, kongsi pertanian yang pernah bentrok dengan Monterado, datang bersama para pengikutnyanya di Borneo pada 1771 dari Meixian, yang ketika itu dikenal dengan nama Jiayingzhou, di Guangdong. Jurnal kongsi menyebutkan 100 keluarga, tetapi barangkali para imigran tersebut adalah laki-laki bujang. Pada 1772, setahun sesudah pembentukan Fosjoen, Lo Fong Pak mendirikan sebuah kongsi pertambangan yang baru di Mandor, di wilayah Panembahan Mempawah, tidak jauh dari Sungai Kapuas. Penggunaan nama Lanfang oleh Lo adalah untuk mengasosiasikan dirinya dan kelompoknya dengan usaha pertanian Lanfang yang terkalahkan dekat Monterado. Sejarah Lanfang yang diterjemahkan de Groot memberikan kesan bahwa Lo Fong Pak datang langsung dari Tiongkok ke Pontianak, namun Schaank meragukan versi ini. Menurut dia Lo tiba 1772 dan mendirikan kongsi lima tahun kemudian.
Lanfang didirikan pada masa yang tidak lama setelah kelahiran Kota Pontianak 1771. menurut sumber-sumber kearsipan, pertumbuhan awal dari kongsi ini terkait dangat erat dengan kegiatan kesultanan yang baru, dan Abdurrahman pendiri Pontianak segera menyatakan kekuasaannya atas wilayah kongsi yang pada awalnya sebenarnya merupakan bagian dari kekuasaan Mempawah. Pada 1787, keseluruhan wilayah Mandor seutuhnya jatuh di bawah kekuasaan Pontianak. Sepanjang masa tersebut, seorang perwakilan Belanda sudah ditempatkan di Pontianak. Sengketa mencakup perselisihan antara Sambas dan Mempawah, dan intervensi Pontianak, dikarenakan Mempawah tidak sanggup melunasi sejumlah utang kepadanya, Sultan Abdurrahman dapat mengangkat putranya ke atas singgasana Mempawah, namun kemudian garis kekuasaan Mempawah dipulihkan lagi oleh Belanda.
Kini Lanfang menjalin hubungan ekonomi dengan kota Pontianak. Para pekerja Tionghoa yang datang ke pertambangan masuk melalui pelabuhan Pontianak, selain Mempawah, dan sultan mengambil keuntungan atas kedatangan dan kepergian mereka. Kampung Baru, di seberang sungai dari istana sultan, berkembang sebagai pemukiman yang berada di bawah kongsi. Bagaimanapun, Lanfang yang bertahan sebagai kongsi hingga 1884, tidak pernah sekuat Thaikong.
Versi lain dari pendirian Lanfang berasal dari sumber berbahasa Melayu yang menyebutkan bahwa dalam 1788 sebuah perkumpulan dari kongsi-kongsi kecil lahir di daerah Mandor dan Tiko Jengut, nama alias dari sang pendiri Lo Fong Pak yang menyatukan organisasi-organisasi tersebut membentuk Kongsi Lanfang yang dia pimpin secara berturut-turut hingga 1795. tiko berasal dari kata dage, saudara tua, dalam hal ini boss dari suatu kongsi atau perkumpulan rahasia, dan jengut adalah bahasa Melayu dari janggut. Lukisan Lo Fong Pak terdapat di kelenteng Sungai Purun, tentu saja menggambarkan seorang laki-laki dengan janggut lebat. Ketua Lo mengusir kongsi-kongsi yang lebih lemah ke Karangan, sehingga hanya ada Lanfang di Mandor. Dari tempat ini Kongsi Lanfang memperluas wilayahnya hingga ke Landak pada abad ke 19.
Kerajaan Landak yang awalnya terkenal sebagai penghasil intan di Sungai Landak yang mengalir ke Sungai Kapuas di Pontianak mempunyai seorang panembahan Melayu. Dia menyatakan kekuasaan terhadap lima ribu hingga enam ribu orang Dayak, sang penguasa tidak mau melakukan perhitungan di atas angka itu, dua ratus orang Melayu, lima puluh orang Bugis, dan tiga ratus orang pribumi Bantam (yaitu Banten) yang bermigrasi ke Landak ketika Banten menguasai Landak pada abad ke 18. terdapat sekitar seratus orang Tionghoa yang bekerja di sana, dan produksi emasnya mencapai hasil senilai duabelas ribu dollar pertahunnya. Burn berpikir bahwa di tempat ini mengandung potensi cadangan sediaan emas yang terbesar di seluruh Borneo, namun pertambangannya kurang produktif dibandingkan dengan yang berada di wilayah lainnya, dikarenakan penguasa mengatur pembatasan produksi. Ini menurut Burn laporan Burn barangkali merupakan sumber yang paling lengkap mengenai perdagangan dan juga paling awal, kecuali dengan laporan dari Palm.
Para penambang Tionghoa, barangkali dari Lanfang, berulang kali berupaya untuk memasuki wilayah ini dengan paksa, namun penguasa Landak berhasil menghalau mereka. Dia menyadari nasib Monterado dan Selakau yang semula berada di bawah kedaulatan Sultan Sambas, namun kemudian jatuh ke tangan orang Tionghoa. Dikarenakan sejak semula produksi intan lebih penting daripada emas, dan orang Tionghoa bukanlah penambang intan yang baik, maka panembahan dapat mengelolanya sendiri tanpa mereka. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan karakter Sultan Pontianak yang suka mencampuri urusan tetangganya, terkecuali tentu saja bila sang utusan adalah orang Tionghoa. Penuturan lainnya menyebutkan bahwa orang Tionghoa dikenai pungutan sebesar $1.000 pertahun. Pertikaian antara orang Melayu yang menguasai Landak dengan orang-orang Tionghoa yang hendak menambang emas di sana kembali terslut pada 1840-an.
Pengharapan yang salah dari pihak Belanda merupakan salah satu sumber pertikaian, namun terdapat persoalan-persoalan lain pada batas-batas wilayah orang Borneo. Sejak dekade awal abad ke 19, pertambangan seringkali mengalami masalah dan persmusuhan seringkali terjadi. Di antara 21 konflik paling besar yang terjadi di Borneo Barat antara 1770 sampai 1854, hanya 6 peristiwa yang merupakan perang terbuka antara para penambang Tionghoa melawan pemerintah kolonial, dari 15 peristiwa lainnya, 6 peristiwa adalah pertikaian di antara kongsi-kongsi itu sendiri, sedangkan sisanya adalah antara kongsi dengan penduduk setempat. Di sisi lain, sebuah sumber pada masa itu menekankan bahwa orang Tionghoa di Monterado telah menentang pemerintah klolonial dalam delapan kejadian sebelum 1850. memang, banyak pertikaian lainnya yang tidak tercatat.
Barangkali, terkurasnya kandungan emas di wilayah mereka merupakan penyebab utama dari pertikaian antar kongsi. Atmosfir kekerasan yang merebak karena ketiadaan pemerintahan yang kuat tidak berbeda halnya seperti keadaan di berbagai tempat di sebelah tenggara daratan Tiongkok, saat kelahiran antar marga dan antar kampung (Mandarin: xiedou) sudah menjadi hal biasa pada abad ke 19. selain itu, meskipun bberapa konflik juga disebabkan perbedaan daerah asal dari para penambang tersebut di Tiongkok dan persaingan yang terbangun oleh perbedaan etnis atau perbedaan wilayah geografi, ternyata lawan yang paling keras bersaing, para penambang dari Samtiakioe dan dari Thaikong, keduanya sama-sama berasal dari wilayah yang disebut panshanhok. Orang Thaikong yang menyerang Samtiaokioe pada 1850 ternyata berasal dari suku yang sama dengan orang yang diserang. Terlihat bahwa permasalahan mendasarnya adalah persaingan untuk mendapatkan sumber daya, lokasi emas dan persediaan air yang semakin sedikit dan langka. Seperti dicatat secara pesimis oleh Komisioner Tobias di awal 1822, Thaikong sebagai tulang punggung Fasjoen hanya tinggal memiliki empat tambang besar saja.
Semakin sedikit jung bermuatan pendatang sebagai pekerja tambang yang datang ke Borneo menyebabkan penurunan jumlah penduduk dan emas yang dihasilkan tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para penambang yang masih ada, khususnya di Mandor dan sebagian wilayah Monterado. Monterado terlihat sudah kehilangan para penambangnya dan menghasilkan terlalu sedikit emas untuk mencukupi pembayaran sisa penambangnya. Pada 1831, Mandor sudah mendapat sedikit keuntungan. Namun, tambang di Lara dan Lumar memiliki emas berkualitas tinggi dan menghasilkan keuntungan yang layak, seperti juga penambangan di Sepang, Seminis dan Buduk, kedua tambang dari yang pertama disebut milik Samtiaokioe. Mereka diperkirakan menghailkan f2.500.000 pertahun, dalam satu perhitungan. Satu-satunya alternatif bagi kongsi adalah memperluas wilayah mereka, namun alternatif ini mengakibatkan ketegangan dengan kongsi-kongsi lainnya atau dengan orang Dayak dan Melayu yang mengerjakan lokas-lokasi tambang yang lebih jauh di pedalaman.
Kongsi Lanfang yang berkantor pusat di Mandor, juga menghadapi penurunan produksi emas pada 1830-an, apalagi para penambang lain sudah memasuki wilayah mereka untuk mencari emas. Pada 1842, saat bersamaan dengan perselisihan antara Thaikong dan Lara, orang Kongsi Lanfang beruaya untuk masuk ke Landak, terutama ke daerah Perigi, tapi Panembahan Landak mengorganisasikan perlawanan orang Melayu dan Dayak. Karena lokasi pertambangan Landak begitu menjanjikan, maka para penambang dari Lanfang maupun tempat-tempat lain selalu mencoba untuk menyusup ke wilayah tersebut. Pertempuran mulai terjadi lagi pada 1846, namun Sultan Pontianak dapat memperundingkan pemecahannya.
Pemerintah kolonial menganggap keberadaan pemukim orang Tionghoa di Landak sangat merusak bagi kesjahteraan suku Dayak dan mendukung panembahan utnuk menghalangi pemukiman Tionghoa di wilayahnyarancangan tak bertanda tangan, kelihatannya sebuah pembenaran kebijakannya oleh bekas Residen Willer. Willer dibuat berang oleh perlakuan orang Tionghoa terhadap orang Dayak. Kekacauan selalu menjadi alasan untuk campur tangan. Hubungan Belanda dengan Landak sering berada dalam ketegangan, namun penguasa biasanya mendukung upayanya untuk menghindari pemukiman orang Tionghoa atau untuk membatasinya ke ibukota Ngabang. Baru pada 1851 kepala Kongsi Lanfang dapat mendapatkan ijin penguasa Landak bagi orang Tionghoa untuk membuka beberapa pertambangan dan untuk menetap di ibukota Landak, Ngabang. Pemerintah Belanda sekarang mulai melakukan penggarapan wilayah secara sistematis dan memutuskan untuk berhubungan lebih tegas dengan kongsi-kongsi orang Tionghoa maupun dengan para penduduk pribumi yang belum tunduk.
Setelah bertahun-tahun mempraktekkan kebijakan penanaman uang dan pasukan yang sekecil mungkin saja di Borneo Barat, pada 1849, Gubernur Jenderal JJ Rochussen (1846-1851) menerapkan satu kebijakan untuk lebih jauh ikut campur. Pada tahun berikut, ia membagi Borneo menjadi dua keresidenan, Borneo Barat dan Borneo Bagian Selatan dan Timur, suatu pembagian wilayah administrasi yang bertahan hingga menjelang berakhirnya masa kolonial. Pada Februari 1850, residen baru, TJ Willer tiba di Borneo Barat. Willer sebnelumnya bertugas di antar orang Batak Mandailing di Sumatera. Pada 1850, Pembantu Residen RC van Prehn ditugaskan di Sambas. Namun, pemerintah kolonial Belanda ibarat singa ompong, pada pertengahan abad ke 19, keseluruhan pasukan yang ditempatkan di Sambas dan Pontianak tidak lebih dari 200 tentara, kebanyakan tidak siap tempur. Pasukan cadangan tidak tersedia, dan Belanda tidak yakin apakah para penguasa setempat yang menyatakan diri sebagai sekutu mereka, akan memberikan dukungan dalam peperangan melawan kongsi-kongsi.
LANFANG RIWAYAT SELINGKUH POLITIK
Satu kongsi besar, bukan yang terbesar dan tentu saja bukan yang paling demokratis bertahan hidup. Orang Tionghoa Mandor dari kongsi Lanfang telah membuat perdamaian dengan Belanda pada 1823, hubungan tersebut tetap bertahan meskipun Mandor tidaklah benar-benar bersikap netral pada masa Belanda berperang untuk mengalahkan Thaikong. Pada masa ketika kongsi didirikan pada 1777, jalur transportasi ke Mandor mengikuti Sungai Peniti melalui wilayah Mempawah, sebuah jalan setapak menghubungkan sungai itu dengan Mandor. Ketika Pontianak berkembang semakin penting, Laanfang menjadi semakin tergantung pada pelabuhan tersebut, dengan mempergunakan Sungai Terap dan Landak dan Sungai Kapuas dalam kebanyakan kegiatan perhubungannya. Para kuli baru mendarat di Pontianak atau menaiki jung-jung Tionghoa yang berlabuh di sana untuk berangkat kembali ke Tiongkok. Kongsi ini juga segera menjalin hubungan dengan kesultanan yang baru berdiri tersebut. Baru pada 1787 pusat wilayah Mandor diakui oleh Belanda sebagai bagian dari Pontianak, bukan Mempawah, namun demikian hal ini tidak menjadi halangan bagi hubungan-hubungan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa orang Tionghoa dari Kongsi Lanfang masih berdiam di wilayah Mempawah.
Ketika Mandor menjadi lebih terintegrasi dengan Pontianak, namun kurang berhubungan dengan Mempawah, Mandor juga menjalin hubungan dengan pemukiman-pemukiman pesisir yang berada di bawah naungan kongsi. Kebijakan kongsi tersebut yang saling memahami dengan Belanda atau nampak berbuat demikian, secara signifikan memungkinkan kongsi Lanfang tetap bertahan selama tiga dekade setelah kekuasaan kolonial menyapu bersih semua organisasi lain yang sejenisnya, atau kongsi-kongsi itu telah mati karena sebab-sebab lainnya.
Setelah mengalami beberapa perselisihan awal, kongsi Lanfang dan pemerintah kolonial menjalin suatu hubungan khusus (baca: perselingkuhan!). kepala kongsi disebut sebagai kapthai, menggantikan pangkat yang biasa dipergunakan bagi kepala kongsi yaitu tiko atau thaiko (Mandarin: dage, saudara tua atau boss). Pemerintah kolonial menyatakan memiliki hak untuk mengesahkan pilihan kongsi terhadap jabatan ini, sebuah sistem yang gagal mereka terapkan pada Thaikong tiga puluh tahun kemudian. Pada 1824, residen Pontianak bahkan menyetujui pemberian pinjaman sebesar f20.000 bagi Lanfang untuk memperluas pertambangannya.
Secara administratif, Kampung Baru, terletak di seberang Sungai Kapuas dari Pontianak, seperti juga kota-kota kongsi lainnya, merupakan bagian dari kongsi Mandor. Orang Hakka yang tinggal di sana, merayakan hari raya peringatan kongsi, terutama peringatan terhadap sang pendiri Lo Fong Pak. Kongsi Lanfang juga memiliki pangkalan di Kota Pontianak, di pasar di mana didirikan sebuah aula, Lanfang Futhang (Mandarin: futing, aula tambahan), mungkin pada awal 1820. pada 1851, dikarenakan pergolakan dengan Thaikong dan karena kecurigaan pemerintah kolonial terhadap segala sesuatu yang terlihat seperti suatu perkumpulan rahasia, semua perayaan publik tersebut dilarang. Pada 1856 toapekong dipindahkan dari gedung itu. Pada 1859 perayaan-perayaan kembali diselenggarakan di aula ini, yang diperbarui berkat inisiatif dari Kapthai Lioe A Sin dan kawan sekolah serta ipar laki-lakinya, Then Sioe Lin, kapitan orang Hakka di Pontianak daro 1853 sampai 1877. Pada masa itu, terdapat kapitan untuk kelompok-kelompok bahasa utama di Pontianak. Beberapa sumber menyebut Then Sioe Lin sebagai ayah mertua dari Lioe, namun kebanyakan menyatakan sebagai kakak ipar.
Setelah pembubaran bebrbagai kongsi lainnya 1854, hari-hari terakhir Lanfang sudah dapat dihitung, meskipun pemerintah masih menganggap Kapthai Lioe sebagai seorang sekutu terpercaya. Lioe adalah, salah satunya, seorang pengelola pacht candu baik untuk kongsinya maupun untuk sebagian wilayah Borneo Barat, bersama dengan Kapitan Then Sioe Lin, dan keduanya pada 1853 juga ikut serta sebagai salah satu pachter candu di bekas wilayah kongsi di Monterado.
Pada 1857, pemerintah kolonial mulai membatasi kemerdekaan kongsi, meskipun mereka tidak lagi berupaya menghabisinya seperti yang mereka lakukan terhadap Thaikong. Mereka menarik kembali pacht candu milik Lanfang, memberlakukan kembali pajak kepala atas semua laki-laki dewasa, memastikan bahwa semua anggota kongsi wajib membayar pajak tertentu kepada para penguasa Melayu dan sekali lagi melarang kongsi memperkuat pengaruhnya atas orang Dayak. Beberapa bulan kemudian, anggota kongsi yang kecewa mengobarkan sebuah pemberontakan melawan Kapthai Lioe. Orang yang kecewa ini membentuk sebuah perkumpulan rahasia, bersekongkol untuk menyingkirkannya, namun Lioe tetap berkuasa, memindahkan hampir semua pemberontak yang tertangkap ke tangan pemerintah kolonial. Lioe mengirim tiga puluh tiga orang yang diduga sebagai konspirator ke tangan Belanda dan menyatakan bahwa dua orang lainnya telah dibunuh. Tidak jelas, apakah para konspirator tadi melakukan protes menentang kerja sama yang dilakukan Lioe dengan Belanda atau menentangnya sebagai pemimpin. Penduduk Lanfang nyatanya memang membayar pajak lebih kecil jika mereka pindah ke wilayah Belanda, sebagaimana banyak dilakukan orang. Hal ini meyakinkan Belanda bahwa Lioe tidak boleh dilepaskan.
Pada 1874, orang Tionghoa Lanfang yang bertempat tinggal di wilayah Mempawah membentuk sebuah perkumpulan untuk melawan pembayaran pajak kepada penguasa setempat, namun persoalan ini berakhir ketika Kapthai Lioe turun tangan. Dua tahun kemudian, Lioe mengundurkan diri demi puteranya, Lioe Liong Kwon memegang jabatan, namun pada 1880 putranya tersebut meninggal dunia dan sang ayah kembali memangku jabatan kepemimpinan atas kongsi yang sekarang ini secara keuangan sudah bangkrut. Lokasi-lokasi penambangan emas sudah terkuras persediaan emasnya, banyak orang Tionghoa yang telah beralih menjadi petani atau pedagang atau berpindah tempat tinggal. Lioe dalam kondisi kesehatan yang kurang bagus, menjaga kongsi tetap berlayar dengan sebagian memakai uang dari sakunya sendiri. Pada 1873, sang kapthai sudah terjerat hutang kepada seorang Melayu pemberi pinjaman uang, sehingga dia kehilangan kekuasaan atas pacht candu di Borneo Barat dan harus bergabung dalam kemitraan dengan pemberi hutangnya itu. Tiga tahun kemudian, pemerintah menawarkan Lioe sejumlah pinjaman tanpa bunga sebesar f100.000 untuk membangkitkan Lanfang. Penuturan dalam de Waal, pada Koloniaal Verslag (1876), menyebutkan bahwa pinjaman tersebut ditolak (onze Indische financien).
Turunnya jumlah penduduk mencerminkan kondisi material yang ada. Mandor memiliki lebih dari 4000 penghuni pada akhir 1860-an. Pada 1871, hanya dua puluh tujuh penambang yang bekerja bagi kongsi, dari sekitar dua ribu orang laki-laki dewasa, sementara hampir enam ratus orang sebagai petani. Dua belas tahun kemudian, pada 1883, Lioe menghitung 2.725 laki-laki dewasa tersebar di seluruh wilayah kongsi, sekitar 1.200 dari jumlah tersebut membayar pajak kepala. Pemukiman kongsi pesisir di Sungai Pinyuh sudah menjadi lebih padat penduduknya dibandingkan dengan kota Mandor. Anehnya, sebuah sumber berbahasa Belanda, mengabaikan kondisi keuangan kongsi, menyatakan bahwa Mandor selalu dikenal sebagai satu-satunya daerah yang tertata secara baik di seluruh keresidenan, membandingkannya dengan daerah-daerah kerajaan Melayu. Kongsi mungkin saja memiliki administrasi yang lebih baik dari kerajaan-kerajaan pribumi, namun demikian kongsi hampir menjelang ajalnya.
Pada 1880, Lioe secara resmi menyetujui pembubaran kongsi jika dia menemui ajalnya, sebuah jalan keluar yang diharapkan para pejabat kolonial sejak penghapusan Thaikong. Sebuah Peraturan pemerintah (besluit) 3 Agustus 1889 Nomor 14 memastikan pengaturan ini. Wilayah di mana orang Lanfang bertempat tinggal, bertani dan bertambang akan dikembalikan kepada penguasa pribumi di Mempawah, Pontianak dan Landak. Para penduduk Tionghoa, seperti orang Tionghoa lainnya di propinsi ini, akan diperintah secara langsung Belanda atau oleh pejabat yang ditunjuk Belanda.
Para pejabat Belanda, Tionghoa dan Melayu bahkan para tamu dari Jawa hadir dalam pesta ulang tahun Kapthai Lioe yang ke tujuh puluh satu pada Desember 1883. kurang dari satu tahun kemudian, pada 22 September 1884, dia wafat di kediamannya di aula Lo Fong Pak di Pontianak. Lioe lahir 1812 di Jiayongzhou . meski terdapat fakta bahwa dia memiliki riwayat kesehatan yang buruk, namun kematiannya merupakan hal yang tak terduga. Di Mandor timbul gosip bahwa dia diracun atau meracuni dirinya sendiri karena putus asa mengenai keadaan kongsi, namun kematiannya terlihat dikarenakan faktor alamiah.
Residen Cornelis Kater, seorang dengan pengalaman lebih dari tiga dekade di Borneo, mengantar jenasahnya ke Mandor untuk memberikannya pemakaman dengan upacara kehormatan pada 1 Oktober, menunjukkan penghormatannya bagi Lioe, meskipun peti mati Lioe tidak disemayamkan di kantor pusat kongsi sebagaimana layaknya seorang ketua dalam pandangan kaum Tionghoa. Dengan menolak permohonan dari janda kapthai dan para pemuka orang Tionghoa di kota tersebut agar putra Lioe, En Kwon, yang pada waktu itu masih di bawah umur, diangkat menjadi kapthai yang baru, Kater bersikukuh bahwa kongsi sudah tidak ada lagi berdasarkan perjanjian 1880. semua benda yang berhubungan dengan Lanfang termasuk papan roh dari sang pendiri Lo Fong Pak harus disingkirkan dari kantor pusat atau thang.
Kater mengangkat seorang controleur dengan sejumlah polisi pribumi di kantor pusat kongsi, kelompok ini menjadi pemerintahan kolonial di Mandor. Pemerintah juga mengangkat sejumlah opsir Tionghoa untuk mengawasi bekas wilayah Lanfang, banyak dari mereka adalah bekas pegawai kongsi. Papan Lo Fong Pak dan arca sang pelindung kongsi Guan Di disemayamkan, setelah melalui upacara basa-basi, di perumahan sementara pada 6 Oktober, simbol-simbol kongsi lainnya disita. Dua hari kemudian, Residen Kater dengan meninggalkan sejumlah uang untuk membangun kelenteng yang baru sebagai tempat kediaman arca-arca keagamaan, kembali ke Pontianak. Sementara itu, para penduduk kota memberi penghormatan bagi para dewa di rumah sementaranya tersebut
Kater mungkin telah berpikir bahwa dia telah dapat mengatasi situasi tersebut secara cepat dan murah hati, namun hal ini dikarenakan dia tidak sepenuhnya memahami peranan signifikan dari ritual keagamaan dalam urusan kongsi. Dia mengabaikan kualitas gaib dari balai tersebut, dia menganggapnya semata-mata hanya sebagai tempat kediaman mendiang kapthai dan gedung administrasi belaka. Menempatkan seorang controleur ke dalam gedung tersebut dan memindahkan para dewa dipandang oleh para penduduk Lanfang sebagai tindakan penodaan agama, namun Kater yakin bahwa dia telah memaklumatkan supremasi politik Negara Belanda melalui tindakan tersebut. Walalupun sudah mempunyai pengalaman yang lama di pesisir barat, Kater bergabung dengan jajaran para pejabat kolonial yang tidak memahami adat istiadat orang Tionghoa, sehingga menyebabkan bencana. Tidak mengejutkan, sebuah pemberontakan segera saja terjadi.
PEMBERONTAKAN “PERANG KONGSI”
Tanpa peringatan terlebih dahulu, di pagi hari 23 Oktober, segerombolan orang Tionghoa yang menyatakan diri mereka sebagai perwakilan dari kongsi yang tidak lagi berfungsi muncul di pasar Mandor, menyusup ke dalam bekas kantor pusat kongsi tersebut dan membunuh sang controleur dan tiga polisi. Mereka memasang kembali arca dari Guan Di dan papan Lo Fong Pak. Pemberontakan kemudian menyebar, dan kabar beritanya segera sampai ke Pontianak. Pada 3 Nopember 1884, sekitar 150-200 orang penyerang Tionghoa dipikul mundur dari bengkayang. Bengkayang merupakan lokasi strategis dalam jalur menuju Sarawak.
Beberapa orang Tionghoa dari kota-kota pesisir dengan diam-diam mengirimkan keluarga mereka ke Sarawak dan Singapura dan para penduduk Monterado mengungsi, Pontianak hampir dilanda kepanikan. Isu yang beredar bahwa perkumpulan rahasia yang menyeramkan Sam Tiam Fui (Mandarin: Sandianhui, yang berkait dengan Perkumpulan Langit dan Bumi, Tiandihui) berada di balik pemberontakan ini. Kater khawatir bahwa seluruh wilayah Distrik Tionghoa, yang merupakan sebutan bagi daerah yang dulunya wilayah Monterado, akan bangkit melawan orang Eropa.
Para pemberontak dipimpin Liong Lioe Njioe (atau Ngie), mungkin nama tersebut berarti Lioe si Naga Kedua, mengacu pada sang pemimpin pemberontak Thaikong Liao Njie Liong, yang kata orang sudah kembali dari Sarawak. Tentu saja, seorang tua dengan janggut putih tampak terlihat di Mandor. Sesungguhnya, yang menjadi pemimpin pemberontak adalah Lioe Pang Liong, seorang bekas juru tulis di kongsi Lanfang, nama itu sendiri dapat membingungkan karena bersesuaian dengan nama alias dari pemberontak tiga puluh tahun sebelumnya. Sementara itu, para pemberontak yang mempergunakan cap kelompok Ngee Hin (Mandarin: Yixing), sebuah persaudaraan yang berpengaruh di Singapura, memblokade jalur sungai dari Mandor ke Pontianak.
Sebuah perayaan tradisi orang Tionghoa di Pontianak pada 25-30 Desember hampir dilarang oleh penguasa, yang takut timbulnya keributan. Dalam kenyataannya, perayaan ini berlangsung tenang. Perayaan tersebut disebut tjatjau atau tatjau, mungkin itu sebuah perayaan kelenteng atau yang disebut juga ulang tahun dewa pelindungnya. Ijin dibutuhkan karena Residen Kater melarang penyalaan petasan, wayang dan perjudian terbuka sejak Oktober, ketika kericuhan pecah di Mandor. Pemakaian cap persaudaraan Ngee Hin menimbulkan dugaan para pemberontak memiliki kontak dengan Singapura, namun seorang informan kemudian memberitahu Belanda bahwa simbol-simbol Ngee Hin yang dipergunakan adalah tipuan belaka.
Residen Kater mengirim kawat ke Batavia, melalui Singapura karena tidak ada jalur langsung, untuk meminta bala bantuan pasukan dari Jawa. Pada 7 Nopember, dua kompi tentara tiba dari Jawa, akan tetapi pasukan ini dibutuhkan untuk mengamankan pemukiman Tionghoa di pedalaman seperti Monterado dan Bengkayang, sehingga Kate4r meminta tambahan sejumlah dua ratus orang pasukan. Pada 11 Nopember, beberapa ratus pemberontak kembali menyerang Bengkayang dengan menderita kerugian yang sangat besar. Pada akhirnya pasukan Belanda dapat membersihkan daerah Bengkayang dari para pemberontak, yang juga meninggalkan wilayah Monterado dan tak pernah kembali lagi. Orang Tionghoa Monterado sendiri tidak pernah turut serta dalam pemberontakan ini.
Pusat daerah permusuhan sekarang berpindah ke daerah perbatasan antara bekas wilayah Thaikong dan Lanfang, di sepanjang Sungai Mempawah. Pada awal Nopember, para pemberontak menguasai Mentidung dan membentengi Air Mati, memblokade jalur masuk ke Mandor dari arah Mempawah. Pada akhir Nopember, para tentara mendapati mentidung sudah ditinggalkan dan mereka kembali mendudukinya, dibantu oleh pasukan tambahan yang disediakan oleh Panembahan Mempawah dan oleh duku Dayak Sanking dan Sembaya. Anjungan tampaknya bebas dari para pemberontak. Pemukiman kongsi Lanfang di daerah pesisir seperti Sungai Pinyuh tetap tenang, meskipun beberapa orang pemuda dari tempat itu diisukan telah bergabung dalam pemberontakan. Para pejabat denan berani menyatakan bahwa banyak orang Tionghoa yang mendukung para pemberontak tersebut dikarenakan rasa takut, bukan karena bersimpati. Para pejabat kolonial seringkali mengulangi penjelasan ini, namun dalam kasus ini, mungkin intimidasi merupakan penyebab sesungguhnya.
Pada 26 Nopember 1884, pasukan kolonial memasuki Mandor tanpa menemui perlawanan dan menduduki kembali kantor pusat kongsi. Pemerintahan sipil melanjutkan kembali penyelidikan terhadap pembunuhan yang terjadi. Pada Desember sebagian pasukan kembali ke Jawa. Pada 11 Desember, benda-benda keagamaan kembali disingkirkan dari thang. Pada 5 Februari tahun berikutnya, 1885, bala bantuan dari Jawa kembali datang, sebagian besar diarahkan menuju ke Mandor. Satu detasemen juga menduduki kelenteng di kota Lanfang lainnya, Sungai Purun. Kater bersikukuh bahwa mereka ditempatkan di sana untuk mencegah penyelundupan dan untuk menenangkan penduduk di sepanjang pesisir.
AKHIR KISAH PANJANG
Lelah oleh perselisihan internal tersebut, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengangkat seorang pejabat militer yang berfungsi ganda sebagai komandan dan residen. Overste Haga Kepala Staf Umum menduduki jabatan tersebut pada pertengahan Maret 1885. kater yang hampir seluruh karirnya dihabiskan di Borneo Barat dan ditugaskan sebagai Residen sejak 1867, yang hanya diselangi oleh cuti mudik, akhirnya pensiun. Kater diberhentikan dengan hromat sebagai pegawai kolonial karena masa pengabdiannya sudah selesai. Penggantinya yang segera tiba adalah Overste Haga yang menjadi gubernur sipil dan militer. Vetter tetap bertugas di Borneo, namun bukan lagi sebagai komandan.
Perdamaian segera dicapai. Banyak pemberontak yang menyadari bahwa kehidupan di hutansangat tidak tertanggungkan, akhirnya menyerah. Lioe Pang Liong, seorang mantan juru tulis kongsi dan penggagas awal dari pemberontakan, tertangkap pada awal 1885. pemberontak yang bukan pimpinan diampuni ketika menyerah, sementara yang lainnya dipenjarakan atau dihukum mati. Bekas pemukiman-pemukiman pertanian kongsi Lanfang yang berada di lembah subur terbengkalai dan ditinggalkan. Namun pada April 1885, sebagian penduduk sudah kembali berdatangan untuk memanen tanaman mereka dan akhirnya membangun kembali rumah-rumah mereka. Pada Juni 1885, para informan memberikan kepada Belanda sebuah laporan terperinci mengenai suatu pertemuan penting untuk memulai pemberontakan, tidak hanya nama-nama dan jabatan orang-orang yang hadir, namun juga menjabarkan upacara pengukuhan itu sendiri. Secara keseluruhan, delapan pemberontak dihukum mati, empat orang di Mandor. Lioe Pang Liong dihukum mati pada Juni 1885 tersebut.
Pada September 1885, kekuasaan sipil sudah ditegakkan kembali, dan Letnan Kolonel vetter diangkat kembali sebagai komandan militer Borneo Barat, pasukan bantuan dipulangkan ke Jawa. Satu garnizun tentara yang terdiri dari 100 orang tetap berada di Mandor hingga Desember 1888. residen yang baru, Kroesen adalah seorang militer dengan pangkat mayor, namun dia bukanlah klomandan militer. Meski banyak pemberontak yang tertangkap, sebagian kecil kemungkinan menyingkir ke Sarawak, setidaknya satu orang pemberontak diekstradisi ke wilayah Belanda pada 1889.
Di Mandor, Belanda menyediakan dana untuk membangun sebuah kelenteng yang baru, membayar sebesar f3.000 kepada orang Tionghoa di Mandor sebagai ganti gedung kantor pusat lama yang akan dihancurkan dan menambahkan pembayaran sebesar 200 gulden untuk rumah penjaga di Kopiang yang mereka sita. Pemerintah membayar sejumlah total f3.278,75 untuk menutupi biaya pembangunan. Kelenteng yang baru tersebut akan menjadi tempat kediaman untuk menghormati patung-patung dan papan-papan sembahyang dari Kwan Ya (Mandarin: Guan Di), Lo Fong Pak dan Thay Pak Kong (toapekong, Mandarin: dabogong), dan juga semua papan dari para kapthai dari kongsi terdahulu. Pada Oktober 1885, semua benad-benda tersebut diarak dalam prosesi yang khidmat menuju kelenteng yang baru itu, dan sekitar tiga ratus orang Tionghoa, sangat sedikit sekali dibandingkan pada zaman kongsi dahulu, menghadiri sebuah hidangan perayaan di pasar. Pada malam harinya sebuah pertunjukan wayang dan perjudian, keduanya merupakan hiburan utama pada hari raya keagamaan, menggenapi perayaan tersebut.
Pada 12 Agustus 1885, empat pemimpin pemberontak dihukum mati di Mandor. Lioe Pang Liong meminta dengan sia-sia untuk berbicara kepada Kolonel Haga, meninggalkan sebuah pesan penghabisan: … sekarang karena saya harus matio, saya ingin menyatakan kepadanya [Haga] bahwa penyebabdari pemberontakan hanyalah akibat dari pembongkaran Kwan Ya dan Lo Thay Pak … Saya bukanlah musuh pemerintah, namun saya akan mati demi Kongsi Lanfang.
Di Pontianak, sebuah poster muncul dengan sebuah puisi Tionghoa yang menjanjikan pembalasan bagi Lanfang dalam waktu delapan belas tahun. Namun, 1903 berlalu tanpa terjadi sebuah peristiwa. Pada akhirnya, sebagai satu bentuk ucapan terima kasih, para opsir Tionghoa Mandor yang baru ditunjuk pemerintah mempersembahkan empat piringan emas bertulisan kepada empat pejabat penting kolonial di keresidenan. Haga dengan segera mengembalikan pemberian itu dengan catatan bahwa para penduduk yang sudah menderita harus memelihara kekayaan kecil yang telah mereka miliki. Sebuah tulisan terbaca, … Terima kasih atas kebajikan anda yang begitu besar sehingga tanah ini kembali tersatukan dan terikat bersama seperti seikat rumput. Anda telah melindungi para penduduk tanah ini, oleh karena itu kami mempersembahkan padamu piringan emas tipis ini, tanpa bermaksud menjadikannya sebagai imbalan atas kebaikanmu. Untuk Komandan Militer dan Sipil Borneo Barat. Dengan salam hormat, Kapitan Mandor [Lo Thong] atas nama seluruh penduduk …
Bekas wilayah kekuasaan kongsi Lanfang sekarang dibagikan kepada kesultanan pribumi Pontianak, Mempawah dan Landak. Kampung Baru, kemudian Siantan, menjadi bagian kota Pontianak, sementara pemukiman Pakoktin yang sebelumnya adalah bagian dari Mandor bergabung dengan kota Mempawah. Kampung Baru dan Pakoktin memiliki Letnan Tionghoa, karena keduanya adalah pemukiman yang cukup besar. Pakoktin tampaknya adalah nama lain dari Kuala Mempawah. Orang Tionghoa meskipun berada di bawah kekuasaan pemerintah secara langsung, juga diwajibkan membayar sejumlah pajak, terutama untuk penggunaan tanah, kepada para penguasa pribumi.
Perang kongsi akhirnya berakhir. Dari persekutuan etnis dan politik yang kompleks ini, sangatlah tiidak akurat untuk menggolongkan perselisihan yang disebut Perang Kongsi ini sebagai perang perlawanan orang Tionghoa melawan kolonialisme Belanda. Bahkan beberapa orang dari kongsi Thaikong, musuh paling terkenal dari kekuasaan kolonial, memohon damai atau meminta bantuan kepada Belanda. Namun demikian, tidak ada satupun kongsi yang sepenuh hati bersekutu dengan Belanda. Pembantu Residen van Prehn mengalami satu perselisihan yang menjijikkan dengan para anggota Samtiaokioe di Sambas pada 1851. lanfang memainkan taktik menunggu kesempatan dan barangkali telah memberikan kesempatan kepada sang pemberontak Liao Njie Liong untuk melarikan diri ke Sarawak. Bahkan Kapthai Lioe A Sin yang dianggap Belanda sebagai seorang pendukung yang terpercaya untuk kepentingan mereka, telah melakukan tindakan intrik melawan mereka.
Sementara itu, penduduk Lanfang yang diperkirakan sekitar 7.500 jiwa pada paruh pertama abad ke 19, pada akhir abad telah menurun menjadi 1.060 jiwa. Mandor sendiri sudah mulai lesu, menurut para saksi, bahkan jalan raya yang dibangun oleh Vetter dengan biaya sangat besar ternyata sejak 1900 tidak bisa lagi dipergunakan. Kapthai Lioe telah menghabiskan hampir semua kekayaannya selama Perang Monterado, menghabiskan f120.000 untuk mempersenjatai orangnya dan sejumlah besar dana lainnya dalam bentuk emas untuk mengembangkan pemukiman Tionghoa di Landak. Setelah penambangan turun, Lioe berupaya mengusahakan perkebunan, namun juga tidak berhasil, membuatnya penuh hutang. Bahwan kongsi Lanfang sudah pasti akan mati, sudah diperkirakan orang jauh hari sebelum Kapthai Lioe wafat. Pada akhirnya Lanfang harus pergi, karena bangkrut.
Lanfang tak lagi bisa memperoleh pendapatan yang mencukupi dari pertambangan untuk menutupi pengeluarannya. Lioe A Sin menjaga agar perkumpulan tetap berjalan dengan cara menyuntik dana dari sakunya sendiri, dana yang diperolehnya mungkin dari pacht candu. Setelah pendapatan dari penjualan candu menurun drastis pada 1850, Lanfang tidak pernah dapat dipulihkan, begitu pula Lioe.
Lanfang terlihat memiliki satu pimpinan pusat yang kuat sejak awal pendiriannya dan juga setelah 1823. kemudian hubungan dengan Belanda mengubah peran dari kapthai, memingkatkan kewenangannya menjadi kepala kongsi. Lanfang juga terlihat kurang demokratis dibandingkan kongsi-kongsi lainnya, karena kurang sering melakukan pemilihan. Jika Monterado secara rutin memilih ketuanya yang hanya menduduki jabatan selama 4 bulan, Lanfang memiliki institusi yang lebih otokrasi. Pada 1851, van Prehn mencatat bahwa kapthai mengijinkan buku diperiksa oleh dewan sesepuh sekali atau dua kali pertahun, selebihnya dia bebas dari pengawasan. Para pejabat Lanfang dipilih secara permanen dan hanya diganti atas permohonan mereka sendiri atau karena berperilaku buruk.
Perbedaan organisasi memungkinannya lebih cepat dan lebih bertahan lama berhubungan dengan Belanda, yang sebagai imbalannya memperkuat otokrasi Lanfang. Pemimpin Lanfang menjabat seumur hidupnya atau hingga dia mengundurkan diri atau meninggalkan wilayah. Sebagai akibatnya, Belanda dapat memastikan orang yang menjabat dan memiliki jaminan, dalam masa normal, bahwa mereka dapat berhubungan dengannya bertahun-tahun. Kapthai adalah orang yang mewakili kongsi berhadapan dengan pemerintah. Dia bertanggung jawab kepada kongsi, dan dalam saat yang bersamaan, juga dapat berharap atas dukungan pemerintah, sebagaimana dilakukan oleh Lioe A Sin. Dia tidak perlu berkonsultasi dengan para penduduk.
Di samping itu, dia tergantung pada Belanda dan juga mewakili Belanda. Ketergantungan ini semakin nyata setelah 1857, pada saat Belanda mengakui keberadaan Lanfang dan Lioe sebagai kepalanya. Model terdahulu yaitu model republik yang ketat dari pemerintahan kongsi di mana kapthai hanya memiliki kewenangan yang sangat sedikit dan harus berkonsultasi dengan para ketua pada semua persoalan, telah digantikan dengan model yang menjadikan kapthai sebagai wakil tunggal dari kongsi dalam berhadapan dengan pemerintah. Sebuah model yang membuat Lanfang tidak lagi menjadi sebuah republik, namun lebih menjadi sebuah monarki, dengan kekuasaan yang bersifat paternalisme otokrasi. Lioe terkadang berkonsultasi dengan para ketua, namun tidak pernah, sejauh diketahui, berkonsultasi dengan seluruh pekerja penambangan apalagi dengan penduduk dewasa lainnya. Sebuah pertemuan umum seperti yang diselenggarakan di Thaikong dalam 1852-1853 seakan tidak pernah terpikirkan di Lanfang.
Lama kelamaan, kongsi dapat dikatakan sebagai milik Lioe pribadi. Nama kongsi tetap hidup, namun dalam kenyataannya administrasi kongsi saat ini tidak lebih hanya sebagai pelayan sang kapthai belaka, dan Lioe menjadi seperti penguasa pribumi yang kekuasaannya hanya dibatasi oleh kekuasaan kolonioal saja. Kejatuhan kongsi sepanjang periode yang disebutkan di sini, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pemakaian hasil sumber daya mereka untuk kebutuhan kongsi dan juga akibat tekanan dari para pejabat Hindia Timur Belanda. Sangat aneh, jika Belanda menyesal atas kerugian ini. Bagi Batavia, organisasi yang kuat ini yang mempraktekkan begitu banyak fungsi negara modern, sangat jauh berbeda dengan kerajaan lokal. Mereka adalah pesaing bagi negara kolonial itu sendiri. Kongsi harus lenyap, karena hanya ada satu negara, yaitu negara kolonial, yang boleh ada di Hindia Belanda.
Orang Belanda akhirnya menyaksikan akhir dari kongsi …
PERGULATAN DAN JEJAK SEJARAH
Laporan umum mengenai permusuhan sepanjang periode ini tidak dapat membuktikan bahwa hubungan antara kongsi dengan Belanda selamanya buruk. Adalah benar bahwa kaum Tionghoa perkotaan lebih dapat bekerjasama dengan pemerintah kolonial, bahkan kongsi pun seringkali dapat bekerja dengan para pejabat kolonial. Komunitas pertambangan bukanlah kelompok yang homogen, dan mereka memiliki reaksi yang berbeda-beda menghadapi pihak Belanda. Antara 1833 hingga 1850, Kongsi Monterado secara rutin paling sedikit membayar sejumlah pajak kepala yang dipungut dari para anggotanya.
Dikarenakan sukarnya untuk menyelenggarakan sensus dan perbedaan mengenai jumlah sesungguhnya dari para penambang, setelah 1833, pajak kepala ditarik melalui kongsi-kongsi secara borongan. Ketika seorang Dayak membunuh seorang Tionghoa Lumar pada 1849, Pembantu Residen Sambas meminta bantuan Thaikong untuk menengahi permasalahan itu. Pemevahan masalah tanpa kekerasan itu mencegah terjadinya serangkaian tindakan balas dendam antara kongsi-kongsi dan kelompok-kelompok Dayak. Para pemimpin orang Tionghoa datang ke Sambas untuk mengucapkan terima kasih kepada sang pejabat, mengundangnya untuk berkunjung ke wilayah mereka, dan membayar lunas pajak yang terhutang.
Konflik-konflik yang terjadi antara orang Tionghoa dengan kelompok-kelompok lainnya tidaklah selalu tergantung pada garis etnis. Orang Melayu dan orang Dayak dapat menjadi sekutu atau juga musuh bagi orang Tionghoa. Demikian pula orang Dayak, ada yang bertempur bagi kongsi dan ada pula yang melawannya. Proses penaklukan pemukim Tionghoa ke dalam kekuasaan kolonial berlangsung dari 1818 hingga 1885, akibat-akibat pertempuran berlanjut hingga abad ke 20. perang kongsi ini bahkan tidak mencakup dekade-dekade di mana terjadi perkelahian yang terus menerus. Beberapa kelompok Tionghoa adalah musuh, beberapa adalah sekutu, sementara yang lainnya saling bergantian dari status bermusuhan menjadi bersekutu dan sebaliknya.
Segera setelah kedatangannya, para pejabat Belanda memutuskan untuk mengunjungi pusat-pusat kongsi. Yang pertama-tama mencapai Monterado, pusat federasi Fasjoen dengan dua anggotanya yang terkuat Thaikong dan Samtiakioe, adalah Residen Mempawah CJ Prediger, yang secara keliru menyangka Monterado berada di bawah daulat panembahan Mempawah, dan karenanya termasuk dalam wilayah distriknya. Dalam kenyataannya, dikarenakan sebagian besar wilayah Monterado terletak di utara Sungai Duri, Monterado telah menjadi daerah kedaulatan Sambas sejak 1784, itu pun jika mereka membayar upeti kepada siapapun.
Sementara itu, Residen Sambas, Georg Muller, mencoba menekan kongsi Fasjoen agar mengirimkan perwakilannya ke Sambas untuk mengakui kekuasaan Belanda di sana. Ketika upayanya terbukti tidak berhasil, dia memutuskan untuk berkunjung sendiri ke kongsi, dan tiba-tiba di “Santigiau” pada akhir Nopember 1818. samtiaokioe adalah bagian dari Fasjoen, namun apakah Muller menyadari di mana dia sebenarnya berada. Di sini dia mengibarkan bendera Belanda dan memerintahkan kepada para penduduk kongsi untuk membayar semua pajak, terutama pajak kepala, kepadanya di Sambas. Tanpa mengetahui maksud Prediger pada kongsi, dia kemudian berangkat pulang. Temperamen Muller ini kemudian menentukan nasibnya, pada 1825 dia terbunuh dalam suatu perjalanan yang gegabah ke pedalaman.
Prediger tiba di Monterado beberapa hari kemudian, yaitu pada 1 Desember 1818. setelah menadatangani perjanjian yang serupa dengan yang mereka telah buat dengan Muller, orang Tionghoa Monterado mengirimkan satu delegasi ke Sambas untuk melaporkan permasalahan ini ke sultan, meninggalkan Prediger tetap berada di Monterado. Delegasi ini dengan lihai mengadu kepada sultan bahwa orang asing ini telah mencoba untuk menyerahkan kongsi tersebut untuk kepentingan Mempawah, yang kemudian membangkitkan iti hati sang sultan.
Satu peleton kecil pasukan Belanda dibiarkan berada di Monterado. Ketika utusan dari Fasjoen tiba di Sambas, Muller yang marah atas kelakuan Prediger segera berangkat ke Monterado, dan kemudian memerintahkan tentara Belanda yang ditinggalkan di sana oleh Prediger untuk menyerah kepadanya, menurunkan bendera Belanda dan kemudian menaikkannya lagi, di depan mata orang Tionghoa yang terbengong-bengong. Ini tidaklah meninggalkan kesan yang menyenangkan bagi orang Tionghoa. Ketika pejabat tertinggi Belanda, Komisioner AG Nahuys Burgst mencoba untuk menyelesaikan perselisihan, ia meminta para pemimpin dari beberapa kongsi untuk bertemu dengannya di Sambas pada Januari 1819. para pemimpin Tionghoa menolak dengan alasan bahwa perayaan Tahun Barau Tionghoa 26 Januari akan menghalangi mereka untuk hadir.
Nahuys menyatakan ketidaksabarannya. Meskipun Nahuys berprasangka itu adalah alasan yang dibuat-buat, dan karena orang Tionghoa berada di bawah perlindungan sultan Sambas, maka Belanda menyelesaikan semua persoalan yang ada dengannya. Melihat kemerdekaan kongsi dari penguasa ini, yang disarankan oleh orang Tionghoa tentu saja tidak polos, dan mungkin menyesatkan. Sementara itu, pada April 1819, Prediger diserang di Mempawah oleh orang Tionghoa yang berasal dari pemukiman daerah pesisir Sungai Raya dan Sungai Pinyuh dan juga dari Monterado itu sendiri.
Di daerah pedalaman, kongsi-kongsi Tionghoa dan kebanyakan orang Dayak hidup merdeka dari kekuasaan Belanda, dan di sebelah utara, Inggris segera menantang penguasaan Belanda terhadap pulau ini. Pada 1822, perang kongsi pertama pun berkobar.
Isitilah Perang Kongsi biasanya mengacu pada tiga periode peperangan: 1822—1824, 1850—1854 dan 1884—1885, yang terhubungkan dengan ketegangan yang begitu lama. Yang terjadi pada masa sepanjang 1818 hingga 1849 sesungguhnya bukan suatu perang, namun hanya masa damai yang penuh pergolakan. Sebelum 1849, pemerintah kolonial memiliki prioritas-prioritas lain yang mencegahnya memberikan banyak perhatian terhadap kongsi-kongsi yang merdeka, dan ketika penambangan dan imigrasi dari Tiongkok menurun, maka zaman beralih ke pihak Belanda. Tidak tersedia sejumlah pasukan yang dibutuhkan untuk menundukkan orang Tionghoa. Setelah 1857, wilayah ini kembali tenang, namun kemudian pertikaian di Mandor berkobar pada 1884.
Satu pengecualian dari strategi Batavia untuk tidak campur tangan adalah kampanye 1822-1824. pada akhir 1821 Komisioner JH Tobias tiba dari Jawa untuk menyelesaikan persaoalan Borneo Barat, dan dia mendesak Batavia untuk melakukan satu unjuk kekuatan melawan kongsi-kongsi. Pada 1823, sekitar tiga ratus orang di bawah pimpinan Letnan Kolonel Jhr HJJL Ridder de Stuers (kelaknya dia kemudian naik pangkat menjadi Major Jenderal di angkatan bersenjata kolonial) memaksa Mandor untuk takluk dan menyerang federasi Fosjoen yang lebih kuat di Monterado. Kehadiran Belanda di pesisir boleh jadi telah mendorong satu perpecahan di Fosjoen, namun perpecahan itu bisa jadi juga karena sebab-sebab lain. Pada Juni 1822, para anggota Samtiaokioe dari federasi Fosjoen di Monterado memutuskan, yang dalam bahasa kongsi Thaikong: tiba-tiba dalam kegelapan malam, tapi alasan apapun, mengumpulkan semua emas mereka dan membawanya kabur.
Apakah mereka mencari tanah yang lebih baik ataukah sekedar meninggalkan sebuah federasi yang suda merugi, sementara mereka sendiri masih menguasai ladang-ladang tambang yang produktif seperti Sepang dan Seminis. Dua areal tambang ini masih berfungsi baik pada 1831. emas Sepang juga lebih murni dari emas Monterado dan berharga lebih tinggi. Di kemudian hari, para anggota Samtiaokioe melaporkan kepada Belanda bahwa seorang anggota Thaikong telah membunuh salah seorang anggota mereka. Si pembunuh ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, namun teman-temannya membebaskan dia dan dewan Fosjoen telah gagal memberikan keadilan kepada Samtiaokioe. Pada saat itu, kongsi Lumar (Sjipngfoen [Shiwufen] Lima Belas Saham) dan kongsi Buduk (Limtian [Lintian]) juga keluar dari Fosjoen. Samtiaokioe kemudian meminta bantuan untuk menghadapi kemarahan Thaikong kepada sultan Sambas dan kepada Belanda, yang menjawabnya dengan mengirimkan pasukan. Tampaknya, tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap cerita dari pihak Thaikong, pasukan Belanda maju berperang menuju Monterado, menjadikan balai utama atau thang (ting) menjadi abu di April 1823.
Komisioner Tobias kemudian berupaya mencapai perdamaian dengan jalan melakukan pembagian di antara para kongsi yang berperang. Dia membiarkan daerah Monterado—Sungai Raya berada di bawah kekuasaan Thaikong dan para sekutunya. Samtiaokioe diberikan daerah bagian utara Monterado, termasuk Sepang. Pemangkat menjadi pelabuhan dan lumbung padi bagi orang Samtiaokioe, sebagaimana kota pelabuhan Singkawang bagi Monterado. Wilayah pemukiman orang Tionghoa di kota Sambas dimerdekakan dari kongsi, dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial. Keputusan ini dibuat demikian dikarenakan sebuah kelenteng penting yang dimiliki oleh kedua kongsi tersebut berlokasi di kota Sambas. Pada Januari 1824, Fosjoen membayar pajak kepala kepada Belanda dan perdamaian seakan-akan terwujud di pesisir barat Borneo. Bagaimanapun juga, kesanggupan Tobias untuk menegakkan kewenangannya tergantung dari keberadaan suatu pasukan Belanda yang kuat.
Pada September 1824, sisa-sisa pasukan Fosjoen memukul mundur pasukan Belanda di Singkawang yang sedang bergerak maju menuju Monterado untuk menghukum kongsi. Beberapa bulan kemudian orang Tionghoa dari Thaikong menyerang kembali posisi Belanda. Pasukan bala bantuan baru didatangkan ke Borneo Barat pada 1825, namun mereka segera ditarik dan dikirimkan ke Jawa dikarenakan berkobarnya Perang Jawa. Tidaklah mengejutkan, jika Fosjoen sekali lagi menegaskan kemerdekaannya dan kekuasaan kolonial tidak sanggup berbuat apa-apa. Thaikong dan para sekutunya tidaklah cukup kuat untuk mengusir Belanda dari pesisir, namun kekuatan kolonial yang tersisa sangat terlalu lemah untuk mengalahkan Thaikong. Lebih jauh lagi, meskipun Samtiaokioe menguasai lebih banyak orang dan memiliki lokasi yang lebih baik, namun terbukti bahwa mereka secara militer lebih lemah dari Thaikong.
Pendekatan untuk tidak melakukan apa-apa merupakan ciri dari kegiatan Belanda pada dekade-dekade selanjutnya. Para pejabat kolonial terombang-ambing akibat posisinya yang lemah. Pajak kepala bagi penduduk Tionghoa dihapuskan dengan tujuan untuk meningkatkan cukai. Di kemudian hari, pajak kepala ini diberlakukan kembali. Hubungan dengan kongsi-kongsi terus memburuk. Samtiaokioe tidak mau tunduk juga, dan pada 1831, dalam perselisihan dengan Belanda mengenai penyelundupan, beberapa orang dari kongsi tersebut membunuh seorang pegawai Belanda. Batavia menjawabnya dengan mengirimkan seorang komisioner baru ke daerah ini dan merundingkan kembali gencatan senjata. Dari 1838 hingga 1846, para pegawai kolonial bahkan tidak diperkenankan memasuki wilayah pedalaman. Hanya dua orang pembantu residen yang tetap menjabat di wilayah ini, ditemani dari waktu ke waktu oleh seorang komisioner sementara dari Batavia dengan hanya segelintir pasukan militer. Pengecualian terhadap laprangan berpergian ke pedalaman diberikan untuk keperluan eksplorasi.
Melihat kelemahan dari kekuasaan kolonial, kalangan kongsi menjadi pembangkang dalam melakukan pembayaran pajak. Pada 1841, daftar pajak yang terhutang oleh Lanfang sebesar f16.000, Monterado f42.426, Sepang (Samtiaokioe) f2.799 dan Lara f1.600. penyelundupan semakin menjadi-jadi, terutama dengan Singapura. Belanda Borneo Barat melebihi pendapatannya. Perjanjian dengan para sultan memberikan jaminan bahwa mereka akan mendapat subsidi tahunan yang memadai, namun dikarenakan ketiadaan pajak dari orang Tionghoa, maka pembayaran gaji tersebut harus diambil dari saku pemerintah kolonial itu sendiri.
Persoalan Fosjoen juga terus berlanjut. Pada 1837, dua kongsi lain yang masih ada dalam federasi meninggalkan Fosjoen. Sekarang hanya tersisa Thaikong di Monterado. Kongsi ini tidak lama kemudian menyerang lokasi berharga milik Samtiaokioe, terutama di Sepang, dalam upaya untuk mengambialihnya. Samtiaokioe meminta tolong Belanda untuk memberikan bantuan, seperti yang terjadinya sebelumnya pada 1822.
Timbul pergolakan antara orang Dayak dan Tionghoa. Pada 1842, para penambang Tionghoa di Lara mengambil alih satu tambang emas milik orang Dayak, mengusir para penambang Dayak pergi. Orang Dayak membalasnya dengan membakar sejumlah rumah milik orang Tionghoa, dan orang Tionghoa membalas kembali dengan membunuh kira-kira 40 orang Dayak. Orang Dayak kembali melakukan pembalasan dengan membakar ratusan rumah. Pemegang hak upeti Melayu, Pangeran Jaya dari Sambas, memerintahkan orang Dayak untuk melakukan perlawanan. Namun orang Tionghoa dari Thaikong bergabung dengan pertempuran ini, mengusir pasukan Sambas dengan bantuan orang Dayak dari Selakau. Bertahun-tahun kemudian, seorang pejabat Pembantu Residen Sambas H van Gaffron mengunjungi orang Dayak yang terusir dari wilayah Lara tersebut, dia menemukan mereka hidup di dekat perbatasan Sarawak dalam keadaan yang sangat miskin sekali.
Pada 1844, Pembantu Resdien DL Baumgardt berkunjung ke Monterado selama empat hari tanpa satu kejadian apa pun. Dia disambut seperti layaknya semua tamu resmi lainnya, dengan iringan musik, panji-panji dan penghormatan dengan tembakan meriam. Dia mencatat bahwa para pimpinan Thaikong menerima sejumlah orang Dayak dengan sangat ramah, namun mereka juga menuntut balas terhadap yang memberontak. [Ketika pada 1842 orang Dayak Lara bangkit melawan orang Tionghoa, Pembantu Residen Sambas disuruh jangan ikut campur dalam sengketa tersebut. Dia mungkin orang yang sama, DL Baumgardt Pembantu Residen Sambas 1842-1844, yang pada 1844 berkunjung ke Monterado. Dia tidak dapat meneruskan rencana perjalanannya ke Lara karena jalur yang ada dalam kondisi rusak akibat peristiwa perlawanan orang Dayak. Di kemudian hari, Thaikong memperbolehkan beberapa keluarga Dayak untuk kembali].
Akhirnya, satu pemain baru memasuki babak yang tegang ini. Pada 1839 James Brooke seorang Inggris yang pernah mengabdi kepada sultan Brunei menetap di Sarawak di mana dia membangun sebuah wilayah merdeka, menantang pengakuan Belanda bahwa mereka menguasai seluruh kawasan pulau Borneo. James Brooke kemudian mengukuhkan diri sebagai Rajah Sarawak membuat Belanda ketakutan suatu saat pantai barat akan menarik perhatian Inggris untuk campur tangan atau bahwa sultan Sambas yang tidak senang karena ketidaktenteraman yang disebabkan oleh kongsi-kongsi akan berpaling meminta dukungan kepada Brooke. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda sekarang mulai melakukan penggarapan wilayah secara sistematis dan memutuskan untuk berhubungan lebih tegas dengan kongsi-kongsi orang Tionghoa maupun dengan para penduduk pribumi yang belum tunduk.
AMBANG KERUNTUHAN
Setelah bertahun-tahun mempraktekkan kebijakan penanaman uang dan pasukan yang sekecil mungkin saja di Borneo Barat, pada 1849, Gubernur Jenderal JJ Rochussen (1846-1851) menerapkan satu kebijakan untuk lebih jauh ikut campur. Pada tahun tersebut, ia membagi Borneo membagi dua keresidenan: Borneo Barat dan Borneo Bagian Selatan dan Timur, suatu pembagian wilayah administrasi yang bertahan hingga menjelang berakhirnya masa kolonial. E de Waal menandai perubahan ini kepada pendahulu Rochussen, sejak masa Perang Landak pada 1840-an. Pada Februari 1850, residen baru TJ Willer tiba di Borneo Barat. Willer sebelumnya bertugas di antara orang Batak Mandailing di Sumatera. Pada 1850, Pembantu Residen RC van Prehn ditugaskan di Sambas. Namun, pemerintah kolonial Belanda ibarat singa ompong pada pertengahan abad ke 19, keseluruhan pasukan yang ditempatkan di Sambas dan Pontianak tidak lebih dari 200 tentara, kebanyakan tidak siap tempur. Pasukan cadangan tidak tersedia, dan Belanda tidak yakin apakah para penguasa setempat yang menyatakan diri sebagai sekutu mereka, akan memberikan dukungan dalam peperangan melawan kongsi-kongsi.
Penyelundupan besar-besaran yang dilakukan kongsi-kongsi mengusik ketenangan Belanda. Singapura merupakan sumber candu, persenjataan dan barang-barang lainnya yang tiada habis-habisnya. Keuntungan dari penyeleundupan satu peti candu seberat 150 pon diperkirakan senilai 700 hingga 1000 gulden. Seberapa banyak jumlah peti-peti opium yang masuk ke pesisir barat hanya dapat diperkirakan orang. Pangeran Ratu Tua Mangkunegara keponakan dari sultan Sambas memungut pajak dari pendapatan pacht candu di Monterado, namun dia menyatakan bahwa dia hanya mendapat pemasukan sekitar 36 gulden setiap tahunnya, karena banyaknnya candu gelap yang masuk ke daerah itu. Pada 1849 dia memohon bantuan Belanda untuk mempertahankan haknya tersebut.
Terlebih lagi, pendapatan Belanda dari monopoli perdagangan garam di Sambas sangatlah rendah, dan tidak diketahui secara pasti berapa sebenarnya pemakaian nyata dari wilayah tersebut. Jung-jung orang Siam dan Tionghoa terbiasa memuat garam sebagai alat kesimbangan kapal yang kemudian dijual kepada penduduk setempat oleh para pedagang setempat. Belanda memutuskan untuk menghalangi perdagangan garam ini demi mengamankan sumber pemasukan yang potensial. Meskipun penyelundupan berbagai barang dagangan dilakukan oleh semua kongsi, namun Thaikonglah yang paling dipersalahkan untuk semua itu.
Terlepas dari tanda-tanda ketegangan yang semakin meningkat, aksi provokasi pertama terjadi Mei 1850, yang dalam situasi normal mungkin akan diabaikan begitu saja atau cukup diselesaikan dengan mengenakan denda, namun sebagai akibat dari kebijakan kolonial tersebut, insiden ini menjadi alasan bagi Belanda untuk kembali menyatakan perang dengan Thaikong. Penguasa kolonial mencoba untuk merampas sebuah perahu kecil, sampan pukat yang sarat dengan muatan opium, garam dan serbuk mesiu, yang mencoba memasuki sungai di Sedau dekat Singkawang, rute utama pada jalur transportasi gelap menuju Monterado. [Pukat artinya jaring, perahu tersebut juga perahu pukat. Kapal tersebut berawak empat puluh dua orang dan dipersenjatai dengan kuat, namun mungkin hanya karena terlalu banyak awak untuk sebuah sampan semata].
Residen Willer memblokade perahu tadi dengan menggunakan sebuah kapal perang Belanda yang saat itu sedang berlabuh untuk sementara di wilayah tersebut. Dia menuntut orang Tionghoa yang tinggal di benteng yang berada dekat Jintang, sebuah kota Thaikong, agar menyerahkan kapal dan membayar denda. Setelah hening sebentar, sampan tersebut berpulat ke laut dan kapal perang kemudian mengangkat sauh meninggalkan Willer yang sedang mencoba memulihkan kewibawaannya. Thaikong meminta maaf atas permasalahan tersebut, menyarankan kepada orang Belanda bahwa mereka dapat mengambil perahu tersebut setelah berada di laut lepas, namun Belanda gagal memahami maksud dari pesan ini. Jika perahu tadi dihancurkan di Sedau, seperti yang Belanda rencanakan, maka Thaikong harus membayar kerugian kepada para pemiliknya di Singapura].
Insiden berikutnya berikutnya melibatkan dua kongsi yang bermusuhan. Baku tembak antara orang Thaikong dan Samtiaokioe sekejap saja terjadi di dekat Sambas, sebuah serangan besar-besaran oleh pasukan Thaikong sedang menunggu waktu. Samtiaokioe mencari bantuan kepada Pembantu Residen sambas, van Prehn, namun dia tidak dapat menyediakan bantuan militer. Sultan Sambas kemudian menyediakan pasukan Dayak di bawah pimpinan orang Melayu untuk menyerang orang Tionghoa Thaikong. Pasukan tersebut menghindari Thaikong dan malahan bergerak ke pemukiman pertanian terdekat milik kongsi Lumar dan Buduk yang hingga saat itu bersikap netral dalam persaingan antara Thaikong dan Samtiaokioe. Beberapa orang petani, sebuah surat dari orang Tionghoa menyebutkan delapan puluh keluarga dengan sedikit pengecualian disapu bersih, para petani ini rupanya tinggal di pemukiman yang tersebut. Mereka terbunuh, rumah-rumah mereka dibakar dan sejumlah perempuan mereka dibawa ke sultan. Kedua kongsi ini kemudian berpaling ke Thaikong untuk mendapatkan bantuan dan menyalahkan Samtiaokioe karena menyulut kekejian.
Kini perselisihan tersebut menyulitkan Belanda. Samtiaokioe kemudian, mengajukan pengaduan kepada Belanda bahwa Thaikong telah menyerang mereka lebih dahulu. Thaikong menyalahkan kepala daerah Sepang, seorang Samtiaokioe, yang membiarkan saja tindakan orang dayak dan menuduh Pembantu Residen van Prehn terlibat dalam masalah ini. Komisioner Prins percaya Pembantu Residen van Prehn menyetujui penyerangan terhadap Lumar-Buduk. Namun Prins tetap mempertahankan jabatan Prehn hingga 1855, dan penurutan van Prehn sendiri menyatakan bahwa dia dengan Willer sudah menyampaikan kepada sultan bahwa orang Dayak bertempur secara defensif saja, dan tidak akan memulai peperangan. Penyerangan terhadap Buduk dan Lumar menurut versinya, terjadi karena orang Thaikong ternyata mempersiapkan perang dengan membangun benteng-benteng di daerah tersebut, selanjutnya van Prehn sengaja melepaskan orang Dayak melawan Thaikong.
Komandan militer dari propinsi ini, Mayor AJ Andresen yang belum lama datang di tempat itu, yakin bahwa tanggapan kejam dari Thaikong terhadap Samtiaokioe dan pemukimannya, yang didukung oleh orang dari Lumar dan Buduk, merupakan buah dari insiden tersebut. Andresen berada di Sambas sejak 1851. dia saat itu berpangkat mayor namun disebut sebagai Letnan Kolonel pada 1853. berbagai sumber selalu menyebutnya dengan pangkat yang lebih tinggi, dalam bahasa Belanda Overste. Permohonan Andresen untuk tetap tinggal di Borneo Barat pada 1855 sebagai seorang pejabat sipil ditolak. Dia kemudian menjabat sebagai komisioner untuk wilayah Borneo Selatan dan Timur dan sebagai komandan militer di sana hingga 1859 saat dia diberhentikan.
Thaikong yang memiliki pasukan bersenjata yang lebih kuat daripada Samtiaokioe kini mengeroyokl pemukiman Samtiaokioe yang ada di Sepang, Seminis, Sebawi dan pada Agustus 1850 juga kota pelabuhan Pemangkat. Sekitar 4.000 orang Samtiaokioe melarikan diri ke Sarawak di mana kongsi mereka sudah menguasai beberapa pemukiman, dan kongsi tersebut didirikan kembali dalam wilayah yang dikuasai oleh Rajah Inggris James Brooke. Imigran ini membentuk inti masyarakat Tionghoa Hakka di sekitar Bau, tidak jauh dari perbatasan dengan wilayah Belanda, di mana mereka menambang emas. Diperkirakan dua ribu orang pengungsi lainnya dari Samtiaokioe berpencaran di seluruh Borneo Belanda, banyak di antaranya mengungsi ke wilayah Lanfang.
Tanpa peduli, atau mengabaikan, perbuatan yang dilakukan oleh orang Samtiaokioe, lingkaran berpengaruh di Batavia menuduh Thaikong. Bagi orang Batavia, serangan Thaikong tersebut semakin membuktikan nafsu serakah Thaikong terhadap kekayaan ladang emas dan persawahan orang Samtiaokioe. Dalam kenyataannya, bukan hanya perseteruan merebutkan sumber alam yang membakar rasa saling benci dan perpecahan antar satu kongsi dengan kongsi lainnya. Saling serang dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya telah menyebabkan banyak orang tewas dan terluka, serta ratusan orang menjadi pengungsi. Residen Willer sadar benar akan keterlibatan dari kedua belah pihak tersebut, dan melihat bahwa satu-satunya harapan untuk mewujudkan perdamaian adalah dengan menghilangkan kedua kongsi tersebut dan membentuk pemerintahan sipil secara langsung, dengan penguasaan Belanda secara kokoh terhadap semua orang Tionghoa.
Sebuah kontingen pasukan pendahuluan dengan segera tiba dari Jawa, dan pada akhir 1830 Belanda memblokade garis pantai, memotong pasokan logistik Thaikong. Pada September 1850, Batavia karena khawatir Thaikong mungkin akan membahayakan Sambas dari posisinya di Pemangkat, mengirimkan sejumlah kapal dan ratusan tentara yang masih segar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sorg untuk merebut kota Pemangkat. Dikarenakan Thaikong secara kuat mempertahankan posisinya di kaki Gunung Pemangkat, orang Tiionghoa menyebutnya Gunung Gajah, pasukan Thaikong harus kehilangan ratusan orangnya. Kota Pemangkat berubah menjadi abu, namun korban rakyat sipil sangat sedikit, kebanyakan penduduk sudah mengungsi sebelum pertempuran terjadi. Kota ini, Pemangkat, baru berdiri sekitar 1829 yaitu setelah Samtiaokioe berpisah dengan Thaikong dan tidak dapat lagi mempergunakan Singkawang sebagai pelabuhan. Pada saat itu, 1838, lebih dari seribu orang tinggal di kota tersebut.
Kota Pemangkat berubah menjadi abu, namun korban rakyat sipil sangat sedikit, kebanyakan penduduk sudah mengungsi sebelum pertempuran terjadi. Sekitar 400 orang Thaikong tewas setelah pertempuran tersebut. Meskipun mereka menduduki kelenteng kongsi yang terbentengi secara kuat untuk sesaat, pasukan Belanda akhirnya terpaksa mundur, sedangkan Sorg sendiri terluka dan tewas. Sebagian kalangan militer kolonial menganggap pertempuran itu sebagai suatu kemenangan, namun kenyataannya adalah suatu melapetaka. Penuturan Belanda, membalikkan peristiwa buruk namun brutal yang terjadi di Pemangkat menjadi suatu perbuatan yang gemilang.
Balabantuan pasukan kolonial yang dikirimkan pada pertengahan Nopember juga tidak berhasil membasmi sisa-sisa pasukan Thaikong di pegunungan, di mana mereka dapat memperhatikan semua pergerakan di kota dan pelabuhan yang diduduki Belanda. Meskipun para penduduk Sambas sudah menunggu serangan setelah pertempuran di pemangkat, ternyata tujuan utama Thaikong adalah agar Samtiaokioe tidak lagi melakukan impor dan penanaman padi di Pemangkat. Dalam hal ini mereka sungguh berhasil.
Pertempuran di pemangkat tidak berhasil untuk mengalahkan Thaikong, praktek blokade pelayaran justru lebih efektif. Laporan-laporan mengenai keresahan di Monterado dengan segera tiba di wilayah Belanda, meskipun kongsi telah melakukan perlawanan yang gagah berani. Pada awal Desember 1850 beberapa orang Thaikong, dengan beberapa orang lainnya dari Buduk dan Lumar, sebagai para sekutu barunya, memutuskan untuk melakukan perundingan perdamaian dan mereka menulis surat ke Batavia bahwa Samtiaokioe telah memancing penyerangan ke Pemangkat.
Tanpa terpengaruh, para pejabat di ibukota menolak permohonan Thaikong dikarenakan surat tersebut dikirimkan kepada pemerintah kolonial secara langsung, seakan-akan dari satu negara ke negara yang lain (als rijk tot rijk). Residen Willer dikarenakan kekurangan pasukan untuk menghancurkan kongsi, lebih tertarik dengan inisiatif tersebut. Willer tidak dapat memberikan perintah kepada pasukan yang berada di Borneo, karena dia tergantung pada Batavia untuk segala keputusan militer. Dia mengharuskan para delegasi kongsi yang datang ke Pontianak , memohon ampun kepada Belanda dengan cara membungkuk secara khidmat pada bendera Belanda, membakar dupa dan lilin di depan tiang cendera. Dia juga menuntut pembayaran denda dari ketiga kongsi tersebut sebanyak satu pikul, kira-kira enampuluh dua kilogram emas, sebuah beban berat dalam kondisi keuangan mereka saat itu, mengingat pertambangan telah tidak beroperasi selama berbulan-bulan karena peperangan, denda ini harus dibayar dalam waktu lebih dari dua puluh dua tahun.
Rencana Willer terus berlanjut. Dia berharap untuk membentuk sebuah kepengurusan baru di wilayah pertambangan, termasuk di Samtiaokioe. Para anggota kongsi dapat mencalonkan empat orang kandidat untuk seorang kepala yang baru atau regent, setingkat dengan kepala distrik atau bupati di Jawa, untuk administrasi pemerintahan yang akan dibentuk, dan dari para calon ini Belanda akan memilih satu orang pejabat, yang akan menjadi bawahan Pembantu Residen Sambas. Regent akan menerima gaji dan sebagaimana ketua kongsi Lanfang, akan mendapatkan pangkat Tionghoa kapthai (Jiatai, kapitan besar). Dia berwenang untuk mengangkat para pejabat yang lebih rendah, namun ketua kota-kota kecil (laothai, laoda) akan tetap dipilih. Semua kongsi di Sambas, kecuali Lanfang yang sebagian besar wilayahnya berada di wilayah Pontianak, akan menyerahkan cap kekuasaannya. Willer memandang cap tersebut sebagai simbol kenegaraan. Pertambangan itu sendiri akan menjadi badan-badan ekonomi yang bebas. Administrasi regent yang baru akan mengendalikan pacht candu dan monopoli garam di bekas wilayah Thaikong dan akan disebut sebagai Fosjoen Tjoengthang (Hesun Zongting, Balai Persatuan Fosjoen), mungkin untuk menghilangkan nama kongsi. Fosjoen merupakan nama persatuan di mana sebelum 1819, baik Thaikong maupun Samtiaokioe beserta kongsi-kongsi kecil lainnya bergabung ke dalamnya.
Sementara itu Willer beserta tiga orang dari kongsi-kongsi yang bermusuhan dipimpin oleh Tjang Ping (Zheng Hong) dari Thaikong berangkat ke Batavia pada Februari 1851 untuk meminta pengampunan dari Gubernur Jenderal. Batavia berpikiran bahwa Willer telah diperdayakan dan Thaikong telah mempergunakan masa tenang ini untuk memperkuat diri, para pejabat yakin bahwa gencatan senjata bukanlah akibat dari penyesalan umum lebih dikarenakan oleh musim hujan. Demikian juga, perjanjian akan merugikan sultan Sambas yang secara misterius disebut sebagai salah satu dari para sekutu tertua pemerintah dalam sebuah laporan Belanda. Dalam kenyataannya, mereka takut jika sultan yang mereka pandang secara umum tidak dapat dipercaya, akan melepaskan statusnya sebagai sekutu Belanda dan akan bersekutu dengan Brooke di Sarawak. Pengganti Willer, Komisioner A Prins yang datang ke tempat itu Februari 1853, pada akhirnya membuang sultan ke Jawa. Sambas bukanlah sahabat Belanda. Pada 1853, sultan dan saudara laki-lakinya diganti dan dibuang ke Jawa. Penilaian Willer tentang sultan secara panjang lebar, menurutnya sultan lemah baik pikiran maupun jasmaninya, keduanya sejak awal dan saat itu dirusakkan dalam kurun waktu yang lama oleh candu.
Batavia juga keberatan atas perilaku kasar Willer terhadap Samtiaokioe, namun Willer mengetahui bahwa Samtiaokioe bukanlah korban tidak berdosa. Hal terpenting adalah bagaimana meningkatkan jumlah penduduk di wilayah itu yang berkurang setelah orang Samtiaokioe melarikan diri ke Sarawak, dan dia berpikir bahwa orang Thaikong juga dapat melakukan hal tersebut. Pada akhirnya Gubernur Jenderal menerima tiga orang Tionghoa yang dipimpin oleh Tjang Ping pada akhir Maret 1851, dan kemudian mengirim mereka kembali ke Borneo, dan merasa puas karena orang Tionghoa yang sombong telah memohoin pengampunan. Residen Willer kembali ke Pontianak pada akhir April dan berharap militer Belanda dapat mempertahankan wilayah Samtiaokioe yang masih tersisa, terutama daerah kaya emas Sepang, dalam suasana pertikaian yang terus menerus membayang dengan pasukan Thaikong.
Pada 1851 relatif berlangsung secara damai, serangkaian perundingan dengan kongsi-kongsi diteruskan sampai akhir 1852. baik Willer, maupun Tjang Ping dan para anggota delegasi lainnya tidak ada satupun yang mempunyai dukungan kuat untuk mencapai satu solusi penentuan. Batavia masih saja tetap meremehkan rencana sang residen, sedangkan di Monterado penentangan terhadap Tjang semakin menguat. Seperti sudah disebutkan, Willer juga tidak mempunyai kewenangan atas militer yang berada di wilayahnya. Lebih penting lagi, Tjang Ping bukanlah kepala Thaikong, jabatannya adalah sebagai pemegang pembukuan (Tsjoe koe siang, Cai ku xian). Tjang sendiri bukanlah seorang hartawan, namun nampaknya merupakan seorang pemimpin militer yang sukses dari pasukan Thaikong.
Para perunding telah bertindak tanpa dukungan para penambang, kelompok terkuat di dalam kongsi, meskipun mereka telah menunjukkan kepada Belanda sebuah dokumen bercap, yang menurut keyakinan Willer adalah suatu pemberian kewenangan untuk bertindak atas nama Thaikong. Mereka hanya mendapat dukungan dari para pemilik toko di perkotaan yang paling menderita akibat blokade Belanda. Niat untuk berdamai berasal dari elit towkay yang membesar-besarkan kemakmuran orang kota. Dengan mengabaikan perlawanan terus menerus dari Monterado, Willer dengan upacara resmi mengangkat Tjang Ping sebagai Regent Fosjoen pada Juni 1851. kibaran bendera-bendera dan bunyi gembereng yang mengiring upacara tidak dapat menghapus kenyataan bahwa satu bagian terpenting dari Thaikong tidak akan pernah mendukung Tjang.
Gubernur Jenderal yang baru, AJ Duymaer van Twist (Mei 1851-Mei 1856), secara tepat memprakirakan bahwa unsur ulta-demokratik dalam Thaikong, yaitu para penambang tersebut, tidak akan menerima perdamaian sebagaimana dirundingkan. Pada Agustus 1851, Willer kembali ke Batavia hanya saja dia tidak diterima Gubernur Jenderal yang baru. Komandan militer yang baru, Mayor Andresen, tiba di Borneo Barat permulaan 1851, namun pasukan masih juga belum memadai. Akhirnya, setelah tiba kembali di Pontianak pada Maret 1852, sang residen mengatur sebuah rencana bagi Tjang Ping dan rekan-rekannya dengan menganugerahkan di Monterado, yang dia pikir akan menjamin pemasukan dana bagi kepengurusan Fosjoen yang baru, sehingga dapat melakukan pembayaran atas denda yang dikenakan pada Thaikong oleh Belanda, dan juga akan memberikan sedikit keuntungan keuangan bagi kas kolonial. Akan tetapi, pacht candu hanya dapat menghasilkan keuntungan jika penyelundupan dapat ditekan, yang selanjutnya akan menaikkan harga diri dari obat bius tersebut dan juga meningkatkan penentangan dari para penambang.
Setelah kembali di Pontianak, Willer berusaha untuk membubarkan Thaikong dan Samtiaokioe dengan cara memerintahkan mereka untuk menyerahkan cap resmi mereka kepada Belanda untuk dihancurkan. Mereka menentang rancangan candu dari Willer, menolak menyerahkan cap untuk dihancurkan dan menuduh Tjang Ping telah berangan-angan menjadi seorang mandarin (koanjin, guanren) bagi Belanda. Sementara itu, dikarenakan merasa terancam bahaya, Tjang Ping mengirim istri dan anak-anaknya ke kota Sambas untuk mencari perlindungan. Pada 21 Desember 1852, Tjang Ping beserta sejumlah orang ternama dan beberapa anggota kongsi lainnya hadir di Pontianak. Tjang datang untuk merundingkan kembali tuntutan kongsi, yaitu tuntutan para penambang untuk mengembalikan Sepang kepada Thaikong dan agar pemilihan ketua dilakukan secara langsung, bukan sekedar dicalonkan oleh kongsi dan kemudian dipilih oleh Belanda. Tjang mengetahui bahwa tunutan ini tidak akan disepakati oleh Willer.
Kedudukan Tjang Ping tidak juga membaik, ketika Willer memutuskan untuk membatalkan rancangan candu dan akan melelang pacht candu Monterado pada 24 Desember 1852. pada akhirnya pacht candu itu terjual, meski dengan harga yang lebih tinggi, kepada Tjang dan satu koleganya di Monterado, yaitu Eng Tjong Kwee (Wu Changgui), seorang hartawan, bersama dengan kapthai Mandor Lioe A Sin (Liu Asheng) dan saudara ipar laki-laki dari Lioe, Then Sioe Ling kapitan orang hakka di Pontianak. Pada awal Januari 1853, sebuah utusan datang dari Monterado membawa apa yang mereka sebut sebagai cap resmi dari Thaikong, dengan satu berita bahwa rapat kongsi akhirnya memutuskan untuk menyerahkan cap tersebut pada Belanda. Stempel atau cap, yang pada masa itu ditulis sebagai tjap, menurut Willer adalah simbol kekuasaan politik dari kongsi. Namun cap tersebut juga mempunyai fungsi yang lain. Serbuk emas dikemas dalam amplop yang ditandai dengan cap dari kongsi sebagai sertifikasi mengenai berat dan tempat asal emas tersebut, yang selanjutnya akan menentukan derajat kemurniannya.
Biji emas Monterado berkadar kurang murni dibandingkan emas dari kongsi-kongsi lainnya, namun cap tersebut menjamin bahwa emas tersebut tidak dicampur bahan lain. Tanpa cap tersebut, hasil produksi Monterado, setidaknya untuk suatu masa, akan bernilai rendah. Monterado memiliki tiga rumah kongsi yang tersusun agak berbentuk segitiga, masing-masing berjarak lima belas menit berjalan kaki dari yang lain. Rumah-rumah ini barangkali adalah aula dari bekas kongsi anggota Fosjoen, dan masing-masing mempunyai dewa pelindungnya sendiri. Rumah utama, thang (ting), merupakan rumah penyambutan dan barangkali berfungsi bagi semua anggota Fosjoen sebagai kelenteng utama. Rumah yang kedua, yang tertua, merupakan bekas rumah kongsi Samtiaokioe, dan yang lainnya rumah kongsi baru dari Thaikong. Berhung asosiasinya dengan Tianhou, Habok bisa jadi adalah bekas markas besar dari Samtiaokioe, pelindung Sjongbok adalah Sanshan Guowang.
KEMATIAN SEBELUM WAKTUNYA
Pada 14 januari 1853, sekitar 30 orang undangan dan ratusan penduduk kota berkumpul di tepian Sungai Kapuas di Pontianak untuk menyaksikan pembakaran di muka umum terhadap cap kongsi Thaikong. Upacara ini dan proses panjang jalannya perundingan pada Desember 1852 dan januari 1853 digambarkan dalam Konferensi dengan Orang Tionghoa di Pontianak pada Desember 1852 dan januari 1853. Perwakilan dari komunitas Tionghoa di Pontianak dan delegasi dari kongsi Lanfang juga hadir dalam acara ini. Sultan Pontianak mengutus Pangeran Bendahara untuk hadir dan membacakan doa agar memberkahi semua upaya ini. Sejumlah orang muslim juga hadir dalam kapasitas mereka sebagai pejabat setempat.
Residen Willer dengan dibantu oleh dua orang kapitan Tionghoa dari Pontianak, seorang penerjemah Tionghoa dan kapitan Sambas, Pembantu Residen Sambas van Prehn yang menangani sebagian besar tata acara, dan sekretaris residen dengan sangat hati-hati mengatur setiap tahapan dari upacara ini. Sebuah hambatan yang tak terduga, hujan lebat, membuat pembukaan acara tertunda, namun akhirnya upacara ini dimulai juga. Dari Sungai Kapuas, kapal Doris menembakkan tiga kali tembakan penghormatan. Abu dari cap tersebut dilindungi dari sinar matahari dengan dipayungi oleh payung emas sang residen, kemudian dibawa ke sungai dengan didampingi oleh agamawan, Tjang Ping sebagai regent atau kapthai yang baru dan beberapa orang Eropa. Doris menutupnya dengan tembakan penghormatan sekali lagi. Babak penutup dari upacara itu adalah persembahan, dengan ritual dan pembakaran dupa yang layak, terhadap cap yang baru dari Sjong Ha Bok Kongsoe (Shangxiawu Gungsuo, kantor atau Perkumpulan Balai Atas dan Bawah), yang hanya akan menjadi sebuah badan komersil tanpa kewenangan politik ataupun hukum.
Batavia yang mendapatkan informasi mengenai kemenangan Willer ini sangatlah terkesima. Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist yang dikejutkan oleh mistik yang diikuti Willer dengan segera mengutus sekretaris kabinetnya, Prins, untuk bertugas sebagai komisioner di Borneo dan untuk menilai kewarasan jiwa Willer. Setibanya di Pontianak, Prins dengan segera mencopot sang residen pada status non-aktif dan memberikan kewenangan sementara kepada komandan militer, Andresen, yang kemudian menjadi residen. Van Prehn, bekas Pembantu Residen Sambas bertanggung jawab mengenai masalah sipil, namun berada di bawah pimpinan Andresen. Willer melepaskan jabatannya pada 1853, van Prehn tetap tercatat sebagai Pembantu Residen pada 1855, namun juga bertindak sebagai penjabat residen. Prins mengangkat Andresen sebagai residen pada Agustus 1854, dan dia tetap memegang jabatan itu hingga Februari 1856.
Kelemahan dari strategi yang diterapkan oleh Willer bukanlah pada upayanya dengan membuat perilaku simbolik, namun dia tidak memperhatikan bagaimana reaksi dari sebagian anggota konsi sisanya. Pada Agustus 1851, Tang Ping memberitahu Willer bahwa secara nyata semua pedagang dan petani di Monterado berada di sisinya, namun hanya sepertiga dari para penambang yang setuju dengannya, sekarang komposisi tersebut bahkan semakin lebih tidak menguntungkan. Sebagaimana ditunjukkan dalam rapat Desember 1852, rapat awal Januari yang menghasilkan keputusan untuk mengembalikan cap tersebut barangkali hanya kepentingan dari penduduk kota saja. Para penduduk kota tidak mempunyai hak suara dalam masalah kongsi, kecuali jika memiliki saham dalam kongsi.
Tahun Baru Tionghoa telah berakhir, dan setelah dua minggu masa perayaan Tahun Baru berlalu, pada 22 Februari 1853, kongsi akan melakukan pemilihan para pemimpinnya yang baru. Selama liburan, pekerjaan tambang dihentikan. Para penambang berkumpul di Monterado untuk melaksanakan perayaan, untuk menghitung pembukuan pertambangan selama empat bulan yang lalu, dan untuk memilih para pejabat yang baru. Mereka berjumlah lebih banyak dan memiliki hak suara yang lebih besar daripada penduduk kota. Satu-satunya orang yang diijinkan memberikan suara adalah para parit chiong atau boss tambang, namun ternyata jumlah suara ada beberapa ratus atau bahkan ribuan yang berarti hampir semua penambang mengeluarkan suara. Hanya penambang yang bukan pemegang saham, yang masih dibayar dengan upah bulanan, yang tidak diijinkan memberikan suara.
Pada Maret 1853, bala bantuan militer, yang sudah sangat lama sekali dinanti Willer, akhirnya tiba dari Jawa. Mereka menduduki Sepang, wilayah pertambangan yang berharga pada April. Thaikong dan para sekutunya berkonsultasi dengan para dewanya, memutuskan bahwa ini merupakan saat yang terbaik untuk menyerang Sepang, dan operasi pertambangan dihentikan. Liao Njie (atau Ngie) Liong (Liao Erlong, Liao Sang Naga Kedua, mungkin sebuah nama samaran) memimpin pasukan, membawa sebuah cambuk dari rotan dan sebuah bendera kuning yang bertuliskan kata lin, yang artinya komando. Panji-panji dari masing-masing pasukan dengan 108 prajurit, yaitu 4 pasukan dari Monterado, dan masing-masing pasukan dari Lumar, Lara, Buduk dan Singkawang dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran pertama, kemenangan berada di tangan Belanda, namun pada Mei, pasukan Thaikong menduduki daerah Sepang yang telah porak poranda. Mereka dengan congkak menolak tawaran Belanda untuk berundng.
Pada Maret 1854, sentimen yang beredar adalah, sekarang ini ketakutan terhadap orang Tionghoa bercampur dengan kebencian terhadap orang Tionghoa menjadi menu sehari-hari. Belanda bertekad untuk menghancurkan Thaikong dan para sekutunya. Pada akhirnya, pasukan kolonial yang bergerak melalui jalan darat dari Betunai di Sungai Selakau dan didukung oleh kekuatan maritim, berhasil merebut Singkawang pada 18 Mei 1854. betunai merupakan sebuah pemukiman berbenteng di sisi Thaikong, berjarak hanya beberapa mil jauhnya dari Singkawang, namun terpisahkan oleh daratan yang benar-benar sangat sulit dan lebat. Sungai Selakau dapat dilayari oleh kapal uap sampai jarak tertentu dan lebih baik dibandingkan dengan Sedau sebelah selatan Singkawang sebagai tempat berlabuh. Singkawang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh kapal.
Liao Njie Liong , pasukannya dan para penduduk kota telah meninggalkan kota, pasukan penyerbu kolonial merubah bahai kongsi Singkawang menjadi gudang persediaan mereka. Para utusan dari sekutu-sekutu Thaikong yaitu kongsi Buduk, Lumar dan Lara segera datang ke Singkawang untuk menyatakan takluk. Tampaknya, Thaikong telah menjadi terisolasi. Ketika pasukan Belanda mencapai monterado pada 2 Juni, para penduduk kota, setelah mencegah pasukan Liao membakar pasar, menyerah, berlutut di depan rumah mereka dengan berpakaian putih, untuk menyambut pasukan yang datang. Para tentara menerima penyerahan diri tersebut, mendirikan asrama mereka di balai-balai kongsi, thang utama dan Sjongbok dan Habok, balai atas dan bawah. Tujuan dari pengenaan pakaian putih adalah untuk menunjukkan tanda menyerah, dan bendera putih dikibarkan. Namun orang Tionghoa mengasosiasikan pakaian putih dengan berkabung. Thang, Sjongbok dan Habok sebagaimana digambarkan terdahulu adalah kelenteng dan juga kedudukan dari pemerintahan kongsi.
Andresen berpikir bahwa penyerahan diri para penduduk kota berarti perlawanan telah berakhir, namun fraksi yang bermusuhan meninggalkan kota, menduduki daerah perbukitan di sekitar kota. Mereka menembak ke arah kota dan membangun benteng-benteng kecil di sepanjang jalur menuju pemukiman lainnya, dan beberapa minggu kemudian mereka membumihanguskan pasar dan membuat sebagian besar kota Monterado menjadi abu. Pasukan kolonial telah bergerak maju bertempur dari satu kampung ke kampung yang lainnya, namun demikian mereka belum berhasil menangkap lingkaran pimpinan pemberontak. Thaikong yang sudah dihancurkan, bangkit kembali, pertama sebagai Kongsi Kioe Long (Jiulong, Sembilan Naga), kemudian di bawah bendera kelompok Ngee Hin (Yixing) atau Sam Tiam Fui (Sandianhui), keduanya merupakan nama-nama dari perkumpulan rahasia atau kelompok persaudaraan tersumpah. Kelompok persaudaraan ini atau hui berkumpul secara rahasia, pada malam hari, dan merekrut para anggota baru, sementara itu orang Tionghoa yang bekerjasama dengan Belanda menjadi sasaran tindakan pembalasan dan ancaman. Terkadang bahkan sampai dibunuh. Sandianhui, Perkumpulan Tiga Titik, adalah varian dari Tiandihui Perkumpulan Langit dan Bumi. Meskipun mereka bertindak secara bersekongkol di Borneo dan Tiongkok, kelompok ini beriperasi secara terbuka di Singapura selama beberapa puluh tahun.
Pada September 1854, operasi militer membersihkan kota Bengkayang dari para pemberontak, dan sekarang situasinya terlihat menguntungkan Belanda. Pada saat ini, para penduduk tidak melarikan diri ketika pasukan datang. Terdapat sekitar 2000 orang pengungsi dari Lara yang berada di wilayah Bengkayang, namun sekarang mereka sudah mulai membangun kembali rumah mereka, meletakkan senjata mereka. Begitu pula, para penduduk sudah mulai kembali ke kota-kota lainnya, membangun kembali pasar dan mengerjakan ladang dan pertambangan.
Namun demikian, Landak masih menampung sekitar 2000 orang pengungsi, beberapa dari mereka adalah pemberontak. Dua orang pimpinan pemberontak berhasil ditangkap atas bantuan kapthai dari kongsi Lanfang. Dia dengan segera mengirimkan mereka, setelah Belanda dapat membujuk para pengungsi di Landak yang membahayakan wilayahnya untuk pergi. Belanda berpikir bahwa Lanfang berada di pihak Samtiaokioe melawan Thaikong, namun disaksikan kemudian bahwa kongsi ini memainkan peranan yang luwes dan yang sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Penegakkan kekuasaan Belanda berarti adanya pajak dan kerja paksa. Yang paling berat adalah pejak kepala sebesar tiga gulden yang dikenakan kepada semua laki-laki dewasa. Pembayaran pajak merupakan persyaratan untuk mendapatkan kartu identitas, dan setiap orang Tionghoa yang tidak memiliki kartu identitas dapat ditahan dengan tuduhan membantu kaum pemberontak. Laki-laki yang mampu bekerja harus bekrja satu hari dalam setiap minggunya pada pekerjaan umum, membangun jalan dari Singkawang ke Monterado, Sepang dan Lara. Pembangkang, jika tertangkap harus bekerja selama empat hari terus menerus. Pemerintah juga mengumpulkan semua persenjataan, bahkan senjata yang dipergunakan untuk berburu. Dan yang terakhir, Belanda membatalkan hutang semua orang Dayak kepada Tionghoa Thaikong.
Kewajiban untuk divaksinasi cacar juga meningkatkan perlawanan. Orang Tionghoa memiliki cara inokulasinya sendiri, namun Belanda bersikeras hanya metode mereka sendirilah yang dapat diterapkan. Mereka yang tidak memiliki luka bekas vaksinasi cacar akan ditangkap. Orang Tionghoa sudah lama mempergunakan apa yang disebut sebagai variolasi untuk imunisasi cacar dan sangat enggan untuk mempergunakan metode barat yang asing. Perilaku kasar dari tentara Madura yang merupakan bagian besar dari pasukan kolonial juga terbukti menjadi salah satu sebab terjadinya pergesekan.
Makin lama makin bertambah upaya pemerintah kolonial memaksa orang Tionghoa untuk tinggal dalam pemukiman yang terpusat di pasar atau kampung dekat jalan besar. Mereka memerintahkan kepada orang Tionghoa yang mendirikan gubuk-gubuk di hutan untuk pindah ke pemukiman yang sudah ditentukan itu dalam jangka waktu 14 hari, setelah waktu tersebut, patroli yang terdiri dari orang dayak beserta polisi akan mencari dan menghancurkan setiap bangunan yang mereka temukan. Menurut Belanda, sudah waktunya bagi orang Tionghoa untuk kembali hidup dalam kehiduan yang tertib, yaitu di bawah kendali kekuasaan Belanda.
Pemerintah kolonial memburu segala sisa-sisa yang mereka yakini sebagai satu perkumpulan rahasia, yang mereka persalahkan telah menakut-nakuti orang Tionghoa yang mau bekerjasama dengan Belanda. Belanda menghukum mati beberapa pemberontak yang berhasil ditangkap dan mendeportasi yang lainnya ke Jawa, namun banyak yang melarikan diri ke Sarawak. Pada Juni, para mata-mata menuntun pasukan Belanda ke markas pemberontak, yang sekarang menyebut dirinya sebagai Kongsi Ngee Hin-Lanfang. Di sana Belanda menyergap perbekalan militer dan bahan-bahan perkumpulan rahasia, sebuah gambar toapekong dan daftar keanggotaan. Penyergapan ini menghancurkan tulang punggung perlawanan kaum pemberontak, namun sisa-sisanya masih tetap bertahan hidup. Nama Kongsi Lanfang di Mandor dikombinasikan dengan sebuah persaudaraan besar di Singapura, Ngee Hin atau Yixing. Kepala di Mandor Liu A Sin tidak hanya menyelundupkan barang-barang ke Monterado selama masa perselisihan, namun juga melindungi dan mendukung para pemberontak yang ada di wilayah Lanfang, meskipun dia juga merugikan Thaikong dengan cara lainnya.
Liao Njie Liong tidak pernah berhasil ditangkap. Nampaknya, dia melarikan diri ke Toho di wilayah Lanfang, tinggal di sana selama berbulan-bulan dengan sepengetahuan kapthai Lanfang Liaoe A Sin. Menurut tuturan para penduduk, dari situ dia melarikan diri ke Sarawak, bersembunyi dalam sebuah peti mati, meskipun terdapat hadiah sebesar 500 uang dolar perak untuk kepalanya, Andresen yakin Liao bergabung dengan perkumpulan rahasia di Tiongkok dan berupaya membangun persaudaraan tersebut di Borneo. Sepanjang kongsi Monterado masih ada, disiplin kuat dari kongsi mencegahnya untuk memulai satu organisasi yang baru, pada saat Thaikong tak lagi ada, maka Liao dapat dengan bebas melakukannya. Keempat pemimpin perlawanan lainnya adalah Wong Kim Nauw, Lo Kong Njian, Phang Lim dan Lim Sam On.
Daerah Thaikong tidak pernah dapat dipulihkan. Populasi menurun, banyak penduduknya yang melakukan migrasi, baik ke pedalaman atau kebanyakan ke pemukiman pertanian dan perdagangan di dekat pesisir. Untuk sementara waktu, Monterado menjadi ibukota dari kepembanturesidenan, namun pada 1880 ibukota tersebut dipindahkan ke Singkawang. Dari 1853-1856 imigrasi orang Tionghoa dilarang, namun kemudian diperbolehkan, meski demikian pendatang baru semakin susut. Banyak tambang yang tutup dan tanpa kongsi.
Pada akhir abad ke 19, seorang pengunjung menemukan dua orang perempuan Tionghoa sedang mendulang emas di dekat Monterado, pendapatan mereka hanya mencapai seperempat gulden perhari. Dan itu pun jika mereka bekerja secara intensif …
ELIT TIONGHOA KALBAR MASA KOLONIAL BELANDA
Sepanjang masa kolonial, Belanda seringkali menamakan sebagian orang Tionghoa di Borneo Barat sebagai peranakan, yang mereka maksudkan sebagai kelahiran setempat. Pembedaan ini penting karena secara hukum orang Timur Asing yang lahir di Borneo, dalam kasus ini Tionghoa, dianggap kaula negara Hindia Belanda, dari manapun asal mereka. (Willmott, 1961: 13-15) Sebelumnya mereka didefinisikan sebagai warganegara, kemudian sebagai orang asing. Undang Undang 1910 membedakan antara warganegara dan kaula negara di antara penduduk Hindia, orang Tionghoa kelahiran setempat adalah kaula negara.
Di pertengahan abad ke 19, menurut laporan dari zaman itu, beberapa orang Tionghoa terkemuka fasih berbahasa Melayu. Ternyata, orang-orang ini tinggal di kota kesultanan seperti di Pontianak dan Sambas yang berada di bawah pengaruh Melayu. Laporan dari abad ke 20 menunjukkan bahwa di daerah pesisir, kebanyakan laki-laki Tionghoa berbicara bahasa Melayu, tapi ini tidak terlihat demikian di Singkawang (ARA 2.10.39 MvO KIT 990). Bahasa Melayu selalu dikebelakangkan oleh bahasa Tionghoa di Kota Singkawang dan Pemangkat.
Bahasa Melayu tidak pernah dipakai sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Distrik Tionghoa, melainkan bahasa Hakka. Atau orang Tionghoa Borneo Barat sangat sedikit menggunakan bahasa Melayu, lebih ke Chaozhou atau mereka berbicara Hakka. Dalam peranan mereka sebagai pedagang dan pemilik perusahaan, banyak orang Tionghoa menemukan keperluan mempelajari bahasa kedua. Pada abad ke 20, di Landak kebanyakan peranakan Tionghoa menggunakan dua bahasa dan berbicara bahasa Melayu, sedangkan yang lain, aktif di pedalaman, bicara bahasa Dayak. Banyak orang Tionghoa yang pindah ke pedalaman adalah pendatang baru di Borneo. Gambaran anonim tentang Landak, kira-kira 1930, orang Dayak tidak hanya belajar bicara Hakka, beberapa dari mereka memakai kalender Tionghoa. Dan tentu saja banyak orang Dayak juga berbicara bahasa Melayu.
Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia. Belanda juga menerapkan sistem yang sama ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang bisa berbahasa Melayu. Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy, seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI BW 3/12)
Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa. Hanya sedikit yang diketahui tentang para opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak dipungkiri. Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya tidak diketahui). Meskipun gelar mereka tidak dijelaskan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka bertanggung jawab atas tiga komunitas besar yaitu Teochiu, Hakka dan Hokkien. Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7: Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).
Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di zaman itu adalah Kwee Hoe Toan. Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya dipromosikan menjadi majoor pada 1859. meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa. Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong. Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).
Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu, sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu. Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa Tionghoa yang berbeda. Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah. Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.
Namun meski telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179). Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai diberhentikan pada 1880. kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik 1866, ANRI BW 2/4—224).
Keluarga Kwee akhirnyamengalami kejatuhan pada masa-masa sulit. Kwee Hoe Toan dan seorang kapitan Hakka, Then Sioe Lin, terlilit hutang pada pemerintah sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pacht candu pada 1850-an, suatu dekade ketika perdagangan madat hancur lebur akibat penyelundupan dan kemerosotan dalam penambangan emas. Nasib keluarga ini semakin terpuruk pada 1880, ketika Kwee Kom Beng diberhentikan dari jabatannya. Situasi keuangan Lioe A Sin, sang kapthai Lanfang, juga mengalami kemunduran karena berspekulasi dalam pacht candu. (Laporan Politik 1859, ANRI BW 1/10). Kesempatan bagi orang Tionghoa untuk meraup peruntungan besar dan mungkin pengaruh dari perdagangan candu nampaknya semakin berkurang karena monopoli tersebut mengalami kemunduran pada paruh kedua abad ke 19.
Seperti halnya Kwee, Then Sioe Lin juga ditunjuk untuk menjadi opsir setelah berhasil membuktikan kemampuannya sebagai pengusaha dan pedagang. Then Sioe Lin menjabat sebagai kapitan Hakka di Pontianak 1853-1877. dengan kekayaannya ia pun terjun dalam perdagangan dan monopoli-monopoli, bersama Kapthai Lioe A Sin dari Mandor, yang juga adalah saudara iparnya. Kedua orang ini memiliki usaha yang sama, dan sekalipun pemerintah telah mengenal kecerdasan dan jasa-jasa baiknya, kemodernan dan sifat periang (vrolijk van aard) dari Then Sioe Lin, mereka juga tahu ia selalu mementingkan diri sendiri. Ketika Kapitan Eng Tjong Kwee dari Monterado wafat di akhir 1850-an, pemerintah menunjuk seorang sanak keluarga dari Then Sioe Lin, Lioe Tjong Sin menjadi penerus Eng sebagai kapitan atau wakil regent di bekas wilayah Thaikong. Hal ini terlihat jelas sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruh orang Tionghoa non-kongsi di sana, apalagi ketika itu Tjang Ping masih menjadi kapthai regent.
Setahun setelah penunjukkan Lioe Tjong Sin sebagai kapitan di Monterado, Tjang Ping tiba-tiba disingkirkan, dipensiunkan dari jabatannya dan diminta untuk pindah ke Pontianak, karena ia dicurigai terlibat dalam percobaan pembunuhan Lioe. Dua tahun kemudian, Tjang direhabilitasi, diberikan gaji sebesar 100 gulden per bulan, namun tidak diizinkan untuk melanjutkan masa jabatannya sebagai kapthai Monterado dan jabatan itu dihapuskan. Arus kini berbalik: Lioe dihukum selama lima belas tahun kerja paksa atas rangkaian tuduhan palsu terhadap Tjang, sekalipun hukuman itu kemudian dibatalkan. Di saat yang bersamaan, beberapa laothai juga diberhentikan dari jabatannya karena berkelakuan buruk. Bukan Tjang, tetapi Lioe yang mengawali persekongkolan, rupanya ia berharap dapat mengambil alih posisi kapthai. Lioe, sebagai kerabat Then, mungkin berasal dari keluarga Lioe A Sin dari Lanfang, di mana Then terhubung melalui adik perempuannya. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya kemampuan Belanda yang dikarenakan ketiadaan orang yang berkemampuan bahasa Tionghoa.
Seusai pembubaran Thaikong dan Samtiakioe, dan dengan meluasnya migrasi orang Tionghoa ke daerah pedalaman, pemerintah kolonial merasakan kebutuhan lebih banyak petugas untuk mengawasi para pemukim Tionghoa yang tinggal di luar kota-kota utama. Ketika Kongsi Lanfang dibubarkan pada 1884, kongsi terakhir yang menghilang, Belanda menemukan pentingnya menyusun sebuah susunan hirarki baru dari para opsir Tionghoa tersebut untuk membantu memerintah daerah luas yang tadinya dipimpin oleh kongsi. Pemerintahan yang baru awalnya terlihat menyerupai kongsi. Di bawah Belanda, terdapat kapitan (namun bukan kapthai) yang bertugas di seluruh wilayah Lanfang. Laothai ditempatkan di pemukiman yang lebih kecil, dan untuk desa-desa atau tempat hunian lain dinamakan kaptjong (mungkin jiazhang dalam Bahasa Mandarin).
Beberapa pejabat di Borneo Barat digaji, sementara lainnya tidak. Di bekas wilayah Thaikong dan Samtiaokioe, kapitan, laothai dan para opsir yang setingkat lainnya menerima gaji. Di Pontianak, Mempawah dan Sambas, para kapitan tidak digaji. Walaupun digaji, jumlahnya terlalu kecil dan tidak menentu, dan tentu saja tidak akan bisa membuat para opsir tersebut menempatkan kepentingan Belanda sebagai prioritas utama. Para opsir yang menerima gaji sering merasa perlu menyewa orang polisi dari pendapat memadai mereka. Dua kapitan yang tidak digaji, terlalu miskin untuk mampu memenuhi tuntutan kantor, yaitu Lay A Tjhok, orang Hokkien dari Pontianak dan rekannya Liao Kang Sing dari Sambas, menerima bonus keuangan dalam bentuk garam gratis dari monopoli garam pemerintah. Mereka dapat menjual kembali garam tersebut untuk memenuhi dana yang dibutuhkan. Hadiah yang sama dengan 150 pikul garam diberikan kepada kapitan Sambas (Laporan Politik 1857, ANRI BW 1/8). Akhirnya, setelah 1862, kapitan diberi jaminan hak untuk memungut pajak kepala di wilayah mereka dan mendapat bagian sebesar sepertiga dari hasilnya, demikian pula dengan cukai yang ditarik dari para imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok, sebagai hadiah atau pembayaran atas penampilan yang memuaskan dalam tugas (Besluit Nomor 1, 3 Agustus 1862).
Terutama di tahun-tahun awal perluasan wilayah, ditemukan bahwa banyak opsir Tionghoa yang dipilih oleh Belanda ternyata tidak cakap. Menemukan seorang Tionghoa berpengaruh yang bisa berkomunikasi dengan orang Belanda dan dengan masyarakat Melayu setempat tidak selalu mudah. Nampaknya orang Tionghoa yang tinggal di bekas daerah kongsi, termasuk Singkawang, tidak begitu menguasai bahasa Melayu, tidak seperti rekan mereka di Pontianak dan Sambas, yang biasanya sangat fasih berbahasa Melayu. Phong Seak kapitan Singkawang diminta untuk mengundurkan diri dari kantornya pada 1856 karena dia tidak mengerti bahasa Melayu. Beberapa opsir yang ditunjuk Belanda terlalu bodoh atau terlalu tamak, yang lainnya sama sekali tidak menunjukkan kesetiaan pada pemerintah kolonial, sementara yang lainnya merasa takut dengan orang yang sebetulnya mereka harus kuasai. Sekali mereka menempati sebuah jabatan di birokrasi, para opsir Tionghoa tersebut sering mendahulukan kepentingan pribadi mereka yang menyebabkan kerugian bagi pihak pemerintah, penduduk Tionghoa atau kedua pihak itu.
Seorang opsir didapati bersalah telah menganiaya sejumlah pemukim Tionghoa namun pemerintah Belanda tetap mengijinkannya untuk bertugas sebab mereka tidak bisa menemukan penggantinya. Pada 1872, keluhan atas para opsir terutama pada opsir berjabatan rendah mulai meningkat. Orang Tionghoa yang memenuhi syarat menghindari posisi yang tidak mendatangkan uang. Pada 1881 karena sulitnya menemukan kandidat, maka pemerintah menawarkan gaji sebesar f600 hingga f1200 per tahun, namun untuk menghemat uang maka jumlah opsir dikurangi. Hal ini mengacu kepada permasalahan berkenaan dengan dimulainya aturan pajak yang baru pada 1878-79. tawaran ini sama sekali tidak menarik calon-calon terbaik dan tidak memberikan wibawa kepada opsir yang ditunjuk. Pekerjaan yang ditawarkan bisa membahayakan nyawa seperti yang terjadi pada 1912, ketika para pemberontak menyerang sejumlah opsir, beberapa minggu setelah itu mereka membakar rumah kapitan di Monterado.
Sulit untuk melacak riwayat kerja para opsir, bahkan yang paling terkemuka sekalipun yang ditunjuk setelah pemberontakan pada 1912-1914. selama masa pemerintahan Residen H de Vogel, nama-nama opsir Tionghoa di Borneo Barat tidak tercatat di dalam almanak resmi (Regeringsalmanak), sekalipun hal ini di keresidenan yang lain dibuatkan daftarnya. Beberapa catatan tentang para opsir terkuak ke permukaan pada pertengahan 1920-an, dalam Handboek voor de Residentie Westerafdeeling van Borneo yang menunjukkan bahwa pada 1925 ada 14 kapitan dengan masa dinas yang berbeda-beda, dua di antaranya bekerja sejak 1901, dan dua lainnya ditunjuk pada 1923. Hanya satu kapitan yang berkantor di Pontianak, yaitu Tjia Tjeng Siang, yang ditunjuk pada 1911, pada 1930 dia muncul dalam almanak sebagai majoor kehormatan.
Tahun berikutnya sampai 1942, para opsir utama untuk Borneo Barat didaftarkan dalam Regeringsalmanak. Pada 1930 hanya ada tiga kapitan: Singkawang, Pemangkat dan Monterado, 16 laothai dan 12 kaptjong. Pada 1942 ada 8 orang kapitan yang ada diperkampungan-perkampungan besar. Kwee Eng Hoe yang nampaknya memiliki hubungan dengan marga Kwee di ibukota, adalah kapitan di Pontianak mulai 1933 hingga pendudukan Jepang. (Alasan keksongan ini tidak begitu jelas. Barangkali ini adalah pembalasan dendam Vogel atas pemberontakan. Pada 1942 kapitan yang ada di Pontianak, Singkawang, Pemangkat, Monterado, Bengkayang, Sambas, Mempawah dan Sungai Pinyuh, menggambarkan betapa pentingnya komunitas Tionghoa di kota-kota ini. Para majoor kehormatan dan pejabat lain dengan gelar kehormatan tidak ada lagi. Pada 1930-an opsir Tionghoa telah dihapuskan di Jawa)
Setelah 1921, jumlah opsir Tionghoa yang menduduki jabatan di pemerintahan dikecilkan dua kali. Gaji para kepala kini makin menurun hingga mereka harus mencari pekerjaan lain agar bisa menyambung hidup, dan pada 1930-an ketika Depresi melanda, kebutuhan mereka akan uang bersaing bahkan sering mengalahkan tugas-tugas kepemerintahan. Emnurut sumber-sumber resmi, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh lima kepala orang Tionghoa pada 1931, kurang f24.000 dari yang seharusnya. Laporan itu mengisyaratkan para kepala telah menyembunyikan sisanya. Para opsir Tionghoa secara umum memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas, bukan dari pemerintahan, dan kebanyakan di antaranya mungkin adalah anggota Guomindang (Partai Nasionalis Tiongkok didirikan Sun Yatsen). Pemimpin yang tidak memihak dan berkemampuan sangat jarang ditemukan di antara para opsir Tionghoa.
Sekalipun mungkin berpihak dan tidak berkemampuan, namun para opsir Tionghoa merupakan penghubung yang penting bagi pemerintah Belanda yang kebanyakan tidak bisa berkomunikasi dengan komunitas berbahasa Tionghoa. Di samping para juru tulis-penerjemah keturunan Tionghoa, hanya para opsir Tionghoa yang bisa berkomunikasi baik ke masyarakat Tionghoa maupun dengan pemerintah Belanda dan berkesempatan untuk mengambil keuntungan dengan memanipulasi informasi yang mereka sampaikan untuk keuntungan pribadi sendiri. Baru sekali pada 1860, sebagaimana yang tercatat, datang seorang penerjemah Eropa yang bergabung dengan pemerintah di Pontianak. Para penerjemah ini atau yang kemudian disebut Pejabat Urusan Tionghoa, diharapkan dapat memberi pandangan kepada pemerintah mengenai masyarakat dan politik orang Tionghoa dengan terbeas dari kepentingan lokal. Sayangnya bagi pemerintahan, meskipun orang-orang Eropa berkemampuan, masa tugas mereka di keresidenan umumnya terlalu singkat sebelum pindah ke tempat tugas yang lain.
M von Faber menjadi penerjemah bahasa Tionghoa pertama di Pontianak. Pada 1862 von Faber bergabung dengan Gustaaf Schlegel sebagai penerjemah di Pengadilan Tinggi di Batavia. WP Groeneveldt menduduki jabatan itu Agustus 1864 hingga 1871, ketika posisi tersebut kosong setelah ia pindah ke Padang. De Groot ditempatkan pada posisi tersebut dari 1880 hingga Maret 1883. di antara yang lainnya, Sinologis dan penulis Henri Borel juga menghabiskan waktu di Pontianak, namun tidak ada satupun yang memiliki keteguhan hati seperti Groeneveldt. Setelah 1930, dua orang etnis Tionghoa juga bekerja sebagai penerjemah untuk kantor intelijen politik (Politieke Rechersche). Pekerjaan mereka dimuat dalam survei-survei rutin terhadap kegiatan politik di keresidenan ini.
Bila orang yang ditunjuk tidak sesuai, maka kesalahan tidak hanya bisa ditimpakan pada orang Tionghoa. Pemerintah kolonial khawatir bahwa pemimpin yang betul-betul populer akan tidak setia atau tidak bisa dipercaya. Berdasarkan alasan ini mereka tidak menunjuk orang itu atau tidak menaikkan gengsi atau gaji orang yang telah direkrut. Belanda tidak memiliki uang cukup dan tidak ingin membayar cukup orang ini. Mereka bisa saja menegaskan kekuasaan atas para pemukim Tionghoa, namun mereka sulit melakukannya.
Ada beberapa bukti terjadinya ketegangan di antara pendatang Tionghoa dan peranakan, setidaknya dari abad ke 19. pada 1873, laporan tahunan untuk Borneo Barat mencatat ada permusuhan berkelanjutan di Pemangkat di antara dua kelompok ini. Ketegangan ini berakibat terjadinya sejumlah perkelahian dan menyebabkan beberapa orang terluka (lihat Koloniaal Verslag, 1878: 23). Orang Tionghoa suatu waktu menyebut orang peranakan sebagai petompang (Mandarin: bantangfan) karena keturunan campuran mereka, dan mereka yang disebut oleh Belanda sebagai peranakan karena mereka kelahiran setempat kelihatan mengangap dirinya berbeda dari pendatang Tionghoa. Dan bahkan di masa kongsi, diperlakukan dengan lebih dipercaya dan keakraban oleh penguasa kolonial dan elit Melayu dibandingkan dengan kebanyakan pendatang Tionghoa.
Seorang perempuan peranakan yang menonjol adalah Then Sioe Kim, janda dari Lioe A Sin dari bekas Kongsi Lanfang. Pada 1887, penguburannya di Pontianak membuktikan hubungan baik antara dia dan kongsi dengan pusat kekuasaan di wilayah tersebut. Sebagai seorang perempuan Hakka kelahiran setempat yang menikahi Kapthai Lioe pada 1850, dia saudara perempuan Then Sioe Lin seorang kapitan di Pontianak, dia disebut-sebut memahami cara pikir orang Eropa lebih baik dari kebanyakan orang Tionghoa. Then Sioe Kim telah mencoba, setelah pembubaran kongsi pada 1884, untuk memperundingkan antara Belanda dan para pemarah dari mantan kongsi yang telah membunuh seorang controleur Belanda.
Tidak hanya masyarakat Tionghoa yang ada di Mandor yang memadati penguburannya, pimpinan tertinggi sipil dan militer kolonial juga menghadiri. Sultan sendiri membuat aturan agar peti matinya ditutupi sutra kuning, hak istimewa dari istana kerajaan, menunjukkan hubungan akrabnya dengan suami dan saudara laki-lakinya. Musisi Melayu dan Tionghoa mengiringi upacara. Batas-batas kesukuan tidak selalu cukup teguh untuk mencegah ungkapan belasungkawa bagi seorang individu yang terkemuka dan memiliki nama baik. Meskipun Then Sioe Kim memiliki hubungan yang relatif baik dengan pegawai Belanda, Residen Kater tidak mempercayainya, yakin bahwa dia memainkan peranan ganda dalam ketegangan setelah pembubaran Kongsi Lanfang. Begitu Kater meninggalkan Pontianak, hubungan dengan Belanda membaik, dan dia dihadiahi pensiun bulanan sebesar 100 gulden, kemudian naik menjadi f150 setara dengan penghasilan opsir Tionghoa.
Belanda memungut pajak dengan perantaraan para opsir, kenyataannya masyarakat Tionghoa merupakan penyumbang pajak terbesar, dan menerbitkan peraturan-peraturan. Namun jarang berinteraksi langsung dengan para pemukim atau pedagang Tionghoa. Tidak mengherankan bila kekuasaan atas masyarakat Tionghoa tetap lemah dan hanya sedikit pengaruh budaya kolonial Belanda terhadap masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam 1942, negara kolonial masih berada dalam proses menegakkan kekuasaannya di propinsi, Borneo Barat tidak memiliki masyarakat sipil di masa kolonial.
AKHIR SEBUAH RIWAYAT PEMBERONTAKAN KONGSI
Setelah perang Monterado atau Perang Kongsi, jumlah pejabat kolonial di propinsi bertambah dengan cepat, kepembanturesidenan disusun ulang, dan kekuasaan kolonial semakin diperluas hingga di luar wilayah garis pantai. Pembangunan ini menuntut perekrutan opsir dan pembantu Tionghoa baru di beberapa wilayah. Sambas, Monterado dan Sintang menjadi kepembanturesidenan, dengan beberapa controleur ditempatkan di kota-kota yang lebih kecil. Jumlah controleur terus bertambah menjadi 8 lalu 11 pada 1865. monterado yang mencakup wilayah Thaikong dan kongsi-kongsi lainnya, selain memiliki pembantu residen, juga terdapat empat controleur orang Belanda dan seorang kapthai atau regent Tionghoa, tiga orang kapitan yang ditempatkan di kota-kota yang lebih besar, dan sekitar 30 laothai yang ditempatkan di beberapa kota kecil, bersama dengan perwakilan sultan Sambas, yang bertanggung jawab untuk mengatur penduduk pribumi.
Pada 1880-an, ibukota distrik ini dipindahkan ke Singkawang, yang posisinya menjadi lebih penting bila dibandingkan dengan Monterado yang dulunya menjadi pusat kongsi, sebab populasi penduduk berpindah mendekati pantai. Petunjuk mengenai semakin kurang pentingnya Mandor pada abad ke 20 ialah karena ia hanya dipimpin oleh seorang laothai, sementara Sungai Pinyuh, sebuah daerah pusat perdagangan pesisir yang pernah merupakan bagian dari kongsi Lanfang, mempunyai seorang kapitan. Bekas wilayah Samtiaokioe di Pemangkat dan Seminis menjadi bagian kepembanturesidenan Sambas. Akibatnya, kebanyakan orang Tionghoa kini tinggal di wilayah yang dipimpin oleh penguasa pribumi, sekalipun mereka sesungguhnya berada secara langsung di bawah daulat pemerintah kolonial.
Salah satu akibat jangka panjang dari kerusuhan yang terjadi pada 1912-1914 nantinya, adalah diperluasnya daerah distrik Singkawang. Pada 1914 sebuah daerah perluasan kepembanturesidenan Singkawang dibentuk dan meliputi Singkawang, Pemangkat, Bengkayang yang dahulunya adalah Lara dan Lumar, Sambas dan Mempawah. Pembantu residen yang memimpin daerah ini ialah seorang pejabat sipil dan militer, yaitu seorang militer yang bekerja untuk jabatan sipil dan tetap memiliki kekuasaan militer. Kepembanturesidenan ini menyatukan seluruh bekas distrik pertambangan Tionghoa, termasuk Mandor, yang dipindahkan dari Pontianak. Akibatnya, daerah perluasan distrik Singkawang yang baru ini mencakup semua wilayah yang disebut secara tidak resmi sebagai Distrik Tionghoa. Singkawang baru dibagi ke dalam lima sub distrik: Singkawang, Pemangkat, Bengkayang, Sambas dan Mempawah. Salah satu dari kelima wilayah ini, yaitu onderafdeeling (sub distrik) Pemangkat dibubarkan pada 1923, dan wilayah ini dibagikan antara sub distrik Sambas dan Singkawang.
Karena kekuasaan Belanda diperluas hingga ke daerah pedalaman pada akhir abad ke 19, kebanyakan wilayah yang didiami suku Dayak menjadi berada langsung di bawah kekuadaan Belanda, bukan di bawah daulat penguasa Melayu. Namun, kekuasaan Hindia Timur Belanda di wilayah pedalaman masih lemah. Di wilayah yang luas namun belum berkembang seperti itu, mungkin ada pejabat kolonial yang bisa campur tangan, namun mereka tidak bisa memerintah. Situasi ini menciptakan berbagai kesempatan menarik bagi para pedagang Tionghoa yang banyak akal dan berani. Jumlah opsir dan pegawai Tionghoa di Borneo Barat semakin bertambah sepanjang dekade-dekade ini. Namun, tak jelas apakah mutu dan kewenangan para opsir baru ini juga mengalami peningkatan.
Para pedagang Tionghoalah yang telah mencetuskan perubahan ekonomi di daerah pedalaman. Kebanyakan pemukiman di Borneo Barat yang lebih berkembang dibandingkan kampung, memiliki pasar. Pasar merupakan pemukiman yang ditunjukkan oleh terpusatnya para pedagang Tionghoa yang tinggal di rumah-rumah toko mereka, di mana bagian usaha ditempatkan di bagian depannya, pada lantai rumah, sementara seluruh keluarga tinggal di bagian belakang atau di lantai atas. Pasar di sini berbeda dengan pasar untuk pedagang kampung kecil yang ada di daerah Jawa, karena pasar selalu memiliki arti sebuah pemusatan orang Tionghoa, apakah itu berada di bekas kota kongsi, pemukiman Melayu, atau di pusat pemerintahan di pedalaman.
Orang Tionghoa membangun sebuah pemukiman yang padat di mana mereka menemukan pusat arus lalu lintas, contohnya penyeberangan di sungai, muara sungai dan delta, dan pemukiman ini dengan segera memperoleh ciri perkotaan sekalipun di wilayah itu baru terdapat beberapa rumah. Meskipun para pemilik toko Tionghoa dianggap relatif makmur, namun rumah mereka terlihat berlumut dan terabaikan, terasa tidak nyaman. Di sepanjang sungai terletak tempat mandi yang sederhana. Rumah-rumah mereka biasanya berkonstruksi kayu, kadang dilapisi tanah liat untuk melindungi dari api, dengan atap alang-alang, nipah atau yang lebih mahal yaitu sirap yang terbuat dari kayu besi.
Konstruksi rumah kayu ini cukup baik, namun beresiko karena menjadikannya rentan terhadap kebakaran. Sekalipun pemerintah telah menyakinkan para pemukim untuk mengubah gaya bangunan mereka, namun kebakaran tetap menjadi ancaman yang bisa muncul setiap waktu. Beberapa kebakaran yang terjadi menunjukkan betapa pasar-pasar tersebut sangat berdesak-desakan. Ketika pasar Singkawang terbakar pada 1927, sekitar 70 rumah termasuk 2 sekolah hangus dilahap api. Kebakaran terjadi lagi di wilayah sama pada 1931 dan 1937 yang menghanguskan hotel-hotel, beberapa kelenteng, sebuah masjid, lebih dari tiga ratus rumah, dan seratus toko. Distrik perdagangan yang ada di Pontianak juga pernah berulang kali terbakar, salah satu di antaranya menyebabkan kerugian sebesar f1.000.000 pada 1917.
De Groot menunjukkan bahwa perkumpulan rahasia muncul setelah penghapusan federasi kongsi dan menduga bahwa kongsi telah menjaga agar mereka tetap terkendali, sementara menghilangnya kekuasaan kongsi membuat mereka menjadi bebas bergerak. Tentu saja, kongsi akan meminimalkan kegiatan oposisi dengan cara menegakkan kekuasaannya secara tegas. De Groot secara keras membantah Veth dan Hoffmann, dua sejarawan Belanda yang dia kutip, bahwa kongsi itu sendiri didirikan dalam bentuk perkumpulan rahasia, namun dia mengkaitkan kemunculan kelompok-kelompok rahasia setelah 1855 hingga penghapusan kongsi, dan pengalaman 1884 di Mandor, secara sekilas, tampaknya membenarkan pendapat itu.
Namun demikian, perkumpulan-perkumpulan seperti itu di Borneo Barat sangat terbatas di tingkat lokal. Para pegawai kolonial dilatih untuk mengenali perkumpulan rahasia terutama dari pemikiran Gustaaf Schlegel. Buku ini, Thian Ti Hwui: The Hung-league or Heaven Earth League: A Secret Society with the Chinese in Chine and India (1866) tampaknya menjadi bacaan wajib bagi para pejabat kolonia, terutama petugas bahasa Tionghoa yang seringkali mengutipnya. Buku Schlegel terbit 1866 tadi yang menjabarkan sumpah mereka, katekismus mengenai tanya jawab pengukuhan, dan mengenai organisasi mereka secara rinci. Kapan saja mereka menemukan simbol-simbol perkumpulan atau bukti lainnya, para aparat segera menghubungkan temuan tersebut dengan sebuah kelompok. Meskipun tidak pernah menemukan adanya bukti nyata keterikatan dengan Tiongkok atau Singapura di balik dari sebagian kecil imigran yang sudah menjalani ritus pengukuhan, perkumpulan disangka menyebarkannya kepada yang lainnya di koloni.
Masing-masing konspirasi hui termasuk konspirasi 1912 merupakan sebuah tanggapan dari sebuah provokasi tertentu: penghapusan Thaikong dan penerapan pajak dan wajib kerja pembangunan jalan, penghapusan Lanfang, penistaan aula kongsi setelah kematian kapthai Lanfang, penerapan pajak dan kewajiban baruu, termasuk kewajiban melakukan kerja paksa (corvee) yang diterapkan oleh pemerintah. Pada 1912, kenaikan yang sangat tinggi atas pajak dan kerja paksa memprovokasi kembali terjadinya sebuah perlawanan. Dalam situasi seperti ini, para pemberontak untuk memastikan kesetiaan mereka satu dengan yang lain mempergunakan sumpah dan simbol-simbol yang secara luas sudah dikenal oleh orang Tiongkok bagian selatan dan secara luas sudah dipergunakan untuk mengikat persatuan rakyat. Seperti halnya kongsi, perkumpulan-perkumpulan menerapkan agama rakyat Tionghoa dan simbol-simbolnya. Berbagai tradisi dan simbol tersebut bukanlah enyebab dari kegiatan pemberontakan, namun dipakai sebagai prinsip-prinsip organisasinya.
Apakah kongsi-kongsi tersingkirkan dikarenakan mereka terlalu demokratis? Thaikong yang paling baik dalam menerapkan model ini, pemilihan para pejabat yang begitu sering membuat tidak senang Belanda yang menginginkan berunding dengan mitra yang lebih tetap. Namun, satu penuturan terhadap pemilihan ini memperlihatkan bahwa jabatan yang serupa seringkali hanya digilir di antara para pejabat yang ada, walaupun ini terjadi pada saat yang terakhir, pada masa-masa perang kongsi.
LETUPAN YANG TERSUMBAT
Diawali dengan sebuah kejadian pada 1912, Distrik Tionghoa, terutama di bagian pedalaman, tiba-tiba menghadirkan satu masalah keamanan yang serius bagi pemerintah kolonial. Pemberontakan itu tidak disangka-sangka oleh pemerintah Belanda. Laporan Residen de Vogel menuliskan: [ … Sikap orang Tionghoa pada distrik [perkampungan, pedalaman] ini lebih baik bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain … Awalnya memang terasa mengejutkan bahwa pemberontakan justru terjadi di wilayah yang paling bersikap baik dengan pemerintah, namun sesungguhnya hal ini dapat dipahamai bila melihat tekanan yang mereka alami karena kerja paksa, orang kaya dapat menghindarinya dengan membayar, dan mereka juga dipanas-panasi oleh para penghasut dari pesisir, selain terdapat pula kabar angin yang menyebutkan bahwa para pedagang kaya dari pesisir memberikan uang …]. Ironisnya, de Vogel adalah penulis bersama laporan ini, meskipun ia berkali-kali menyangkal bahwa kerja paksalah penyebab pemberontakan. Laporan mengatakan bahwa sikap yang lebih baik ini tidaklah pro Belanda, namun kurang dipengaruhi oleh nasionalisme Tionghoa.
Kedatangan residen yang baru dan bersemangat pada 1912, Henry de Vogel M Hzn, bertugas antara 1912-1918, yang berencana untuk mengembangkan keresidenan yang begitu terabaikan ini, tentu saja memberikan andil terhadap terjadinya kerusuhan. Di saat yang sama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa permasalahan tersebut telah berkembang sebelum kedatangan de Vogel. Sejak 1906, telah beredar kabar angin mengenai keberadaan perkumpulan rahasia yang baru yang bergerak di keresidenan ini. Pemerintah juga khawatir bahwa pengaruh nasionalisme Tionghoa di kalangan orang Tionghoa di Asia Tenggara juga akan menyebar hingga Borneo. Guomindang dan perkumpulan rahasia telah saling melengkapi, salah satu hal yang ditekankan oleh penasihat de Vogel. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, pemerintah, dan tentunya juga residen, menyalahkan arus politik yang baru ini sebagai penyebab pemberontakan, namun nampak jelas bahwa kewajiban yang dituntut oleh para pejabatlah, bukan ideologi, yang telah mengakibatkan sejumlah orang Tionghoa tiba pada batas kesabarannya. Para pegawai kolonial sering menyalahkan para penghasut dan biang keladi misterius atas terjadinya kerusuhan, sementara kesulitan ekonomi dan perluasan tuntutan kolonial merupakan penyebab yang lebih jelas. Contohnya, di bawah pemerintahan pendahulu de Vogel sejumlah pajak dinaikkan karena upeti telah dihapuskan dan penguasa pribumi membutuhkan pemasukan. Selanjutnya, de Vogel juga menaikkan beban keuangan melalui penambahan pungutan.
Dilihat dari posisinya, tidak mengejutkan bila dikatakan para opsir Tionghoa menjadi korban utama dari pemberontakan. Pada awal 1912, seorang opsir Tionghoa di Buduk yang mencoba menangkap seorang penghasut dipaksa untuk melarikan diri. Pada Oktober 1912 dua orang opsir rendahan Tionghoa, laothai, di Salinse dekat Bengkayang dan di Benuwang dekat Anjungan dibunuh dengan sadis. Kabar angin tentang meletusnya dan kemungkinan menyebarnya sebuah pemberontakan makin berlipat ganda. Perlawanan ini melibatkan Distrik Tionghoa dan Tayan. Pada 1912, orang Dayak dari Landak,, terdiri atas Behe, Dait, Semarua, Seengsatong dan Menyukei yang tidak jelas hubungannya dengan orang Tionghoa, melancarkan protes dengan kekerasan atas kenaikan pajak, namun Landak kembali tenang pada pertengahan 1913. Sejak saat itu, Landak tidak lagi menjadi kerajaan kalangan pribumi. Kabar angin beredar mengatakan bahwa Tiongkok, yang telah memproklamasikan berdirinya Republik pada 2 Januari 1912, mengirimkan kapal perang untuk membebaskan orang Tionghoa yang ada di Borneo dari penindasan Belanda. Di beberapa daerah, bertebaran poster yang mendorong orang Tionghoa agar tidak membayar pajak, dan perlawanan pun tumbuh. Di beberapa tempat, militer harus memaksakan pengumpulan pajak.
Laporan pemerintah kolonial membebankan kesalahan atas peristiwa ini sebagian karena munculnya kegiatan perkumpulan rahasia dan sebagian lagi karena rasa nasionalisme Tionghoa. Kegiatan kaum nasionalis telah memperkenalkan beberapa bentuk gerakan seperti kamar dagang Tionghoa (Shanghui) dan klub membaca politik (Shubaoshe, yang artinya secara harfiah adalah perkumpulan buku dan surat kabar). Bila diteliti lebih dalam akan diketahui bahwa pemberontakan diakibatkan dari kenaikan pajak, kewajiban kerja paksa danpenerapan secara ketat peraturan mengenai keharusan membawa surat ijin jalan (pas) bagi orang Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan. Di satu waktu, mereka bahkan diharuskan untuk membawa lentera di malam hari. Tidak ada laporan tentang pekerja paksa di Borneo Barat dalam penelitian tentang kerja paksa yang diterbitkan di Koloniaal Berslag 1890-an, namun hal ini mungkin disebabkan oleh kelalaian.
Sebagai tambahan, setelah 1900, jumlah penduduk Tionghoa mengalami gelombang imigran baru yang meninggi dan mengendalikan populasi yang kian membengkak ini menjadi sebuah masalah. Pada kuartal pertama 1913, hampir seribu ijin masuk diberikan kepada orang Tionghoa yang tiba di Pontianak. de Vogel takut terhadap satu invasi Tionghoa, akan membawa kalangan yang terburuk yaitu elemen pro-republik. Kedatangan imigran meningkat hingga mencapai lebih dari 6000 orang pada 1913, namun menurun secara tajam selama 1914-1918 dikarenakan perang yang terjadi di Eropa membuat pelayaran menjadi jarang dan kurang dimungkinkan. Bagi banyak pejabat pemerintah kolonial, dan de Vogel adalah salah satunya, Revolusi Tiongkok pada 1911 menimbulkan kecurigaan dan mara bahaya, dan para pendukung republik digambarkan semata-mata sebagai kaum gembel. Namun, apakah dalam kenyataannya para imigran tersebut adalah para pengikut Sun Yat-sen, masih menjadi tanda tanya.
Ketika Belanda menimpakan kesalahan secara berlebih-lebihan atas pecahnya pemberontakan kepada para imigran dan provokator, nyatanya tindakan merekalah yang telah memincu kemarahan orang Tionghoa. Tuntutan pemerintah kolonial terhadap orang Tionghoa semakin meningkat seiring kedatangan de Vogel. Beban yang pertama adalah pembangunan jalan. Penilaian de Vogel adalah benar ketika mengatakan bahwa jalan-jalan di Borneo Barat memerlukan perbaikan. Pada 1832 tidak ada satupun jalan yang pantas disebut sebagai jalan di seantero pesisir barat Borneo. Situasi ini tidak juga berubah hingga 80 tahun kemudian. Untuk kepentingan militer, para pekerja paksa Tionghoa dipaksa untuk membangun jaringan jalan di seputar Singkawang-Monterado-Bengkayang, setelah perang kongsi pada 1850-1854. Pada 1885, dalam perang terhadap sisa-sisa kongsi Lanfang, militer telah membangun sebuah jalan dari Pontianak ke arah Mandor yang mempekerjakan pekerja narapidana, dengan bantuan dari orang Melayu dan Dayak, yang digunakan untuk tujuan militer. Setelah beberapa dekade, hampir semua jalan ini kondisinya rusak dan berubah menjadi hutan. Ini adalah kasus yang terjadi di jalanan Pontianak.
Pada Agustus 1855, jalan baru yang menghubungkan Singkawang dan Monterado selesai dibangun. Pengerjaan jalan terhenti selama 10 minggu untuk memberikan waktu bercocok tanam, setelah itu pekerjaan rekonstruksi sipil dikerjakan lagi dengan sungguh-sungguh. Pada 1856, bekas wilayah Thaikong sangatlah sepi, sementara orang Samtiaokioe telah mundur ke Sarawak. Insiden yang terakhir adalah satu penyerangan terhadap pasukan Belanda di Lumar pada Juni 1856. peristiwa ini kemungkinan diprovokasi oleh kepala setempat yang marah akibat kehilangan penguasaan atas penjualan candu, namun sebab langsung yang menjadi pemicunya adalah karena keputusan Belanda untuk menghancurkan balai kongsi Sjipngfoen yang lama, simbol dari bekas kemerdekaan Lumar. Para pemberontak, kebanyakan dari pertambangan, menduduki balai kongsi, dan membakar pasar sebelum pasukan Belanda yang lebih kuat menghalau mereka keluar. Para penduduk kota Lumar bekerja sama dengan Belanda, dan tidak ada lagi perlawanan dari antara orang Tionghoa di mana pun juga, namun terdapat sekitar tiga ratus orang yang mengungsi ke Sarawak.
Residen de Vogel tiba di wilayah ini dengan membawa sebuah rencana ambisius untuk memajukan perekonomian, khususnya dengan menyediakan sarana komunikasi yang lebih baik. Terutama sekali, dia menginginkan sebuah jalan di sepanjang pesisir yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Singkawang dan Pemangkat sejauh 170 kilometer. Ruas-ruas jalan lain terutama di Distrik Tionghoa akan dibangun ulang atau ditingkatkan mutunya. De Vogel mulai membangun atau menyelesaikan jalan sepanjang 1,843 kilometer atau lebih selama masa jabatannya, sebuah rekor yang menakjubkan pada masa itu. De Vogel juga ingin agar jalan-jalan itu dibangun lebih lebar agar bisa dilalui dua kendaraan bermotor sekaligus, sekalipun pada saat itu masih sulit ditemukan kendaraan bermotor di Borneo Barat. Kebanyakan jalan besar ini lebarnya berukuran 6 sampai 8 meter namun tidak diaspal dan hanya dapat digunakan pada saat musim kering saja.
Untuk tugas yang luar biasa ini, orang Tionghoa diperintahkan untuk menyediakan pekerja berat. Tidak hanya orang Tionghoa dari wilayah kongsi, sebagaimana ditentukan oleh satu peraturan hukum 1857, yang diwajibkan untuk bekerja dalam proyek ini, namun penduduk di wilayah lainnya juga diwajibkan. Kewajiban kerja paksa ini juga diperluas hingga terhadap orang Dayak dan bahkan Melayu. De Vogel juga mewajibkan orang Tionghoa di Distrik Tionghoa untuk tinggal di tempat yang sudah ditentukan, bukannya di kebun lada atau kelapa mereka seperti yang biasa mereka lakukan, sekalipun sampai pada waktu itu aturan itu masih diberi toleransi. Dia menerapkan secara tegas peraturan tentang kartu identitas bagi orang yang bepergian. Beberapa opsir Tionghoa menolak untuk menerbitkan kartu identitas bagi orang yang tidak patuh membayar pajak, sekalipun tindakan ini tidak sah. Bertahun-tahun kemudian, di Volksraad (Majelis Rakyat), seorang perwakilan Tionghoa, Kapitan Tjia Tjeng Siang dari Pontianak, menyatakan keberatan dikarenakan bahkan orang yang terhormat pun sering dihentikan di jalan untuk pemeriksaan kartu identitas dan pajak oleh polisi yang terlalu curiga. Menurut Regeeringsalmanak, Tjia adalah seorang mayor kehormatan.
De Vogel juga menaikkan besarnya pajak kekayaan (bedrifsbelasting) menjadi 4,5 persen pertahun untuk pendapatan di atas f630. dan dengan cara menjalankan secara lebih cermat pendaftaran penduduk Tionghoa, dia meningkatkan jumlah orang yang harus membayar pajak. Segala kewajiban ini tentu saja memicu kemarahan. Pada saat yang sama, dengan berkeyakinan bahwa jumlah imigran yang begitu besar akan menjadi lahan subur perlawanan, maka de Vogel juga mencoba untuk menghalangi arus para imigran dengan jalan memungut pembayaran sebesar 25 gulden untuk setiap ijin masuk yang dikeluarkan. Penambahan 25 gulden dibayarkan untuk biaya imigrasi. Ironisnya, dalam memorandum penyerahan jabatannya pada 1918, de Vogel mengatakan bahwa biaya masuk 25 gulden yang dikenakan pada para imigran terlalu tinggi, bila melihat kebutuhan tenaga kerja di Borneo Barat yang begitu besar.
Pemberontakan pada 1912 yang tidak menyebar luas, kemudian diikuti oleh satu pemberontakan lain yang lebih besar pada 1914 di Mempawah yang mendapat dukungan baik dari orang Tionghoa maupun dari orang Dayak, seperti biasaini adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Pada Juli 1914, para pemberontak melakukan sumpah persaudaraan, mengikat para anggota untuk setia dan menjaga kerahasiaan. Kelompok ini awalnya beranggotakan beberapa ratus anggota, terdiri dari orang Tionghoa, Dayak dan Melayu. Untuk mengantisipasi kerusuhan, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Singapura, sementara yang lainnya bersembunyi di hutan. Beberapa penguasa lokal jugameninggalkan posisi mereka. Namun sepasukan ekspedisi Belanda yang relatif kecil berhasil mematahkan pemberontakan ini.
Pemimpin pemberontakan 1914 ialah Soeng Kap Sen, yang dilahirkan di Pakbulu Mempawah. Pada 1914 Soeng baru saja kembali ke Borneo setelah tinggal beberapa saat lamanya di Negeri Tiongkok. Setelah pemberontakan mengalami kegagalan, dia tidak pernah tertangkap, namun dia melarikan diri menuju Sarawak, barangkali ke Singapura. Sekalipun dikatakan bahwa dasar perjuangannya terinspirasi oleh gagasan nasionalisme Tionghoa, namun sebenarnya dia dan rekan-rekannya berpegang pada sumpah persaudaraan dalam mempersatukan para anggotanya. Mereka juga mengundang orang non-Tionghoa untuk bergabung dan menjalankan sumpah darah dan ikut serta dalam upacara pengukuhan, teknik berorganisasi seperti ini telah dipraktekkan orang Tionghoa dalam pemberontakan kongsi sebelumnya. Kepala klub membaca politik di Singkawang, Lim Moi Lioek, sangat diperhatikan Belanda sebagai orang yang bersimpati pada kaum pemberontak dan sebagai orang yang menggunakan kekuasaan ekonominya untuk mengacau kekuasaan kolonial.
De Vogel meyakini bahwa klub-klub membaca (Shubaoshe) adalah sebuah perkumpulan rahasia, dan pejabat urusan Tionghoa yang bernama Mouw, juga sepakat dengan penilaiannya tersebut. Mereka beralasan bahwa klub-klub membaca itu berhubungan dengan Tongmenghui, organisasi revolusioner Sun Yat-sen terdahulu, yang menggunakan metode persekongkolan perkumpulan rahasia. Penerus organisasi nasionalis seperti Guomindang juga merupakan perkumpulan itu, sesuatu yang masih dilarang keras di Hindia. Oleh karena itu, klub membaca dan kegiatan nasionalis Tionghoa lain, yang diyakini de Vogel terlibat dalam kerusuhan, harus dianggap illegal dan harus dihabisi. Klub membaca seperti itu sangat populer di kalangan para penduduk Hakka di Distrik Tionghoa, satu populasi yang juga sangat terpengaruh oleh nasionalisme Tiongkok kontemporer.
Sebuah keterangan menarik tentang pemberontakan ialah keterlibatan Sinolog Henri Borel yang pernah menjadi Pejabat Urusan Tionghoa di Pontianak 1908-1909, dan menjadi penyokong bagi kepentingan minoritas Tionghoa. Borel, yang menulis pada 1915 di Belanda, menentang birokrat-birokrat Belanda dengan mengatakan bahwa mereka menyalahgunakan revolusi Tiongkok sebagai penyebab kerusuhan ini. Efek nyata revolusi Tiongkok 1911 ialah untuk mendorong orang Tionghoa yang ada di Hindia untuk lebih percaya diri memperjuangkan hak-haknya dan lebih peka terhadap setiap kekeliruan, namun tidak berkecenderungan untuk mengarah kepada penggunaan kekerasan. Borel lahir di Dordrecht 1869, mengabdi selama lebih 20 tahun, dengan beberapa kali jeda, sebagai pejabat bahasa Tionghoa di Hindia, menjadi penasihat untuk urusan Tionghoa pada 1911. pidato-pidato dan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan masalah Tionghoa sangat populer di kalangan etnis Tionghoa, namun tidak demikian di kalangan pemerintah kolonial. Ia diberhentikan secara hormat dari tugasnya 1916 dan wafat di The Hague pada 1933.
Borel bersikeras bahwa perkumpulan rahasia bukanlah penghasut, sekalipun benar bahwa orang Tionghoa yang merasakanperlakuan tidak adil memang bergabung dengan kelompok ini. Menurutnya, kerja paksa dan kenaikan pajak yang menjadi pemicu masalah ini. Kerja paksa merupakan beban yang sangat berat dan sesungguhnya tidak diperlukan, jalan-jalan yang semula pendek dan sempit sekarang dilebarkan dan diluruskan tanpa adanya tujuan yang jelas. Karena itu, orang Tionghoa harus menghadapi tuntutan kerja paksa yang lebih besar, dan orang Dayak, dikaenakan perjanjian baru yang ditandatangani dengan para pemimpin pribumi, diwajibkan ikut kerja paksa untuk pertamakalinya. Dengan melihat kondisi ini, tidak mengejutkan lagi bila orang Tionghoa dan Dayak menentangpemerintah. Residen de Vogel memerintahkan orang Tionghoa untuk membangun dan memelihara ruas jalan di luar wilayah Distrik Tionghoa. Di tempat lain di Hindia, kerja paksa telah dihapuskan, sekalipun telah diperluas di Borneo Barat. Terlebih lagi, lanjut Borel, para pejabat baru menerapkan peraturan tentang sistem pemukiman di antara para petani Tionghoa, sebuah ketetapan yang tidak pernah diterapkan sebelumnya. Pemenuhan kerja paksa menjadi prasyarat untuk mendapatkan ijin tinggal di luar pemukiman. Semua ini diterapkan pada masa ketika harga untuk ekspor penting menurun, termasuk lada dan jalan yang baru dibangun akan memperbaiki kondisi ekonomi tidak dapat meyakinkan para korban dari kebijakan baru yang menindas itu. Corvee bukan hanya tenaga kerja yang tidak dibayar. Mereka juga harus membawa perbekalan sendiri. Orang kaya tentunya lebih memilih untuk membayar pajak daripada bekerja.
Pemberontakan 1914 ini berpusat di Mempawah, terutama daerah Anjungan-Mentidung, di dekat daerah perbatasan bekas kongsi lama Thaikong-Lanfang. Meski ada kabar angin yang memperkirakan bahwa gerakan perlawanan akan menyebar, dan adanya laporan yang menyebutkan bahwa penduduk yang ada di Sambas dan Pontianak kembali mencemaskan keselamatan mereka, namun nyatanya wilayah itu tidak terjamah. Wilayah Mandor juga aman, demikian halnya Monterado. Beberapa orang melarikan diri dari pasar Bengkayang, menduga akan timbulnya kerusuhan, namun sebuah rombongan pasukan berhasil menduduki kota itu tanpa kejadian, setelah itu para penduduk mulai kembali lagi.
Mungkin saja, Anjungan menjadi pusat pemberontakan karena pemimpin pemberontakan 1912, yaitu Soeng Kap Sen, tinggal di dekat Pakbulu. Apalagi, kota ini merupakan pintu gerbang menuju daerah pertanian dan pemukiman Tionghoa yang relatif makmur, terletak di persimpangan yang menghubungkan bekas wilayah kongsi. Ini semua menjadikan daerah ini sebagai wilayah yang strategis penting, seperti pada 1885, dan itu akan terjadi lagi. Pada September 1917, pemerintah akhirnya menarik kewajiban kerja paksa bagi etnis Tionghoa. Di masa depan, unit emerintahan daerah, [landsschappen daerah alam yang dalam prakteknya berarti wilayah penguasa, mereka ini tidak harus berada dalam bidang satu administrasi, namun memiliki kekuasaan anggaran dan sedikit pertanggungjawaban administrasi] harus membayar biaya konstruksi dan pemeliharaan semua ruas jalan. Namun orang Melayu dan Dayak diharuskan untuk bekerja tanpa dibayar secara harian. Hal ini berlangsung hingga Perang Dunia II.
Sekalipun kerja paksa telah dihapuskan dan aturan persyaratan pemukiman telah dikendurkan, informasi yang datang dari Kantor Urusan Tionghoa menyebutkan bahwa sistem pas jalan masih diberlakukan di Borneo Barat pada 1933. sebuah catatan menunjukkan penangkapan terhadap seorang Tionghoa terkemuka, yang disebabkan karena ia menempuh perjalanan tanpa membawa bukti identitasnya, gaung dari protes yang dilakukan sampai kepada Konsul Jenderal Tionghoa di Batavia. Sebagai tambahan, beberapa kepala tetap menolak untuk menerbitkan apa yang disebut kartu kampung, kartu identitas kecuali bila si pendaftar telah mebayarkan semua pajaknya. Setiap polisi bisa memeriksa kartu itu, dengan ancaman satu sampai tiga bulan penjara bila korbannya tidak bisa menunjukkan kartu yang diminta. Seorang pekerja miskin yang pergi mandi di kali tidak bisa membawa kartunya, tapi dia bisa didenda ataupun dipenjara kalau ditangkap tanpa kartu. Di Pontianak, ada seorang controleur yang bahkan memasuki rumah-rumah mencari penduduk Tionghoa yang tidak memiliki dokumen yang lengkap, dan bila ia menemukan ada penduduk yang tidak terdaftar, maka orang tersebut dituduh tidak membayar pajak. Ketentuan mengenai surat identitas ini telah mempengaruhi daerah pesisir barat sejak masa de Vogel, dan diterapkan pada penduduk pribumi juga. Hal ini mengingatkan pada penerapan peraturan penggunaan kartu identitas untuk mengawasi orang Tionghoa di Malaya selama keadaan darurat. Peristiwa ini barangkali serupa dengan yang ditujukan oleh anggota Mahkamah Rakyat, Tjia.
Perkumpulan masyarakat modern yang paling berpengaruh pada masyarakat adalah Siang Hwee atau Kamar Dagang. Perkumpulan didirikan di Pontianak pada 1908 dan setelah itu meluaskan sayap ke kota-kota lain. Berbagai macam cabang akhirnya membentuk federasi Kamar Dagang Tionghoa (Zhonghua Zongshanghui) yang bermarkas di Pontianak, di mana kamar dagang merupakan wakil dari kira-kira 40 persen dari semua perusahaan di kota tersebut, belakangan disebut singkatnya sebagai Zhonghua Shanghui [Kamar Dagang Tionghoa].
Kerusuhan 1914 sudah menjelaskan kegiatan dari organisasi komunitas Tionghoa yang berorientasi politik dan modern, Kamar Dagang yang tentunya juga lembaga perniagaan, dan klub-klub membaca politik (Shubaoshe) sekarang menarik perhatian negara kolonial. Kamar dagang menarik orang-orang perusahaan, sementara klub membaca mengumpulkan orang yang tertarik pada politik dan nasionalisme, termasuk pekerja dan pengusaha kecil. Penguasa kolonial tahu tentang klub membaca di Pontianak, Singkawang, Mempawah, Pakbulu, Mandor, Sungai Pinyuh, Monterado, Bengkayang, Capkala, Pemangkat dan Sambas, semua kecuali tiga terakhir dibentuk secara resmi di bawah hukum Belanda. Klub di Pontianak secara resmi dibentuk pada awal 1908, pada tahun di mana kamar-kamar dagang didirikan, tiga tahun sebelum pecahnya Revolusi Tionghoa 1911.
Di samping dari tujuan yang disebutkan untuk mendorong melek huruf dan tersedianya bahan bacaan berbahasa Tionghoa untuk masyarakat seluas-luasnya, klub membaca di Pontianak juga membantu berdirinya sekolah Tionghoa modern. Penguasa kolonial, yang mencurigai bahwa kegiatan klub membaca membuktikan makin bertambahnya watak proletar, dengan cepat mencatat bahwa anggaran dasar klub membaca menetapkan penyelenggaraan kewenangan di bidang hukum pidana, hal yang peka sejak penghapusan kongsi-kongsi, karena bisa menghidupkan kembali negara dalam negara yang mereka takuti. Pejabat urusan Tionghoa, yang berdinas di Pontianak pada waktu kerusuhan 1914, meyakini klub-klub ini sesungguhnya menjadi cabang Tongmenghui, yang dia percaya adalah perkumpulan rahasia dan sudah pasti ilegal [di samping pertanyaan mengenai kewenangan hukum, Belanda memahami klub-klub itu adalah organisasi politik asing, dan oleh karena itu peranakan dalam pengertian orang Tionghoa kelahiran setempat, tidak bisa menjadi anggotanya. Namun kenyataannya, banyak orang Tionghoa kelahiran Hindia yang menjadi anggota dan sampai-smpai menjadi pengurus. Adalah benar juga bahwa Kamar Dagang, yang fungsinya pada satu sisi adalah sebagai perwakilan kalangan Tionghoia perantauan di dalam Parlemen Tiongkok, di sisi lainnya adalah sebagai perwakilan pengusaha di Hindia, baik itu pendatang dan kelahiran setempat].
Setelah melakukan beberapa pembahasan, bagaimanapun, Belanda memilih membiarkan klub-klub itu dengan damai, dan ini kelihatannya adalah kebijakan yang pantas. Bertahun-tahun berikutnya, Belanda melihat dengan puas bahwa pengaruh dan pentingnya klub membaca Tionghoa telah berkurang, dan masyarakat ini tidak lagi tertarik pada politik nasionalis Tionghoa ketika kesulitan ekonomi berkembang di Borneo. Apalagi Tiongkok sendiri menjadi terbelah di dalam negerinya.
Belanda dapat hidup lebih mudah dengan adanya kamar dagang, yang menarik dukungan mereka karena kecenderungan dari para pengusaha berada yang lebih konservatif, walaupun tetap condong ke Tiongkok. Mereka ini memiliki hak untuk memilih perwakilan bagi lembaga politik di Tiongkok. Keikutsertaan dalam pemilihan di luar negeri, bagaimanapun dianggap illegal buat orang Tionghoa kelahiran Hindia, karena pemerintah kolonial menganggap mereka sebagai kaula negara Belanda [meskipun Tiongkok mengangap mereka sebagai warganegara Tiongkok]. Orang Teochiu dan beberapa orang Hokkien menjadi kebanyakan dari anggota Kamar Dagang, yang tersebar di banyak kota. Orang Hakka dilihat sebagai pendukung yang paling kuat dari klub membaca, contoh lainnya dari sikap politik radikal yang lebih besar dari orang Hakka. Tidak ada banyak kebersamaan di antara kedua organisasi ini, tapi keduanya jelas-jelas berorientasi ke Tiongkok dan urusan-urusan Tionghoa. Van Meteren Brouwer yang menjadi kepala pengelola bank kredit, mengatakan orang Tionghoa di pesisir barat mengirimkan f300.000 ke Tiongkok, sebelum kirim mengirim menjadi penting pada 1930-an.
GL Uljee dalam buku panduan keresidenannya, mengakui bahwa masalah dengan etnis Tionghoa yang muncul antara 1906, ketika sebuah perkumpulan rahasia ditemukan di Mempawah, dan pada 1914 sebagian merupakan cerminan nasionalisme Tionghoa, namun sebagian juga diakibatkan oleh campur tangan kolonial. Lebih dari itu, Uljee menyalahkan penduduk Hakka yang tidak tertib, yang membentuk populasi terbesar dalam Distrik Tionghoa yang membangkang. Uljee membandingkan penilaiannya untuk orang non-Hakka: orang Hoklo tidak pernah menentang pemerintah.
Cara pandang Belanda yang bercabang dua tentang masyarakat Tionghoa di Borneo telah mendarah daging dalam pengetahuan kolonial. Pemberontakan 1912-1914, sekalipun hanya sedikit berpengaruh, sekali lagi telah meyakinkan pemerintah bahwa orang Tionghoa Hakka adalah orang yang harus diawasi. Setelah pemberontakan itu, para polisi bersenjata, sebuah unit khusus yang dikirim ke wilayah pemberontakan yang mengancam setelah pasukan tentara telah ditarik, ditempatkan di Singkawang dan daerah sekitarnya, daerah pemukiman yang didominasi orang Hakka sampai 1926 untuk mendorong perdamaian.
DARI PENAMBANG EMAS KE LADANG DAN DAGANG
Perekonomian modern yang berorientasi ekspor dari Borneo Barat yang bertumpukan baik kepada hasil kekayaan alam maupun pertanian terbentuk pada paruh kedua abad ke 19. banyak ciri-cirinya yang tidak berubah hingga kini: perekonomian yang didominasi oleh hasil pertanian dan bahan baku, mengandalkan diri pada ekspor bahan mentah. Pada 1866 seorang pengamat yang menyaksikan pertambangan emas menulis: …Orang Tionghoalah yang menguasai hampir semua cabang industri di Borneo dan hanya melalui merekalah para penguasa asing dari negeri jauh ini dapat memanen hasil kekayaan dari tanah ini … Di setiap tempat di mana dia dapat menjejakkan kakinya, orang Tionghoa mengubah daratan liar menjadi ladang padi yang subur, membangun jalur jalan untuk menangngkut hasil alam setempat dan bekerja menggarap sumber daya mineral dengan kerajinan dan ketekunan (JH Kloos, 1866: 208)
Beberapa dekade kemudian pada 1925, penulis lain menggambarkan keterampilan para pedagang Tionghoa dalam berhubungan dengan penduduk pedalaman, di mana keunggulan ini sangat menguntungkan, sangat jauh berbeda dengan kesulitan yang dialami orang barat pemilik perkebunan dan tambang di keresidenan ini yang mencoba menggarap kekayaan alam setempat: … OrangTionghoa, berkat menetap bertahun-tahun, mengenal para penduduk dan kebutuhannya, dia secara berkesinambungan berhubungan dengan para penduduk dengan menggunakan sistem peminjaman uang, perdagangan barternya di pedalaman memberikan keunggulan tambahan atas orang Eropa, begitu pula toko-tokonya. Orang Tionghoa pada umumnya bekerja dengan orang yang berhutang dengan dia, keunggulan yang sangat besar dibandingkan dengan mereka yang mempekerjakan para kuli yang mahal, bebas dan kadang tak berkemauan (GL Uljee, 1925: 88)
Peran etnis Tionghoa yang konsisten juga mewarnai perekonomian Borneo Barat. Masa antara 1885 sampai 1942 merupakan masa yang relatif damai, sedikit sekali timbul pergolakan, terkecuali pergolakan 1912-1914. masa-masa ini tidak hanya memungkinkan orang Tionghoa untuk dapat memulihkan dirinya kembali secara bertahap dari kerusakan yang diakibatkan oleh perang dan penghancuran kongsi, namun juga memberikan peluang bagi para pemukim dan pendatang untuk bekerjasama membangun perluasan ekonomi.
Sejak masa Belanda mulai menyelidiki Borneo, mereka menggambarkan potensi tempat ini secara berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa tanah daerah pesisir tidak diragukan lagi sesubur Jawa dan daratan tingginya cocok untuk bertanam kopi, lada dan rempah-rempah. Hasil kekayaan alam seperti rotan, sarang burung dan lilin lebah sangat berlimpah, selain juga emas, intan dan mineral lainnya. Meskipun memiliki potensi kekayaan tersebut, hampir sepanjang abad ke 19 Keresidenan Borneo Barat gagal memperoleh pendapatan yang mencukupi untuk membayar biaya administrasi mereka sendiri. Orang Tionghoa, kelompok yang secara ekonomi paling berpengaruh, seringkali menjadi kambing hitam yang dipersalahkan atas kegagalan Borneo dalam memperoleh pendapatan yang diharapkan. Padahal kenyataannya, tanah Borneo memang tidak subur, potensi pertanian dan sumber daya alamnya sangat terbatas, dan barangkali pula jumlah penduduknya, sangat jauh dari anggapan awal para pengunjungnya (Jacob Ozinga, 1940: 3-4)
Di akhir perang Monterado pada 1854, penguasa kolonial mengharapkan pertambangan emas akan beroperasi kembali, namun banyak penambang yang sudah pergi atas kemauannya sendiri. Penambangan tidak lagi menguntungkan, karena persediaan emas tidak bisa lagi dikerjakan dengan teknologi orang Tionghoa, dan tanpa kongsi, industri tambang tidak memiliki pengusaha untuk menyediakan modal dan mendatangkan pekerja. Lanfang sebagai satu-satunya kongsi yang masih tersisa, juga sedang mengalami penurunan, penduduknya menyusut secara drastis. Untuk mempertahankan populasi penambang yang kebanyakan laki-laki dewasa, mereka bergantung dari penyaluran tenaga kerja baru dari Tiongkok. Imigrasi mengalami penurunan dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi akibat perang Monterado, juga karena pergolakan di Tiongkok selatan, dan juga dikarenakan tidak adanya organisasi kongsi yang mampu mengelola penambangan.
Namun ternyata di akhir abad ini, jumlah orang Tionghoa meningkat, tertarik oleh kesempatan meskipun peluang dalam penambangan emas sangatlah kecil. Sebuah jaringan para pedagang mengumpulkan hasil hutan untuk pasar internasional dan kemudian tanaman niaga membuka peluang-peluang yang baru. Pada 1915, sebagai hasilnya kebun-kebun pertanian karet menyebar luas, dipelopori pertama-tama oleh para pedagang Tionghoa dan dirawat oleh orang Melayu, Tionghoa dan kemudian orang Dayak. Maka, terjadi satu perubahan yang menyeluruh pada perekonomian Borneo Barat selama seperempat abad sebelum 1919. pertanian kecil berkembang dalam skala besar tanpa adanya satu dorongan pun dari pemerintah. Jumlah penduduk bertumbuh seiring dengan perbaikan ekonomi. Seorang pengamat pada 1925 menulis: … Terdapat sedikit wilayah di Hindia … di mana kemakmuran [welvaart] begitu besar, terlebih lagi sebuah kemakmuran yang dicapai melalui upaya dari daerah itu sendiri (Uljee, 1925: 5)
Cacah jiwa yang dilakukan pada abad ke 20 memberikan jumlah penduduk yang lebih pasti dibandingkan dengan perkiraan berlebih-lebihan jumlah orang Tionghoa, Dayak dan lainnya dalam terbitan yang terdahulu. Awalnya jumlah orang Dayak dikira-kira sedapat mungkin. Namun, hingga 1930, para petugas sensus biasanya melakukan penyederhanaan dalam penghitungan di daerah pedalaman tempat bermukim lebih dari empatpuluh ribu orang Tionghoa dan bahkan angka-angka tersebut tidak sepenuhnya tepat (Heidhues, 2003: 134). Pada paruh pertama 1800-an, dalam perselisihan mengenai pajak kepala, birokrat kolonial cenderung melebih-lebihkan jumlah laki-laki dewasa Tionghoa, sedangkan kongsi cenderung untuk merendahkannya. Ahli geografi abad ke 20, James C Jackson, melaporkan terdapat lebih dari empat puluh ribu orang Tionghoa di daerah ini pada 1810-an, dan sekitar lima puluh ribu orang pada 1850 (Jackson, 1970: 24-26). Kedua angka tersebut mungkin terlalu dibesa-besarkan. Pada saat pemerintahan kolonial berdiri di suatu wilayah, penghitungan jumlah kepala lebih dapat dipercaya. Selama 1860-an dan awal 1870-an, populasi orang Tionghoa menjadi sekitar 25.000 jiwa, proporsinya sekitar 7,3 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk pada 1860 dan hanya mencapai 7,7 persen pada 1890.
Setelah 1877, perkembangan jumlah penduduk Tionghoa mulai meningkat secara perlahan, mencapai sekitar 28.000 jiwa pada akhir dekade tersebut. Pada 1905, populasinya sekitar 48.348 atau 10,7 persen dari seluruh populasi, dan pada waktu sensus penduduk 1920 hampir sekitar 67.787 jiwa atau 11,2 persen. Sepuluh tahun kemudian, angkanya mencapai 107.998 atau 13,5 persen. Pertumbuhan tersebut sebagian diakibatkan karena meningkatnya imigrasi, yang dirangsang oleh perubahan ekonomi, dan sebagian karena kenaikan secara alamiah, yaitu perimbangan jenis kelamin yang semakin membaik dan terbentuknya keluarga yang stabil. Antara awal 1856 dan Maret 1857, hanya ada 169 orang Tionghoa yang datang. Pada 1858, 123 orang Tionghoa datang, kebanyakan dari mereka telah menetap bertahun-tahun di Singapura. Hampir semuanya bermukim di Pontianak, namun sebagian kecil dari mereka, orang Hakka, masih berencana mencari peruntungan di pertambangan. Di lain sisi, ratusan orang berpindah ke Sarawak, di mana harga candu lebih murah dan lebih sedikit terjadi kerja paksa. Para penambang pendatang digambarkan berasal dari daerah pegunungan, istilah Hakka baru muncul kemudian dalam naskah-naskah kolonial. Pada 1868, Residen Kater meminta untuk membebaskan ijin imigrasi bagi orang Tionghoa, terutama di Monterado dan Sambas, distrik-distrik yang masih merasakan dampak peperangan dengan Thaikong.
Angka imigrasi antara 1875 hingga 1882 memperlihatkan bahwa angka kedatangan hampir tidak melebihi jumlah yang keluar. Namun demikian, di setiap tahunnya antara 1887 hingga 1895, jumlah kedatangan meningkat, sehingga terdapat selisih ratusan imigran dibandingkan para emigran. Statistik dalam Koloniaal verslag juga menyebutkan angka kedatangan dan keberangkatan dari tempat-tempat tujuan di dalam Hindia Belanda, namun ini secara teknis bukanlah imigrasi, dan kebanyakan dari mereka hanyalah pengunjung sementara. JJK Enthoven (1903: 858-859) mencatat bahwa kebanyakan imigran 1900 yang tetap berada di daerah Kampung Baru Pontianak, belakangan menjadi kuli di penggergajian kayu. Kebanyakan orang Teochiu, enthoven menduga bahwa kebanyakan orang Tionghoa di Mandor dan Sebadu dilahirkan di tempat itu, sedangkan kebanyakan dari mereka yang tinggal di Distrik Pontianak (sekitar 9.059 orang Tionghoa yang tinggal di kota Pontianak dan 1.405 di pemukiman nelayan di daerah pantai Sungai Kakap) adalah imigran.
Sepanjang 1880 hingga 1900, penduduk Tionghoa mengalami kenaikan hingga sekitar 2 persen setiap tahunnya, mendaki menjadi lebih dari 3 persen setelah 1900. keterbatasan sarana angkutan selama Perang Dunia I mengurangi gelombang ini, namun antara sensus penduduk 1920 dan 1930, tingkat kenaikan jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat pertahunnya mencapai tingkat yang luar biasa tinggi yaitu 4,77 persen, kebanyakan disebabkan oleh imigrasi. Arus naik ini bergerak sebaliknya pada tahun-tahun di masa Depresi ekonomi global yang datang segera setelah periode ini.
Pada 1920-an, para imigran diharuskan membuktikan bahwa mereka dapat memperoleh pendapatan teratur dan membayar uang pungutan sebesar seratus gulden untuk kartu ijin sebelum diperbolehkan masuk ke dalam wilayah keresidenan. Pada awalnya biayanya sekitar f25. pada pertengahan 1920-an, diperkirakan 80 persen dari para imigran ini tinggal lebih dari beberapa tahun di Borneo, namun hal ini jelas berubah pada masa Depresi. Barangkali banyak di antara mereka adalah para pekerja yang disponsori oleh para calon majikan mereka, sebagian kecil adalah para guru yang diundang untuk mengajar di sekolah swasta Tionghoa. Kebanyakan imigrasi ini menghasilkan penduduk sementara, sebagaimana ditunjukkan oleh data statistik yang ada. Sejumlah tenaga kerja dan pemetik hasil panen yang datang untuk bekerja sebagai kuli di perkebunan karet dikirimkan kembali ke Tiongkok pada saat pemilik perkebunan memutuskan untuk memangkas biaya sebagai tanggapan terhadap jatuhnya harga karet (Heidhues, 2003: 137) Meskipun jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat melampaui angka 100.000 pada 1930, namun pertumbuhan populasi yang cepat tidak lagi berlanjut sampai 1930-an, dan tingkat pertumbuhan penduduk tahunan di atas 4 persen sebagaimana diperkirakan untuk 1920-1930, terbukti sebagai suatu pengecualian belaka. Depresi mengakhiri pertumbuhan cepat populasi orang Tionghoa, meskipun imigrasi terasa meningkat kembali pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.
PEMUKIMAN BARU
Berlanjutnya pembukaan perdagangan dan pertanian setelah 1900 menciptakan peluang-peluang yang menarik seluruh keluarga untuk ke Borneo Barat, pencarian ini tentu saja sangat berbeda dengan pertambangan yang kebanyakan merupakan pekerjaan laki-laki. Sebagai akibat dari meningkatnya jumlah perempuan, perkawinan campuran menjadi hal yang tidak biasa. Terdapat satu hal lagi yang harus diperhatikan. Ketika mengevaluasi angka-angka ini, mesti ingat bahwa data statistik hanya melaporkan perkawinan sah secara hukum dan karena itu hanya sedikit memberi gambaran mengenai apa yang terjadi di pedalaman. Suatu pencatatan sipil bagi perkawinan sudah diterapkan kepada orang Tionghoa, namun catatan sipil ini biasanya diabaikan oleh penduduk Tionghoa. Pencatatan Sipil (burgerlijke stand) untuk perkawinan penduduk Tionghoa diperkenalkan di Borneo setelah 1925. Dua puluh tahun kemudian, pencatatan sipil ini masih sedikit atau tidak berperan dalam perkawinan orang Tionghoa.
Beberapa orang Tionghoa meninggalkan Mandor dan bermukim di sekitar Pontianak, sebagaimana dilakukan para pendatang baru dari Tiongkok, masyarakat perkotaan di pelabuhan paling utama di Borneo Barat menyediakan kesempatan yang lebih baik untuk bekerja sebagai buruh atau tukang di sana. Pontianak berkembang sesuai dengan pola pada awal-awal pendiriannya, pada 1903 pusat kota masih tertata sebagaimana digambarkan pada masa awal abad ke 19. di tepian sebelah kiri sungai Kapuas terdapat kampung Tionghoa dan pemukiman orang Eropa yang berlokasi di dekat sungai, dengan gedung fasilitas umum, sekolah-sekolah dan barak militer. Kampung Tionghoa terletak dekat sungai, sebagian rumahnya terus menjorok hingga ke dalam air. Rumah-rumah hunian, toko-toko dan bangunan komersial saling berebut mencari tempat. Secara singkat, sebuah labirin Tionghoa, dengan hiruk pikuk kesibukan rajin yang terus menerus, sangat kontras dengan lingkungan Eropa yang tenang dan terasa luas.
Dengan gaya hunian Melayu, rumah-rumah Tionghoa dihubungkan satu sama lain dengan tempat berjalan berlapiskan papan. Pertokoan dan pergudangan dipenuhi oleh berbagai komoditas yang mudah terbakar, dan seringkali memang menjadi korban kebakaran. Sekitar awal 1851, sebuah peristiwa kebakaran menghanguskan kelenteng dan beberapa rumah di lingkungan tersebut, dan kebakaran sering terjadi berulangkali di kampung Tionghoa sepanjang pertengahan abad berikutnya. Belanda kemudian bersikeras agar orang Tionghoa membangun rumah dari batu, meskipun demikian hal ini tidaklah mencegah timbulnya kebakaran. Setiap rumah juga merupakan sebuah toko atau bengkel. Toko-toko tersebut dipenuhi dengan berbagai barang, mempertunjukkan kerajinan dan bahkan kemakmuran, meskipun demikian para pekerja Tionghoa yang menyediakan tenaga kasar bagi pemukiman ini, keadaannyanya sangat miskin dan menarik belas kasihan orang yang melihatnya.
Pontianak mendominasi perdagangan, perniagaan dan pemerintahan di keresidenan tersebut. Orang Tionghoa di Pontianak membiayai dan mengekspor berbagai tanaman komoditas ekspor utama. Gambir umapamnya ditanam di pertanian yang lebih besar dengan menyewa kuli-kuli Tionghoa atau Dayak. Singkawang menjadi pelabuhan paling penting kedua, Sambas dan Mempawah jauh ketinggalan. Kampung Tionghoa di Sambas yang juga memiliki rumah-rumah panggung yang didirikan di atas pilar-pilar kayu yang ditanam di sepanjang atau ke dasar sungai, jauh lebih kecil dari Pontianak, dan tampaknya pada akhir abad ke 19 mengalami kemelaratan. Karena kekurangan lahan untuk menanam sayur mayur, para penduduk membuat kebun mereka mengapung di air, dan kelihatannya sangat diabaikan. Untuk daerah Sambas, pesisir Pemangkat menjadi pusat perdagangan wilayahnya.
Di Sungai Purun, sebuah kota yang awalnya termasuk wilayah kongsi Lanfang, di kelentengnya sekarang ini terdapat barang-barang peninggalan kongsi, ini adalah satu-satunya peninggalan yang diketahui masih tersisa dari Lanfang yang ditemukan dari seantero propinsi di luar Mandor. Peninggalan ini termasuk sebuah prasasti pintu gerbang dan lukisan sang pendiri kongsi, yaitu Lo Fong Pak (Luo Fangbo. Inilah satu-satunya tempat di luar Mandor, di mana ditemukan bukti tertulis keberadaan kongsi. Potert itu, menyebut Lo Raja Pontianak. Lanfang Futhang (futing, degung) yang ada di Pontianak tidak ada lagi. Gedung ini mula-mulanya melingkupi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan persembahyangan bagi Lo Fong Pak, pendiri Lanfang, mengatur perayaan-perayaan berkala, menampung para imigran yang tengah mencari pekerjaan di pertambangan atau di kota, dan menyediakan ruang untuk sekolah dan tempat tinggal bagi kapthai yang sedang berkunjung ke kota.
Lanfang Futhang memiliki sejumlah rumah dan meminjamkan uang dengan bunga tahunan 24 persen, sebagian berasal dari investasi dalam bidang penyediaan rumah dan tanah. Gedung ini berada di bawah sokongan kapitan Hakka di Pontianak, Then Kie San dan kepala Lanfang, Soeng A Tjap, dan dibangun kembali 40 atau 50 tahun kemudian pada 1869, kali ini proyek rekonstruksinya disponsori olehKapthai Lioe A Sin dari Lanfang dan The Sioe Lin yang juga adalah kapitan Hakka di Pontianak. Soeng A Tjap adalah seorang kepala dari 1811-1823, Belanda pertamakali berhubungan dengannya sewaktu mereka kembali ke Pontianak. Regeringsalmanaak tidak mencatat daftar pejabat Tionghoa sebalum 1838, sehingga posisi jabatan Then tidak diketahui. Dia boleh jadi adalah leluhur Then Sioe Lin.
Bangunannya kuat dan membutuhkan perhatian yang terus menerus dan perbaikan berkala untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Pada September 1885, beberapa anggota keluarga Kapthai Lioe bertemu dengan pemimpin-pemimpin masyarakat untuk membicarakan pengaturan ulang, dan untuk memperbaiki gedung yang menjadi satu masalah. Kampung Baru adalah pemukiman orang Hakka di bagian kanan tepian Sungai Landak, sementara Kampung Lama, begitu orang Tionghoa melihatnya, berada di bagian kiri tepian sungai Kapuas bersama dengan kampung orang Tionghoa dan pasar Pontianak. Futhang dengan demikian juga berada di Kampung Lama. Semenjak awalnya rumah tersebut dijadikan bangunan sekolah, tetapi suatu ketika, setelah 1900 semasa periode saat pendidikan Tionghoa dimodernisasi, satu sekolah yang dapat diakui lebih modern dibuka di halamnnya. Dalam 1938-1939, setelah kebakaran menghancurkan bangunan lama, bangunan Lo Fong Pak yang baru dibangun kembali, menghabiskan biaya f15.000, bertempat di bagian tengah Pontianak. Malangnya, aula dua tingkat yang dahsyat dan tidak biasa ini, jatuh ke dalam reruntuhan puing-puing setelah 1965, ketika kebanyakan perkumpulan Tionghoa ditutup oleh rezim Orde Baru dan bangunan tersebut disita oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu.
FH van Naerssen dalam Verslag van mijn verblijf in Kalimantan Barat (1949: 27) menuliskan: … orang Tionghoa menyebar luas ke seluruh penjuru Borneo Barat jauh ke pelosok terdalam, mereka menetap sebagai tauke di kemudian hari, pada masa damai di pedalaman, orang Tionghoa bebas menetap di manapun dia pilih. Mereka membuka toko, terutama pada tempat pertemuan dua arus sungai. Jika landasan ekonomi orang Melayu atau Muslim ada pada perdagangan wajib, orang Tionghoa berhasil memperoleh monopoli berkat sistem mereka dalam pembayaran di muka. Pada saat ini orang Dayak dan Tionghoa terikat dalam satu simbiosis ekonomi, dan ini memunculkan pertanyaan apakah secara keseluruhan, kondisi ini baik atau buruk.
Pada abad ke 20, panen yang buruk di pedalaman dan konsentrasi pada produksi komoditas ekspor membuat sebagian besar daerah tersebut tergantung pada beras impor. Kelangkaan industri barang konsumsi setempat berarti barang-barang tersebut harus didatangkan baik dari pulau-pulau lain maupun dari luar negeri. Dalam situasi seperti ini, para pedagang Tionghoa mendapat kesempatan yang memadai untuk mempergunakan bakatnya. Meskipun banyak kegiatan ekspor-impor yang menguntungkan dikuasai oleh perusahaan dagang Eropa, namun penyaluran barang impor dan pengumpulan hampir semua barang ekspor masih berada di tangan para pedagang Tionghoa.
Para pedagang Tionghoa hidup berdekatan dengan konsumen setempat, selain itu jaringan mereka meluas hingga ke pelabuhan masuk di luar negeri seperti Singapura, Bangkok atau Saigon, di mana barang kebutuhan pokok seperti beras dan barang konsumsi tidak pokok lainnya dapat dibeli. Para usahawan Tionghoa sudah menjadi pengimpor beras utama pada 1880-an, sebelum Borneo mengalami ketergantungan pada beras impor, pasokan mereka menyebabkan impor resmi pemerintah menjadi berlebihan dan sia-sia. Sebagai contoh, pada 1891, ketika panen gagal karena cuaca buruk, para pedagang Tionghoa tanpa dorongan resmi, memasukkan sekitar 219.999 pikul beras impor dari Siam.
Pada abad ke 20, impor beras yang vital tergantung pada pendapatan dari ekspor. Selama masa Depresi, ketika harga ekspor jatuh berakibat satu penyesuaian yang menyakitkan. Kehadiran jaringan perdagangan Tionghoa di pedalaman telah menyelamatkan orang Dayak dari bahaya kekurangan bahan makanan jika panen gagal. Para penduduk pedalaman dapat membeli beras dari toko Tionghoa, bahkan secara berhutang jika perlu, suatu kondisi yang meningkatkan baik keamanan maupun mutu dari pasokan makanan mereka. Meskipun orang luar mengkhawatirkan jeratan utang yang menimpa orang Dayak, namun kenyataannya, sistem ini telah membawa barang-barang kebutuhan ke tangan mereka. Selain hutang mereka, orang Dayak, dalam hubungan yang semacam itu di atas segalanya menikmati penggunaan uangnya untuk membeli barang-barang sebelum memenuhi kewajiban mereka kepada pedagang.