Sabtu, 03 Oktober 2009

MELACAK AKAR PERDAMAIAN DI TIMUR TENGAH

MELACAK AKAR PERDAMAIAN DI TIMUR TENGAH
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

DARI OSLO HINGGA INTIFADAH AL AQSA
Benang merah konflik Timur Tengah bertali temali dengan cita-cita awal gerakan zionisme yang didirikan Theodore Herzl pada 1896. konggres pertama gerakan Zionis di Basle Swiss 1897 merekomendasikan berdirinya negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai di seluruh dunia. Kongres berikutnya pada 1906, gerakan Zionis baru merekomendasikan secara tegas, mendirikan negara bagi rakyat Yahudi di tanah Palestina. Situasi politik di benua Eropa dengan pecahnya Perang Dunia I (1914-1918), memberi awal peluang bagi gerakan zionisme itu untuk menggapai cita-citanya tersebut. Inggris yang terlibat dalam Perang Dunia I melawan Jerman, ternyata bermain mata dengan gerakan Zionis pimpinan Herzl dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman (Khalifah Utsmaniyah).

Inggris di satu pihak mendorong bagi bangkitnya nasionalisme Arab untuk melawan kekuasaan Dinasti Ottoman yang memihak Jerman saat itu. Di pihak lain, Inggris memberi janji pula sebuah negara di Palestina pada gerakan Zionisme saat itu, hingga terjadi semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan bagi berdirinya negara Yahudi di tanah palestina. Ada dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi bagi berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot 1916 antara Inggris dan Prancis, yang membagi peninggalan Dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan, Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedang Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Jordania. Sementara Palestina dijadikan status wilayah internasional.

Kedua, Deklarasi Balfour 1917, yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan zionisme. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai melakukan imigrasi ke tanah Palestina pada 1918. Pada awal 1930-an gerakan Zionis di tanah Palestina berhasil mendapat persetujuan pemerintah protektorat Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke tanah Palestina secara besar-besaran. Reaksi rakyat Palestina saat itu cukup keras. Pada 1936, mereka mengadakan mogok total.

Negara-negara Arab, atas permintaan Inggris, membujuk pemimpin spiritual Palestina, Muhammad Amien Huseini, agar menginstruksikan kepada rakyat Palestina mengakhiri aksi mogoknya. Pemerintah protektorat Inggris waktu itu juga menjanjikan akan menyelesaikan masalah Palestina bila Amien Huseini bersedia menggunakan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina. Amien Huseini, dengan jaminan Inggris dan atas nama solidaritas dengan negara Arab, memenuhi permintaan tersebut, dan aksi mogok pun kemudian berakhir. Pemerintah Inggris bersama delegasi Palestina lalu mengadakan kongres di London dari September 1946 sampai Februari 1947. Namun kongres tersebut tidak menghasilkan keputusan apa-apa tentang Palestina. Pemerintah Inggris akhirnya menyerah dan melimpahkan masalah Palestina ke PBB.

PBB kemudian membentuk komite khusus untuk mencari penyelesaian masalah Palestina. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan studi lapangan, komite ini mengajukan dua usulan. Pertama, membagi dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab namun dengan adanya kesatuan sistem ekonomi. Kedua, membentuk negara federal antara Yahudi dan Arab. PBB, atas desakan AS, menolak dua usulan dari komite itu. Kemudian melempar masalah Palestina ke forum sidang Majelis Umum PBB pada 29 Nopember 1947. Pada saat itu pula MU PBB mengadakan pemungutan suara, dan hasilnya keluar resolusi PBB Nomor 181 yang menegaskan membagi dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab, serta memberi jangka waktu kekuasaan pemerintah protektorat Inggris di tanah Palestina sampai Agustus 1948.

Resolusi No 181 tersebut, menegaskan pembagian tanah Palestina menjadi dua bagian, yaitu 56 persen untuk Yahudi dan 44 persen untuk Arab. Pada acara pemungutan suara, resolusi tersebut praktis tidak menemui hambatan yakni tercatat 33 negara mendukung, 13 menolak dan 10 abstein. Pemerintah protektorat Inggris mengemukakan kelegaannya atas turun tangannya PBB menyelesaikan masalah Palestina yang saat itu dianggap duri dalam daging. Aktivis gerakan zionisme di tanah Palestina segera pula mengakui resolusi itu dan diikuti pembentukan pemerintahan sementara Yahudi.

Pada tahun berikutnya, 14 Mei 1948, David Ben Gourion mengumumkan secara resmi berdirinya negara Israel dengan berpijak pada legitimasi resolusi PBB No 181. Beberapa saat dari pengumuman itu, pemerintah AS menyatakan pengakuannya terhadap negara Israel, yang kemudian disusul pengakuan dari Uni Soviet. Selanjutnya negara baru Israel tersebut berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Tetapi sejak saat itu pula, mendungnya awan Timur Tengah berawal. Negara-negara Arab serta merta menolak resolusi PBB No 181 itu. Hal itu pula yang menyebabkan meletusnya perang Arab-Israel pertama 1948. Pasca perang 1948 ini, nasib rakyat Palestina justru semakin buruk.

Pemerintah Israel saat itu dengan berpijak pada resolusi PBB No 181 untuk pertama kalinya menerapkan kebijaksanaan pemisahan komunitas Yahudi dan Arab yang berada di dalam teritorial negara Israel. Bahkan sayap radikal gerakan zionisme melakukan aksi pengusiran rakyat Palestina. Maka tak pelak lagi, negara-negara Arab tetangga (Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir) harus menerima kehadiran kamp-kamp pengungsi Palestina. Itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pengungsi 1948. Ungkapan akan melempar negara Israel ke laut yang sering didengungkan negara Arab, khususnya pada dekade 1950-an dan 1960-an, adalah merupakan pengungkapan ketidaksiapan bangsa Arab secara mental menerima resolusi PBB Nomor 181 dan pada gilirannya terhadap kehadiran negara Israel. Lahirnya dua kutub yang saling bermusuhan, bangsa Arab dan Yahudi, di Timur Tengah ini pun tak dapat dihindarkan.

Hal ini menjadi sebab bagi munculnya kekuatan-kekuatan revolusionernya di dunia Arab tampil di tampuk kekuasaan pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dimulai dari tampilnya Gamal Abdul Nasser dengan gerakan Naserisme-nya di Mesin 1952, kemudian Partai Baath di Irak 1963 dan Suriah (Hafez Assad) 1969, Presiden Hawarie Bumedien di Aljazair 1964, Muammar Khadafy di Libya 1969 dan Djakfar Nyumeri di Sudan 1969. negara-negara di kawasan Timur Tengah ini juga terseret ke dalam kutub dua negara adi kuasa (AS dan Uni Soviet) yang sedang terlibat perang dingin. Negara-negara Arab radikal jatuh dipelukan Uni Soviet, sementara Israel berada di bawah lindungan AS.

Kebijaksanaan kekerasan sebagai cara penolakan terhadap resolusi PBB No 181 menjadi pilihan utama negara-negara Arab saat itu. Maka Timur Tengah menjadi kawasan paling sering dilanda perang besar: Perang Arab-Israel 1956, 1967, 1973 dan secara terbatas 1982 antara Israel-PLO di Lebanon, pada pasca Perang Dunia II. Gerakan-gerakan aliansi regional untuk mematahkan resolusi PBB No 181 ini juga sering muncul di kawasan Timur Tengah. Pada 1960-an muncul Republik Persatuan Arab (penyatuan Mesir-Suriah). Seusai perjanjian perdamaian Mesir-Israel di Camp David, muncul Front Timur yang terdiri dari Suriah, Irak dan PLO. Akibat berbeda pendapat Suriah-Irak dalam perang Irak-Iran menyebabkan Front Timur ini bubar. Kemudian muncul lagi Front Pantang Menyerah yang beranggotakan Suriah, Libya, PLO dan Yaman Selatan.

Namun demikian, baik Israel maupun Arab kini sama-sama melupakan resolusi PBB No 181 ini. Pada proses perdamaian yang terus digulir di Timur Tengah, kedua belah pihak sepakat merujuk pada resolusi PBB No 242 yang turun pada pasca perang 1967. Kekalahan telak bangsa Arab dari Israel pada perang Juni 1967, rupanya tidak ada pilihan bagi bangsa Arab kecuali menerima resolusi PBB No 242 yang justru lebih menguntungkan Israel. Mendiang Presiden Anwar Sadat dari Mesir barang kali bisa dicatat sebagai presiden sebuah negara Arab yang pertama memelopori bagi eksisnya resolusi PBB No 242 di kawasan Timur Tengah ini. Gebrakannya lewat kunjungannya yang bersejarah ke Jerussalem 1977 dan disusul penandatangan perjanjian perdamaian Mesir-Israel di Camp David 1979, patut ianggap tindakan luar biasa berani.

Sejak itu sikap keras negara-negara Arab terus menurun. Konferensi puncak Arab di Fez Maroko 1982, untuk pertama kalinya mengeluarkan keputusan yang secara implisit menerima eksistensi negara Israel dan resolusi PBB No 242. puncak dari kelenturan sikap Arab adalah kesediaannya hadir pada konferensi perdamaian Timur Tengah di Kota Madrid Spanyol 1991 dengan sepakat menjadikan resolusi PBB No 242 sebagai rujukan. Dan sebab itu pula, kedua belah pihak Arab dan Israel sudah tidak mungkin lagi kembali ke resolusi PBB No 181. pihak-pihak yang bersengketa di Timur Tengah kini pun sepakat menjadikan resolusi No 242 sebagai kerangka penyelesaian. Suatu langkah terobosan dilakukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel untuk menerjemahkan resolusi PBB itu. Hasilnya, mereka menyetujui alternatif Gaza-Jericho terlebih dahulu yang dikenal dengan kesepakatan Oslo pada 1993.

Pasca Kesepakatan Oslo itu, proses perdamaian di Timur Tengah terus bergulir. Pada Oktober 1995, dicapai Kesepakatan Oslo II di Taba Mesir yang mengantarkan diserahkannya kota-kota dan desa-desa Palestina di Tepi Barat, seperti Ramallah, Bethlehem, Nablus, Tul Karem, Kalkiliya dan Jenin. Kota Hebron (Al Khalil) kemudian juga diserahkan pada Palestina melalui kesepakatan khusus yang dicapai Januari 1997. pasca Kesepakatan Hebron tersebut, masih ada Kesepakatan Wye River 1998 yang dicapai antara Yasser Arafat dan PM Benjamin Netanyahu serta kesepakatan Sharm Al Sheikh 1999 yang dicapai antara Yasser Arafat dan PM Ehud Barak. Namun Kesepakatan Wye River mauun Sharm Al Sheikh itu tidak pernah dilaksanakan oleh Israel.

PM Barak lebih cenderung langsung memasuki perundingan final dengan Palestina untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina itu. Faktor itulah yang melatar-belakangi digelarnya perundingan Camp David II Juni 2000 yang mengalami kegagalan itu dan dampaknya memicu meletupnya intifada Al Aqsa 28 September 2000. berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan intifadah Al Aqsa dan menggiring Israel-Palestina ke meja perundingan lagi, namun selalu mengalami kegagalan. Perundingan damai di Taba Mesir pada Januari 2001, proposal damai Mesir-Jordania April 2001, kesepakatan gencatan senjata yang dipraksarsai Direktur CIA George Tenet Juni 2001, laporan komisi pimpinan mantan senator AS George Mitchell 2001, dan terakhir proposal damai Arab yang diadopsi KTT Arab di Beirut-Lebanon Maret 2002, adalah rangkaian usaha yang gagal mengembalikan Israel dan Palestina ke meja perundingan. Klimaks dari dampak kegagalan tersebut, Ariel Sharon 29 Maret 2002 melancarkan agresi besar-besaran ke Tepi Barat dan mengisolir Yasser Arafat di markas besarnya di Ramallah yang berakhir 1 Mei 2002. Agresi Isreal yang disebut Operasi Perisai Dinding itu telah mendorong pemerintah Amerika Serikat (AS) melontarkan lagi inisiatif menggelar perundingan Timur Tengah di salah satu negara Eropa pada musim pada 2002.

ISRAEL DAN KRISIS PERDAMAIAN
Keberadaan negara Israel yang diproklamirkanDavid Ben Gourion 14 Mei 1948 tentu tak terlepas dari cita-cita awal gerakan zionis yang didirikan Theodore Herzl 1896. kongres pertama gerakan zionis di Basle Swiss 1897 merekomendasikan, berdirinya negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai berai di seluruh dunia. Pada kongres kedua, 1906, gerakan zionis pimpinan Herzl itu baru merekomendasikan secara tegas, mendirikan sebuah negara bagi rakyat Yahudi di tanah Palestina. Proses imigrasi Yahudi besar-besaran dari Eropa ke tanah Palestina dimulai 1930-an. Impian gerakan zionis itu baru terwujud ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi No 181 pada 29 Nopember 1947 yang menegaskan membagi tanah Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Resolusi PBB No 181 tersebut, mengantarkan David Ben Gourion memproklamirkan negara Yahudi 14 Mei 1948.

Resolusi PBB No 181 tahun 1947 dan deklarasi negara Yahudi 1948 itu, ternyata membawa petaka di Timur Tengah yang terus berlanjut hingga saat ini. Negara-negara Arab saat itu memilih perang daripada menerima resolusi PBB No 181 dan negara Yahudi tersebut. Perang Arab-Israel pertama pun meletus 1948, kemudian disusul Perang Suez 1956, Perang Arab-Israel 1967 dan 1973 serta perang Lebanon 1982. perang Arab-Israel 1967 itu, telah mengantarkan lahirnya resolusi DK PBB No 242 yang berhasil diturunkan 22 Nopember 1967 melalui pemungutan suara untuk mencari penyelesaian jalan tengah konflik Arab-Israel. Inti dari isi resolusi DK PBB No 242 tersebut, adalah tidak dibenarkan menduduki daerah melalui peperangan serta meminta Isreal menarik pasukannya dari tanah-tanah yang diduduki.

Sejak itu semua pihak yang bersengketa di Timur Tengah dituntut merujuk kepada resolusi tersebut dalam menyelesaikan konflik mereka. Resolusi itu terdiri dari Pendahuluan dan 4 Pasal. Pendahuluannya berbunyi DK PBB merasa cemas atas terus berlanjutnya keadaan genting di Timur Tengah. Dan menekankan bahwa tidak dibenarkan menduduki daerah melalui peperangan. Dan diperlukan upaya menciptakan perdamaian yang adil dan abadi, di mana setiap negara di kawasan itu bisa hidup dengan aman. Dan menekankan bahwa semua negara anggota telah berjanji akan berusaha menciptakan perdamaian sesuai dengan Bab II Piagam PBB.

Pasal I berbunyi, DK menekankan bahwa penerapan prinsip-prinsip piagam PBB harus melalui terwujudnya perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah, yang mencakup dua prinsip: 1. Penarikan pasukan Israel dari tanah-tanah yang diduduki 2. Mengakhiri semua aksi provokatif dan keadaan perang, serta menghormati dan mengakui kedaulatan setiap negara, kesatuan tanah, kemerdekaan politik, hak hidup dengan damai di dalam perbatasan yang diakui bersama dan menjauhi dari tindakan-tindakan kekerasan.
Pasal II berbunyi, DK menekankan 1. Terjaminnya kebebasan lalu lintas di perairan internasional kawasan Timur Tengah 2. Penyelesaian yang adil terhadap pengungsi 3. Terjaminnya kehormatan tanah dan kemerdekaan politik setiap negara di kawasan Timur Tengah, antara lain dengan cara menciptakan kawasan bebas senjata
Pasal III berbunyi, DK memberi kuasa pada Sekjen PBB guna menunjuk utusan khusus ke Timur Tengah, untuk mengadakan kontak dengan negara-negara yang bersengketa, guna mencari kesepakatan serta membantu menciptakan penyelesaian damai yang bisa diterima semua pihak, sesuai dengan prinsip-prinsip resolusi. Pasal IV berbunyi, DK meminta Sekjen memberitahu DK secepat mungkin tentang hasil lawatan utusan khusus tersebut.

Pemerintah Israel saat itu serta merta menyambut baik atas turunnya resolusi 242 PBB. Tangapan resmi pemerintah Israel berbunyi, “Resolusi PBB Nomor 242 merugikan Israel secara politis namun melindungi kepentingan dasar kita”. Bagi Israel, resolusi itu secara eksplisit memang tidak memberi legitimasi keberadaan pasukannya di tanah Arab. Dan tidak menuntut pihak Arab mengadakan perundingan langsung dengan Israel atau hubungan diplomasi atau kerja sama ekonomi. Namun resolusi itu memberi keuntungan karena menuntut pihak Arab mengakhiri keadaan perang dan mengakui eksistensi Israel. Serta memberi kebebasan lalu lintas di perairan internasional di kawasan Timur Tengah.

Sementara pihak Arab tidak memberi tanggapan yang seragam atas resolusi itu. Palestina memprotes turunnya resolusi karena tidak menyinggung kepentingan dasarnya, bahkan rakyat Palestina Cuma dilihat sebagai pengungsi. Suriah menolak sama sekali. Yordania tidak mengambil sikap tegas. Sedangkan Mesir menyatakan menerima resolusi. Menurut Menlu Mesir saat itu, Mahmoud Riyad, beragamnya sikap Arab karena sudah menduga bahwa yang dapat memberi penafsiran kelak terhadap resolusi itu adalah pihak yang lebih kuat secara militer.

Akan tetapi kini baik Israel maupun negara-negara Arab, sama-sama menerima resolusi DK PBB No 242 sebagai rujukan proses perdamaian yang secara resmi dimulai sejak konferensi damai di Madrid 1991. terobosan sangat signifikan yang dilakukan Israel dalam konteks proses perdamaian di Timur Tengah ketika dicapai Kesepakatan Oslo 1993 dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kesepakatan Oslo itu merupakan kesepakatan damai terpenting di Timur Tengah setelah perjanjian damai Israel-Mesir di Camp David 1979. namun Kesepakatan Oslo tersebut sekaligus menguak adanya segmen-segmen masyarakat Yahudi yang belum siap menerima proses perdamaian Timur Tengah. PM Israel Yitzhak Rabin yang menggagas kesepakatan Oslo itu, akhirnya tewas di tengah ekstremis Yahudi Yigal Amir Nopember 1995.

Tewasnya PM Rabin tentu merupakan pukulan telak bagi proses perdamaian di Timur Tengah. Peristiwa tersebut lalu disusul oleh kekalahan Partai Buruh yang moderat dari partai Kanan Likud yang lebih radikal pada pemilu Israel Mei 1996. kemenangan Partai Likud pimpinan PM Benjamin Netanyahu saat itu menyebabkan tersendat-sendatnya pelaksanaan Kesepakatan Oslo yang merupakan hasil kesepakatan PLO dan partai Buruh. Kesepakatan Hebron Januari 1997, adalah bukti alotnya perundingan Israel-Palestina pada era PM Benjamin Netanyahu. Perundingan Hebron itu memakan waktu hampir satu bulan dan nyaris gagal, seandainya tidak ada campur tangan langsung utusan khusus Amerika Serikat saat itu Dennis Ross. Palestiona pun akhirnya harus menerima kota Hebron dibagi menjadi dua bagian, yakni 20 persen tetap dikuasai Israel dengan kedok menjaga keamanan pemukiman Yahudi di tengah kota tersebut, dan 80 persen di bawah kontrol Palestina. Pada era PM Netanyahu, proses perdamaian Timur Tengah mengalami kemacetan hampir selama dua tahun, hingga tercapai Kesepakatan Wye River di AS Oktober 1998. meski demikian, Kesepakatan Wye River tersebut tidak dilaksanakan dan bahkan dibekukan oleh PM Netanyahu.

Pemilu Israel Mei 1999 yang dimenangkan pemimpin Partai Buruh Ehud Barak, semula memberi harapan lagi atas masa depan perdamaian. PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Sharm el-Sheikh di Mesir September 1999. Namun PM Barak tidak melaksanakan pula Kesepakatan Sharm el-Sheikh. PM Barak lebih memilih berusaha mencapai kesepakatan final langsung daripada kesepakatan bertahap. Faktor itulah yang mendorong pemerintah AS Bill Clinton dengan persetujuan PM Ehud Barak menggelar Perundingan Camp David II Juli 2000 yang mengalami kegagalan itu. Perundingan Camp David itu telah membawa krisis politik di Israel, lantaran sebagian besar partai politik yang tergabung dalam pemerintahan koalisi pimpinan PM Barak, menentang konsesi terlalu besar yang diberikan Ehud Barak pada Palestina dalam perundingan tersebut.

Karena itu, perundingan Camp David merupakan awal menuju kejatuhan pemerintah PM Barak. Pasca perundingan Camp David itu, Israel dililit krisis politik luar biasa yang memaksa PM Barak mengundurkan diri dan menggelar pemilu lebih cepat. Bersamaan dengan itu, Palestina menggerakkan Intifadah Al Aqsa sebagai reaksi kekecewaan mereka atas gagalnya perundingan Camp David itu. Kegagalan perundingan Camp David tersebut, juga menjadi bukti bahwa rakyat Israel belum siap menciptakan perdamaian yang adil di Timur Tengah. Mereka masih menolak resolusi PBB No 194 tentang hak kembali bagi pengungsi Palestina dan mengakui kedaulatan Palestina atas Masjid Al Aqsa. Isu resolusi PBB No 194 dan kedaulatan Masjid Al Aqsa tersebut, merupakan penyebab utama gagalnya perundingan Camp David.

Situasi keamanan yang memburuk di Israel akibat meletusnya Intifadah Al Aqsa serta krisis politik dalam negeri pasca perundingan Camp David tersebut, merupakan faktor yang mengantarkan Pemimpin Partai Likud Ariel Sharon memenangkan cukup telak atas Ehud Barak pada pemilu Israel Februari 2001. Kebijakan garis keras yang dianut PM Sharon sejak menjabat secara resmi perdana menteri Israel Maret 2001, membuat proses perdamaian belum juga bergerak pada era Sharon itu. Bahkan eskalasi kekerasan Israel-Palestina kian hari kian meningkat, yang praktis sulit dikendalikan lagi. Aksi kekerasan Israel-Palestina tersebut, dilukiskan terburuk sejak berdirinya negara Israel 1948.

Klimaks dari aksi kekerasan Israel-Palestina itu, ketika PM Sharon 29 Maret 2002 melancarkan agresi besar-besaran ke kota-kota dan desa-desa Palestina di Tepi Barat dengan mengisolasi secara total pemimpin Palestina Yasser Arafat di markas besarnya di kota Ramallah Tepi Barat selama satu bulan. Maka, meskipun telah tercapai Kesepakatan Oslo antara Israel dan PLO 1993, tidak berarti pada kenyataannya rakyat dan pemerintah Israel telah menunjukkan kesediaan mengulurkan tangannya untuk menciptakan perdamaian yang adil dengan Palestina dan bangsa Arab. Kesepakatan Oslo ternyata tak lebih dari sebuah langkah taktis Israel untuk menjalin perdamaian dengan Palestina menurut kerangka kemaslahatan Israel. Bahkan Israel seringkali memaksakan kehendaknya dengan menganut teori perimbangan kekuatan dalam meja perundingan dengan Palestina. Itulah sebabnya Kesepakatan Oslo akhirnya kini tinggal kenangan, khususnya setelah Ariel Sharon berkuasa di Israel.

Tewasnya Yitzhak Rabin di tangan ekstremis Yahudi 1995, kekalahan Partai Buruh dari Partai Likud pada pemilu 1996, gagalnya perundingan Camp David 2000 dan kemudian naiknya tokoh garis keras Israel Ariel Sharon ke tampuk kekuasaan 2001, semua itu menunjukkan bahwa memang rakyat dan pemerintah Israel belum atau tidak akan pernah siap menciptakan perdamaian yang adil di Timur Tengah.