NIEUWENHUIS DAN EKSPLORASI KOLONIAL DI BORNEO BARAT
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Pada abad ke 19 dimulailah tahap baru dalam sejarah kolonial, yang berakar pada situasi yang telah berkembang sejak pertengahan abad ke 18 ketika Inggris dan Belanda, dengan menggunakan kekerasan atau intimidasi, berhasil mendapat kedudukan di Borneo. Beberapa petualang, seperti Alexander Hare di banjarmasin (1812), James Erskine Murray di Kutai (1844), James Brooke (1842) dan Robert Burn (1848) di Sarawak, berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri, yang satu lebih berhasil daripada yang lain. Lain halnya dengan Muller (1825) dan Dalton (1828) yang menjelajahi Borneo atas nama negara mereka.
Walaupun sampai saat itu Belanda mengacuhkan Borneo demi pulau-pulau lain yang lebih menguntungkan, sukses James Brooke di Sarawak membangkitkan minat baru. Di bagian selatan, pada 1840-an, Belanda memaksa para sultan di pesisir menandatangani perjanjian niaga, kemudian membuat mereka mengakui perwalian pemerintah Belanda. Maka eksplorasi-eksplorasi pertama ke pedalaman dapat dimulai dengan sungguh-sungguh: Schwaner di Barito, van Lijnden, Veth, dan von Kessel di kapuas, Weddik di Mahakam.
Menjelang pertengahan abad ke 19, Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan perdagangan di muara semua sungai besar. Tentara mereka terpaksa melakukan intervensi terhadap sultan-sultan yang memberontak, seperti dalam Perang Banjarmasin (1859-1863), kemudian dalam Perang Wangkang (setelah 1870), serta terhadap suku-suku yang bersikap bermusuhan di hulu-hulu sungai, seperti suku Ot Danum dan Tebidah (di 1890-an).
Sementara itu, Rajah Brooke dapat memperluas wilayahnya dengan menekan Sultan Brunei, dan juga dapat menguasai daerah pedalamannya dengan menaklukkan orang Kayan yang perkasa (Ekspedisi Besar Kayan 1863) dan beberapa kelompok suku Iban (antara 1868 dan 1919). Di Sabah, Inggris menetapa di Labuan pada 1846. dalam 1860-an, Spencer St John menjelajahi daerah Sungai Limbang dan mendaki Gunung Kinibalu, yang merupakan gunung tertinggi di antara Pegunungan Himalaya dan Irian. British North Borneo Chartered Company, yang mengambilalih kekuasaan di Sabah pada 1881, terpaksa memerangi beberapa pemberontak, antara lain Mat Salleh yang kesohor. Penemuan minyak bumi dan batubara pada 1880-an di Borneo mengawali integrasinya di dunia yang lebih luas.
Penguasaan niaga saja tenryata tidak lagi cukup, dan kekuatan-kekuatan kolonial sekarang membutuhkan penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang berdasarkan struktur-struktur administratif dan militer. Dalam rangka baru inilah ekspedisi-ekspedisi besar dilakukan pada perempat akhir abad ke 19. tujuannya adalah wilayah-wilayah yang sampai saat itu masih merupakan daerah putih di peta: daerah Rejang Hulu (Hugh Low di 1880-an), Baram Hulu (Charles Hose antara 1884 dan 1907), Mahakam (Tromp di 1880-an) dan Kapuas Hulu (Niuwenhuis mulai 1893 dan seterusnya).
Dasawarsa terakhir abad ke 19 juga menandai penghentian semua konflik bersenjata yang besar. Penting disebut juga, 1894 diadakan perdamaian besar Tumbang Anoi, di Sungai Kahayan Hulu, di mana para wakil dari tigapuluh suku Dayak sempat berkumpul dari Mei sampai dengan Juli 1894. eksplorasi lebih lanjut lalu menyusul pada tahun-tahun pertama abad yang baru, oleh Knappert di kawasan Mahakam, Enthoven di kapuas Hulu, Stolk di Sungai Busang, van Walchren di Apokayan, dan seterusnya sehingga di 1930-an seluruh pedalaman Borneo telah jatuh di bawah kekuasaan sebenarnya dari kekuatan-kekuatan kolonial, kecuali Kesultanan Brunei yang sudah sangat menciut.
Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh jeram-jeram yang sangat berbahaya, di mana suku Kayan-Mahakam, suku Busang termasuk sub-suku Uma Suling dan lain-lain, serta suku Long Gelat sebuah sub-suku dari Modang menempati dataran-dataran yang subur, sedangkan suku Aoheng mendiami daerah berbukit-bukit. Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu, dengan kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan, Taman dan Kayan. Lebih ke hulu lagi, dua desa kecil Aoheng dan Semukung. Di antara keduanya, sebuah barisan pegunungan yang besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku nomad Bukat atau Bukot dan Kereho atau Punan Keriau, serta suku semi-nomad Hovongan atau Punan Bungan. Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi barisan pegunungan ini adalah Mayor Muller, pada 1825. tetapi ia tidak sempat menceritakan pengalamannya.
Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I, sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada 1825, kendatipun Sultan Kutai engan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat.
Berita kematian Muller menyulut kontroversi yang berlangsung sampai 1850-an (van Kessel 1849-55, van Lijnden dan Groll 1851, Veth 1854-56, Hageman 1855), dan dihidupkan kembali sewaktu-waktu setiap kali informasi baru muncul (Molengraaff 1859, Niuwenhuis 1898 dan 1900, Enthoven 1903). Sampai 1950-an pengunjung-pengunjung daerah itu masih juga menanyakan nasib Muller (Helbig 1941, Ivanoff 1955).
Sampai hari ini hal-hal sekitar kematian Muller belum juga terpecahkan. Memang, daerah ini tetap merupakan terra incognita sampai 1894. namun diperkirakan Muller telah mencapai kawasan Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar pertengahan Nopember 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang, tempat ia harus membuat sampan guna menghiliri Sungai Kapuas, pada saat itu ia berada hanya beberapa hari pelayaran dari tempat yang aman. Sangat mungkin bahwa pembunuhan Muller dilakukan atas perintah Sultan Kutai, disampaikan secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di sepanjang Mahakam, dan akhirnya dilaksanakan oleh sebuah suku setempat, barangkali suku Aoheng menurut dugaan Nieuwenhuis. Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya Sultan tidak dapat dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab.
Bagaimanapun, ketika ekspedisi Nieuwenhuis berhasil melintasi daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional Perancis 1894, barisan pegunungan ini diberi nama Pegunungan Muller.
Residen Borneo Barat SW Tromp berpengalaman dan sudah pernah melakukan perjalanan di Borneo Timur, memprakarsai tahap-tahap awal eksplorasi ilmiah Borneo. Sesudah pertimbangan panjang lebar oleh komisi ilmiah Indisch Comite yang bertindak sebagai badan penasihat, Maatschappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der Nederlandsche Kolonien [Perhitmpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di Koloni-koloni Belanda] di Amsterdam memutuskan untuk mengorganisir ekspedisi pertama. Tujuan utamanya adalah eksplorasi ilmiah Borneo Tengah, terutama daerah udik Sungai Kapuas dan cabang-cabangnya. Ekspedisi multidisipliner pertama ini (1893-94) beranggotakan Johann Buttikofer, Hallier, GAF Molengraaff dan Nieuwenhuis. Kontrolir Kapuas Hulu van Velthuysen ditunjuk untuk memimpin ekspedisi yang di samping Nieuwenhuis dan Molengraaff terdiri atas 19 prajurit Hindia Belanda 5 kuli Melayu 8 orang Iban Batang Lupar selaku pembantu khusus kontrolir dan 85 orang Dayak Kayan dari Sungai Mendalam sebagai awak perahu dan pemikul barang. Mereka berangkat dari Putussibau dengan 24 sampan pada 15 Juni 1894.
Molengraaff dan Nieuwenhuis kemudian berpisah. Molengraaff menuju ke selatan memudiki Sungai Katingan mengadakan pengamatan geologi serta etnografi dan tiba di Banjarmasin Oktober 1894. sementara itu Nieuwenhuis berdiam di tengah suku Kayan di Tanjung Karang di Sungai Mendalam Agustus—September 1894. ekspedisi kedua, 1896—97 dipimpin Nieuwenhuis beranggotakan F van Berchtold, Jean Demmeni. Mereka berangkat 3 Juli 1896 dari Putussibau dengan 12 sampan dan 50 awak perahu dari suku Kayan. Mengikuti jalan setapak sebelah selatan, menyusuri Sungai Bungan dan Bulit lalu ke Sungai Penane dan Kaso di sebelah timur. Seluruhnya selama delapan bulan mereka menetap di Mahakam Hulu.
Suku Kayan dari Mendalam dan kepala mereka, Akam Igau, memegang peranan sangat penting dalam kelancaran ekspedisi. Perjalanan menghiliri Sungai Mahakam berakhir 5 Juni 1897, ketika keenam anggota ekspedisi meninggalkan Samarinda. Ekspedisi ketiga (1898—1900) dengan demikian terutama mempunyai maksud politik. Namun, tujuan etno-sosiologis dan medik yang sama juga dipertahankan. Kali ini pun ekspedisi dipimpin Nieuwenhuis dengan anggota Jean Demmeni, JPJ Barth, HW Bier dan lainnya.
Kali ini Nieuwenhuis membawa pengawal bersenjata terdiri atas 5 orang serdadu Hindia Belanda untuk menghadapi gerombolan-gerombolan berkelanan suku Iban yang mungkin ada. Ia telah melakukan perjalanan khusus ke Singapura untuk membeli manik-manik kaca dan gelang-gelang gading, yang tidak dapat diperoleh di Jawa. Sekali lagi ia memutuskan untuk pergi dari Barat ke Timur, karena ia tahu bahwa Sultan Kutai, yang ingin memperluas pengaruhnya ke pedalaman, akan berusaha menghalanginya jika ia mencoba mulai dari Timur.
Ekspedisi berangkat dari Pontianak 24 Mei 1898 dengan tujuan Putussibau, di mana mereka tiba Juni. Nieuwenhuis beserta rombongannya berdiam selama delapan bulan di wilayah Mahakam Hulu. Akhirnya ekspedisi menghiliri Mahakam dan mencapai Samarinda pada 9 Juni 1899. barth beserta para pengawal dan dua kolektor tanaman diberangkatkan ke Jawa. Contoh-contoh tanaman dikirim ke Buitenzorg. Dalam Mei 1900 Nieuwenhuis menempatkan rombongannya di kamp perintis di Long Boh, di mana kemudian Bier dan Demmeni bergabung. Setelah terjadi pertengkaran, Bier diperintahkan pulang. Ekspedisi memulai perjalanan kembali ke hilir Sungai Boh pada 4 Nopember 1900, tiba di Long Iram pada 3 Desember dan di Batavia 31 Desember 1900. kemudian Anton Willem Nieuwenhuis (1864—1953) diangkat menjadi penasihat pemerintah untuk urusan Borneo.
Ekspedisi-ekspedisi Nieuwenhuis memeuhi tujuan-tujuan politiknya yang berjangka panjang dengan menghasilkan berdirinya pax neerlandica di wilayah-wilayah ini yang diusik oleh perang dan pengayauan. Lagi pula para kontrolir, begitu mereka ditugaskan pada lokasi-lokasi di hulu sungai, mulai mengawasi kegiatan-kegiatan niaga dan memastikan bahwa suku-suku Dayak tidak ditipu secara sistematis dalam kegiatan barter mereka dengan pedagang-pedagang Melayu dan Cina. Belanda, dalam hal itu, sangat banyak mengikuti contoh yang diberikan pemerintah Brooke di Sarawak.
Ekspedisi-ekspedisi ini menghasilkan peta-peta akurat dari daerah-daerah yang sampai saat itu belum pernah dikunungi orang luar, kajian-kajian linguistik dan khasanah informasi etnografi dan sejarah mengenai suku Dayak setempat. Ekspedisi-ekspedisi itu juga mengumpulkan koleksi-koleksi zoologi dan botani yang penting: 1500 kulit dari 209 spesies burung, 659 spesimen ikan termasuk 51 spesies baru, dikirim ke Museum di Leiden, sekitar 2000 spesimen tanaman dikirim ke Herbarium Buitenzorg, sejumlah contoh batu-batuan disimpan di Universitas Untrecht. Sejumlah besar terbitan ilmiah didasarkan pada pengamatan dan koleksi ekspedisi-ekspedisi itu.
Melalui tulisan-tulisannya, Nieuwenhuis berjuang dengan bersikeras agar pendapat umum bahwa orang Dayak hanyalah pengayau yang kejam dihilangkan. Ia berkali-kali menekankan bahwa orang Dayak yang disebut haus darah, liar, dan pengayau itu, pada dasarnya adalah penduduk bumi ini yang paling lembut, cinta damai dan cemas. Namun jelas bahwa tugas yang ditentukannya sendiri untuk membebaskan suku-suku di Borneo Tengah dari sesuatu yang lebih parah dari kekafiran, seperti dicatat oleh Smythies, tidaklah menyangkut perbudakan, walalupun memang ada budak dan mereka kadang-kadang dikorbankan melainkan pengayauan kronis antarsuku. Bagaimanapun, Nieuwenhuis termasuk perintis yang mempopulerkan orang Dayak di kalangan ilmiah internasional.
Secara keseluruhannya, sumbangan Nieuwenhuis boleh dikatakan luar biasa. Data-datanya termasuk yang paling berharga yang pernah dikumpulkan di pedalaman Borneo oleh seorang penjelajah, dan tetap merupakan sumber utama, serta dapat diandalkan, bagi informasi etnografi dan historis tentang suku-suku di daerah-daerah yang dikunjunginya. Sayang sekali, pendekatan teoretis Nieuwenhuis jelas berbau periode awal antropologi, ketika lingkungan ilmiah masih didominasi oleh evolusionisme. Animisme dipandang sebagai tahap primitif pada suatu skala peradaban yang dianggap mempunyai nilai nuniversal. Baik pendekatan yang didukung oleh aliran sosiologis Durkheim maupun aliran fungsionalis berikutnya tidak begitu dipertimbangkan dalam karya Nieuwenhuis.