Bermula Dari Rasa Kemanusiaan
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
PASCA percobaan kudeta 1965 yang dikenal dengan G30S/PKI telah membuat masyarakat Tionghoa Indonesia terpuruk. Sejak peristiwa yang didalangi Partai Komunis Indonesia itu meletus, segala hal yang berbau Tionghoa secara menyeluruh diidentikkan dengan Cina dan Komunis. Hal ini bermuara bahwa pada masa itu, Partai Komunis Indonesia lebih condong berhaluan ke Tiongkok, dan menjalin hubungan erat dengan ideology komunis dari sana, ketimbang Rusia atau Sovyet atau negara komunis lainnya di dunia.
Sangat dapat ditebak, Kalbar dengan keberadaan komunitas masyarakat Tionghoa-nya, dengan sendirinya terkena imbas pertautan ideologi tersebut. Dapat dikatakan, pada masa itu, masyarakat Tionghoa Kalbar sebagai masyarakat minoritas (disbanding jumlah masyarakat Kalbar lainnya sevara menyeluruh, namun pada peringkat atas khususnya di Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya) terperangkap dan terpercik ideologi komunis serta terciprat hal-hal yang belakangan dinilai negatif dari Negeri Leluhurnya di Tiongkok dari segi politik.
Ternyata, tak berakhir hanya sampai di situ. Dampak paling kentara dan terus membekas serta amat dirasakan sekali oleh mereka yang secara langsung mengalaminya, dua tahun pasca Peristiwa G30S/PKI 1965, pada 1967 suatu aksi massa rakyat di Kalbar yang belakangan oleh sejumlah penelitian disebutkan militer berada di belakang layar dalam peristiwa kemanusiaan itu. Maka dengan sendirinya, beban kejiwaan yang dialami masyarakat Tionghoa Kalbar semakin menumpuk. Pukulan berat yang dirasakan dari aksi dan tindak kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa itu telah mengawali mayoritas Tionghoa Kalbar mengalami arus pengungsian. Dengan sendirinya, beban moril maupun materil yang dialami jelas semakin bertambah berat. Di sisi lain, arus pengungsian akibat pergolakan dan kolektifitas kebencian yang ditunjukkan terhadap masyarakat Tionghoa, khususnya pengusiran mereka dari pehuluan dan pedalaman, mengakibatkan jumlah masyarakat Tionghoa Kalbar memadati kota-kota pesisir Kalbar, khususnya kota-kota Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya yang terdekat dengan kedua kota tersebut.
Sebuah catatan merangkumkan, pada 1967, kelompok masyarakat pedalaman dan pehuluan khususnya pada beberapa kabupaten di Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Pontianak, Sambas dan Sanggau, mengusir masyarakat Tionghoa dari daerah mereka. Masyarakat Tionghoa yang sebagaimana juga masyarakat Kalbar lainnya, Dayak dan Melayu, telah secara turun temurun dan adaftif di daerah ini, dituduh mayoritas terkait kasus politik G30S/PKI lantaran hubungan politik dan ideologi pelaku percobaan kudeta 1965 itu dengan komunis dan negeri Tiongkok yang dikatakan sebagai negeri leluhur masyarakat Tionghoa Kalbar ini.
Begitupun tuduhan yang menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa yang telah berabad-abad bersama Dayak dan Melayu menghuni Pulau Borneo ini, sebagai mayoritas masyarakat di belakang layar aksi PGRS/Paraku. PGRS/Paraku atau Pasukan Gerilya Rakyat Serawak dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara ini dinilai sebagai kelanjutan dari percobaan kudeta politik 1965. belakangan ada pengungkapan dari suatu penelitian bahwa tindakan-tindakan itu merupakan bagian dari strategi militer. Dengan begitu kenyataan yang telah dialami masyarakat Tionghoa Kalbar ini tidak dapat dilihat sebagai suatu pertentangan internal antar etnis di Kalbar, di satu pihak Dayak—Melayu berhadapan dengan Tionghoa di pihak lain. Melainkan kejadian itu harus ditempatkan dan dinilai dalam konteks politik saat tersebut.
Para pengungsi dari daerah yang bergolak, berusaha menyelamatkan dengan melarikan diri mereka dengan berusaha keras memasuki kota-kota pesisir. Kenyataan di lapangan saat itu, tak ada apapun perbekalan memadai yang mereka bawa. Pengecualiannya, hanya pakaian yang terpasang di fisik mereka saja. Suatu pemandangan umum yang sangat mengenaskan sekali pada ketika itu. Di kota-kota pesisir pantai Kalbar, saat itu para pengungsi memanfaatkan dan ditempatkan pada infrastruktur terbatas yang kebetulan kosong. Kelihatan kentara jumlah pengungsi dari arus pemindahan paksa itu dari hari ke hari semakin membengkak. Di Singkawang dan Pontianak, tak sempat ada ruangan infrasturktur yang kosong. Sekolah ataupun aula yang ada, dengan sendirinya pula telah dipenuhi dengan pengungsi. Bahkan, jumlah mereka semakin meninggi sehingga sulit dikendalikan dan tak tertampung sepenuhnya.
Kondisi sosial ini dengan sendirinya akan (dan kenyataannya telah) menimbulkan dampak sosial. Malnutrisi menempati urutan pertama yang dirasakan dan dialami. Menyaksikan kondisi sosial tersebut yang dari hari ke hari terus berkembang dengan dampaknya tersendiri, sejumlah tokoh masyarakat di Kota Pontianak khususnya, berupaya menyatukan langkah mereka guna upaya merubah kondisi yang nyata ini. Akibat tindak sukarnya makanan, dan sedikit kurangnya kepedulian sosial, mayoritas pengungsi mengalami gizi buruk. Dan ini pula yang menjadi faktor penyebab meningginya angka kematian di kalangan pengungsi di Kota Pontianak pada ketika itu. Dengan sendirinya, bergelimpangan korban kurang gizi yang meninggal telah memberikan dampak baru lagi. Dengan sendirinya pula diperlukan prosesi pemakaman yang layak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
Kondisi sosial ini sangat menyedihkan. Atas dasar perhatian itu pula, para tokoh masyarakat lintas etnis dan agama serta latar-belakang, berupaya berkumpul dan menghimpun diri untuk membicarakan kenyataan yang tengah dihadapi daerah Kalbar ini dan efek yang diderita masyarakat Tionghoa Kalbar khususnya. Di Kota Pontianak, dikoordinir tokoh militer yang juga seorang praktisi medis di lingkungan militer Kalbar, dr Soegeng (Alm H dr Soegeng), beberapa tokoh Kalbar yang memiliki peranan penting pada bidangnya masing-masing pada ketika itu, mereka mengadakan suatu pertemuan bersama dengan pemikiran untuk ikut andil menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan yang dilihat nyata di depan mata pada kala itu.
Pemikiran yang dikedepankan adalah mengupayakan pembentukan suatu badan atau lembaga yang berupaya sebentuk yayasan. Yayasan ini dimaksudkan akan menjadi wadah atau tempat bernaung masyarakat yang mengalami tingkatan sosial yang goyah, khususnya para pengungsi Tionghoa Kalbar yang dapat digolongkan masa itu sebagai kaum yang terlantar. Dengan begitu, yayasan ini diharapkan sebagai sarana pengendalian dan pendayagunaan seluruh masyarakat yang mengalami ketimpangan sosial dalam kehidupannya secara umum.
Dalam perjalanannya, embrio dari yayasan yang belakangan terakhir ini dilanjutkan oleh Yayasan Bhakti Suci khususnya dari kalangan masyarakat Tionghoa Kalbar, pada awal kehadirannya dan dari pemikiran yang kolektif saat yayasan ini diprakarsai, bahwa dari sekadar upaya menangani masyarakat pengungsi Tionghoa Kalbar yang terlantar, juga memperhatikan aspek aktifitas sosial kemasyarakatan lainnya. Dinyatakan bersama oleh para tokoh yang kemudian ditetapkan sebagai pemrakarsa awal cikal-bakal atau embrio yayasan ini, bahwa di samping tugas utama membantu Pemerintah Kalimantan Barat menangani dan menanggulangi masyarakat sosial kemasyarakatan di kalangan pengungsi Tionghoa Kalbar, juga membantu khususnya Pemerintah Kota Pontianak dalam penyelenggaraan pemeliharaan perkuburan umum di Kota Pontianak khususnya, serta juga direncanakan untuk pengembangan hal serupa di luar Kota Pontianak, atau untuk daerah lainnya di Kalimantan Barat.
Karena itulah, embrio yayasan ini menggariskan bahwa yayasan yang diprakarsai para tokoh Kalbar ini adalah yayasan akan mengurus dan memberikan perhatian terhadap urusan perkuburan atau pemakaman masyarakat dari berbagai etnis dengan agama dan keyakinan atau kepercayaan yang ada di daerah ini. Maka di dalam yayasan ini terdapat sub-sub yang menangani masing-masing tugas mereka dalam penanganan pemakaman atau perkuburan kalangan masyarakatnya. Dan dengan begitu, embrio awal ini tidak dimaksudkan secara khusus untuk masyarakat Tionghoa Kalbar semata, namun di dalam yayasan ini juga terdapat sub-sub untuk masyarakat masyarakat Muslim (Islam), Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu (Tionghoa).
Adanya pemikiran para tokoh Kalbar untuk hal itu, dilator-belakangi, bukan semata karena adanya arus pengungsi Tionghoa Kalbar yang membanjiri Kota Pontianak semata, namun dalam tahun-tahun itu masalah pemakaman atau perkuburan masyarakat khususnya di Kota Pontianak sangat kurang memperoleh perhatian layak. Dikatakan, untuk masalah ini kurang sekali porsi yang diberikan dibanding perhatian dan keterlibatan dalam hal politik. Maka, hal ini pula yang antara lainnya melatarbelakangi dr Soegeng dan para tokoh lainnya membentuk suatu yayasan dan kepengurusannya dengan nama Yayasan Bhakti Suci, sebagai suatu lembaga dalam bentuk yayasan mengkhususkan diri membidangi hal dimaksudkan serta juga sebagai organisasi non-politik yang bergerak pada bidang sosial kemasyarakatan.
Yayasan ini secara resmi berdiri pada 19 Maret 1966 diawali dengan rapat pertema prakarsa pembentukannya pada 7 Maret 1966, atau dapat dikatakan sepekan sebelum kelahiran Rezim Orde Baru (yang dikultuskan berdiri pada 11 Maret 1966) yayasan ini dirintias dan sepekan setelah hadirnya Rezim Orde Baru yayasan ini diresmikan kehadirannya. Pada saat kehadirannya, yayasan ini diperkenalkan dengan nama atau sebutan umum dengan Jajasan Pemakaman Umum Bhakti Sutji (yang penulisannya masih menggunakan ejaan yang berlaku saat itu). Namun lebih umum dinamakan dengan Jajasan Bhakti Sutji (Yayasan Bhakti Suci).
Oleh para pemrakarsanya, yayasan ini dalam gerak aktifitasnya ditetapkan berazas Pancasila. Disebutkan di dalam akta pendiriannya, bahwa bagian atau bidang yang ditangani adalah khusus pemakaman atau perkuburan untuk semua etnis. Pengurusan masalah pemakaman atau perkuburan dinilai sebagai suatu bagian pengabdian terhadap unsur kemanusiaan, sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan jiwa Pancasila.
Catatan Penulis: Kutipan akta berdirinya yayasan, bahwa Jajasan Bhakti Sutji (baca: Yayasan Bakti Suci) bertujuan:
— Sebagai jang tertjantum dalam mukadimah akta pertama JBS, bahwasannja Pantjasila sebagai Falsafah Negara dan Way of Life bangsa Indonesia dan telah pula keluar sebagai mertjusuar perdjuangan bangsa-bangsa pada abad ke dua puluh ini, harus dilaksanakan dan amalkan setjara konsekwen dalam seluruh sendi kehidupan bangsa.
— Bahwasannja pemeliharaan pemakaman adalah termasuk pengabdian terhadap unsur-unsur peri kemanusiaan sesuai dengan adjaran agama dan djiwa Pantjasila.
— Bahwasannja terbawa oleh kesadaran dan keinsjafan akan kewadjiban tersebut, serta dalam rangka pembinaan bangsa dan meninggikan deradjat bangsa sebagai bangsa kang merdeka, berdaulat, maka dibentuklah suatu lembaga sosial jang berbentuk jajasan dengan tudjuan melaksanakan dan memelihara dan mengatur pemakaman sebaik-baiknja.
Oleh para pendirinya, Jajasan Bhakti Sutji digariskan bertekad dalam menangani dan mengatur masalah pemakaman atau perkuburan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian diharapkan tak akan ada lagi keluhan-keluhan yang dikemukakan kalangan masyarakat luas terhadap masalah tersebut. Dan oleh pemerintah Kota Pontianak sendiri, dengan segala maksud yang diemban yayasan ini, dengsn sendirinya keberadaan yayasan ini disambut positif dan ditetapkan sebagai suatu mitra kerja pemerintah Kota Pontianak ketika itu.
Dalam perjalanan awal embrio yayasan ini untuk pembentukannya bukan tidak menemui hambatan di lapangan. Ada banyak masalah yang mengemuka, di luar kenyataan sosial yang dialami para pengungsi Tionghoa Kalbar yang semakin membengkak jumlahnya dari hari ke hari, namun juga sejumlah kalangan di luar para tokoh pendiri ini seakan kurang yakin dengan apa yang menjadi pemikiran bersama para pemrakarsa yayasan tersebut. Akan tetapi, para tokoh pendiri yayasan tak bergeming dengan hal tersebut. Kebulatan tekat bersama mereka sebagai suatu ikatan harmonis lintas etnis, keyakinan dan kepercayaan serta lintas latar belakang sosial politiknya, telah mengantarkan hadirnya Jajasan Bhakti Sutji.
Embrio yayasan ini hadir, didahului beberapa kali pertemuan para tokoh pemrakarsa yang kemudian di dalam akta pendiriannya dinyatakan sebagai para pendiri. Dari berulangkali pertemuan itulah akhirnya menunjuk dr Sugeng didampingi A(loysius) Djais Padmawidjaja dan Ng Ngiap Liang untuk mewakili menghadap notaris di Pontianak, yakni Mochmamad Damiri SH (Alm) untuk menyatakan maksud mendirikan yayasan dimaksudkan. Para pemrakarsa sebagai calon pengurus yayasan terlebih dahulu secara bersama dan sukarela mengumpulkan uang seluruhnya sebesar Rp10 Ribu (perhitungan kurs saat tersebut) yang akan digunakan sebagai uang pangkal harta kekayaan yayasan. Dan dengan menghadap serta adanya akta dari notaries, dengan sendirinya keberadaan yayasan memperoleh pengakuan secara legal serta dilanjutkan dengan pemenuhan persyaratan lainnya untuk pengukuhan legal formal keberadaannya.
Akhirnya, yayasan ini pun dikukuhkan dengan akta notaries sebagai akta pembentukannya ditandai dengan terbitnya Akta Pendirian Yayasan tanggal 19 Maret 1966 dengan akta Nomor 43 Tahun 1966 oleh Notaris Mohammad Damiri SH di Pontianak. Pada awalnya Jajasan Bhakti Sutji (Yayasan Bhakti Suci) terdiri dari sebuah badan pengurus yang di dalamnya terdiri dari enam orang pengurus, masing-masing sebagai refresentatif dari keberadaan berbagai etnis, agama dan kepercayaan yang ada di Kota Pontianak ketika itu. Keenam orang pengurus tersebut masing-masing:
dr Soegeng Ketua
Slamet Wariban Wakil Ketua
A(loisius) Djais Padmawidjaja Sekretaris
R Slamet Pranjitno Wakil Sektretaris
Ng Ngiap Liang Bendahara
Ibrahim Saleh Wakil Bendahara
Di samping Badan Pengurus Yayasan, juga dibentuk suatu komposisi lain sebagai komponen yayasan dalam rangka aktualisasi program kerja yayasan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yayasan. Komponen ini terdiri dari Pembantu Teknis dan Pembantu Umum, masing-masing terdiri dari:
Pembantu Teknis:
Ir Ketut Kontra
Mas Soedarjo
Roestamadji
Then Hon Chiap
Pembantu Umum:
Andi Muin Sanusi
Petrus Andjiem
Drs Achmad Din
Donifacius Manurung
Sjarif Sjamsudin
Nio Peng Hian
Marsahrum
Di samping enam orang Badan Pengurus dan sebelas orang Pembantu Teknis dan Pembantu Umum, ditetapkan pula suatu komponen sebagai Pelindung dan Penasehat dari yayasan ini. Dalam decade itu, untuk komposisi itu terdiri dari Pantja Tunggal yang ada di Kalimantan Barat serta dilengkapi dengan suatu Badan Penasehat, yang terdiri dari Walikotamadia selaku Kepala Daerah Kotamadia Pontianak, Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Kalbar, Bismar Siregar SH dan Made Tantrawan BA.
Catatan Penulis: Latar belakang para pemrakarsa merujuk dari aktifitas dan profesi mereka dapat digambarkan sebagai berikut. dr Soegeng adalah praktisi medis dari kalangan militer, saat itu kesehariannya adalah Kepala Dinas Kesehatan (DKT) pada RS Kesdam (Kesehatan Daerah Militer) XII Tanjungpura. Adapun R Selamet Prajitno Kepala Jawatan Perikanan Darat, Ibrahim Saleh tokoh pejuangn 45, wartawan senior mantan Ketua PWI Kalbar yang pertama dan selaku praktisi bisnis, Ir Ketut Kontra Kepala PLN Pontianak, Mas Sudarjo pengusaha, Roostamadji Pensiunan PNS, The Hon Chiap pengusaha, Andi Muin Sanusi Kepala Agraria Kalbar, Petrus Anjiem Kepala Agraria Kabupaten Pontianak, Achmad Din Kepala Inspeksi Keuangan Kalbar, Donifacius Manurung pengusaha, Syarif Sjamsuddin Kepala Kantor Imigrasi Kalbar, Nio Peng Hian pengusaha dan Marsahrum Kepala Planologi Kota Pontianak.
Bagaimanapun, yayasan ini adalah tempat dan atau wadah berkumpulnya mereka yang berjiwa sosial, tanpa memandang suku, ras dan agama. Tak ada tempat di yayasan ini bagi mereka yang berfikir bisnis, keuntungan atau memperkaya diri pribadi. Bergabung di dalamnya berarti melupakan dan melepaskan ego pribadi dan berupaya bagaimana agar potensi yang ada dalam diri mereka bisa bermanfaat untuk masyarakat umum, khususnya buat masyarakat Kalimantan Barat secara utuh menyeluruh. Mereka yang berniat mengurus yayasan pun berasal dari beragam kalangan. Ada dari kalangan pengusaha maupun pejabat ataupun pekerja swasta. Semua bersatu padu, berbagi rasa demi lembaga sosial kemasyarakat yang ingin mereka wujudkan ini.
Selanjutnya, dari para pengurus dan komponen lainnya yang sudah terbentuk tadi, ditetapkan masa kepengurusan hanya berjalan selama dua tahun. Setelah merampungkan satu periode kepengurusan selama dua tahun tersebut, kepengurusan akan diremajakan kembali atau mengalami pergantian komposisi kepengurusan. Dan seorang pengurus tak dibatasi untuk duduk sebagai pengurus lebih dari satu periode. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan, sejauh pengurus tersebut masih bersedia dan tidak menyimpang dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yayasan yang mengatur masalah kepengurusan ini.
Catatan Penulis: di luar dari nama komponen yang disebutkan tadi, dua nama penting lainnya yang cukup berjasan khususnya dari sub yayasan yang khusus untuk masyarakat Tionghoa Kalbar disebutkan nama-nama Lim Bak Ho dan Eng Leng Him. Terutama Lim Bak Ho inilah yang sangat aktif dan berperan di dalam sub yayasan khusus masyarakat Tionghoa, dan dia pula yang meneruskan embrio yayasan ini tatkala dalam komponen yayasan di luar sub khusus masyarakat Tionghoa seakan tidak aktif, melanjutkan keberadaan yayasan ini kelaknya. Lim Bak Ho dan Eng Leng Him serta Lai Kwek Kiong, ketiganya seakan meneruskan nasib yayasan yang pada saat terakhirnya mengalami kevakuman dikarena para pengurus yang ada dalam perjalanan kemudian telah terlibat dengan bidang-bidang masing-masing yang sukar untuk memberikan ruang aktifitas mereka pada yayasan yang mereka hadirkan dulunya.
Karena itulah, manakala dalam perjalanannya kemudian, Jajasan Bhakti Sutji seakan tidak berjalan lancar dan tidak aktif, komponen sub yayasan yang khusus untuk masyarakat Tionghoa berupaya meneruskan kiprah sub yayasan di lingkungannya. Dan pada kelanjutannya, sub yayasan inilah yang mengantarkan keberadaan Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang ini.
Meski demikian, diakui sekali, apabila tidak bermula dari prakarsa yang digagas Alm dr H Soegeng dan ditunjang berbagai komponen lainnya yang kemudian secara kolektif sebagai pendiri dan pengurus periode awal di dalam tahun 1966 untuk membentuk Jajasan Bhakti Sutji, memungkinkan sekali kehadiran Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang tidak pernah terwujud. Sebab, Yayasan Bhakti Suci yang Khusus Tionghoa dengan sendirinya berdiri tidak terlepas dari keberadaannya secara menyatu di dalam cikal bakal yayasan semula, yakni Jajasan Pemakaman Umum Bhakti Sutji atau JPUBS.
Dua tahun pasca kerusuhan sosial yang melanda Kalimantan Barat, di satu pihak masyarakat Tionghoa Kalbar berada pada posisi pesakitan dari malapetaka 1967 tersebut, kondisi sosial khususnya di Kota Pontianak terlihat serba tak menentu. Pada masyarakat Tionghoa Kalbar yang kemudian kolektifitas sebagai warga pengungsi di Kota Pontianak dan Singkawang serta sekitarnya, mulai menempuh jalan hidup mereka sendiri-sendiri. Dalam skala persentase, sebagian besar mereka memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya Kalbar, dengan antara lain menjadikan beberapa kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai tujuan perpindahannya. Arus perpindahan itu bergelombang dan terjadi secara bertahap. Pun demikian, di sisi lain dikabarkan ada di antaranya yang nekad memilih untuk (mencoba) kembali ke Tiongkok dengan menggunakan kapal laut. Pilihan perpindahan atau keluar dari Kalbar itu semata karena kondisi sosial ekonomi yang sangat tak menjamin serta tak memungkinkan bagi kebanyakan mereka.
Meski berupaya keras untuk mencoba kembali ke Negeri Leluhur, namun satu hal yang hampir dapat dipastikan, bahwa mereka tidak kembali ke daerah asal dimaksudkan. Sepertinya mereka tak cukup punya keberanian untuk itu. Di satu sisi faktor keselamatan, di sisi lain, karena kebijakan politik di negeri leluhur yang seakan menutup rapat pintu mereka untuk kehadiran mereka ini. Akibat tekanan sosial dan himpitan ekonomi yang seakan berkepanjangan, tak sedikit yang menderita depresi atau faktor kejiwaan. Sebuah catatan lain menyebutkan, hal itu memungkinkan untuk dialami, mengingat usaha yang sudah mereka kelola sejak puluhan tahun dan sudah menampakkan hasil, tiba-tiba saja hilang semua tak bersisa sedikit pun.
Pemandangan kumuh di Kota Pontianak akibat arus deras pengungsian dengan segala dampak yang diikutkannya, realita sosial lain yang melengkapi kondisi parah demikian, inilah yang membuat para pemrakarsa dengan dikoordinir dr Soegeng untuk membentuk Jajasan Bhakti Sutji semula. Dikatakan, di Kota Pontianak realita yang tampak setiap hari yang paling kentara adalah pemandangan umum tentang kekumuhan, dekadensi sosial hingga semakin parahnya kondisi kesehatan para pengungsi, yang dikhawatirkan, akan terjadi penularan wabah penyakit terhadap masyarakat luas lainnya. Kenyataan sosial yang tercatat, setiap saat di sepanjang hari terjadi kelaparan, banyak orang sakit dan tak sedikit yang meninggal. Sudah barang tentu, kondisi ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada upaya serta wadah sosial yang menangani dengan kesungguhan. Dan itikad ini dimaksudkan untuk tujuan yang digambarkan sebagai suatu upaya perlahan namun pasti kondisi tersebut harus membaik.
Dengan dan untuk kenyataan seperti itulah ternyata Jajasan Bhakti Sutji lahir. Pada tahap awal embrio yayasan ini hadir, badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa melalui badan kemanusiaannya berupaya memberikan perhatian dan uluran bantuan sosial kemanusiaan. Yayasan yang baru berumur beberapa saat mengalami sedikit kesukaran. Ketiadaan fasilitas infrastruktur yang refresentatif untuk lembaganya menyebabkan lamban gerak langkah yang harus ditempuh. Namun demikian, para pemrakarsa selaku para tokoh pendiri yayasan tak kehilangan upaya untuk berbuat. Memang kenyataan yang ada, di saat yayasan ini dibentuk, layaknya sebuah wadah yang ada, yayasan ini belum mempunyai fasilitas penunjang. Maka untuk melakukan aktifitasnya, inisiatif para pengurus untuk berbuat itulah yang menjadi motor gerak yayasan ini.
Di Kota Pontianak, para pengurus yayasan berinisiatif mendirikan dan selanjutnya sejumlah semacam posko darurat untuk penanggulangan para pengungsi. Posko-posko ini ditempatkan di masing-masing sub-yayasan pemakaman dalam naungan Jajasan Bhakti Sutji. Dengan keberadaan posko tersebut, masyarakat luas bisa menyalurkan sumbangan materil mereka. Kenyataan yang ada, posko-posko itu kemudian berfungsi pula sebagai sarana pelayanan sosial kemasyarakatan terhadap para pengungsi. Kondisi demikian tidak berjalan lama, para pengungsi secara kolektif berinisiatif tak membiarkan kehidupan sosial mereka yang demikian terus berlangsung lama. Dengan menjadikan Jajasan Bhakti Sutji sebagai mitra, seakan upaya rehabilitasi sosial mulai ditempuh.
Apapun alasan dibentuknya Jajasan Bhakti Sutji ini, peranan penting yang dimainkan dr Soegeng dan para tokoh lainnya selaku pemrakarsa dan pendiri serta pengurus pertama yayasan ini, tak dapat dikesampingkan. Meski kemudiannya, dalam perjalanan yang (ternyata) panjang, Jajasan Bhakti Sutji yang menyeluruh mengalami kevakuman. Dan dalam kenyataannya, dari sub-sub yayasan yang ada, hanya Jajasan Bhakti Sutji Bahagian Konghuchu saja yang bertahan hingga hari ini. Dan keberadaannya, sejak berada dalam embrio semulanya, Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang tetap mengukuhkan diri sebagai suatu siklus sejarah yang tak terpisahkan dengan Jajasan Bhakti Sutji yang semula diprakarsai dr Soegeng. Diumpamakan, Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang adalah yang telah menjadi kupu-kupu, sementara kepompong sejarahnya dulu adalah pada Jajasan Bhakti Sutji dengan sub yayasannya pada Jajasan Bhakti Sutji Bahagian Konghuchu.
Dicatatkan,. pada periode awal pembentukannya atau pelanjutan dari yayasan semula, Yayasan Bhakti Suci (Bagian Konghuchu) di dalam yayasan ini berhimpun sedikitnya 40 yayasan kematian Tionghoa yang ada di Kota Pontianak yang menyatakan menghimpun keberadaannya. Sebuah kebijakan ditempuh para pengurus periode awalnya, untuk memudahkan koordinasi dari 40 yayasan tersebut, maka dibagi dalam dua bagian. Masing-masing Bagian A dan Bagian B yang sama-sama mengkoordinir 20 yayasan di dalam bagiannya. Realitasnya, di dalam yayasan ini nampak kentara dua marga Tionghoa, Lim dan Tan, sebagai dua marga besar yang mendominasi.
Setelah beberapa periode kepengurusan berlangsung, di antara tokoh Tionghoa yang menangani sub-yayasan khususnya Konghuchu dan Tionghoa, di antaranya Leng Him dan Lim Bak Ho keduanya berhasyrat untuk menata lebih rapi lagi keberadaan sub-yayasan ini. Namun demikian, kondisi yang ada sampai saat itu sudah mengalami suatu kenyataan, di mana keberadaan yayasan secara global hampir kurang berjalan lancar, tak sebagaimana kondisi sebelumnya. Sejalan dengan itu pula, mengingat hanya sub-yayasan Tionghoa dan Konghuchu saja yang aktif, maka sangat memungkinkan kalau sub-yayasan ini yang dapat melanjutkan keberadaan Jajasan Bhakti Sutji yang ada. Di dalam sub-yayasan sendiri, Lim Bak Ho mengupayakan regenerasi kepengurusan serta kaderisasi pengelolaan.
Tidak aktifnya Yayasan Bhakti Suci Bagian Muslim (Islam), Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha, salah satu faktor kolektifnya adalah minimnya pendanaan. Ketersediaan dana yang diulurkan para tokohnya, mengingat perkembangan kondisi umum, sudah sangat tak memungkinkan lagi. Sementara pada bagian Konghuchu atau Tionghoa, faktor kesatuan yang dipertahankan, menyebabkan sub-yayasan ini masih dapat melanjutkan kehidupan organisasinya. Pun demikian, masalah klasik yang ditemukan adalah masalah pendanaan, sesekali waktu menyebabkan sub-yayasan Tionghoa juga kerap menemui hambatan.
Di saat sub-yayasan mulai ditata, dan mengkhususkan diri untuk menangani masalah kematian Tionghoa, terjadi musibah sosial berupa kebakaran dalam skala besar yang meludeskan kawasan Pasar Punggur Kecamatan Sungai Kakap. Maka upaya yang ditempuh pengurus sub-yayasan yang selanjutnya menjadi pengukuh embrio Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang, berupaya bantuan kemanusiaan. Tak cuma kector sandang dan pangan, juga masalah papan atau upaya pembangunan kembali. Terinspirasi oleh masalah sosial demikian, sub-yayasan semakin eksis mengukuhkan keberadaannya. Hingga akhirnya menetapkan diri sebagai Yayasan Bhakti Suci yang berlanjut hingga sekarang. Salah satunya, saat priode ke 7 ketika ada kebakaran besar di Punggur, bantuan pun diakomodir. Tak cuma pangan dan sandang. Papan (perumahan) pun mereka bantu. Masa itulah, dimulai bantuan-bantuan sosial bagi warga yang bermukim di luar kota Pontianak.
Yayasan Bhakti Suci: Berbhakti dan Mengabdi
TAHUN 1967 merupakan saat suram, hitam dan kelam bagi sejarah hidup masyarakat Tionghoa Kalbar. Imbas politik yang dimainkan para elit ketika itu, elit politik Indonesia dan RRT, telah menorehkan bekas yang mendalam. Meski itu semua sekarang dikenang sebagai sebuah riwayat, namun bagi perjalanan sebentuk yayasan, Yayasan Bhakti Suci, tahun-tahun penting tersebut tak lepas dari embrional kehadirannya. Dengan hadirnya Jajasan Bhakti Sutji yang diprakarsai dr Soegeng dan didukung para tokoh lainnya, sejumlah 38 yayasan kematian Tionghoa yang ada di Pontianak, umumnya dari marga Lim dan Tan, menunjuk Lim Bak Ho (Halim Krisno) dari Jajasan Halim untuk duduk mewakili di dalam komponen kepengurusan yayasan yang diketuai dr Soegeng itu. Dan kemudian, Lim merupakan ketua sub-yayasan atau Bahagian Konghuchu.
Keberadaan sub-yayasan atau Bahagian Konghuchu dari Jajasan Bhakti Sutji difungsikan secara aktif dengan pengelolaan khusus dari suatu komponen kepengurusan tersendiri. Sebagaimana juga induk yayasannya yang sampai saat itu belum memiliki secretariat tetap, Jajasan Bhakti Sutji Bahagian Konghuchu kesehariannya menumpang pada salah satu gedung dari 40 yayasan kematian yang ada, yakni di Sekretariat Jajasan Pemakaman Budi Agung (Kuang Siau Kong Kuan) di Jalan Tanjungpura nomor 12 Pontianak. Untuk periode pertamanya, kepengurusan Jayasan Bhakti Sutji Bahagian Agama Konghuchu terdiri dari:
Lim Bak Ho (Halim Krisno) Ketua
Yo Se Yak Wakil Ketua
Ng Ce Kuiang Bendahara
Lim Kia Eng Pengawas
Tan Kuang Ui Sekretaris
Lai Kwet Khiong Humas
Tan Gek Sang Seksi Perlengkapan
Sebagaimana sisi lain dari tujuan awal dibentuknya Jajasan Bhakti Sutji, yayasan ini juga berperan penting dalam menanggulangi masalah sosial dan pengungsian di Kota Pontianak. Seiring sejalan dengan induk organisasinya, dikoordinir Lim Bak Ho (Halim Krisno), Jajasan Bhakti Sutji Bahagian Konghuchu menyibukkan diri untuk menghimpun dana yang akan disalurkan dan untuk membantu para pengungsi yang kian hari semakin bertambah jumlahnya. Dana yang terkumpul dari para dermawan serta beberapa donator tetap, dibelikan bahan kebutuhan pokok. Kondisi yang sangat tidak memungkinkan, sehingga memicu pengurus yayasan semakin aktif untuk berkerja keras mewujudkan keinginan membantu meringankan para korban pengusiran dari daerah pedalaman tersebut.
Dalam menangani masalah kematian, sebagaimana maksud semula dibentuknya yayasan ini secara menyeluruh, Bahagian Konghuchu sangat berperan sekali. Di barak-barak pengungsian, tercatat sedikitnya dalam sehari ada minimal delapan orang yang meninggal dunia disebabkan faktor kesehatan dan gizi buruk yang dialami. Untuk membantu upaya yayasan, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Pontianak berfungsi aktif. Menunjang kelancaran pemakaman mereka yang meninggal, pengusaha lokal Cia Ban Seng berkenan meminjamkan dua unit truknya untuk hal itu. Setiap harinya, Bahagian Konghuchu menyebarkan sejumlah 10 orang petugas yang berkeliling Kota Pontianak di daerah pengungsian untuk memantau korban yang meninggal untuk segera dimakamkan. Pemakaman itu sendiri saat tersebut masih belum tertata dengan khusus, masih menyebar di beberapa lokasi, termasuk di luar Kota Pontianak. Meski demikian, Lim Bak Ho selalu menggariskan pada Bahagian Konghuchu yang dipimpinnya, bahwa amanat para pendiri yayasan adalah berkeinginan Jajasan Bhakti Sutji tak semata bergerak pada bidang pemakaman dan pengelolaan pekuburan. Lebih dari itu, mereka harus cepat tanggap terhadap masalah sosial, khususnya musibah dan bencana alam yang dihadapi masyarakat luas.
Periode pertama Bahagian Konghuchu memiliki tugas yang tidak ringan. Salah satunya, di luar dari masalah yang telah disebutkan di atas, adalah pemindahan pekuburan Tionghoa dari kawasan semula di sekitar Waduk (sekitar Kapuas Palace—sekarang) hingga sepanjang Jalan Gajahmada sampai Jalan Achmad Yani sekarang, yang ketika itu dinamakan dengan Sentiong. Saat itu Walikota Pontianak dijabat Siswoyo. Pemerintah Kota Pontianak mempunyai pemikiran, dengan semakin berkembangnya kawasan kota serta kehadiran infrastrukturnya, memungkinkan pula untuk perluasan wilayah Kota Pontianak itu sendiri. Oleh karena dirasakan semakin menyempitnya lahan kawasan kota, maka perluasan kawasan sudah semakin mendesak. Oleh sebab itu, keberadaan perkuburan yang sudah ada sejak sebelumnya, mengalami keharusan untuk dipindahkan lokasinya ke luar kota. Pemikiran yang berkembang saat itu, sangat tak mungkin kawasan kota di tengah-tengahnya terdapat lokasi perkuburan yang besar, sehingga dipandang sangat mengganggu estetika kota.
Kebijakan Walikota Pontianak Siswoyo disertai juga dengan keinginannya adanya lokasi perkuburan Tionghoa yang khusus sebagai tempat pemindahan dari lokasi semula. Kawasan pekuburan semula, mulai dari Jalan Setia Budi sekarang, hingga Jalan Achmad Yani, arah Sungai Raya Dalam. Saat itu status tanah-tanah pekuburan tersebut dinamakan HO, maka dengan sendirinya praktis gugur mengingat masa waktu yang berlaku. Karenanya, untuk pengembangan kawasan Kota Pontianak, Walikota Siswoyo kemudian melakukan pembangunan infrastruktur kota, sehingga kawasan yang semula berupa jalan setapak, seketika dibangun menjadi jalan permanen. Maka kemudian dikenallah ruas-ruas Jalan Gajah Mada yang semula dinamakan Geretak Putih, Jalan Gusti Sulung Lelanang atau Jalan Cemara dulunya Geretak Hitam dan sebagainya.
Seiring itu, beban yang dipikul Bahagian Konghuchu semakin tidak ringan. Untuk kurun waktu singkat, harus menangani pemindahan kerangka dan pekuburan Tionghoa dari tempat semula ke kawasan Sungai Raya sekitar Km 8—Km 12 arah tenggara Kota Pontianak. Dan untuk itu memakan waktu yang cukup lama, sekitar lima tahun. Pemindahan perkuburan itu berlangsung dalam dua periode kepengurusan Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu, masing-masing dalam kurun kepengurusan yayasan di bawah periode Kwee Khun Khian hingga ke Polycarpus Wijaya Tandra. Atau sejak yayasan dalam status Bahagian Konghuchu hingga Yayasan Bhakti Suci yang telah berdiri utuh. Secara khusus untuk masalah pemindahan perkuburan itu, Yayasan Bhakti Suci berperan sebagai fasilitator, komunikator dan mediator. Dengan demikian, yayasan semakin mengukuhkan keberadaannya sebagai mitra kerja dengan Pemerintah Kota Pontianak khususnya maupun Pemerintah Propinsi Kalimantan barat umumnya.
Periode II (1969—1971)
SEBAGAIMANA ditegaskan di dalam Anggaran Dasar, masa kerja kepengurusan hanya dua tahun untuk satu periode berjalan. Dan ketegasan itu tetap diberlakukan. Setelah mengalami masa-masa sulit pada periode pertama (1967—1969) yayasan Bahagian Konghuchu (dan Tionghoa) di bawah kepemimpinan Halim Krisno (Lim Bak Ho), secara khusus sub-yayasan khusus Konghuchu dan Tionghoa melalui 38 yayasan yang tergabung di dalam sub-yayasan ini atau selaku komponen dari Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu mengadakan pemilihan kepengurusan yang baru. Dalam musyawarah yang demokratis itu, terpilih sebagai pengganti Halim Krisno (Lim Bak Ho) adalah Tan Kim Chun. Lim Bak Ho di awal pemilihan menegaskan, bahwa dirinya memberikan kesempatan kepada pengurus lainnya untuk meneruskan kepemimpinan yayasan Bahagian Konghuchu ini, terlebih untuk melakukan regenerasi kepengurusan. Dan dimaksudkan pula untuk melakukan kaderisasi di dalam kepengurusan itu sendiri.
Sebagaimana Lim Bak Ho yang mengetuai Yayasan Marga Lim, saat terpilih sebagai Ketua Yayasan Bhakti Suci, Tan Kim Chun adalah Ketua Yayasan Marga Tan (Yayasan Tanjung Harapan). Kelaknya, seakan mengulangi tradisi kepemimpinan Lim Bak Ho, Tan Kim Chun juga memimpin Yayasan Bhakti Suci selama dua tahun atau satu periode. Dengan diketuai Tan Kim Chun, komposisi kepengurusan periode 1969-1971 masing-masing:
Tan Kim Chun Ketua
Yo The Hian Wakil Ketua
Ng Leng Him Pengawas
Liu Tin Chong Sekretaris
Lim Heng Hong Seksi Perlengkapan
Ceng Yong Cheng Bendahara
Periode III (1971—1973)
Berakhirnya periode kepengurusan Tan Kim Chun, segera dilangsungkan musyawarah pemilihan kepengurusan periode berikutnya. Dalam musyawarah yang diikuti 38 yayasan sebagai komponen dari Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu ini, seakan bergulir dari yayasan ke yayasan untuk menduduki puncak kepengurusan, maka untuk periode III kurun waktu 1971—1973, setelah Lim Bak Ho (Halim Krisno) dan Tan Kim Chung, masing-masing dari dan selaku Ketua Yayasan Halim dan Yayasan Tanjung Harapan, maka periode ini terpilih Tio Cip Tuan Ketua ketua Yayasan Sungai Jernih atau Yayasan Marga Tio.
Tio Cip Tuan memimpin Yayasan Bhakti Suci selama satu periode atau dua tahun selaku ketua, didampingi komponen kepengurusan, masing-masing:
Tio Cip Tuan Ketua
Ng Liang Tek Wakil Ketua
Cia Peng Khun Bendahara
Sung Jiak Hin Pengawas
Heng Yam Hong Seksi Perlengkapan
The Seng Kheng Sekretaris
Periode IV (1973—1975)
Kepengurusan periode 1967—1973(-1975) tidak mengalami banyak perubahan di sisi pelaksanaan aktifitas dan tujuan semula yayasan. Namun, pada periode IV inilah Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu mulai mengemban tugas cukup berat, di mana saat periode ini dilaksanakannya pemindahan massal perkuburan Tionghoa yang ada di Kota Pontianak. Sementara itu dalam gerak aktifitasnya, yayasan berjalan lancar dengan 38 yayasan marga dan kematian yang dinaunginya. Dalam musyawarah kepengurusan, terpilih sebagai Ketua Periode IV yang menjabat kepengurusan tahun 1973-1975 adalah Kwee Khun Hian dari dan Ketua Yayasan Sinar Surya. Kwee menggantikan pendahulunya Tio Cip Tuan. Sebetulnya, periode Kwee ini adalah melanjutkan program terdahulu, yaitu menangani pemindahan perkuburan Tionghoa ke Sungai Raya. Namun di masa kepengurusan Tio Cip Tuan, pelaksanaannya belum dilakukan sepenuhnya. Saat itu baru merupakan langkah awal.
Setelah periode III, giliran pengurus periode IV yang diketuai oleh Kwee Khun Hian (Ketua Yayasan Sinar Surya). Dia menggantikan pendahulunya, Tio Cip Tuan. Pada masa kepemimpinan Kwee Khun Hian inilah proyek pemindahan makam di Jalan Gajahmada dilaksanakan. Bersama Kwee Khun Hian, masing-masing selaku pengurus pada periode ini adalah:
Kwee Khun Hian Ketua
Heng Chai Leng Wakil Ketua
Chua Hai Thio Humas
Nai Kha Song Bendahara
Lu Fa Chong Sekretaris
Ceng Kia Jeng Seksi Perlengkapan
Meski terbangun dari, sampai saat ini yayasan sudah menaungi 40 dari semula 38 yayasan marga dan kematian di Kota Pontianak, namun masih belum memiliki gedung atau sekretariat tersendiri yang permanen. Semula sekretariat yayasan menumpang di Sekretariat Yayasan Budi Agung (Yayasan Khung Siau). Praktis untuk menjalankan aktifitasnya, para pengurus Yayasan Bhakti Suchi harus mengantor di sana berbauran dengan pengurus Yayasan Budi Agung yang menumpangi.
Di luar dari tugas dan fungsi semula dibentuk kembalinya yayasan ini, juga memberikan porsi aktifitas bergerak di lapangan sosial kemasyarakatan. Tak kurang, para praktisi bisnis yang dapat dikategorikan sebagai para konglomerat lokal Kalimantan Barat, mereka menyatukan langkah untuk yayasan ini. Dan secara aktif berhimpun di dalamnya, sesuai peran dan aktifitas mereka masing-masing. Sebagai salah satu catatan kenangan dari yayasan ini, ketika terjadi musibah kebakaran besar yang melanda pasar Desa Punggur, semuanya bahu membahu ikut memberikan uluran tangannya untuk membantu. Demikian pula sumbangan para dermawan mengalir deras ke panitia yang dibentuk dan dikoordinir yayasan. Kesemuanya itu untuk kemudian dibelikan bahan yang diperkirakan bisa ikut meringankan penderitaan para korban musibah kebakaran tersebut.
Begitu pula saat terjadi musibah kebakaran di Sekadau, di mana dalam musibah itu, si jago merah nyaris melahap satu kawasan perkampungan penduduk setempat. Pimpinan Yayasan Bhakti Suci segera mengirim utusannya Kim Tjue dan Theng Bak Cui ke sana untuk mempelajari bantuan apa yang layak diberikan. Tentunya di samping pangan yang paling diutamakan untuk disalurkan. Hasil pantauan keduanya, yayasan setelah mempelajari dengan seksama laporan yang disampaikan, segera menggalang dana dan sumbangan kemanusiaan dan sesegeranya disalurkan langsung ke masyarakat yang memang membutuhkan pertolongan.
Pada periode kepemimpinan LT Susanto, dicatatkan pula, terjadi musibah kebakaran di Telok Batang. Mengingat jarak ke lokasi yang cukup jauh dan sukar dijangkau, Cia Eng Kun dan Sim Miang dua orang dari yayasan diutus ke sana dengan transportasi motor air. Dari pantauan di lapangan, diperoleh pengamatan kebakaran yang terjadi dalam skala kecil, maka sumbangan yang disalurkan pun disesuaikan dengan kondisi lapangan. Beranjak dari kenyataan-kenyataan yang ditemukan itu pula, pimpinan yayasan mempunyai pemikiran, sudah saatnya aktifitas sosial kemasyarakatan dari yayasan diarahkan pula dan memberikan perhatian untuk daerah luar Kota Pontianak. Kenyataan yang paling banyak ditemukan, adalah masalah kebakaran, dan yayasan mencatat kewaspadaan terhadap musibah yang sangat rawan tersebut.
Demikian pula halnya saat yayasan berada pada periode kepemimpinan Ang Ciu Bu (Abu Hasan) atau Periode VII. Internal yang dialami yayasan, di mana kondisi keuangan yayasan yang tergambar dari keuangan pada kas atau saldo akhir keuangan yayasan mengalami kekosongan. Kenyataan itu dalam tahunan awal 1990. kenyataan yang dialami yayasan itu berkenaan dengan sumbangan kemanusiaannya yang diberikan sehingga menguras keuangan yang dimiliki yayasan. Sementara, kelancaran partisipasi untuk keuangan yayasan mengalami ketersendatan, mengingat faktor perekonomian saat itu sedikit banyak cukup mempengaruhi pula pada keadaan yang dijalani. Di saat krisis keuangan yayasan itu dialami, musibah yang tak diundang pun tak bisa dielakkan. Suatu kebakaran besar yang terjadi, sangat tak mustahil menyita perhatian dari yayasan untuk mengedepankan rasa sosial dan tindak kemanusiaannya. Maka untuk kondisi itu, para pengurus menggalang dana selekasnya dan kemudian menjadikannnya barang sembako (sembilan kebutuhan pokok) serta pakaian layak pakai untuk sesegeranya dikirim dan disalurkan ke lokasi dan korban musibah.
Lebih mengutamakan kepentingan dan masalah sosial kemasyarakat, yayasan sempat mengalami krisis keuangan. Namun, dilandasi rasa kesetiakawasan sosial dalam bingkai kebhinneka tunggal ikaan, dengan langkah dan trik tersendiri, di bawah kepemimpinan Abu Hasan, kondisi keuangan yayasan dapat selekasnya dipulihkan. Seluruh yayasan yang berada dalam ikatanYayasan Bhakti Suci mengulurkan upaya yang positif sebagai tindak penyelamatan keberadaan yayasan.
Dalam perkembangan berikutnya seiring waktu berjalan, 1991 dimulailah pembangunan Gedung Yayasan Bhakti Suci di Jalan Gajah Mada yang ada sekarang. Seorang dermawan, Ir Aloisius tak ragu merogoh kocek pribadinya total nilai 50 persen dari keseluruhan nilai bangunan fisik yang ada merupakan uluran tangannya. Setahun berjalan, penghujung 1992 fasilitas gedung rampung dikerjakan pembangunan fisiknya. Sampai saat itu, infrastruktur yang vital ini telah siap untuk diresmikan penggunaannya.
Arsitektur fisik Gedung Yayasan Bhakti Suci tak jauh berbeda dengan bangunan ruko lainnya di kawasan Jalan Gajah Mada, berderet dengan bangunan pertokoan yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada garasi, kecuali sedikit halaman di depan yang digunakan untuk penyimpanan kendaraan. Kondisi keterbatasan halaman itu, sehingga awalnya bila ada kematian, jenazah masih disemayamkan di gedung yayasan ini. Itupun ditempatkan di samping gedung, menunggu ritual pemakaman beberapa hari kemudian. Setelah membenahi kondisi kas yayasan, pembangunan infrastruktur gedung yayasan, pada periode Abu Hasan inilah Yayasan Bhakti Suci mulai berusaha membeli satu unit mobil ambulan berwarna hitam. Kemudian dalam tahun 1995 berhasil menambah satu unit ambulan lagi. Dan dua fasilitas penting ini, difungsikan satu unit sebagai mobil jenazah dan satu unit untuk pengangkutan pesakitan.
Periode V (1975—1977)
Ditegaskan melalui Anggaran dasar yayasan ini, bahwa untuk menduduki jabatan ketua, seorang pengurus dapat dipilih kembali setelah menyelesaikan satu periode pertama dari periode kepengurusannya yang berlangsung selama dua tahun. Begitulah yang bergulir kemudian di dalam kepengurusan Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu. Pada periode V kurun 1975-1977, di saat tugas yayasan semakin dirasakan berat, musyawarah keanggotaan memilih secara aklamasi ketua pertama embrio yayasan Bahagian Konghuchu dan Tionghoa, Lim Bak Ho, untuk menjabat sebagai ketua pada periode V (1975-1977) ini. Figur Lim Bak Ho (Halim Krisno) pada kondisi ini sangat dibutuhkan sekali, selain sebagai orang yang berkecimpung bersama para penggagas kolektif yayasan semula, Lim Bak Ho terus mengiringi perjalanan yayasan ini dengan kemudian dideklarasikan berdiri sendiri mengingat sub-sub yayasan lain yang bersama-sama dengannya saat embrional Jajasan Bhakti Sutji dicetuskan sudah mengalami kevakuman.
Pengalaman dan kesenioran Lim Bak Ho merupakan faktor yang menjadi alasan dirinya diminta untuk memimpin yayasan ini saat itu. Saat periode inilah, dengan pengalaman yang dimilikinya dalam menata organisasi ini, Lim kembali melakukan reformasi kepengurusan. Kalau di tahun 1969 ia mereformasi Jajasan Bhakti Sutji dengan membenahi Bahagian Konghuchu (dan Tionghoanya), maka dalam periode 1975 ia menyusun komposisi kepengurusan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya. Dan dengan tak diartikan memisahkan diri dari induk semula yayasan, Jajasan Bhakti Sutji, yayasan Bahagian Konghuchu memilih untuk berdiri tegak dan menyatakan terbentuknya Yayasan Bhakti Suci secara utuh, mengingat bahagian-bahagian lainnya sudah tak terdengar lagi, atau secara organisatoris berdasarkan Anggaran Dasar telah bubar dengan sendirinya. Sepertinya, Lim memperhatikan sekali tuntutan kebutuhan organisasi di zaman yang terus bergerak.
Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, komposisi yang tersusun pada periode ini seakan merupakan pemula untuk sistematika kepengurusan kemudiannya hingga kepengurusan periode sekarang. Untuk periode V tahun 1975-1977, bersama Lim Bak Ho, masing-masing terpilih dan ditetapkan sebagai pengurus yayasan adalah:
Lim Bak Ho (Halim Krisno) Ketua
Tio Yau Kok (Tiosoyono Patioso) Wakil Ketua
Agus Susanto Sekr Bahasa Indonesia
Gou Tuan Lip (Gowidjaja) Sekr Bahasa Mandarin
Suwandi Santoso Bendahara
Hady Suhaid Komisaris
Tjhe Kim Nguan Pembantu Umum
Eddy Fadjarai Penghubung
Loy Ngang Hui Penghubung
Lim Kia Eng Penasehat
Dalam periode ini, pada suatu rapat yang cukup a lot, keinginan dari 40 yayasan marga dan kematian yang menghimpun diri dalam ikatan organisasi Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu, berkeinginan agar Bahagian Konghuchu menetapkan eksistensinya sebagai yayasan utuh. Hal itu mengingat, induk yayasan semula, nyata tidak aktif lagi. Maka, dalam pada itu pula melalui suatu rapatnya, 40 yayasan dimaksud mengukuhkan diri membentuk sebuah yayasan dengan nama yang sama, Yayasan Bhakti Suci dengan menunjuk Lim Bak Ho (Halim Krisno) sebagai penggagas kelangsungannya.
Menegaskan maksud tersebut, dengan menggariskan bahwa kehadiran Yayasan Bhakti Suci yang digagas dari 40 yayasan yang ada tersebut bukan bermaksud memisahkan diri atau melupakan rintisan awalnya yang diprakarsai dr H Soegeng dan para tokoh lainnya, Lim Bak Ho selaku pengurus yang tetap eksis didampingi enam orang pengurus lainnya, mengunjungi dr H Soegeng untuk membicarakan masalah tersebut.
Sampai saat itu dr H Soegeng masih berkedudukan selaku Ketua Umum Jajasan Bhakti Sutji. Dengan berbagai pertimbangan yang dikemukakan, dan pembicaraan yang berlangsung penuh keakraban antara pemrakarsa dengan para pelanjut aktifitas itu, maka dr H Soegeng dengan penuh wibawa merestui dibentuknya Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Konghuchu. Maka kemudian, dengan adanya yayasan ini, secara khusus bergerak dalam hal pemakaman ataupun urusan kematian khusus masyarakat Tionghoa dan pemeluk Konghuchu.
Secara rinci digariskan, bahwa yayasan berfungsi, antara lain membantu sesama anggota yayasan atau warga pemeluk Agama Konghuchu dalam mengurus pemakaman, melaksanakan peraturan penggunaan serta perawatan perkuburan Tionghoa Konghuchu yang sudah ada. Selain itu, terus membina kerukunan terhadap sesama anggota yayasan. Memfungsikan Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci sebagai badan atau forum komunikasi antara Pemerintah dan anggota yayasan yang ada.
Digariskan pula, meski 40 yayasan marga dan kematian tersebut melahirkan (kembali) Yayasan Bhakti Suci Bahagian Konghuchu, namun tidak berarti yayasan ini sebagai refresentatif atau fusi dari 40 yayasan dimaksudkan. Melainkan, keberadaannya sebagai wadah yang memayungi 40 yayasan tersebut dalam aktualisasi tujuannya semula. Untuk menegaskan hal tersebut, keempat puluh yayasan tersebut kemudian menunjuk wakil-wakilnya dalam pendeklarasian pernyataan kehendak dari 40 yayasan dimaksud. Dan penegasan itu berdasarkan keputusan Rapat Badan Pengurus Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu pada tanggal 17 April 1977, bertempat di Sekretariat Yayasan Kong Sau Kong Kwan, Jalan Tanjungpura nomor 12 Pontianak, dan pernyataan yang diterbitkan atas nama Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci tanggal 18 April 1977 yang antara lain berisi:
1. Memberikan izin dan mandat penuh kepada nama-nama yang mewakili 40 Yayasan Pemakaman di Pontianak untuk membentuk dan mendirikan Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Konghuchu dalam wadah kesatuan Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci. Karena itu, mereka berhak dan berkuasa mewakili Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci dalam hal pembentukan dan pendirian Bahagian Agama Konghuchu menghadap pemerintah.
2. Menangani segala urusan yang bertalian dengan pembentukan yayasan Bahagian Agama Konghuchu dan menandatangani akta-akta atau pendek kata segala sesuatu yang demi kepentingan Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Kong Hu Chu.
3. Komposisi dan personalia Pengurus Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu akan ditentukan kemudian dalam kesepakatan musyawarah antara 40 Yayasan Pemakaman yang ada sebagai anggota dari Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu.
Maka, resmi sejak saat itu, Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu de jure berdiri oleh Empat Puluh yayasan kematian yang selanjutnya kesemua itu berhimpun di dalamnya. Bersamaan, ditetapkan pula. Badan Pengurus periode ini diketuai Lim Bak Ho (Halim Krisno). Badan Pengurus ini selanjutnya disahkan dengan diterbitkannya Akta Pendirian Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu dengan Akta Notaris Nomor 25 tanggal 11 Mei 1977 oleh Notaris, Mochammad Damiri SH di Pontianak.
Adapun para penghadap notaries mewakili 40 yayasan untuk maksud mendirikan Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu, masing-masing Halim Krisno, Tiosoyono Patioso, Agus Susanto, Gowijaya, Eddy Fadjarai, Tjhe Kim Nguan, Suwandi Santoso dan Hadi Suhaid. Mereka para penghadang mengumpulkan uang sejumlah Rp 4 Juta dan memperuntukkan serta memisahkan jumlah uang tersebut dari kepemilikan pribadi sebagai pangkal kekayaan yayasan. Mereka pada saat itu mendirikan suatu yayasan yang bernama Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu yang berkedudukan di Pontianak.
Di dalam Pasal 3 Anggaran Dasar yayasa ini disebutkan:
Maksud dan tujuan berdirinya yayasan baru ini adalah mengusahakan usaha sosial dalam arti kata seluas-luasnya, terutama bergerak dalam usaha pengurusan makam-makam bagi orang-orang yang beragama Konghuchu yang ada di Pontianak, dengan tidak mengingat jenis kelamin maupun keturunan marganya.
Dan di dalam Pasal 4 digariskan: Yayasan ini berusaha dengan:
a. Mengusahakan tanah-tanah untuk pemakaman umum.
b. Memelihara makam-makam bagi orang-orang yang beragama Konghuchu.
c. Membantu pemakaman bagi orang-orang yang beragama Konghuchu yang tidak mampu.
d. Mendirikan rumah-rumah ibadah bagi orang yang beragama Konghuchu, serta mengadakan upacara-upacara sembahyang.
Dengan berdirinya yayasan ini, maka untuk pertamakalinya komposisi kepengurusan dicatatakan di dalam Akta Notaris. Adapun kepengurusan periode ini, dimaksudkan pula sebagai Pengurus Periode I Yayasan Pemakaman Umum Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu. Mereka terdiri dari:
Halim Krisno Ketua
Tiosoyono Patioso Wakil Ketua
Agus Susanto Penulis I
Gowijaya Penulis II
Suwandi Santoso Bendahara
Hadi Suhaid Komisaris
Thje Kim Nguan Pembantu Umum
Eddy Fadjarai Penghubung
Dengan lahirnya yayasan ini, tidak berarti yayasan yang ada sekarang seakan laksana kupu-kupu yang melepaskan kepompongnya dengan embrio yayasan semulanya. Mengingat tuntutan sejarahnya pula, maka kehadiran Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang telah memberikan nuansa baru dalam perjalanan panjangnya. Suasana reformasi yayasan dan pirantinya dalam tahun 1977, dengan kelahiran yayasan ini pada 18 April 1977, memberikan suatu sumbangsih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Satu perasaan lega yang dirasakan para pemrakarsa dan pengurus yayasan ini di mana akhirnya mereka memiliki fasilitas yang permanen sebagai sekretariat yayasannya.
Bermula dengan upaya yang ditempuh dengan menghimpun dana ditandai dengan pembentukan Panitia Pergelaran Permainan Naga yang pertama kali di awal 1976. Maka dari rintisan awal ini, kemudian diukuhkan lagi setelah terbentuknya sebuah yayasan yang legal, dana yang terserap dikelola dengan sebaik mungkin sehingga mampu membeli sebuah gedung baru yang berada di Jalan gajah Mada sebagai Gedung Yayasan Bhakti Suci sekarang. Gedung ini dibeli dalam tahun 1976, mendahului peresmian keberadaan yayasannya. Dan ditegaskan kemudian di dalam akta pendiriannya, bahwa di samping maksud utama pembentukan yayasan ini, kehadirannya juga dimaksudkan dalam rangka mengekalkan tradisi budaya Tionghoa terutama bagi masyarakat pendukungnya di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Periode VI (1977-1979)
Telah terjadi suatu musibah kemanusiaan dan sosial berupa kebakaran besar dan hebat di daerah Punggur yang menghanguskan seluruh rumah penduduk. Kejadian 24 September 1977 bersamaan Imlek: 8 Gwee 12 itu, dengan sendirinya mengundang nurani Yayasan Bhakti Suci Pontianak untuk berbuat banyak. Sehari stelah musibah nahas itu, 25 September 1977 atau 8 Gwee 13, segera permohonan bantuan yang disampaikan dengan segera disikapi.
Pada 26 September atau 8 Gwee 14, para pengurus menggelar rapat yang diikuti seluruh anggota pengurus dan komponen yayasan secara menyeluruh. Tujuannya, agar yayasan segera mengambil sikap dan membantu musibah kebakaran yang terjadi di Punggur itu. Hasil keputusan bersama lewat rapat tersebut, pada 27 September atau 8 gwee 15, para pengurus dan sebagian anggota berangkat ke Punggur melihat dan meninjau lokasi sekaligus melakukan pendataan keperluan yang harus segera disalurkan kepada masyarakat korban kebakaran itu. Perlunya peninjauan, karena panitia di Pontianak dengan sendirinya belum sepenuhnya mengetahui kebutuhan logistik para korban. Di samping tentunya, mereka khawatir apabila tanpa peninjauan bantuan yang diberikan tidak mengena sasaran yang dituju.
Hasil pantauan di lapangan, para pengurus melakukan tindakan gerak cerpat. Secara sosial kemasyarakatan, mereka mengetuk hati dan nurani para pengusaha yang terbilang sukses untuk ikut meringankan beban penderitaan yang dirasakan para korban musibah kebakaran tersebut. Berbagai bantuan segera diperoleh, di antaranya didapatkan dari salah seorang pengusaha sukses yang belakangan dikenal luas sebagai salah seorang konglomerat ternama Indonesia, (mendiang) Adijanto pemilik PT Bumi Raya Group dan dari pemilik usaha penggergajian kayu atau sawmill The Lim Kang. Kedua tokoh ini dengan jiwa sosialnya, telah membantu menyediakan bahan bangunan fisik sederhana, antara lain berupa kayu untuk kebutuhan infrastruktur sederhana. Hal dimaksudkan untuk memfasilitasi pembangunan kembali sarana perumahan yang telah terbakar dalam musibah tersebut.
Di samping tugas utamanya, yayasan juga berperan dalam melestarikan budaya leluhur. Menjadi kelaziman, tradisi budaya sembahyang kubur, sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur, dilakukan dengan koordinasi yang rapi. Dalam kepengurusan Periode VI ini pula telah dilakukan upacara pembakaran Kapal Wangkang pada 6 September 1979 yang merupakan untuk kali pertama pembakaran Wangkang dilaksanakan di Komplek Pemakaman Yayasan Bhakti Suci di Sungai Raya. Pembakaran Wangkang merupakan upacara sembahyang kubur kedua, di mana dalam prosesinya diakhiri dengan pembakaran kapal jung yang terbuat dari kayu dan kertas dengan ukuran besar. Dalam keyakinan penganut Konghuchu, tujuan pembakaran Wangkang ini, agar arwah leluhur yang sudah meninggal mengalami ketenangan di alam arwah mereka.
Pada waktu-waktu sebelumnya, pembakaran wangkang dilangsungkan di tepi aliran Sungai Kapuas pada kawasan Pasar Nusa Indah di mana ritual ini dikelola pihak Kelenteng Dewi Machow yang berada di kawasan itu. Selanjutnya, setelah kawasan tersebut penuh sesak seiring dengan pertumbuhan kota yang kian merangkak maju dan berkembang dengan pesat, lokasi ini dipandang tak memungkinkan lagi untuk dilangsungkannya ritual semacam itu di sana. Oleh sebab itu, maka kemudian dialihkan ke kawasan Pemakaman Tionghoa Yayasan Bhakti Suci di Jalan Adisucipto Sungai Raya yang jaraknya jauh dari kawasan pemukiman penduduk dan hangar binger keramaian pusat kota.
Saat ritual bakar Wangkang dilakukan, bukan hanya mereka yang berdomisili di Pontianak yang hadir, namun juga mereka yang telah bermukim di luar Kalimantan Barat. Sebaian datang dari Jakarta, Medan, dan tentu sekali dari Taiwan, Hongkong dan luar negeri tempat domisili mereka saat tersebut. Untuk penyelenggaraan bakar Wangkang ini, dikoordinir oleh satu kepanitiaan yang terdiri dari Cia Eng Khun (Ketua), Yo Siang Keng (Wakil Ketua), Cia Eng Kun (merangkap Ketua Seksi Pelengkapan), beberapa anggota panitia lain Lou Yau Song dan Chua Yam Tek. Berkah yang diperoleh dari ritual pembakaran Wangkang, di mana kemudian yayasan dapat menambah perbendaharaan asset yayasan yang dimilikinya, dengan pembelian satu unit truk guna kelancaran operasional yayasan.
Pada periode VI ini, Yayasan Bhakti Suci kembali mengalami perubahan komposisi kepengurusan, dengan didahului adanya Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Bhkati Suci bahagian Agama Konghuchu pada 19 Agustus 1978 yang dikukuhkan dengan Akta Notaris Tommy Tjoa Keng Liet SH,. Bahwa, berdasarkan rapat pleno yayasan, musyawarah kepengurusan meluluskan permohonan berhenti semua anggota Badan Pengurus yayasan periode sebelumnya, masing-masing Halim Krisno, Tiosoyono Patioso, Agus Susanto Gowijaya, Eddy Fajarai, The Kim Nguan, Suwandi Santoso dan Hadi Suhaid, terhitung sejak 28 Juni 1977. Seterusnya, kepengurusan yayasan mengangkat Polycarpus Widjaja Tandra SH, anggota DPRD Kalimantan Barat yang juga tokoh pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sebagai Ketua Badan Pengurus baru yayasan, dengan mengemban tugas untuk segera menyusun komposisi kepengurusan yang baru.
Sejak 28 Juni 1977 hingga akhir 1979, kepengurusan yayasan Bhakti Suci dinakhodai Polycarpus Wijaya Tandra SH. Masing-masing pengurus yayasan dalam komposisinya terdiri dari:
Polycarpus Widjaja Tandra SH Ketua
Yo Siang Keng Wakil Ketua
Sik Ui Cie Wakil Ketua
Hek Kok Be Humas
Sung Jiak Hin Bendahara
Ng Leng Him Ketua Pengawas
Ciu Ek Chiang Wakil Pengawas
Lim Sim Iu Wakil Bendahara
Chang Fon Bun Seksi Bahasa Indonesia
Sim Pue Kie Seksi Bahasa Mandarin
Cia Seng Khun Seksi Perlengkapan
Lou Yau Song Wakil Seksi Perlengkapan
Chua Yam Tek Wakil Seksi Perlengkapan
Chiu Kit Hong Seksi Pemakaman
Sim Lai Pu Wakil Humas
Theng Bak Cui Wakil Seksi Pemakaman
The Cou Hua Wakil Bahasa Mandarin
Tjhe Kim Nguan Pembantu Umum
Periode VII (1979-1981)
Melanjutkan kepengurusan periode sebelumnya, terutama menyangkut ugas yang diemban para pengurus, kepengurusan periode VII masa bhakti 1979—1980, dipadati berbagai program yang harus ditangani. Yang terutama adalah mengenai pengurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Imbas politik yang dijalankan oleh rezim ketika itu, mengharuskan semua masyarakat Tionghoa melengkapi identitas diri mereka dengan adanya selembar SBKRI.
Yayasan tidak membatasi diri hanya untuk kalangan Tionghoa semata. Namun, sebagai lembaga sosial nirlaba, yang tidak mencari keuntungan dari rangkaian pengabdiannya, yayasan membuka diri untuk semua masyarakat yang membutuhkan ulur bantuan, di luar dari tugas pokok yang diemban yayasan ini khususnya di lingkungan penganut agama Konghuchu. Akhir 1979 saat awal periode kepengurusan Periode VII, Pasar Sekura Kecamatan Telok Keramat Kabupaten Sambas dilanda kebakaran besar yang meludeskan kawasan itu. Peranan yayasan segera diwujudkan untuk membantu meringankan beban moril dan materil yang ditanggung oleh para korban dari musibah nahas itu.
Menggantikan Polycarpus Wijaya Tanda SH, periode ini dipimpin LT Susanto, yang sebelumnya pernah pula mengetuai yayasan ini. Peranan menonjol kepengurusan yayasan paada periode ini, adalah membantu kelancaran pengurusan SBKRI. Bersama Susanto, sejumlah tokoh penting lainnya serupa Tan Hang Leng selaku donatur dan Eddy Fadjarai sebagai salah satu pengurus yayasan, memfasilitasi penyelenggaraan pengurusan SBKRI ini. Kelaknya, di masa pemerintahan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), berakhir sudah SBKRI yang oleh sebagian masyarakat Tionghoa dianggap momok dalam memperolehnya, dihapuskan. Bantuan yang diberikan oleh yayasan dalam pengurusan SBKRI ketika itu, adalah bagi masyarakat Tionghoa yang sudah berusia 17 tahun ke atas dalam 1980.
Pada Periode VII yayasan, komposisi kabinet LT Susanto terdiri dari:
LT Susanto Ketua
Then Nyian Liung Wk Ketua
The Bu Jin Pengawas
Gou Tuan Lip Seksi Bahasa Mandarin
Ng Seng Lai Seksi Kendaraan
Lau Kuang Sua Seksi Perlengkapan
Ceng Seksi Bahasa Indonesia
Liau Huai Thai Bendahara
Bong Chung Miau Wakil Bendahara
Un Bun Mou Anggota
Lo Cung Cing Anggota
Cong Khim Lim Anggota
Hie Kwet Fui Anggota
Kwee Khiok Jin Anggota
Goi Jeng Phong Anggota
Lim Lau Theng Anggota
Ng Chiang Lai Anggota
Eh Peng Khiang Anggota
Che Kim Nguan Anggota
Cia Eng Khun Ketua Seksi Pemakaman
Periode VIII (1981-1982)
Periode berikutnya merupakan Periode VIII untuk kurun masa bhakti 1981-1982, di mana LT Susanto kembali terpilih untuk mengetuai yayasan. Dalam periode ini, Susanto merombak komposisi kepengurusan yayasan, sehingga komposisi di bawah Susanto untuk periode ini adalah:
LT Susanto Ketua
Tan Han Leng Wakil Ketua
Gou Tuan Lip Sekretaris Bahasa Mandarin
Eh Chai Ciang Sekretaris Bahasa Indonesia
Lo Cong Ceng Ketua Seksi Perlengkapan
Lau Kuang Sua Wakil Ketua Seksi Kendaraan
Sabinen Anggota
Sim Yang Anggota
Liau Kwet Sin Anggota
Tio Seng Lim Bendahara
You Ie Mou Wakil Bendahara
Heng Kok Peng Humas
Then Hon fan Anggota
Cia Eng Kun Ketua Seksi Pemakaman
Kwee Khiok Jin Wakil Seksi Pemakaman
Khou Bak Hui Anggota
Sung Jiak Hin Pengawas
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Chang Fon Khiong Pembantu Umum
Lim Chiu Mou Seksi Perlengkapan
Diakui, awalnya Yayasan Bhakti Suci Bahagian Agama Konghuchu tidak memiliki Anggaran Dasar tersendiri yang permanent sifatnya. Dalam pengertian, harus banyak dilakukan koreksi dan imbuhan untuk menyempurnakannya. Namun, Anggaran Rumah Tangga yang dirumuskan, sebaliknya jauh lebih sempurna dan dipandang cukup memadai. Karenanya, masih terkesan, seorang ketua dipilih bukan karena visi dan misi kepemimpinannya, melainkan diangkat dari skala besarnya yayasan yang dinaunginya yang berada dalam lingkup yayasan induknya.
Oleh sebab itulah, pasca kerusuhan sosial kemasyarakatan yang melanda Kalbar dalam 1967, di mana masyarakat Tionghoa sangat terimbas oleh malapetaka tersebut, memberikan pekerjaan rumah yang tersendiri bagi yayasan. Maka, keberadaan Yayasan Bhakti Suci (dalam kelanjutannya dari embrio awal kehadirannya), terasa sangat dibutuhkan sekali. Dan menjadi jembatan yang melancarkan hubungan antara masyarakat Tionghoa dengan berbagai komponen bangsa lainnya.
Dalam hal pengurusan SBKRI, misalnya, dirasakan sekali sebagai satu beban tugas yang sangat berat. Untuk meringankan dan melanggengkan proses tersebut, Yayasan Bhakti Suci menjalin hubungan kemitraan dengan, antara lain, Yayasan Prasetya Mulya, Jakarta, juga dengan instansi terkait lainnya. Setidaknya satu tim dari Jakarta merupakan gabungan dari Departemen Kehakiman, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan dari lingkungan TNI-AD membantu untuk secepatnya penyelesaian SBKRI dari mereka yang memohon perolehannya.
Menilik ke dalam dari kebijakan yang ditempuh yayasan dalam penyegaran komposisi kepengurusannya, dipandang sudah cukup mengena. Karena, kurun waktu dua tahun dipandang mencukupi untuk untuk regenerasi dan refresing serta perputaran roda kepengurusan. Yayasan yang besar dan lama, dalam YBS tidak mutlak jadi pemimpin. Yang dalam skala kecil dan baru bergabung sekali pun bisa terpilih sebagai ketua, dengan penggarisan bahwa yang lain secara aklamasi menyetujuinya. Tujuan demikian agar yayasan tetap bersatu dalam satu payung Yayasan Bhakti Suci. Dan ini dimaksudkan juga untuk menghindari agar tidak adanya kelompok tertentu, skala besar atau kecil, namun semuanya dipandang sebagai satu kesatuan dalam wadah sosial kemasyarakatan dari masyarakat Tionghoa di Pontianak khususnya.
Dalam perjalanan sejarah organisasi yayasan ini, pada mulanya terkesan banyak personil yang enggan untuk dipilih sebagai ketua. Dalam anggapan pribadi mereka ini, menjadi seorang ketua akan menempuh banyak hal yang menyangkut kepemimpinan dari sebuah organisasi besar, di samping yang bersangkutan harus mampu menjembatani antara kepentingan masyarakat Tionghoa dengan pemerintah khususnya.
Periode IX (1983—1984)
Pada periode ini, dikatakan juga sebagai giliran The Kim Ju untuk terpilih sebagai ketua. The Kim Ju dalam keberadaannya di induk yayasan sebagai wakil dari dan selaku ketua Yayasan Surya Makmur. Komposisi kepengurusan pada periode pertama dari dua kali kepemimpinan The Kim Ju ini, terdiri dari:
The Kim Ju Ketua
Tan Ce Sang Wakil Ketua
Ciu Tong Cua Sekretaris Bahasa Indonesia
Yap Ngi Hua Sekretaris Bahasa Mandarin
Ang Phu Phio Seksi Seni Tradisional
Sim Khiok Khi Wakil Bidang Humas
Ng Leng Him Pengawas
The Bak Cang Wakil Pengawas
Lim Chiou Mou Ketua Bidang Perlengkapan
Eh Peng Kiang Wakil Bidang Perlengkapan
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Heng Bak Song Seksi Seni Tradisional
Ceng Ceng Tong Seksi Pemuda dan Olahraga
Cia Eng Khun Ketua Seksi Pemakaman
Lie Khue Khe
Lim Lau Theng
The Hua Kiang
Periode X (1985-1987)
Seterusnya pada periode kedua kepemimpinan The Kim Ju, mengalami perombakan kepengurusan, di mana terdapat sejumlah komponen baru di dalam struktur kepengurusan. Selengkapnya kabinet periode kedua Kim Ju terdiri dari:
The Kim Ju Ketua
Lim Liang Sia Wakil Ketua
Lie Sau Fat Pengawas
Tan Bun Ui Wakil Pengawas
Gou Tuan Lip Sekretaris Bahasa Mandarin
Ciu Khim Hai Sekretaris bahasa Indonesia
Cia Eng Kun Ketua Seksi Pemakaman
Tio Seng Lim Bendahara
You Ie Mou Wakil Bendahara
Sim Khiok Khi Humas
Lim Liang Kia Wakil Humas
The Hua Bun Wakil Sekretaris Bahasa Indonesia
The Se Yong Seksi Kendaraan
Lim Chio Mou Seksi Perlengkapan
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Chua Hang Chuan Wakil Seksi Perlengkapan
Khou Hiong Ngi Seksi Kendaraan
Liau Gap Hua
Sim Hong Anggota Dewan Pengawas
Periode XI (1987-1988)
Dengan berakhirnya dua kali kepemimpinan The Kim Ju menakhodai biduk organisasi ini, seterusnya aklamasi terpilih Lim Liang Sia untuk menjadi orang diurutan pertama pada yayasan ini. Dalam kepengurusannya, Lim Liang Sia menetapkan suatu komposisi kepengurusan lengkap sebagai berikut:
Lim Liang Sia Ketua
Tan Ce Sang Wakil Ketua
Gou Tuan Lip Sekretaris Bahasa Mandarin
Lie Khim Cai Wakil Sekretaris Bahasa Mandarin
Lie Sui Sin Sekretaris Bahasa Indonesia
Sim Hong Wakil Sekretaris Bahasa Indonesia
Tan Bun Ui Pengawas
Liu Khin Kong Koordinator Pemakaman Siantan
Cia Eng Khun Ketua Seksi Pemakaman
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Lou Yau Song Seksi Perlengkapan
Cua Hang Chuan Wakil Seksi Perlengkapan
Tio Seng Lim Bendahara
You Ie Mou Wakil Bendahara
Lim Liang Kia Humas
Liau Siak Chun
Ng Eng Jue
Teng Se Yong Seksi Kendaraan
Lim Hang Chuin Wakil Seksi Perlengkapan
Khou Hiong Ngi Wakil Seksi Kendaraan
Periode XII (1988-1990)
Setelah melintasi beberapa periode yang semula dikendalikannya, pada periode XII untuk kurun waktu dua tahun kepemimpinan, Abu Hasan, seakan turun gunung, kembali memimpin yayasan ini. Pada periode kepemimpinannya kali ini, atau periode XII kepemimpinan Yayasan Bhakti Suci, Abu Hasan melakukan perombakan kepengurusan. Terlihat kentara, demikian juga pada periode XIII kemudiannya, dengan mengakomodir seluruh yayasan yang bernaung di dalam yayasan induk, Abu Hasan memposisikan personil kepengurusan sesuai job mereka masing-masing. Serta juga, tampak adanya suatu regenerasi di dalam kabinetnya. Selengkapnya, terdiri dari:
Abu Hasan Ketua
Tan Ce Sang Wakil Ketua
Ng Han Lim Wakil Ketua
The Lip Ciau Pengawas
Tio Seng Lim Bendahara
Lie Khie Leng Wakil Bendahara
Sim Hong Sekretaris Bahasa Indonesia
Gou Tuan Lip Sekretaris Bahasa Mandarin
Ng Bu Kiang Humas
Lim Liang Kia Seksi Pemuda dan Olahraga
Cia Eng Kun Seksi Pemakaman
Lau Yau Song Seksi Perlengkapan
Chua Hang Chuan Wakil Seksi Perlengkapan
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Liu Khi Kong Koordinator Pemakaman Siantan
The Si Jung Seksi Kendaraan
Lim Hang Chun Wakil Seksi Perlengkapan
Then Bak Cui
Periode XIII (1991-1992)
Abu Hasan Ketua
Tio Yau Kang Wakil Ketua
The Lip Ciau Pengawas
Lim Seng Yau Wakil Pengawas
Lie Khie Leng Bendahara
Ciu Bun Chai Wakil Bendahara
Sim Hong Sekretaris Bahasa Indonesia
Ang Iu Hua Sekretaris Bahasa Mandarin
Yo Kui Bun Wakil Sekretaris Bahasa Mandarin
Ng Bu Khiang Humas
Nio Ui Kiang Wakil Seksi Sosial
Bun Kim Sin Wakil Pengawas
Then Si Jung Seksi Kendaraan
Khou Hiong Ngi Wakil Pengawas
Lo Hak Sun Wakil Seksi Perlengkapan
Lou Yau Song Ketua Seksi Perlengkapan
Chua Hang Chuan Wakil Seksi Perlengkapan
Liu Khi Kong Seksi Pemakaman Siantan
Cia Eng Kun Ketua Seksi Pemakaman
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Oktober 1991, memeriahkan HUT Kota Pontianak dan memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), Yayasan Bhakti Suci dan dengan seluruh anggota ikut berpartisipasi dalam Pawai Pembangunan. Wujudnya mengikuti karnaval turun ke jalan raya di dalam Kota Pontianak. Dan pada periode ini pula dicatatkan partisipasi aktif yayasan ini ikut serta menanggulangi musibah sosial kemasyarakatan, yakni musibah kebakaran besar yang melanda Pasar Sambas 18 November 1991. dan masih pada periode ini, dilanjutkan upaya pembuatan SBKRI dalam 1992.
Periode XIV (1993—1995)
Setelah dua periode kepemimpinan Abu Hasan (Ang Ciu Bu), rotasi kepemimpinan yayasan tidak mengalami pergantian orang pertamanya, di mana Abu hasan kembali menakhodai yayasan ini. Kecuali Abu Hasa, kepengurusan di dalam yayasan mengalami perputaran. Abu Hasan untuk kurun 1993-1995 ini menempatkan kepengurusan lengkapnya sebagai berikut:
Ang Ciu Bu (Abu Hasan) Ketua
Tio Yau Kang Wakil Ketua
The Lip Ciau Pengawas
Tan Siak Tong Wakil Pengawas
Sim Hong Sekretaris Bahasa Indonesia
Yo Yo Siang Wakil Sekretaris Bahasa Indonesia
Ang Iu Hua Sekretaris Bahasa Mandarin
Lim Eng Bun Seksi Agama Konghuchu
Nio Ui Kiang Wakil Seksi Agama Konghuchu
Ng Bu Khiang Humas
Lim Kui On Wakil Humas
Che Khueng Hie Seksi Sosial
Kwee Khiok Jin Wakil Seksi Sosial
Lie Khi Leng Bendahara
Ciu Bun Chai Wakil Bendahara
Bun Jung Fa Wakil Pengawas
Lau Yau Song Seksi Perlengkapan
Chua Hang Chuan Wakil Ketua
Liu Tin Hin Wakil Ketua
Liu Khi Kong Seksi Pemakaman Siantan
Dalam periode ini, sempat dicatat, 28 Maret 1993 musibah kebakaran besar terjadi di Tebas Kabupaten Sambas. Yayasan Bhakti Suci dipimpin Tio Yau Khang (Wakil Ketua) dan The Khueng Hie (Seksi Sosial) turun ke lokasi dan bergerak cepat untuk melakukan aksi sosial kemanusiaan. Dan pada periode ini pula dilakukan pembangunan Gedung Kelenteng Pekong di tempat Pemakaman Umum Yayasan Bhakti Suci di Sungai Raya hasil sumbangan dari para pengurus. Untuk penerangannya, pemasangan aliran listrik merupakan sumbangan dari The Lip Tjiau (Pengawas Yayasan).
Di samping beragam aktifitas dan serangkaian penjabaran program organisasi, penghujung 1993, melalui Notaris Suwanto SH di Pontianak, terjadi perubahan Anggaran Dasar di tubuh organisasi Yayasan Bhakti Suci. Para penghadap, masing-masing Abu Hasan, Achmad Basri, Eddy Suryo Wijoyo, Lie Hong Lim, Eddy Soedyanto yang berdasarkan rapat pleno I pada 3 Januari 1993 dilanjutkan Rapat Pleno II pada 12 Oktober 1993 yang bertempat di Sekretariat Yayasan Bhakti Suci Jalan Gajahmada nomor 111 Pontianak, mereka melakukan perubahan Anggaran Dasar, khususnya Pasal 1 1 Anggaran Dasar yayasan tersebut. Sedangkan lainnya, merubah ketentuan Pasal 3 dan 4 Anggran Dasar tentang Maksud dan Tujuan serta Usaha Yayasan. Maksud dan Tujuan adalah Membantu Usaha Pemerintah dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat pada Umumnya. Sedangkan pada Pasal 4 mengenai Usaha Yayasan.
Di dalam perubahan itu, khusus mengenai Uasaha Yayasan dijelaskan, bahwa,
“Yayasan ini berusaha: ..
a. Mengusahakan tanah-tanah untuk pemakaman umum.
b. Memelihara makam-makam bagi para anggotanya, termasuk melaksanakan segala upacara ritualnya.
c. Membantu pemakaman bagi orang-orang yang tidak mampu.
d. Mendirikan dan atau mengelola rumah-rumah ibadah bagi para anggotanya.
e. Menjalan usaha usaha sosial lainnya, termasuk memberikan bantuan sewaktu terjadi bencana alam.
f. Menjalan usaha dalam bidang sosial budaya.
Dan selain itu adalah juga merubah komposisi kepengurusan, di mana Abu Hasan yang kembali memimpin yayasan ini pada Periode XIV kurun 1993-1995 didampingi komponen kepengurusan sebagai berikut:
Ketua Umum Abu Hasan
Ketua Harian Achmad Basri
Komisaris Cahyono Tejo
Wakil Komisaris
Anggota Komisaris Nawan Marbun
Sekretaris Alex Hasyim
Wakil Sekretaris Adi Wijaya
Bendahara Lie Khie Leng
Wakil Bendahara Budiman Nilam
Humas Edy Soedy Yanto
Wakil Humas Lim Kun On
Seksi Sosial Tjemerlang Tje
Seksi Sosial I
Seksi Sosial II Kwee Khiok Jin
Seksi Agama Lim Eng Bun
Wakil Seksi Agama Abi Hasni Tahir
Pemakaman Sungai Raya Chia Eng Kun
Pemakaman Siantan Lim Ngak Cua
Seksi Kendaraan
Seksi Perlengkapan I Lusan Jaya
Seksi Perlengkapan II Chua Hang Chuan
Seksi Perlengkapan III
Periode XV (1995-1999)
Selanjutnya Abu Hasan (Ang Ciu Bu) terus memimpin yayasan ini, seakan perguliran kepemimpinan masih memihak kepadanya. Memang, figur Abu Hasan di dalam yayasan dikenal berani melakukan terobosan dan gebrakan. Di samping sebagai pemuka masyarakat khususnya dari masyarakat Tionghoa, kedekatan Abu hasan dengan rezim yang berkuasa di Indonesia saat itu memberikan kemungkinan baginya untuk tetap bertengger di urutan pertama organisasi ini.
Dengan kegemilangannya menjabarkan program aktifitas yayasan, Abu Hasan kentara membawa suatu perubahan yang cukup berarti dalam perjalanan organisasi ini kemudian. Selengkapnya pada periode XV Yayasan Bhakti Suci di bawah komando Abu Hasan memiliki komponen sebagai berikut:
Ang Ciu Bu (Abu Hasan) Ketua
Heng Ho Po Wakil Ketua
The Lip Ciau Pengawas
Lim Khi Siang Wakil Pengawas
Bun Kim Sin Wakil Pengawas
Sim Hong Sekretaris Bahasa Indonesia
Ng Tiak Tong Wakil Sekretaris Bahasa Indonesia
Ang Iu Hua Sekretaris Bahasa Mandarin
Ng Bu Khiang Humas
Lim Kui On Wakil Humas
Shem Kon Jung Seksi Sosial
Lay Cok Fen Wakil Seksi Sosial
Yo Liak Meng Seksi Seni Budaya
Then Cin Meu Wakil Seksi Seni Budaya
Cia Eng Kun Seksi Makam Sungai Raya
Lim Ngak Hua Seksi Makam Siantan
Che Kim Nguan Pembantu Umum
Ng Yong Weng Penasehat
Lou Yau Song Seksi Perlengkapan
Eh Pui Ie Wakil Seksi Perlengkapan
Adanya musibah di Pontianak Utara pada 24 Januari 1995, banyak rumah penduduk berpenghasilan rendah menjadi korban, Yayasan Bhakti Suci mengumpulkan sumbangan para pengurus dan dana kas yayasan untuk bantuan ke lokasi dimaksud. Selain bahan makanan juga uang tunai setiap Kepala Keluarga. Dalam suasana krisis ekonomi yang melanda di segala aspek kehidupan, pada 26 Pebruari 1998, Dewan Pengurus dipimpin langsung Abu Hasan menggelar rapat pleno dan membentuk Panitia Pasar Murah yang bertujuan membantu masyarakat kurang mampu dalam menghadapi krisis ekonomi. Selain Dewan Pengurus Yayasan, juga dihadiri tokoh masyarakat dan pengusaha yang diundang untuk itu
Terbentuk kepanitiaan terdiri dari:
Ketua Abu Hasan
Wakil Ketua Budi Wong
Ketua Pelaksana Harian Eddy Fadjarai
Wakil Ketua Pelaksana Abi Hasni Tahir
Sekretaris Michael Yan Sriwidodo
Wakil Sekretaris Ng Tiak Tong
Bendahara Lie Khie Leng
Wakil Bendahara Tjiu Bun Tjhai
Humas Drs Hendry Jurnawan SH MM
Ng Bu Khiang
Lim Kui On
Seksi Pengumpul Dana Budi H Roesady
Kwan Min Ho
Gouw Ie Ho
Tio Yau Khang
Tio Cia Yong
Tio Kia Meng
Tan Yam Kui
Lim Kuang Gek
Yo Pheng Sia
Frans Mas’oen
Ateng Tandjaya
Polycarpus Widjaja Tandra SH
Lim Hui Weng
Charles Ferlani
Sairin Wimpie
Tan Khun Tang
Tan Tjip Hui
Tan Lim Khun
Periode XVI
Pada 17 Oktober 1998, serangkaian peringatan Nabi Konghuchu yang lazimnya diawali dengan ritual sembahyang di depan altar Nabi Konghuchu, diselenggarakan suatu rapat pleno. Bertujuan untuk menyusun suatu komposisi kepengurusan baru yayasan, atau menetapkan kepengurusan Periode XVI Yayasan Bhakti Suci. Diawali dengan Laporan Pertanggungjawaban Abu Hasan selaku Ketua Demisioner. Rapat kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Ketua Sementara yang kemudian bertugas mengadakan pemilihan Ketua Definitif kepengurusan yayasan selanjutnya
Hasil pemilihan menetapkan Tio Yau Khang sebagai Ketua Sementara dan Frendys Lukito sebagai Sekretaris Sementara Rapat Pleno 1998. Ketua dan Sekretaris Sementara selanjutnya menempati posisi kepemimpinan sementara yayasan hingga diselenggarakannya pemilihan Ketua Definitif. Penutup dari pleno ini, dipimpin Tio Yau Kang dan Frendys Lukito, aklamasi memilih Halim Iredjo (Lim Khi Siang) dari Yayasan Budi Luhur sebagai Ketua Periode XVI menggantikan Abu Hasan.
Selanjutnya Halim Iredjo sebagai Ketua Formatur menyusun dan menetapkan komposisi kepengurusan selengkapnya. Bersamaan dengan serahterima kepengurusan lama kepada pengurus sekarang pada 3 Januri 1999, Halim Irejo menegaskan, bahwa yayasan bukan semeta mengurus masalah kematian dan ritual pemakanan. Melainkan juga sebagai lembaga sosial kemasyarakatan serta mengayomi masyarakat Tionghoa dari sisi kebudayaan sebagai bagian intergral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Catatan Penulis: Adalah sangat jarang sebuah organisasi sosial yang sepenuhnya di dalamnya sebagai wadah berhimpun masyarakat Tionghoa selama rezim Orde Baru mampu bertahan dalam perjalanan sejarahnya, umum diketahui selama kekuasaan rezim dimaksud, posisi sulit masyarakat Tionghoa sangat kentara sekali.
Jauh sebelum ini, dalam 1978 sebetulnya para pengurus kala itu telah bertekad dari suatu keinginan bersama untuk memiliki sekretariat yang permanen dan refresentatif. Seiring perjalanan waktu dan putaran sejarah dengan segala pusaran dinamika yang penuh romantikanya, oleh para pengurus pemikiran untuk memiliki sekretariat tersebut semakin mengental. Dalam kenyataan penuh pengharapan demikian, seorang pengusaha sukses Pui Hie (Tjemerlang) yang menggarap proyek pembangunan kawasan Jalan Gajah Mada mempunyai andil tersendiri. Setelah mengadakan pertemuan dengan para pengurus yayasan, Pui Hie (Tjemerlang) memberikan uluran bantuannya dengan jalan melepas asset miliknya untuk dijadikan sekretariat tetap yayasan dengan harga relative murah sesuai kemampuan yayasan pada ketika itu.
Sekalipun demikian, namun kesiapan material yang ada pada kas yayasan masih belum mencukupi untuk mewujudkan keinginan bersama itu. Mengatasi kesukaran dana tersebut, diprakarsai Ang Ciu Bu (Abu Hasan), Yayasan Bhakti Suci menggelar aktrasi arakan naga. Dengan cara tersebut akan lebih mudah mendapatkan dana. Mereka bisa melakukan saweran Ang Pao dari tiap pintu rumah yang dikunjungi. Namun, untuk mewujudkan alternative ini mengalami hambatan. Umum diketahui, di dalam dekade itu, pemerintah rezim Orde Baru melakukan pelarangan terhadap semua bentuk aktifitas budaya masyarakat Tionghoa. Tak terkecuali atraksi naga..
Pendekatan yang dilakukan Ang Ciu Bu kepada piranti penting di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya Danrem 121/Alambhana Wanawai, waktu itu Kol IB Sujana, akhirnya memberikan kelonggaran dilaksanakannya atraksi tersebut, sejauh tak keluar dari koridor yang ditetapkan oleh negara menyangkut itu. Dan akhirnya, keinginan semula dari para pengurus yayasan dapat diwujudkan. Maka sejak 1978 itulah, Yayasan Bhakti Suci menempati sekaligus memiliki gedung baru di Jalan Gajah Mada 111 Pontianak yang ditempati hingga sekarang.
Ang Ciu Bu alias Abu Hasan tercatat menjabat antara 1989 hingga 1998, atau hampir sepuluh tahun. Mungkin, Abu Hasan untuk sementara ini tercatat sebagai ketua periode terlama dari yayasan ini. Dan selama kurun silih berganti itu, Abu Hasan menempati posisinya seiring dengan perubahan pesat yang dialami Kalimantan Barat umumnya dan Pontianak khususnya.
Sejak kepengurusan Abu Hasan ini pula, sebutan Yayasan Bhakti Suci Bagian Konghuchu ditiadakan. Mengingat. Yayasan Bhakti Suci tak lagi khusus menangangani agama Konghuchu tetapi juga berbagai latar belakang lainnya. Seorang warga Tionghoa, tentu tidak semua beragama Konghuchu. Mereka ada yang memeluk agama Kristen, Buddha, bahkan Islam sekalipun. Namun, mereka tetaplah suku Tionghoa yang ikut ambil bagian dalam budaya mereka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dicatatkan, pada masa akhir kepemimpinan Abu Hasan dalam periode XV dilakukan suatu perombakan besar. Masa bhakti pengurus yang sebelumnya hanya dua tahun, ditambahkan waktunya. Dalam tempo dua tahun dinilai pengurus yang dihadapkan dengan masalah waktu, hingga mereka selalu terburu-buru. Karenanya, pengurus yayasan sepakat bahwa pemilihan dilaksanakan minimal selama empat tahun sekali. Untuk kemudian, ketua bisa terpilih kembali pada kesempatan berikutnya. Masa jabatan diberikan minimal dua kali berturut-turut. Karenanya pada periode XV itu, masa jabatan pengurus di bawah kepemimpinan Abu Hasan berlaku selama empat tahun. Setelah empat tahun kemudian, baru dilaksanakan pemilihan lagi.
Abu Hasan yang semula dikenal sebagai pengusaha sukses perkebunan jeruk, sejak Periode XII memimpin yayasan hingga berakhir kepengurusannya pada Periode XV . ia kemudian digantikan Halim Iredjo. Dengan begitu berarti Abu Hasan telah empat kali menduduki tampuk kepemimpinan Yayasan Bhakti Suci. Cukup banyak keberhasilan kinerja yang ditunjukkan oleh Abu Hasan dan masing-masing komponen periode kepengurusan yang dipimpinnya. Salah satunya adalah keberhasilan memiliki Gedung Yayasan Bhakti Suci yang ada sekarang.
Periode XVI kepengurusan Yayasan Bhakti Suci berlangsung 1999-2003 diketuai Halim Irejo. Halim pengusaha pemilik PT Bintang Kalbar yang bergerak di bidang penangkaran dan ekspor ikan Arwana (Siluk) itu menggantikan Abu Hasan setelah dipilih secara aklamasi melalui sebuah rapat pleno yayasan. Kepemimpinan yayasan Periode 16 ini dimulai Minggu pertama Januari 1999 dan kemudian berakhir Minggu pertama Januari 2003.
Di bawah kepemimpinan Halim Irejo, komposisi selengkapnya adalah sebagai berikut:
Dewan Penasehat Abi Hasni Tahir
Abu Hasan
Bernard Ho
Charles Ferlani
Chua Yang Khui
Frendys Lukito
Herman Sutanto
Imbran Susanto
Lie Sau Fat
Lim Liang Kia
Lo Han Ciang
LT Susanto
Rusli Karman
Sim Khim Thuan
Tan Han Leng
Then Cin Khiam
Tio Cia Yong
Tio Yau Khang
Dewan Pengurus
Ketua Halim Iredjo
Sekretaris Michael Yan Sriwidodo
Periode XVII (2003—2006)
Di Pontianak pada 5 Januari 2003 kembali digelar Sidang Pleno Yayasan Bhakti Suci. Rapat ini sebagaimana ternyata dari notulen rapat Yayasan Bhakti Suci yang dibuat di bawah tangan. Bahwa ketua terpilih Yayasan Bhakti Suci Perode XVII diberi kuasa untuk menyatakan hasil rapat tersebut dalam akta notaris. Demikian bunyi notulen yang mengawali penyusunan komposisi periode ini.
Sebelumnya dituliskan, dalam rapat 3 Oktober 2002, Frendys Lukito yang membuka acara dengan meminta maaf terlebih dahulu kepada semua ketua yayasan yang hadir memenuhi undangan dalam acara pelantikan pengurus Yayasan Bhakti Suci yang sesuai rencana akan dilaksanakan hari itu (3 Oktober 2002), namun dengan terpaksa dibatalkan karena adanya Putusan Sela dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk itu Ketua Sidang menyerahkan kembali kepada anggota Yayasan Bhakti Suci karena sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan kekuasaan tertinggi ada pada rapat umum anggota.
Begitupun dengan Sekretaris Sidang Pleno 3 Oktober 2002 tersebut, XF Asali (Lie Sau Fat) yang menyatakan bahwa karena adanya putusan sela dari PTUN, maka tidak bisa melaksanakan pelantikan, tapi karena undangan telah terlanjur disebarkan maka sekretaris sidang menyerahkan juga kepada Rapat Umum Anggota mengingat jabatan Ketua Yayasan Bhati Suci tidak boleh mengalami kevakuman, karena menyangkut kepentingan umum terutama masyarakat Tionghoa. Oleh sebab itu, maka sepakat mengadakan sidang pleno pada saat itu juga dan secara aklamasi mengangkat Ketua Sidang Yosef Setiawan dan Sekretaris Sidang Kardi Kahim SH.
Kemudian Ketua Sidang Pleno memimpin sidang dengan terlebih dahulu menghitung jumlah yayasan yang hadir apakah sudah memenuhi korum untuk melaksanakan sidang pleno. Setelah dihitung oleh Sekretaris Sidang, dinyatakan jumlah yayasan yang hadir sejumlah 42 yayasan dan yang tidak hadir adalah tujuh yayasan. Maka untuk itu, Ketua Sidang Pleno menyatakan Sidang Pleno 5 Januari 2003 memenuhi korum, karena jumlah anggota Yayasan Bhakti Suci seluruhnya sebanyak 49 yayasan dan yang hadir pada saat itu 42 yayasan, maka sidang pleno dapat dilaksanakan dan diteruskan.
Ketua Sidang Yosef Setiawan membuka persidangan dengan memberikan pandangan atau sikap, di mana jabatan Ketua Yayasan Bhakti Suci tidak boleh vakum, karena menyangkut kepentingan masyarakat Tionghoa khususnya. Maka di bagian awal itu, Ketua Sidang menyampaikan inti dari materi sidang pleno yang tercakup ke dalam ada dua hal utama, masing-masing:
“ … 1. Apakah Sidang Pleno setuju dengan Suadara Lie Khi Leng sebagai Ketua Terpilih yang sah sesuai dengan hasil Rapat Pleno 3 Oktober 2002.
2. Apakah Sidang Pleno setuju tetap melaksanakan pelantikan pada 5 Januari 2003 sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan? … “
Untuk keputusan yang demokratis maka diadakan pemungutan suara oleh Sekretaris Sidang. Ditanyakan satu persatu kepada yayasan yang hadir. Hasilnya, semua yang hadir yaitu 42 yayasan menyetujui kedua usul tersebut. Dan keputusan ini dinyatakan “… adalah sah menurut Anggaran Dasar Yayasan”. Kemudian untuk menjaga keutuhan dan persatuan sesama anggota Yayasan Bhakti Suci, semua setuju untuk mengambil suatu sikap dan Pernyataan Bersama, yakni secara bulat menetapkan Lie Khi Leng (Lindra Lie) selaku Ketua Yayasan Bhakti Suci Periode XVII.
Maka untuk selanjutnya, Rapat Pleno memberikan kuasa penuh kepada Lie Khie Leng (Lindra Lie) mewakili semua pengurus Period XVII menghadap notaris untuk membuat Pernyataan Keputusan Rapat Perubahan Pengurus Baru, dilengkapi dengan susunan kepengurusan yang terlampir dengan ditanda tangani olehnya dengan didaftarkan pada Notaris Sylvia Fransiska Tan SH di Pontianak.
Adapun susunan lengkap Kabinet Lie Khie Leng (Lindra Lie) Periode XVII untuk kurun waktu 2003—2006 adalah sebagai berikut:
Dewan Pengawas Hendra Budihartono (Lim Kuang Pheng)
Yo Kim Tjiang
Budiman Nilam (Tjiu Bun Tjhai)
Chin Hon Kiun
Lie Seng Kau
Dewan Pengurus
Ketua Umum Lindra Lie (Lie Khi Leng)
Ketua Handoyo (Lay Cok Fen)
Ibrahim (Tan Khun Tang)
Suandi Salim (Lim Kui On)
Yosef Setiawan (Tan Tek Sie)
Sekretaris Umum Kardi Kahim SH (Kwee Yong Kheng) Sekretaris Indonesia Rudi Lesmana SE MM (Tjeng Hiaw Tang)
Sekretaris Mandarin Phe Ju Theng
Sou Lian Iu
Bendahara Umum Hasagap (Ng Po Gap)
Bendahara Lian Kuang Seng
Humas Alex Hasim SH (Sim Hong)
D Budi Histanto SH (Bun Bun Hie)
Bidang Sosial Kemasyarakatan Chrisant Johan (Lo Cie Khun)
Liu Sulianto (Pui Sin Khiun)
Bidang Pendidikan & Organisasi Hartono Azas SE MBA
(Liu Kiang Nguan)
Bidang Seni Budaya Bong Pak Thin
Kwee Yong Kit
Bidang Pemuda Olah Raga dan
Keamanan Lim Liang Kia
Lim Siak Ho
Budi Tje
Bidang Umum Eh Pue Ie
Bidang Pemakaman Siantan Lim Ngak Cua
Pemakaman Sungai Raya Lim Kheng Hie
Dewan Penasehat Abu Hasan (Ang Ciu Bu)
Buharna (Lim Hui Weng)
Marius Apeh (Pek Tjhong Hian)
Sugandhy (Lim Peng Khian)
Eddy Fadjarai (Loi Njian Fui)
Frendys Lukito (Lu Saw Ciun)
XF Asali (Lie Sau Fat)
Ateng Tandjaya (Tan Teng Khun)
Wijanto O (Ng Yong Weng)
` E Soediyanto (Ng Bu Khiang)
Kol Pol (Purn). Drs Joein Kosasih
Budianto (Tap Kho Hui)
Agus Sutoyo (Bun Jan Sang)
Kang Pan Khien
Tjia Eng Khun
Lo Han Kwang
Lau Saui Khi
Bidang Hukum Suwanto SH (Tio Pwe Long)
Tommy Tjoa Keng Liat SH
Achmad Peter Viney Ng SH
Tahap awal Periode XVII telah terpanggil untuk melaksanakan aksi sosial kemasyarakatan, guna membantu menanggulangi bencana alam yang tengah melanda Kalimantan Barat. Pada saat itu di mana sebagian besar kawasan Kalimantan Barat dilanda banjir besar, yang memungkinkan terjadinya bencana kemanusiaan. Dikabarkan, puluhan ribu rumah yang berada di kawasan rendah di daerah-daerah pesisir Sintang, Sanggau, Singkawang, Sambas, Bengkayang dan Mempawah serta Landak terendam banjir besar. Dikategorikan, musibah banjir kali ini tergolong besar disbanding skala banjir yang pernah dialami sebelumnya.
Meski tak sampai menimbulkan korban jiwa, tetapi banjir akibat hujan yang terus menerus di daerah perhuluan membuat aktivitas warga terhenti total. Mereka sibuk menyelamatkan diri ke daerah-daerah yang lebih tinggi. Ketinggian air bisa mencapai tiga meter. Bahkan, di beberapa daerah di Sambas, banjir menenggelamkan rumah hingga ke atapnya. Pengungsian memang tidak sampai ke Pontianak, meski di Pontianak ada banjir, tetapi tidak sedahsyat daerah-daerah yang disebutkan terdahulu. Banjir di Pontianak hanya luapan air pasang dari aliran Sungai Kapuas.
Karena tak ada kegiatan, ladang terendam hingga berakibat pada gagalnya panen baik padi maupun palawija, membuat warga bergantung kepada masing-masing Pemerintah Kabupaten. Melihat bencana yang terjadi, Yayasan Bhakti Suci dengan sendirinyanya merasa terpanggil dan untuk tidak berdiam diri. Di bawah koodinasi Ketua Umum Lindra Lie, seluruh piranti yayasan sibuk menghimbun bantuan sosial untuk sesegeranya disalurkan. Pemandangan umum sehari-hari menampakkan suatu kesibukan luar biasa di Sekretariat Yayasan Bhakti Suci untuk aktifitas sosial tersebut. Berbagai bentuk bantuan segera disalurkan. (Dinosman; dinis45@yahoo.co.id)
Sabtu, 03 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar