MENDAYUNG ANTARA KARANG BUDAYA:
AMOY KALBAR DAN PENGANTIN PESANAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD *)
Pernikahan biasanya memang memberikan sekantung impian. Namun, mimpi punya dua sudut. Indah atau buruk. Di Singkawang, misalnya, sudut-sut itu menampilkan wajah tajamnya. Pengantin pesanan berawal dari kunjungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Taiwan ke Kalimantan Barat pada 1980. Muhibah itu diteruskan dengan mengunjungi Singkawang. Jarak Pontianak ke Singkawang sekitar 145 Km arah utara. Untuk mempererat hubungan dilakukan juga dengan cara pernikahan.
Mereka menganggap pernikahan merupakan salah satu cara untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Masyarakat Singkawang percaya, mereka satu leluhur dengan masyarakat Taiwan. Sama-sama dari China Daratan Tiongkok. Pada perkembangannya, pengantin pesanan yang merupakan simbol peningkatan hubungan kekerabatan, dijadikan alat mendapatkan keuntungan oleh sebagian orang. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan, sumber pendapatan keluarga, ketidatahuan hak dan informasi, gaya hidup konsumtif, ketidakadilan gender atau kuatnya budaya patriakhi dalam keluarga dan masyarakat. Rendahnya kesadaran terhadap nilai anak, serta faktor-faktor lain yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga dan masyarakat, menjadi sasaran para calo mendekati para orang tua untuk merestui menikahkan anaknya.
Ada pola tertentu pada pengantin pesanan. Pada era 1980-an, biasanya perempuan datang ke Taiwan. Begitu sampai di Taiwan, sudah ada penghubung yang mempertemukan amoy dengan pria Taiwan. Tahun 1990-an, pria Taiwan datang langsung ke Kalimantan Barat, untuk mencari perempuan Singkawang. Bahkan, ada yang datang bersama orang tuanya. Tahun 2000-an, perkawinan sudah menjadi ajang bisnis. Dan merupakan salah satu cara, mencari dan menggeruk uang. Banyak kasus, perempuan yang sudah kawin, balik ke Singkawang. Tentunya, setelah mereka mendapatkan berbagai uang dan barang.
Berbagai sebab dan adanya orang yang menggunakan hal itu, calo, untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, membuat praktik pengantin pesanan bisa terjadi. Para calo masuk ke desa miskin di pedalaman Singkawang. Mereka mencari perempuan usia muda dan hidup miskin. Para calo itu membujuk dan menawarkan menikah dengan warga negara Taiwan. Imbalannya, tentu saja merubah nasib dan mencari kehidupan lebih baik. Mereka juga menawarkan jasa sebagai biro jodoh, dan membuat paket perkawinan. Yang memudahkan calon pengantin melaksanakan perkawinan. Amoy biasanya menuruti segala syarat yang diajukan calo. Terutama dalam pengurusan dokumen dan berbagai surat. Biasanya segala data mengenai usia bakal dimanipulasi. Hal itu dilakukan, karena amoy biasanya masih sangat muda, dan berusia di bawah 18 tahun.
Tidak jarang, amoy menolak dijodohkan dengan pengantin pria. Alasannya, pria bakal suaminya jauh lebih tua dari usianya. Ketika amoy tidak mau dijodohkan, orang tua akan memaksanya. Dengan alasan berbakti pada orang tua, dan keinginan keluar dari kemiskinan, akhirnya amoy akan menurut. Bila orang tua setuju, calo akan mengurus semua administrasi yang berhubungan dengan perkawinan. Dan persiapan pesta nikahnya. Semua biaya dan keperluan menikah, ditanggung pihak pengantin laki-laki.
Minimnya pendidikan amoy, dan minimnya informasi terhadap calon pengantin pria, merupakan celah bagi masalah ini. Seharusnya, calon pengantin perempuan mendapatkan informasi yang benar. Sehingga bisa menjadi pertimbangan menentukan masa depannya. Menikah dengan siapa pun memang hak seseorang. Tapi, dia harus mendapatkan informasi yang jelas. Siapa calon pasangannya, bagaimana negara asal pasangannya dan lainnya.
Sebelum pernikahan berlangsung, biasanya yang datang fotonya ganteng-ganteng. Begitu acara nikah, ternyata orang tua. Hal itu tentu saja merupakan suatu penipuan. Yang dilakukan para calo. Faktor kemiskinan dan ketidaktahuan inilah, satu celah dan selalu dimanfaatkan calo. Namun ketika ada masalah dengan perkawinan itu, tidak ada yang bisa dimintai pendapat dan tanggung jawab. Biasanya bila terjadi masalah, amoy tidak tahu haknya dan memilih diam. Tak jarang mereka balik ke Indonesia dan meninggalkan anak yang dilahirkan. Mereka memilih pisah dan cerai. Alasannya, mereka dieksploitasi secara fisik, psikis dan seksual.
Ada beberapa sebab, mengapa terjadi pengantin pesanan di Kalimantan Barat. Masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab utama pengantin pesanan. Atas nama merubah nasib dan ekonomi keluarga, seorang anak harus berbakti pada orang tua dan keluarga besarnya, dan menikah dengan pria Taiwan. Selain itu, keinginan menjalani kehidupan lebih baik, kesempatan ke luar negeri, penampilan lebih baik, pemilikan aset pribadi, tidak ingin menikah dengan pria lokal, dan atas nama cinta. Mereka juga ingin mendapatkan kehidupan lebih baik, dengan memiliki suami yang mencintai dan menghargai.
Faktor kedua, masalah persamaan budaya. Masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, mempunyai persamaan budaya dengan Taiwan. Persamaan budaya konfusianisme, buddisme dan pemujaan pada leluhur. Faktor itu secara tidak langsung, turut juga menyumbang pernikahan pesanan. Orang beranggapan, menikah dengan pria Taiwan merupakan penyatuan dan pertautan budaya.
Pria Taiwan memilih amoy sebagai pasangan hidupnya. Orang Taiwan beranggapan, amoy punya tipe setia, rajin dan ulet dalam membina keluarga. Selain itu, menikah dengan amoy jauh lebih murah, dibandingkan menikah dengan perempuan Taiwan. Menikah dengan perempuan Taiwan, harus mempersiapkan rumah, mobil dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Biaya nikah dengan perempuan Taiwan, bisa untuk mendapatkan 5—6 gadis amoy dari Singkawang.
Dengan modal sekitar Rp 60 Juta, pria Taiwan sudah bisa mempersunting amoy. Kurs mata uang Taiwan adalah dollar Taiwan. Satu dollar U$ Amerika setara dengan 33 dolar Taiwan. Uang itu untuk mengurus berbagai surat pernikahan, biaya perjalanan dan penginapan pria Taiwan, selama berada di Indonesia. Pokoknya, pria Taiwan terima beres. Segala macam surat dari RT, kelurahan, paspor dan seluruh biaya perkawinan dengan uang itu. Bila ditotal semua, biaya mengurus semua keperluan itu sekitar Rp 17—20 Juta. Orang tua si amoy diberi uang sekitar Rp 6 jutaan. Tak heran, bila dalam masalah pengantin pesanan, orang paling mendapat untung dari praktek ini adalah para calo.
Menikah dengan pria Taiwan merupakan cara paling mudah mengangkat harkat dan perekonomian keluarga. Kelak setelah menikah, amoy bisa mengirimkan uang pada keluarga besarnya di kampung. Dengan kiriman uang itulah, mereka memperbaiki rumah dan modal usaha.
Pria Taiwan yang menikah dengan amoy, biasanya dari kalangan menengah ke bawah, bila mereka hidup di perkotaan, biasanya dari kalangan cleaning service dan lainnya. Dari pedesaan, biasanya petani dan penggarap tanah. Wilayah pantai, biasanya dari kalangan nelayan. Kalaupun dari kalangan pegawai atau pemerintahan, adalah pensiunan dan berumur di atas 40 tahun.
Kawin dengan pria Taiwan memang untung-untungan. Kalau mendapat pria baik, dan benar-benar untuk menikah, maka si amoy akan dapat meningkatkan taraf hidup diri dan keluarganya. Tapi bila tidak beruntung, maka pengalaman buruk berupa pemukulan, atau kekerasan dalam rumah tangga kerap juga terjadi. Sebagai istri petani, amoy harus merangkap sebagai pekerja pertanian, dan bekerja seharian penuh membantu keluarganya di kebun. Yang lebih parah, bila suaminya bekerja di sektor nelayan. Bila musim peceklik tiba, dan pria Taiwan tidak mampu membayar uang pinjamannya untuk kawin, maka istrinya akan diberdayakan. Entah, sebagai PSK atau apa, demi melunasi hutang sang suami. Yang agak beruntung, bila amoy mendapat suami seorang tentara atau pegawai, karena mendapat gaji setiap bulannya.
Selain itu, pengantin pesanan selalu rentan dengan masalah. Mereka mendapatkan status legal yang rendah. Hal ini tentu saja menyulitkan, dan ketidakpastian hak-hak legal. Terpencarnya komunitas amoy, juga mempersulit koordinasi bila ada masalah. Kendala bahasa turut pula menyumbang permasalahan. Banyak dari amoy tidak bisa berbahasa Mandarin. Di Kalimantan Barat, Pontianak dan Singkawang dan sekitarnya, biasanya mereka menggunakan bahasa Tionghoa dengan dialek Khek dan Teochiu.
Menurut Kementerian Dalam Negeri Taiwan dari tahun 1987—2003, ada 240.837 pengantin asing yang masuk ke Taiwan dengan 93 persen pengantin perempuan. Dari Cina Daratan 57,8 persen dan Asia Tenggara 42,2 persen. Dari jumlah itu, pengantin pesanan dari Asia Tenggara, sebanyak 57,5 persen dari Vietnan, 23,2 persen dari Indonesia, 5,3 persen dari Thailand dan 5,3 persen dari Pilipinan. Sisanya dari Korea dan lainnya.
Catatan Penulis: Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati), Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (Foket) dan Majelis Adat Budaya Tionghoa (MBAT) Singkawang pada 1 Juli 2007, dijelaskan bahwa dari 1980 (hingga data terkini) sekitar 24 ribu warga Tionghoa asal Singkawang dan sekitarnya berada di Negara Taiwan. Ditegaskan, 100 persen mereka melakukan perkawinan pesanan tersebut. Darinya, 60 persen dilaporkan dapat mengangkat derajat perekenomian keluarganya.
Perempuan yang kawin dengan pria Taiwan dan anak hasil perkawinan mereka, dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka seringkali mendapat diskriminasi di masyarakat Taiwan. Mereka dianggap bisa membuat masalah sosial bagi Taiwan. Karena itulah, pada tahun 2003, pemerintah Taiwan mengeluarkan kuota bagi perkawinan dengan amoy dari Indonesia. Jumlahnya sekitar 2000 orang saja setiap tahunnya. Kuota itu diberlakukan, karena ada kekhawatiran, pernikahan bakal membawa masalah bagi negara Taiwan.
Faktanya, justru posisi perempuan inilah, berada pada titik rawan. Meski sudah melahirkan dan punya anak, sebelum 4 tahun, amoy masih menjadi warga negara asing di Taiwan. Karenanya, mereka rentan dideportasi, bila dianggap melanggar peraturan dan berbuat salah. Ketika mengalami eksploitasi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun lari, mereka harus meninggalkan anak hasil perkawinannya. Sekarang ini, pemerintah Taiwan melakukan new immigrations. Taiwan memberikan peluang bagi warga negara asing yang menikah dengan pria Taiwan, untuk belajar budaya, bahasa, adat istiadat, di suatu lembaga. Tak heran jika orang dari China Daratan, Vietnam, Indonesia (Singkawang dan Pontianak dan sekitarnya khususnya), Pilipina, Thailand, Korea dan lainnya, mengisi fasilitas itu. Mereka belajar kebersamaan. Saling bercerita berbagai pengalaman dan mengatasi permasalahan.
Meski sering terjadi masalah pada pengantin pesanan, namun masalah ini jarang sekali muncul ke permukaan dan diketahui masyarakat. Ada beberapa faktor kesulitan dalam penanganan masalah pengantin pesanan. Salah satunya, ketertutupan pihak korban dan keluarganya. Mereka beranggapan, masalah itu merupakan aib keluarga. Karena itu harus ditutupi dan masyarakat tidak perlu mengetahuinya. Tak heran bila ada pihak luar ingin melakukan advokasi terhadap korban, malah dilarang. Korban dan keluarga besarnya tidak mau bicara.
Betapa tertutupnya keluarga korban yang rata-rata masyarakat Tionghoa. Padahal ada yang mau membantu permasalahannya. Namun mereka malah tidak mau. Terkesan terlalu eksklusif. Sikap itu tidak serta merta muncul. Tentu ada latar belakangnya. Perlakuan diskriminatif yang acap dialami orang Tionghoa di Indonesia, bukan semata-mata karena orang Indonesia bersikap rasis atau cemburu terhadap kemajuan ekonomi orang Tionghoa. Bukan itu sebabnya. Seandainya orang Tionghoa memandang mereka sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, hendaknya duduk persoalan sebelumnya dikaji. Agaknya jika di antara mereka merasa ada sikap diskriminatif dari bumiputera, pada hakekatnya juga merupakan sebab dan akibat dari kecelakaan sejarah mereka di masa lalu. Sejak dulu orang Tionghoa selalu memiliki orientasi sangat kuat ke negeri leluhurnya. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Kadang-kadang, chauvinisme di kalangan orang Tionghoa begitu tinggi sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat dari berbagai suku bangsa lain di Indonesia. Chauvinisme ini merupakan hambatan psikologis orang Tionghoa untuk berasimilasi dengan orang Indonesia.
Pada masa penjajahan, Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Pertama, Europeanean (Belanda). Kedua, Vremde Oosterlingen (Cina, Arab, India). Ketiga, Inlander (berbagai suku bangsa Bumiputera). Pada masa pemerintahan Orde Lama, Sukarno, juga membuat kebijakan yang diskriminatif. Sukarno mengeluarkan PP Nomor 10/1959 berupa pelarangan bagi perdagangan kecil eceran yang bersifat asing di luar ibukota propinsi dan kabupaten-kota. Dengan peraturan ini, masyarakat Tionghoa akhirnya mengumpul di satu wilayah saja.
Rezim Orde Baru, di mana masa ini tak kalah sengitnya. Berbagai perlakuan dan tindakan diskriminatif, termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bagi masyarakat Tionghoa, merupakan cara dan salah satu bentuk paling diskriminatif yang pernah dilakukan. Atas nama SBKRI, berbagai segi kehidupan, baik secara ekonomis atau politis terpasung. SBKRI juga dilanggengkan oleh kalangan tertentu, untuk mengeruk upeti dan mendapatkan uang. Berbagai pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen, selalu dikenakan biaya tinggi bagi masyarakat Tionghoa. Sejarah itulah yang membuat masyarakat Tionghoa jadi menutup diri dan eksklusif.
Selama ini, pemerintah Indonesia tidak menganggap serius permasalahan pengantin pesanan. Penanganannya tak pernah tuntas. Jaringannya terputus di berbagai tempat. Ada beberapa faktor bisa dilakukan, untuk memangkas masalah pengantin pesanan. Dalam pengurusan dokumen, seperti KTP atau paspor, pihak terkait harusnya lebih jeli. Misalnya, dengan menanyakan orang yang membuat paspor, sudah cukup umur atau belum. Apalagi, bila diketahui akan menikah dengan pria Taiwan. Selama ini pihak imigrasi tidak punya gigi. Mereka beranggapan, secara administrasi hal itu sudah dilengkapi. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan paspor.
Selain itu, ada pendapat dari masyarakat, kenapa orang ingin menikah dan mencapai kebahagiaan, harus dihalangi? Ketika mengurus paspor, orang tua tentu mengetahui. Dan ini sebuah kesepakatan, dan mereka anggap bukan suatu pelanggaran. Berdasarkan data pihak imigrasi Singkawang, ada kenaikan jumlah perempuan pencari paspor. Ada dua jenis paspor, 24 halaman berlaku 3 tahun, dan 48 halaman berlaku 5 tahun. Orang yang kawin dengan pria Taiwan, biasanya membuat paspor 48 halaman berlaku 5 tahun.
Bila pada 2004 pencari paspor 48 halaman berjumlah 1.819. pada 2005 meningkat menjadi 2.999. Namun jumlah pencari paspor 24 menurun drastis. Jika 2004 berjumlah 9.060, 2005 menjadi 964. Begitupun dengan TKW yang mengajukan paspor. Bila pada 2004 berjumlah 1.127. Pencari paspor pada 2005 menjadi 109 orang. Berdasarkan data Pengadilan Negeri Singkawang, dari 1997—2003, ada 170 kasus gugatan perceraian dengan suami dari Taiwan. Pengadilan digelar secara in absentia (perstek/tanpa kehadiran salah satu pihak). Acara itu disetujui, bila penggugat dapat mengemukakan alasannya secara tepat, dan pihak pengadilan menyetujuinya. Setelah perceraian, untuk mendapatkan hak perwalian dan pengasuhan anak juga terhalang.
Dalam hal terjadinya perkawinan wanita Indonesia dengan laki-laki asing, berdasarkan hukum Indonesia, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan itu ikut kewarganegaraan bapaknya. Dalam hal ibu ingin mendapat hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur, hanya mungkin dilakukan gugatan di Pengadilan Negeri di tempat perkawinannya dilakukan dan dicatat. Dan biasanya dilihat, apakah si ibu mempunyai kemampuan, dan penghasilan yang layak, untuk memungkinkan pemeliharaan si anak dalam masa pengasuhan. Tetapi persoalan hukumnya adalah, si anak itu tetap warga asing dan batas tinggal di Indonesia mempunyai batasan tertentu yang jika tidak dipenuhi syarat-syarat hukum sewaktu-waktu bisa dideportasi oleh aparat yang berwenang seperti imigrasi.
Peraturan hukum di Indonesia tidak memberikan ruang bagi perempuan yang menikah dengan warga negara asing, untuk memiliki hak asuh bagi anaknya. Sekalipun, pernikahan itu terjadi di Indonesia. Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 menyatakan bahwa perempuan yang menikah dengan orang asing, anak hasil perkawinan tersebut otomatis menjadi warga negara asing. Ketika anak berusia 17 tahun, ia baru dapat memilih kewarganegaraan mana yang diinginkan.
Banyak dari pasangan pengantin pesanan mendapat kebahagiaan. Tapi, tak sedikit mengalami masalah. Bahkan, ada yang telah meninggal, karena terkena virus HIV/AIDS. Mereka diperdagangkan menjadi PSK, ketika sampai di Taiwan. Ada yang diminta melayani satu keluarga, karena uang untuk mendapatkan amoy diperoleh melalui patungan. Tak sedikit yang kehilangan jejak, karena tak ada kabar beritanya. Berita tentangnya tidak pernah terdengar, pihak keluarganya tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada uang untuk mencari informasi ke Taiwan.
Tak bisa dipungkiri memang. Pengantin pesanan telah menghadirkan fakta, adanya perdagangan manusia, tapi dibungkus melalui ritual perkawinan. Minimnya informasi awal sebelum perkawinan, membuat berbagai masalah muncul di kemudian hari. Repotnya, angka kasus itu tidak terlihat di permukaan. Keluarga perempuan menutup diri bila ada masalah. Jaringan calo juga tidak bertanggung jawab, bila ada kasus.
Pada akhirnya, permasalahan pengantin pesanan atau perkawinan tidak normal, tak ubah seperti fenomena gunung es. Sedikit di permukaan, padahal sebenarnya besar sekali jumlahnya …