ORANG TIONGHOA KALBAR DI PERSIMPANGAN JALAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD
NASIONALISME YANG MENDUA
Meskipun terdapat sejarah etnis yang relatif rukun, ketidakpercayaan satu sama lain di antara kelompok-kelompok etnis di Kalimantan Barat terlihat di tahun-tahun setelah perang. Ketidapercayaan ini merupakan sebagian hasil dari pengalaman masa Jepang, dan sebagian lagi hasil dari kebangkitan nasionalisme, banyak dari ketidapercayaan ini didasari nasionalisme etnis, yang terjadi di seluruh kelompok etnis. Lebih jauh lagi, meskipun terdapat kebanggan nasional seiring dengan kemerdekaan Indonesia, di antara kebanyakan etnis Tionghoa muncul ketidakpercayaan terhadap negeri baru tersebut.
Kecurigaan terjadi dalam bentuk timbal balik. Kelomok-kelompok etnis lain mencurigai orang Tionghoa atau tidak menyukai dominasi mereka di bidang ekonomi. Sebuah contoh ekstrem ditunjukkan seorang pemimpin Dayak yang berpengaruh dari Kalimantan Tengah yang menggambarkan orang Tionghoa di pesisir barat sebagai para pedagang candu yang tamak dan para penggali emas yang tidak bermoral. … Orang Tionghoa datang di Kalimantan Barat, selain berdagang juga membawa madat (candu) dari Singapura, dengan tujuan melemahkan semangat orang-orang Dayak, dan menguasai emas yang ada di sana … [Tjilik Riwut, 1958: 50)
Tekanan politik nasional juga terbangun menentang minoritas Tionghoa. Banyak pemimpin yang berpengaruh di Jakarta berhasrat untuk membatasi pengaruh ekonomi dari minoritas Tionghoa. Yang lain juga memandang keterkaitan orang Tionghoa dengan negara Tiongkok, sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi, sebagai sebuah ancaman terhadap kedaulatan Indonesia. Meskipun Kalimantan Barat jauh dari pikiran mereka, namun para politisi nasional membuat berbagai kebijakan yang menimbulkan akibat yang serius di sana [Heidhues, 2008: 258]
Dimulai pada 1950-an, sebagai bangsa baru, Indonesia memperkuat kedaulatannya di seluruh daerah, dan sejumlah aturan yang dihasilkan di Jakarta mengganggu kehidupan ekonomi dan lembaga-lembaga budaya orang Tionghoa di Kalimantan Barat. Selain membatasi berbagai kegiatan ekonomi orang yang bukan warganegara Indonesia. Kebijakan yang berpengaruh paling luas adalah terhadap sekolah-sekolah Tionghoa. Pelaksanaan aturan tersebut bervariasi di berbagai daerah, dan hanya ada sedikit informasi yang ditemukan tentang akibat tindakan tersebut di Kalimantan (Barat) [Willmont, 1961: 70—76]
Pada April 1958 sebuah peraturan lain ditetapkan. Tiongkok Nasionalis terlibat mendukung berbagai pemberontakan daerah melawan Jakarta. Sekolah-sekolah milik organisasi Guomindang, seperti halnya perusahaan-perusahaan warganegara Taiwan dan semua cabang Partai Guomindang, ditutup dan harta benda mereka disita. Meskipun Guomindang secara terus menerus kehilangan pengikutnya, banyak orang Guomindang yang anti-komunis atau bukan komunis masih bersimpati pada Guomindang dan terhadap Tiongkok Nasionalis, beberapa di antaranya masih memegang paspor Tiongkok Nasionalis. Sebagai hasil dari sejumlah keputusan ini, orang tersebut menjadi Tanpa Kewarganegaraan [Willmott, 1961: 43]
Meskipun tidak ada data statistik yang tersedia untuk Kalimantan Barat, kebijakan tersebut jelas-jelas merupakan sebuah pukulan terhadap sekolah-sekolah Tionghoa di sana. Orang Tionghoa kaya berkewarganegaraan Indonesia, dipimpin Ng Ngiap Lian (Huang Yelian) dari Kamar Dagang (Zhonghua Shanghui), segera membantuk sebuah yayasan pendidikan nasional, yang mengambil alih sekolah-sekolah swasta Tionghoa di Pontianak. Ng Ngiap Lian (terkadang ditulis Liang) rupanya adalah saudara atau sepupu laki-laki dari dua orang marga Ng yang dibunuh Jepang (Ng Ngiap Soen yang memimpin Kakyo Toseikai dan Ng Ngiap Kan [Huang Yejiang] pemilik pabrik es dan kepala sebuah organisasi di Singkawang), dia merupakan satu dari enam bersaudara. Ia mengabdi sebagai pejabat kamar dagang selama beberapa tahun. Namanya di urutan pertama dalam daftar milyuner Pontianak. Januari 1947, Tan The Oe menjadi Ketua Kamar Dagang, Ng Ngiap Lian tetap menjadi komisaris.
Ng Ngiap Lian adalah salah satu pemimpin baru kalangan Tionghoa yang terkemuka, berusia 38 tahun pada 1947, dilahirkan di Pontianak. Ia menjabat sebagai ketua Federasi Kamar Dagang Tionghoa (Huashang Zonghui) yang didirikan kembali. Pengusaha berpengaruh lainnya, para pegawai Belanda menyebut beberapa di antara mereka sebagai Kaki Tangan Ekonomi dengan Jepang namun menurut kebijakan politik Jepang mereka harus bekerjasama agar tetap berada dalam bisnis, ialah para pendiri Perkumpulan Umum Tionghoa (Chung Hua Kung Hui atau Zhonghua Gonghui) yang didirikan pada akhir 1945 di Pontianak dan Singkawang.
Sekalipun telah kehilangan para pemimpinnya dalam pembunuhan massal yang dilakukan Jepang, komunitas Tionghoa dapat dengan segera mengorganisasikan diri untuk menanggapi tindakan pembatasan yang diterapkan oleh Nigeo, dan tidak lama kemudian Kamar Dagang segera beroperasi. Pada 1947 Pontianak juga memiliki Fujian Huigian (Perkumpulan Fujian) dan sejumlah organisasi masyarakat lain. Pemerintah kolonial yang sudah dipulihkan tidak bisa yakin bagaimana mengatasi meningkatnya komunitas terorganisasi ini. Menghidupkan kembali sistem pemerintahan zaman sebelum perang yang tidak populer dengan opsir-opsir Tionghoa yang ditunjuk pemerintah, tidaklah mungkin. Orang Tionghoa menghendaki untuk mengatur urusan mereka sendiri. Pemerintah telah menunjuk beberapa opsir Tionghoa untuk mengumpulkan pajak, namun pers dan organisasi masyarakat dengan keras menolak tindakan tersebut [Surat Pejabat Residen, 8 Januari 1948, Surat Kabar Lee Ming Pao 22 dan 28 Mei 1947]. Di Sambas, seorangkapitan dan keluarganya menggunakan sepasukan pengawal pribadi untuk mendapatkan keuntungan dari penyelundupan dan penyaluran barang-barang langka.
Banyak pemimpin baru di Pontianak berusia 30 hingga 40 tahun, terbilang muda bila dibandingkan dengan para pemimpin komunitas Tionghoa di kota lain. Namun hal ini mencerminkan adanya pembunuhan generasi tua yang dilakukan oleh Jepang selama pendudukan. Kebanyakan pemimpin dunia bisnis adalah kelahiran Tiongkok, namun mereka yang kelahiran setempat biasanya bertindak sebagai juru bicara komunitas. Dari sekitar 85 orang Tionghoa terkemuka di Pontianak pada 1947, 62 orang adalah kelahiran Tiongkok, setidaknya 6 orang lainnya menjalani pendidikan di Tiongkok. Hanya tiga orang yang nampaknya mempunyai pengetahuan bahasa Belanda. Ini yang sangat membedakannya dengan keadaan di Jawa di mana para pemimpin Tionghoa, setidak-tidaknya kaum peranakan, biasanya berbahasa Belanda [Heidhues, 2008: 236]
Perkumpulan Umum Tionghoa Chung Hua Kung Hui adalah organisasi kemasyarakatan yang menjadi payung bagi berbagai komite internal yang berbeda-beda, yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, kegiatan perniagaan (Kamar Dagang Tionghoa setempat merupakan salah satu anggotanya), urusan kebudayaan, dan urusan perempuan. Komite pendidikannya mensponsori sekolah-sekolah dan institusi sosial bagi masyarakat. Kota-kota besar lainnya di Kalimantan Barat memiliki Perkumpulan Umum Tionghoa-nya masing-masing [Bohm, 1986: 114—115]. Pada awalnya Perkumpulan Umum di Pontianak bekerja secara erat dengan Konsultan Tiongkok, keduanya memandang diri mereka sebagai perwakilan dari semua etnis Tionghoa. Setelah Desember 1947, kepemimpinan Kamar Dagang Pontianak, yang terdiri dari para pedagang besarnya, dan pimpinan dari Perkumpulan Umum Tionghoa praktis adalah sama.
Pada Maret 1947 [Heidhues, 2008: 237] Pontianak kedatangan seorang konsul dari Republik Tiongkok Nasionalis bernama Cheng Da Hung. Cheng bekerja erat dengan Partai Guomindang setempat, yang tengah menikmati kepopulerannya di bulan-bulan awal setelah masa peperangan. Namun, beberapa saat kemudian, perang sipil di Tiongkok memberikan pengaruh terhadap masyarakat Tionghoa di luar negeri, yang memecah belah komunitas secara politis [Dewan Borneo Barat dan Dinas Informasi Pontianak, 12 Mei 1947]. Tidak seperti yang ditakutkan Belanda, Cheng barangkali tidak efektif secara politik. Sebagai seorang Jiangsu, dia tidak bisa berbicara baik bahasa Teochiu maupun Hakka.
Sang konsul berkali-kali berupaya untuk mendaftar semua organisasi Tionghoa, termasuk data mengenai anggaran dasar, para pimpinan dan keuangannya, bahkan mendaftar semua orang Tionghoa di wilayah tersebut. Seperti yang telah diduga, kegiatan ini membangkitkan rasa ketidakpercayaan yang sangat besar dari para pegawai Belanda. Konsul Cheng bekerjasama dengan Belanda dengan cara yang terbatas, tidak dengan cara membatasi keterlibatannya hanya pada urusan para penduduk kelahiran non-lokal, yang keduabelah pihak akui sebagai warganegara Tiongkok, sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian 1945, namun dengan cara melaporkan perorangan dan organisasi yang dicurigai melakukan kegiatan komunis kepada pemerintah Belanda. Partai Guomindang setempat juga melakukan tindakan yang sama. Hukum kewarganegaraan Guomindang, seperti ada Dinasti Qing, memandang orang Tionghoa yang lahir di luar negeri dari seorang ayah Tionghoa dianggap sebagai warganegara Tionghoa, bertentangan dengan hukum Belanda, membuat anak kelahiran setempat memiliki baik kewarganegaraan Tionghoa dan juga, menurut hukum Indonesia, kewarganegaraan Indonesia.
Sekalipun semboyan komunitas Tionghoa pada bulan-bulan awal setelah perang adalah persatuan, politik segera ikut campur. Setidaknya pada Mei 1948, kebanyakan orang Tionghoa masih merayakan pemilihan Chiang Kai-shek sebagai presiden Tiongkok, hanya Perkumpulan Umum Tionghoa saja yang mengambil sikap kritis. Setelah masa itu, gambar Chiang dan bendera nasionalis secara berangsur-angsur diganti dengan simbol yang lain [Bohm, 1986: 48—49]. Reaksi ini mempengaruhi pers, organisasi dan sekolah-sekolah. Tidak ada lagi PKO di Kalimantan Barat, namun orang Tionghoa mendirikan Pemadam Kebakaran karena ketakutan mereka pada pembakaran rumah. Ketika pasukan Australia sampai di Pontianak pada 17 Oktober 1945, dua bulan penuh setelah jepang menyerah, penyambutan terhadap mereka mencerminkan situasi yang baru. Di Pontianak, tidak ada satu pun bendera Belanda yang dikibarkan untuk menyambut Sekutu. Orang Tionghoa yang ada di kota itu malahan mengibarkan bendera Tiongkok. Ketika kabar tentang menyerahnya tentara Jepang sampai ke Borneo Barat, beberapa orang Tionghoa berharap tentara Nasionalis Tiongkok akan segera membebaskan Borneo (Barat) dari Jepang dan menyatukan Distrik Tionghoa sebagai propinsi Tiongkok di sebera lautan. Bagaimanapun, Tiongkok adalah satu dari Lima Besar dan merupakan satu negara adidaya.
Ketiadaan pemimpin setempat membuat tugas orang Belanda yang kembali ke sana menjadi hampir mustahil. Mereka bukan saja berhadapan dengan semangat nasionalisme Tionghoa, namun juga (terlebih lagi!) dengan nasionalisme Indonesia yang semakin menyebar luas. Apalagi nasionalisme Indonesia ini telah merasuk ke dalam kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Di Pontianak berkibar bendera merah putih yang menunjukkan dukungan terhadap Republik Indonesia. Para pendukung Penjaga Keamanan Oemoem (PKO) kebanyakan adalah orang Tionghoa, di kemudian hari, beberapa orang menuduh para pedagang Tionghoa telah menggunakan PKO untuk merampas persediaan beras dan gula dari gudang penyimpanan Jepang. Dalam pengurusnya duduk pemuka-pemuka Siang Hwee dan Chunghua Kung Hwee. Orang tidak menyukai organisasi ini [Yanis, 1983: 224—227], karena organisasi ini mencari barang-barang dan uang untuk dikembalikan kepada para pemimpin-pengusaha dari organisasi [lihat juga Laporan kepada Kepala Daerah, Meyer, Pontianak, 25 Februari 1949].
Orang Tionghoa yang tidak memiliki senjata ketika Jepang menggeledah rumah mereka pada masa Peristiwa Pontianak, mendadak memiliki senjata yang mencukupi untuk mempersenjatai PKO. Organisasi keamanan yang baru ini meniru Pao An Tui (Baoandhui), sebuah satuan pengamanan tidak resmi orang Tionghoa yang tumbuh bagaikan jamur di kota-kota di Asia Tenggara setelah perang. Pada 18 Oktober 1945, PKO dibubarkan, sekalipun di tempat-tempat yang lain mereka masih terus beroperasi. Nampaknya mengharapkan Australia untuk menjaga ketertiban, bukan Tionghoa. Bentrokan antara orang Melayu dan orang Tionghoa kemudian merebak, setelah sejumlah orang terluka dan tiga orang tewas dalam bentrokan-bentrokan tersebut, PKO didirikan kembali di Pontianak dan pihak Belanda yang baru tiba mendukungnya karena membutuhkannya untuk menjaga ketertiban.
Pada 1948 pemerintah memperkirakan jumlah penduduk Tionghoa di wilayah tersebut berjumlah 203.305 jiwa atau sekitar 17 persen dari jumlah keseluruhan penduduk yang berjumlah 1.179.817 jiwa. Kebanyakan orang Tionghoa yang hidup di Kalimantan Barat, bertempat tinggal di sub-distrik Singkawang dengan jumlah penduduk Tionghoa sebesar 73.568 jiwa dan Pontianak sejumlah 52.649 penduduk Tionghoa, serta Mempawah 30.821 penduduk Tionghoa. Tidak semua orang Tionghoa menjadi korban atau penentang Jepang, beberapa di antara mereka bekerja sebagai mata-mata atau informan, beberapa di antaranya menjadi penerjemah, dan beberapa orang menjadi spekulan. Namun pada umumnya, orang Tionghoa dianggap kurang menunjukkan kerja sama dibandingkan dengan orang Melayu, yang dipilih Jepang untuk dipekerjakan sebagai polisi dan pegawai, seperti tugas yang pernah mereka emban pada zaman Belanda. Kebijakan Jepang dari maksud dan dari akibatnya jelas bersifat memecah-belah antar etnis. Orang Tionghoa merasa marah kepada orang Melayu karena mau bekerja sama dengan Jepang dalam tugas-tugas pemerintahan dan kepolisian. Orang Dayak yang paling tidak ada kesempatan mengambil keuntungan dari interaksi dengan tentara pendudukan, terkadang memandang orang Melayu sebagai pemeras dan orang Tionghoa sebagai pencatut. Meski begitu, beberapa orang Tionghoa menjadi pengungsi bersama orang Dayak di pedalaman, di mana orang Dayak membagi persediaan makanannya yang sedikit untuk mereka [FH van Naerssen, 1949: 28].
Ketika perang mulai bergerak ke arah kekalahan Jepang, kebanyakan orang Tionghoa menerima berita ini dengan gembira. Harapan pun membumbung tinggi, tidak hanya karena Jepang akan terpaksa keluar dari Borneo Barat, namun juga karena terlihat Negeri Tiongkok akan muncul sebagai salah satu pemenang dari perang itu. Komunitas Tionghoa yang dalam masa sebelum perang terbagi dalam dua golongan antara orang Tionghoa yang sangat kuat berorientasi ke Tiongkok dan golongan yang mementingkan yang lain, belakangan secara politik lebih bersatu dan semakin menyadari akan keetnisan Tionghoa mereka [Heidhues, 2008: 228].
Kekacauan, kerusakan dan kekurangan adalah masalah-masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah kolonial yang kembali ke sana. Semenjak perang, sebanyak 40.000 ton beras dianggap perlu diimpor setiap tahunnya walaupun ada makanan pengganti beras seperti singkong, namun impor yang masuk hanya 13.246 ton pada 1946 dan pada 1948 naik menjadi 24.821 ton namun masih tidak cukup. Karena Jepang telah menyita senjata api, perburuan menjadi sulit dan wabah babi hutan 1945 telah menghancurkan sebagian besar hasil panen [Bohm, 1986: 50—57, lihat juga Ludovicus Boddeke, 1950: 20]. Semua orang Tionghoa menekankan bahwa yang mereka inginkan ialah persatuan politik, tapi nyatanya masyarakat Tionghoa malah terbagi-bagi, bukan hanya dalam hal politik tapi juga dengan adanya perselisihan pribadi, perbedaan bahasa, kepentingan keluarga dan golongan. Di Pontianak terdapat tiga surat kabar berbahasa Tionghoa, Lie Ming Pao, Chen Pao, dan Chung Hwa Jit Pao yang menggambarkan banyaknya pembagian masyarakat. Sudut pandang penerbitan Lie Ming Pao cenderung anti kepada Guomindang dan pro kepada Komunis. Pada pertengahan 1948 sebuah kepemimpinan baru mengambil alih harian ini, yang dihasilkan dari sebuah pemilihan yang mungkin telah dimanipulasi, dan sebagai akibatnya surat kabar ini yang pendanaannya berasal dari orang-orang kapitalis kaya dari organisasi-organisasi kemasyarakat besar, menjadi semakin anti Guomindang dari sebelumnya.
Surat kabar Chen (Tjen) Pao awalnya pro Guomindang dan sebagian ditunjang oleh subsidi dari pemerintahan Nasionalis di Nanjing. Surat kabar ini berusaha memboikot Lie Ming Pao, namun upaya ini mengalami kegagalan. Editor surat kabar ini dipaksa mengundurkan diri akhir 1948 oleh direksi surat kabar ini yang terdiri dari kalangan pemimpin kaya. Dari titik itulah surat kabar ini berdampingan dengan Lie Ming Pao. Terbitan ini menghilang sebelum 1950 [Skinner, 1950: 68]. Yang tersisa tinggal Chung Hwa Jit Pao yang mengikuti jalan pro-Nasionalis, meskipun mereka juga telah membelok dari posisi ini pada 1949 [S Meyer, Pontianak: 25 Februari 1949]. Pentunting surat kabar ini, Peter Woo (Wu Hsiung Feng) mempertahankan hubungan erat dengan koperasi para petani dan buruh, Long Kang Hwee (Nonggonghui, Persatuan Pertanian dan Peternakan). Awalnya disponsori oleh Guomindang, setelah 1948, Long Kang Hwee semakin bertentangan dengan kepemimpinan usaha, namun sejumlah ketegangan rupanya bersifat antar pribadi.
Pada akhir 1948 sebuah perjuangan untuk menguasai perkumpulan di Pontianak sedang dipersiapkan. Dua kelompok yang secara dangkal boleh dinamakan kelompok yang pro dan yang anti komunis, masing-masing mencoba menghentikan kegiatan lawannya. Pada akhir 1949, seorang pengamat menggambarkan pembagian di antara orang Tionghoa di Asia Tenggara (bukan hanya di Pontianak!) mengekspresikan pendapatnya bahwa kebanyakan dari perpecahan tersebut bersifat pribadi. Kelihatannya faktor pribadi dan politik, keduanya memainkan peran penting dalam pemilihan 1949 yang kacau, dan jelaslah bahwa pertengkaran yang terjadi telah menurunkan kewibawaan perkumpulan umum Tionghoa dan kepemimpinan komunitas. Pertempuran yang serupa juga terjadi di beberapa tempat, misalnya di Nanga Pinoh April 1948 [lihat Laporan Politik dan Ekonomi, Borneo Barat, 1948] dan juga yang terjadi di Singkawang. Kenyataannya, selama tahun-tahun yang berjalan, kekuatan yang pro dan yang anti Guomindang bersaing di banyak kota untuk mendapatkan kepemimpinan atas komunitas Tionghoa dan kekuasaan atas organisasi.
Bila orang Tionghoa mengharapkan persatuan, maka berkali-kali pula mereka harus kecewa …
SATU TIONGHOA DUA IDEOLOGI
Singkawang nampaknya diperhitungkan sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kembalinya Belanda dan menjadi kota pusat kegiatan sayap kiri secara umum. Diperkirakan ada sekitar 120 anggota Anti Nippon Society (ANS, Masyarakat Anti Jepang) atau Sukarelawan Tionghoa yang bertempat di Singkawang. Mereka tidak aktif selama perang, namun setelah Jepang dipaksa untuk keluar dari wilayah itu ANS menangkap orang yang dituduh kaki tangan Jepang dan membalas dendam tanpa mempedulikan kritik. Beberapa kalangan radikal Tionghoa bahkan membakar jembatan besar di Mempawah September 1946 dan memutuskan perhubungan dengan Pontianak [Bohm, 1986, 48]. Seorang polisi Indonesia yang pernah bekerja pada Jepang dibunuh di Singkawang pada Agustus 1946. ketika Belanda memerintahkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanggapan tanpa berduka cita untuk polisi, sekelompok orang Tionghoa berdemonstrasi memprotesnya kemudian beberapa tentara menembakkan peluru ke arah kelompok demonstran itu, menyebabkan tujuh orang terluka parah. Akhirnya, sedikit orang yang telah bekerjasama dengan Jepang harus menderita karena tindakan mereka, karena sekalipun beberapa kaki tangan telah ditangkap oleh Belanda, banyak yang dibebaskan karena kurangnya bukti-bukti, sementara tidak ada yang memberikan kesaksian, baik kesaksian menentang para kaki tangan maupun kepada ANS sendiri [Bohm, 1986: 48].
Sementara di awal 1948, Perkumpulan Umum yang ada di emangkat dan Singkawang masih dikendalikan oleh pemimpin-pemimpin konservatif, unsur sayap kiri yang melawannya sedang berkumpul di bawah tanah. Kamar Dagang dibangun kembali pada saat itu dan orang yang bersimpati dengan komunis, termasuk seorang guru yang peranannya di satu Kamar Dagang tidak dijelaskan, termasuk sebagai pimpinan dari organisasi ini [lihat Laporan Politik dan Ekonomi, Borneo Barat, 1948: ARA 2.10.14.02 AS 3177]. Para guru sekolah di Singkawang dan tempat lain dituding sebagai pro-komunis dan nampaknya pandangan politik mereka mempengaruhi para siswa di sekolah Tionghoa. Sekolah Menengah Nam Hua di Singkawang mengunjukkan dukungan mereka secara terbuka pada Mao Zedong pada September 1949, sesaat sebelum didirikannya Republik Rakyat Tiongkok.
Pada 1951 Kamar dagang Singkawang dianggap sebagai kelompok yang pro kepada Republik Rakyat Tiongkok, seperti juga Pemangkat. Di sisi yang lain, Kamar Dagang yang ada di Pontianak tetap pro kepada Guomindang, dan kamar dagang lain yang lebih kecil di Ketapang nampaknya memihak kepada Nasionalis. Pada 1951, orang Tionghoa masih bisa memperlihatkan kecenderungan politik mereka secara terbuka [Heidhues, 2008: 244]. Sejumlah gerakan politik radikal Singkawang berakar dari kemiskinan mereka. Pada 1951, daerah di sekitar Sambas mendapatkan keuntungan dari perdagangan karet dan barangkali dari penyelundupan, tapi di Singkawang perekonomian sungguh buruk dan pengaruh komunis sangat besar. Boleh jadi wilayah itu secara politik menjadi radikal karena unsur Hakka yang kuat, namun kemiskinan dan isolasi yang melanda daerah itu kelihatannya merupakan faktor penyebab utamanya. Menariknya, daerah hakka Siantan yang kuat, mendukung konsul Tionghoa Nasionalis, maka menjadi orang Hakka saja bukanlah penjelasan yang memadai. Pada 1954 seorang pengamat menyatakan bahwa sekitar 80 persen etnis Tionghoa yang ada di daerah itu, di mana kebanyakan bukan warganegara Indonesia, adalah pro komunis [Pernyataan ini bisa saja dilebih-lebihkan. Sebagai contoh, banyak orang mungkin secara diam-diam menyetujui sikap politik kelompok yang lebih vokal, sementara yang lain mengikuti apapun yang mereka anggap sebagai Tionghoa].
Ketika kegiatan pro komunis di Singkawang nampaknya sering dilakukan dan didukung secara kuat oleh para pengajar dan kalangan pemuda, simpati untuk Partai Komunis tidak hanya datang dari kelompok ini saja. Para pengusaha Pontianak dan pedagang karet secara berangsur-angsur memberikan dukungan kepada pers sayap kiri dan menentang Guomindang. Singapura merupakan pasar utama untuk komoditas dari Kalimantan Barat, dan para pedagang Pontianak memiliki hubungan yang dekat dengan para baron karet seperti Tan Kah Kee dan lee Kong Chian, yang kebanyakan sangat bersimpati kepada Tiongkok Baru. Namun ketika Tan dan Lee bersimpati dan memberikan bantuan pada pasukan perjuangan Indonesia selama masa revolusi, tidak ada bukti yang menghubungkan para pemimpin Pontianak dengan simpati kepada republik. Orang Tionghoa di Kalimantan Barat, sampai 1949, tidak merasa terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia [Heidhues, 2008: 244].
Orang Tionghoa di Kalimantan Barat secara sederhananya merasa diri mereka orang Tiongkok, sebuah konsep yang menyatukan loyalitas etnis, budaya dan kebangsaan. Seorang pengamat pada pertengahan 1950-an mencatat bahkan jika seorang Tionghoa lahir di Indonesia dari dua atau tiga generasi dari pemukim di situ, Tiongkok masihlah negara mereka. Ini menuntut seluruh kesetiaan mereka. Orang Tionghoa yang loyal ini hanya menghadapi pertentangan ketika memilih memberi kesetiaan mereka pada Republik Rakyat Tiongkok atau terhadap Republik Tiongkok Nasionalis di Taiwan. Seiring waktu, pertentangan ini mereda, kepentingan Taiwan menjadi berkurang. Meskipun banyak orang Tionghoa pernah menyambut hangat kedatangan konsul nasionalis, pada 1949 banyak juga yang kecewa, baik karena situasi di Tiongkok dan karena dia gagal membawa bantuan materi yang diperlukan ke Kalimantan Barat.
Indonesia mengakui Republik Rakyat Tiongkok pada 1950, Konsulat Nasionalis di Pontianak ditutup pada April di tahun yang sama. Konsul yang baru dari Republik Rakyat Tiongkok tidak berkantor di Pontianak tetapi di Banjarmasin. Pada saat itu Banjarmasin merupakan ibukota dari propinsi Kalimantan. Meskipun hubungan diplomatik resmi Indonesia dengan Beijing membatasi lingku kegiatan Guomindang, elemen pro nasionalis terus mengorganisasikan secara terbuka dan menjalankan sekolah-sekolah Tionghoa di seluruh Kalimantan (Barat), meskipun pengaruhnya berkurang. Hanya pada 1958 pemerintah Indonesia turun tangan secara tegas dengan jalan melarang seluruh organisasi yang terkait dengan Guomindang di Indonesia. Pemerintah menutup sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi Guomindang, menyita aset-aset ekonomi dan melarang setiap unjuk simpati publik kepada Taiwan.
Dikarenakan hampir semua orang Tionghoa di Kalimantan barat menganggap diri mereka sebagai orang luar, sebagian besar dari mereka tidak berperan serta di dalam organisasi negara federal yang didirikan Belanda pada 1946—1949. mereka bersikap netral, yang oleh beberapa orang diartikal sebagai sikap tunggu dan lihat, yang berarti bahwa orang Tionghoa akan bekerjasama dengan Belanda atau dengan Indonesia ketika sudah dapat dipastikan pihak mana yang menang. Pada masa-masa segera sehabis perang, di mana masih ada pengaruh warisan kolonial Belanda, orang Tionghoa Katolik dan orang Dayak Katolik, yang keduanya menyelesaikan sekolah misi, sering membentuk mayoritas dari dewan politik setempat. Akan tetapi pengaruh mereka semakin lama semakin hilang digantikan oleh orang Melayu dan Jawa, beberapa di antara mereka adalah pendatang di propinsi itu yang mengambil alih kantor politik setelah kemerdekaan. Perwakilan Tionghoa untuk organisasi federal yang disponsori Belanda seperti Dewan (Raad) Kalimantan Barat, mungkin karena diberi instruksi oleh organisasi-organisasi komunitas, memberikan suara kosong untuk menjauhkan mereka sendiri dari perkembangan proses dan berharap tindakan ini akan melindungi kenetralannya [Heidhues, 2008: 250].
Kebanyakan orang Tionghoa, bahkan yang kelahiran lokal, memandang perpolitikan Indonesia sebagai sesuatu yang jauh. Mereka juga melihat adanya pembelahan dalam organisasi-organisasi komunitas dengan rasa tidak suka, mungkin berharap pertentangan-pertentangan tersebut (seperti perang sipil di Tiongkok) akan segera lenyap, supaya semua orang Tionghoa dapat bersatu di bawah satu payung persatuan. Dimulai pada 1950-an, sebagai bangsa baru, Indonesia memperkuat kedaulatannya di seluruh daerah, dan sejumlah aturan yang dihasilkan di Jakarta mengganggu kehidupan ekonomi dan lembaga-lembaga budaya orang Tionghoa di kalimantan Barat. Selain membatasi berbagai kegiatan ekonomi orang yang bukan warganegara Indonesia [Willmont, 1961: 70—76], kebijakan yang berpengaruh paling luas adalah terhadap sekolah-sekolah Tionghoa. Beberapa orang tua dengan sengaja menolak kewarganegaraan Indonesia, supaya anak-anak mereka dapat masuk sekolah-sekolah Tionghoa. Sedangkan yang lainnya, setidaknya di kalangan orang muda, berangkat ke Tiongkok.
Sebelumnya, pada 1950-an orang Tionghoa atau Tionghoa asing, telah menanggung beban berat dari tindakan-tindakan kebijakan nasionalis, terutama dalam bidang ekonomi, yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan ini termasuk ketentuan Indonesianisasi terhadap perusahaan-perusahaan mereka, di mana pemerintah mengharuskan pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk menerima keikutsertaan orang beretnis Indonesia dalam kepemilikan perusahaan dan dalam tenaga kerjanya, pengenaan pajak khusus untuk penduduk asing dan melakukan pendataan serta pengawasan terhadap para pekerja asing [Beberapa kebijakan ini dilaporkan dalam warta Kalimantan Barat: Juli—Agustus 1972. tentu saja berbagai peraturan ini dapat dihindari dengan memberikan sejumlah uang]. Status warga negara asing dapat dikatakan menimbulkan kesukaran, namun beberapa orang tua tetap berniat untuk bertahan karena menginginkan anak-anak mereka dibesarkan sebagai orang Tionghoa secara budaya.
PELENYAPAN SEBUAH GENERASI
Pada 1959, pemerintah Indonesia berupaya mematahkan genggaman orang Tionghoa terhadap perdagangan perantara di seluruh negeri dengan menyingkirkan orang Tionghoa asing dari perdagangan eceran di daerah perbatasan. Peraturan Presiden Nomo 10 (PP 10), melarang orang asing melakukan perdagangan eceran di luar ibukota kabupaten dan kota, sekolah-sekolah asing juga dibatasi jumlahnya di kota-kota yang ditentukan. Di Kalimantan Barat, hal ini berarti bahwa Kota Pontianak, Singkawang (untuk Sambas), Sanggau dan Sintang dan satu kota di pedalaman, terbuka untuk perdagangan perantara oleh orang asing. Meskipun di beberapa propinsi, penduduk asing berusaha dipaksa oleh negara untuk pindah ke kota-kota besar, di Kalimantan Barat hal tersebut tidak terjadi. Beberapa orang yang hidup di daerah pedalaman atau di sepanjang aliran sungai telah berpindah, terpaksa berpindah karena hilangnya mata pencaharian mereka [Heidhues, 2008: 261].
Akibat dari larangan kegiatan perekonomian tersebut, penderitaan lebih berat dirasakan pada orang Tionghoa miskin, anggota komunitas Tionghoa yang kaya lebih waspada untuk menjamin bahwa mereka atau seseorang dari anggota keluarganya akan memiliki kewarganegaraan Indonesia.. bagaimanapun juga, yang paling menderita secara nyata adalah orang Dayak dan masyarakat lainnya yang bergantung pada para pedagang kecil Tionghoa, khususnya di pedalaman. Pelaksanaan secara ketat atas pelarangan ini telah mengacaukan jalur perdagangan yang sudah ada dan pada akhirnya pemerintah didesak untuk memperlunak larangannya. Sampai akhir 1951, ketika kesempatan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia berakhir, terdapat sekitar 600.000—700.000 orang dari sekitar 1,5 juta orang yang memenuhi syarat telah menolak kewarganegaraan Indonesia [Mozingo, 1961: 25—31]. Beberapa dari mereka yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia belum cukup umur dan orang tua mereka menolak kewarganegaraan Indonesia untuk mereka. Orang yang lahir di Tiongkok otomatis tetap menjadi warganegara Tiongkok. Sebagai hasilnya, setelah atau lebih dari seluruh etnis Tionghoa di Indonesia dicatrat berkebangsaan asing pada pertengahan 1950-ann.
Pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang dilakukan antara Januari 1960 sampai januari 1962, memungkinkan orang etnis Tionghoa yang telah menjadi warganegara Indonesia untuk melepaskan kewarganegaraan Tiongkok atau untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. Pada tingkat nasional sekitar dua pertiga orang Tionghoa ditetapkan memenuhi syarat menjadi warganegara Indonesia. Karena perjanjian tidak memasukkan orang Tionghoa asing, perjanjian ini memiliki keterbatasan apabila hendak diterapkan pada sejumlah orang Tionghoa yang tidak pernah mampu menjadi warganegara Indonesia, sesuatu yang kuat dirasakan di Kalimantan Barat.
Pada 1962 sejumlah kebijakan anti-asing dari 1959—1960 sedikit banyak telah mereda. Pemerintah Indonesia mengikuti sebuah garis internasional untuk berhubungan dekat dengan Republik Rakyat Tiongkok, dan garis ini menjadi lebih bersahabat dengan kepentingan etnis Tionghoa. Pada 16 September 1963, Malaysia dibentuk, dengan cara menggabungkan Malaya dengan negara jajahan Inggris sebelumnya, Singapura, Sarawak dan Borneo Utara (Sabah). Niat awalnya untuk memasukkan kesultanan Brunei, sebuah daerah kaya minyak di bawah perlindungan Inggris, ke dalam sebuah federasi gagal terwujud pada Desember 1962 ketika sebuah pemberontakan yang dipimpin AM Azahari pecah di wilayah tersebut, dan Brunei menarik diri dari rencana tersebut. Pemberontakan dengan cepat ditumpas oleh polisi setempat dan pasukan Inggris. Kejadian tersebut menyebabkan Indonesia secara terbuka menyuarakan kecurigaannya terhadap federasi yang baru tersebut. Setelah melakukan perundingan yang gagal, Presiden Soekarno menyerukan maksudnya untuk Ganyang malaysia [Mackie, 1974: 140—141, lihat juga Alastair Morrison, 1993]. Pemberontak Brunei menyeberang melalui Borneo Utara dan masuk ke Indonesia untuk melakukan latihan di sana, Azahari menggunakan Kalimantan barat sebagai sebuah basis [Effendy, 1995: 17 dan 27].
Meskipun kaum kiri Indonesia, khususnya Partai Komunis (PKI) yang telah mencap pembentukan Malaysia sebagai sebuah rencana Neo-Kolonialis, bergegas untuk mendukung seruan perang Soekarno, pertempuran besar-besaran tidak pernah terjadi. Untuk beberapa alasan, para pimpinan tentara Indonesia enggan untuk membangkitkan pertempuran dalam skala besar dan untuk membawa pasukan dari Jawa, di mana situasi politik menjadi tegang, dalam memenuhi pengiriman pasukan di perbatasan Kalimantan.
Meskipun begitu, militer setempat, secara khususnya Brigjen MS Supardjo Komandan Komando tempur Empat yang bermarkas di Kalimantan barat, adalah orang yang bersimpati pada kampanye Soekarno, sehingga ia merekrut pemberontak Sarawak, satu hingga dua ribu orang dari mereka, di mana banyak di antaranya berasal dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, untuk dilatih militer dan ideologi di sebuah pangkalan militer Indonesia pada 1963—1965. beberapa tenaga tambahan datang dari Kalimantan, mungkin termasuk orang Tionghoa setempat, beberapa pendukung Azahari, dan simpatisan setempat Partai Komunis Indonesia. Orang-orang muda tersebut, memang banyak tapi tidak semuanya orang Tionghoa, diharuskan untuk beroperasi di hutan mendukung militer Indonesia dalam serangannya ke wilayah Sarawak. Mereka berhubungan dengan pasukan gerilya oposisi sayap kiri dari Sarawak, para gerilyawan yang berhubungan dengan Pasukan Gerilya Rakyat sarawak (PGRS) dan Paraku (Pasukan gerilya Rakyat Kalimantan Utara) yang kurang begitu penting [Feith, 1993: 146—147].
Perubahan politik Indonesia setelah Oktober 1965 [Heidhues, 2008: 268], dan selanjutnya perdamaian dengan malaysia Juni 1966, membiarkan kelompok tersebut kandas. Supardjo sendiri terlibat dalam upaya Kudeta 30 September 1965 di Jakarta dan kemudian dipenjarakan [Anderson, 1971: 7, 11 dan 33]. Sebaliknya, penggantinya tidak bersimpati pada gerilyawan, dan belakangan diperkuat unsur-unsur yang tidak berpengaruh oleh kelompok pro-komunis setempat. Jumlah gerilyawan barangkali tidak lebih dari seribu orang, tetapi mereka dapat bersandar atau mengancam da memaksa bantuan dari orang Tionghoa yang hidup di Sarawak dan di perbatasan wilayah Indonesia [Soemadi, 1974 melaporkan: … bahwa pada waktu itu daerah perbatasan (Sanggauledo, Jagoi babang, Benua Martinus dan lainnya), merupakan pusat kegiatan para pemberontak, dan mewakili pandangan resmi, menyatakan bahwa mereka mendapat bantuan dari orang Dayak. Di sisi yang lain, ia menyebut pimpinan PKI Baru Sayid Ahmad Sofyan nama Tionghoanya Tai Ko (ini bukanlah nama Tionghoa, melainkan sebuah gelar, semasa kongsi artinya adalah boss). Sofyan mengatur pengelolaan penyaluran pamflet pro-PKI di beberapa kota pesisir pada Mei 1972, yang mengejutkan pemerintah militer, namun ia terbunuh pada 1973 atau 1974]. Effendy [1995: 66] menggambarkan Sofyan sebagai pribumi separuh Arab dan sebagai seorang imigran datang ke Kalimantan. Ia adalah pimpinan militer para pemberontak. Sofyan merebut kendali PKI setempat pada 1960, membawa mereka dalam sebuah garis Mao-is dan menyerukan kepada etnis Tionghoa untuk memberikan dukungannya [lihat juga Davidson, 2002: 53—87].
Pada akhir 1966 militer mengusir sejumlah orang Tionghoa dari daerah-daerah pedalaman, meskipun pengusiran secara besar-besaran tidak dapat dijalankan pada waktu itu, karena tentara belumlah kuat di propinsi ini [Heidhues, 2008: 268]. Yang jelas kegiatan kelompok kiri tidak hanya terbatas pada masyarakat Tionghoa. Upaya pelaksanaan kudeta 30 September 1965 mempengaruhi keadaan di Kalimantan Barat juga. Ketika terjadi perubahan situasi militer di Kalimantan barat, beberapa dari simpatisan ini meskipun tidak termasuk orang militer, kemungkinan memutuskan untuk masuk ke hutan. Ketika tindakan militer pada akhir 1966 sampai awal 1967 gagal untuk membersihkan elemen anti-Malaysia dan gerilyawan pro-komunis, tentara menarik seluruh pasukan dari daerah perbatasan Maret 1967, membiarkan kekosongan kekuasaan sampai unit baru dari Komando Daerah Militer XII tanjungpura memperkuat pengawasan mereka. Pada Juli 1967, gerilyawan menyerang pangkalan udara Indonesia di dekat sanggauledo, membunuh sejumlah perwira dan staffnya, dan merebut senjata dan amunisi mereka. Jakarta mengirimkan kekuatan tambahan, tetapi tidak cukup untuk menghancurkan gerilya. Meskipun rakyat secara luas berperan serta atau bersimpati kepada gerakan gerilya, para pemimpin baru militer di Pontianak mempersalahkan orang Tionghoa dan memutuskan untuk memindahkan orang Tionghoa yang menjadi tempat hidup gerilyawan tersebut seperti layaknya memindahkan air yang menjadi tempat ikan berenang, yaitu menyingkirkan etnis Tionghoa dari pedalaman Barat Laut Kalimantan.
Pada September 1967, gerilyawan sudah mulai menyerang perkampungan-perkampungan Dayak, membakar, menculik dan membunuhnya. Para pimpinan militer Indonesia mencoba memecah-belah antar gerilyawan, khususnya antara gerilyawan Tionghoa dan Dayak. Penyerangan sebuah kampung dekat sanggauledo September 1967, di mana beberapa orang dayak dilaporkan terbunuh, yang katanya dilakukan oleh pemberontak Tionghoa merupakan satu insiden yang membuat orang dayak menjadi mau menerima seruan militer bahwa etnis Tionghoa harus diusir dari Kalimantan Barat.
Kompas [26 januari 2001] menulis: … Pembunuhan orang desa Dayak aslinya direncanakan oleh tentara, bukan dilakukan oleh pasukan PGRS—Paraku. Serangannya di taum dekat sanggauledo pada September 1967. mayat-mayat korban dikatakan telah dimutilasi oleh penyerang orang Tionghoa Komunis, namun [Heidhues, 2008: 269] berpendapat bahwa militer bertanggung jawab atas mutilasi tersebut. Copel [1973] menduga keras adanya hasutan militer untuk menyerang, memperlihatkan bagaimana kesatuan-kesatuan militer telah mengepung komunitas-komunitas Dayak di 1967, mencoba menghasut mereka untuk melawan orang Tionghoa, namun tidak berhasil hingga orang Dayak sendiri yang diserang. Feith [1983] mencatat bahwa beberapa tokoh intelektual Dayak merasa bahwa mereka digiring ke sisi dan berkeinginan mendapatkan sebuah pengembalian kekuasaan, barangkali dengan mengelola kekerasan 1967, tetapi kekerasan tersebut tidak terkendali. Beberapa orang di Kalimantan saat itu mengatakan bahwa para pemimpin Dayak kemudian merasa bahwa mereka telah disalahgunakan.
Sesudah serangan terhadap kampung-kampung Dayak, hasutan dari pihak militer mulai memberikan pengaruh, mengobarkan balas dendam orang Dayak. Pasukan keamanan pemerintah Indonesia menyebarkan kabar angin yang meningkatkan ketegangan, bahwa orang-orang komunis merencanakan sebuah pemberontakan umum pada Oktober 1967. tidak jelas apakah kabar angin ini muncul sebelum atau setelah serangan kampung-kampung Dayak. Ditutupnya perbatasan Sarawak pada 1963 memperbesar ketegangan dan menghancurkan kegiatan perekonomian selundupan yang menguntungkan baik orang Tionghoa maupun Dayak. Lebih jauh lagi, produk karet di Kalimantan Barat sedang mengalami krisis sejak pasar di Singapura ditutup selama konfrontasi antara Indonesia dengan malaysia, dan sebagai akibatnya harga karet sangat menurun. Kelangkaan pangan, bahkan kelaparan menyertai kekacauan ekonomi di dalam negeri.
Sebelum terjadinya serangan Dayak, militer Indonesia menyebutnya demonstrasi, simbol-simbol perang Dayak tradisional bergerak dari kampung ke kampung. Sebuah mangkok berisi darah ayam dan dihiasi dengan bulu, yang disebut mangkok merah, menandai seruan untuk melakukan pengerahan serangan. Pembalasan dendam orang Dayak pertama kali terjadi pada 14 Oktober di Taum bagian selatan sanggauledo.
Suasana berubah ketika beberapa pemuda Tionghoa mulai menyerang balik. Beberapa sumber mengatakan ini adalah tanda untuk orang Dayak untuk menggunakan senjata api, meningkatkan kekerasan. Di berbagai tempat, para perempuan dan anak-anak Tionghoa melarikan diri atau bersembunyi. Ketika sifat demonstrasi berubah pada Nopember, para demonstran bersenjata dengan senjata berburu tua mulai membunuh orang Tionghoa dan membakari harta benda orang Tionghoa. Perubahan mendadak dalam tingkat kekerasan dihubungkan dalam suatu penuturan mengenai penangkapan seorang gerilyawan, yang ketika sedang dibawa ke kota berhasil meloloskan diri dari penangkapnya, membunuh seorang orang Madura, sementara penangkap keduanya adalah orang Dayak dan mencuri sebuah senapan, meskipun cerita ini patut dipertanyakan. Terdapat banyak penjelasan yang semuanya sulit untuk diperiksa kebenarannya. Penuturan lain menyebutkan terjadi suara tembakan di Senakin, sesudah itu diikuti pembalasan dendam oleh orang Dayak. Di Sebadu dan Mandor, toko-toko Tionghoa dibakar dan mayat-mayat orang Tionghoa dibariskan di jalan. Jumlah korban bervariasi dari beberapa ratus hingga beberapa ribu. Di Menjalin dan Anjungan hampir-hampir tidak ada apa-apa di pasar-pasar Tionghoa yang masih berdiri. Padi di sawah-sawah milik orang Tionghoa dipanen oleh orang Dayak yang sawahnya sendiri belum siap dipanen.
Kekerasan 1967 dengan sengaja diarahkan kepada semua penduduk Tionghoa dengan anggapan yang sangat jelas disuaran oleh miiter bahwa semua orang Tionghoa baik asing maupun warganegara merupakan pendukung Tiongkok komunis maupun PKI. Ketika orang-orang Tionghoa melarikan diri, toko-toko, rumah-rumah dan sekolah-sekolah dibakar oleh para penyerang. Siapapun penggeraknya, orang Tionghoa dibunuhi, tidak hanya diusir. Tentara secara terbuka mendorong pengayauan (pengambilan kepala) oleh penyerang dan kemudian malahan memberikan tanda kehormatan bagi orang yang menggorok kepala orang Tionghoa. Serangan Dayak telah mengosongkan pedalaman Distrik Tionghoa dari orang Tionghoa yang hidup di sana sejak zaman kongsi. Setelah sekitar tiga bulan penyerbuan segalanya menjadi lebih tenang.